Keliling FLORES (Maumere - Sikka Part 1)


PANGABATANG

---------------------------------------------------------------------------------
Pengantar: Pulang kampung dan tanpa pekerjaan itu menyedihkan! Terlebih lagi bila salah satu impian besar Anda dibuat beku oleh kejadian di luar ekspetasi. Sadar bahwa masih ada terlalu banyak hal di sekitar yang bisa dialami dan dinikmati selama menyusun Plan B, saya melakukan petualangan keliling Flores dan mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, seperti Lembata, Adonara, dan tentu saja Komodo. Dari usaha meraih puncak gunung hingga menyusup lautan biru, ditemani sepeda motorku “Schnelli” (Kau hebat, Sayang!).

Pahit manis perjalanan juga sedikit permenungan coba kutulis dengan perspektif naifku, seorang Flores yang berusaha bersikap netral. Sunggu maaf, jika kata-kataku dalam kisah berikut menyinggung perasaan atau terbaca ironi atau dirasa menyepelekan beberapa hal yang dikultuskan di Flores. Hanya debulah aku!
----------------------------------------------------------------

Semilir angin datang dari kiri, dimana kira-kira tiga meter dari tempatku duduk adalah pintu yang terbuka. Hampir jam satu siang di Perpustaakan umum daerah Kabupaten Sikka. The Hundred Secret Senses1 baru tersentuh kulit luarnya. Begitulah diriku. Buku apapun telah memberi khayal, jauh-jauh sebelum terbaca isinya. Lewat judulnya, lewat design covernya, lewat secuil sinopsisnya. Melihatnya saja telah melontarkanku untuk menebak alur bahkan mencipta kisah baru atau menjadikan diriku melebur bersama karakter utama bukunya. Jika buku berkisah kehidupan tragis dinasti terakhir Tiongkok, maka aku menjadi seorang pembaca dengan badan berbalut kostum kaisar Pu Yi. Lalu seandainya petugas perpustakaan menyodorkan buku bersampul merah dengan judul Che Guevara, dalam sekejab aku menjadi seorang pembaca dengan kepala ditutupi topi baret, dagu brewok, dan rambut sedikit gondrong. Lantas aku berubah lagi menjadi Arjuna bila sampulnya bergambar wayang. Terus, terus, dan terus, hingga suatu ketika aku akan sadar dan menolak untuk bertransformasi lagi. Itu pasti, jika buku di depanku ternyata berjudul Works of Love Are Works of Peace! (Aku tak sanggup membayangkan apakah cukup menyentuh bila rupaku adalah perempuan uzur, dalam bungkusan gaun sari putih biru, bungkuk, lamat-lamat memandangi buku sambil merapal doa Pater Noster. Tak ketinggalan seuntai rosario di tangan kanan dan puluhan tubuh manusia Kalkutta India tergeletak mengelilingi).

Kuangkat mukaku dan ilusi transformasi itu berhenti. Kesadaran sempurna. Kupandangi sekitar. Aneh, tidak ada pengunjung menempati bangku-bangku panjang cokelat yang tersedia. Hingga 30 menit aku menghitung , tak ada seorang pun kelihatan duduk, semuanya berdiri pada lorong-lorong sempit antara rak- rak buku. Belasan orang. Hanya berdiri. Ini hebat! Aku senang dengan pemandangan itu. Juga perpustakaannya. Sudah ada perubahan yang bagus dengan sarana baca - pinjam buku untuk publik ini. Tidak luar biasa memang akan tetapi ini sebuah lompatan berarti. Dan aku berharap isi perpustakaan ini nantinya terus bertambah. Sepuluh tahun silam, perpustakaan daerah hanyalah bagai gudang kertas usang. Itu ketika ia belum pindah dari kompleks kantor bupati lama. Hanya segelintir orang mengunjunginya. Dan seperti yang aku katakan tadi, saat itu tampilannya mirip gudang kertas. Berukuran 10x5 meter, berdinding triplek sisa sumbangan gempa tektonik tahun 1992 silam. Sekedar empat rak semeteran tingginya tumpah rua dengan buku-buku ‘angkatan balai pustaka’ juga dokumen pemerintah yang hampir separuhnya telah cacat atau tanpa baju. Setelah tamat SMU dan merantau, aku terhenyak dengan pemandangan perpustakaan umum di kota-kota besar lain di Bali dan Jawa. Apalagi beberapa tahun kemudian aku berada di Stadtbibliothek Hannover, perpustakaan kota Hannover Jerman, yang interiornya lega, pakai lift ke beberapa lantainya, isinya dari koran- majalah-buku, hingga CD Software-CD Musik-DVD Film. Literatur dan internet gratis. Aku getol kesana, ke perpustakaan kota Hannover itu, nyaris tiap hari. Sampai sekali waktu pernah aku kelimpungan, dihinggapi kepanikan mendadak karena sekonyong tempat itu dijejali pengunjung yang pada tiap jidatnya terbubuhi coretan dasyat: “bacalah hingga mampus” !!! Dan aku pingsan. Dua orang di sampingku ketika aku siuman. Petugas perpustakaan. “Haben Sie noch nich gegessen?2” salah satunya bertanya. Lemas bercampur malu tapi aku mengangguk juga. Mereka memberiku sup asparagus. Dalam perjalanan pulang, aku bersumpah dua hal, pertama: kejadian ini akan kusimpan sebagai rahasia, kedua: jangan pernah lagi ke perpustakaan dengan perut kosong.

“Siang Bro. Bagaimana kabar?” Itu SMS dari Smith. Nama aslinya Martin, semenjak masuk SMU tepatnya pas awal-awal pelajaran ilmu Ekonomi, namanya diekori Smith. Menyebutnya menyebabkan aku terkenang seri film dokumenter Frontline. Smith penyiar Sonia FM, radio swasta Maumere, kira-kira setahun lalu aku kenal lewat situs jejaringan sosial tempat menyatukan orang sekota, HOME: Heart of Maumere. Kebetulan siaran radionya bisa streaming, didengar online di internet. Link radio terpasang di situs jejaringan sosial ini. Jadi pengobat sakit rindu mendengar celoteh penyiarnya berinteraksi dengan pendengar dalam logat dan bahasa lokal. Apalagi ada program lagu-lagu daerah. Seperti menembus jarak dan waktu. Beberapa orang berbaik hati mengirimkan file lagu-lagu daerah. Termasuk Smith. Yang mendekatkan komunikasi aku dan Smith juga adalah sebuah memoar bahwa Smith pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke Jerman beberapa tahun silam. Maka cerita-cerita Smith umumnya adalah tentang napak tilasnya di Jerman. Demi menyenangkan hatinya, pernah kukirimi kartu pos bergambar arsitektur Mediahafen Düsseldorf, kota dimana dia tinggal selama mengikuti program itu.

“Aman. Thanks. Aku di Maumere skarang, di perpustakaan.” Balasku.

“Kapan ada waktu? Ke Pangabatang, pulau yang Bro sempat sebut itu”

“Sekarang aku lagi punya waktu kosong..”

“Kalau begitu aku kesitu sekarang. Bro tunggu.”

Wow, unpredictable karena jawaban “sekarang aku lagi punya waktu kosong” itu terlontar begitu saja, sekedar jawaban tak berarah. Sudah seminggu aku depresi karena rencana perintisan usaha di Labuan Bajo yang mandek. Alokasi dana untuk itu raib dimakan orang yang aku sangkah bakalan menjadi partner usaha yang baik. Padahal cita-citanya aku ingin menambah alternative bagi wisatawan di Flores. Sekiranya beberapa hal baik tentang pengelolaan turistik yang aku amati selama perjalananku menyinggahi tempat-tempat tujuan wisata bisa memberikan kontribusi. Ternyata aku keliru di langkah awal. Menyinggung masalah ini membuat aku kembali panas! Pulang kampung, impian buyar dan tanpa kesibukan itu sungguh menyedihkan! Tapi… hei, apa tadi yang ditulis Smith di SMSnya?!! Ke Pulau Pangabatang??

Terkenanglah aku pada menit-menit ketika Batavia Air yang kutumpangi dari Ngurah Rai Airport Denpasar hendak mendarat ke Frans Seda Airport Maumere. Langit biru pekat membuka tangan untuk menyudahi perjalanan panjangku, terbang bermil-mil jauhnya dari Frankfurt menuju tanah leluhur. Setelah berada di atas perairan laut Flores, pesawat berbalik melengkung. Pada tempo itulah mataku tersihir putihnya pasir yang melingkari sebuah pulau kecil mirip atol. Pulau apakah gerangan itu? Baru satu pertanyaan itu dan tiba-tiba penerbangan yang sekali transit di Kupang itupun selesai. Sungguh, aku masih sering takjub oleh pendeknya waktu tempuh dari Kupang ke Maumere. Semasa silam, ketika naik pesawat masih menjadi sebuah pilihan high class, kebanyakan orang terpaksa memakai ferry yang buruk rupa juga kualitasnya. Harus tidur semalam di lautan, terombang-ambing ombak ganas sekitar selat Ombai yang memisahkan Alor dan Timor. Kini perihal penerbangan tampak membaik. Tak lagi hanya monopoli Merpati Nusantara tapi beberapa maskapai penerbangan telah hilir mudik di airport Maumere. Airport ‘apa adanya’ tapi terbesar di Flores.

“Bro..Selamat siang!” Smith sudah di depanku. Dia tampak riang. Tapi, astaga, kenapa kacamata hitam nongkrong di antara dahi dan ubun kepala? Dari pagi tadi hingga sekarang sudah enam orang kutemui dengan gaya serupa. Aku tersenyum, tidak untuk menyambut kedatangannya melainkan untuk kaca mata hitam di kepalanya. Hal biasa sebetulnya, namum aku menemukan kecenderungan aksi tersebut lebih besar di Flores ketimbang di tempat lain, bahkan lebih sering kacamata itu berada di kepala ketimbang mata, di tempat seharusnya dia dipakai. Bisa jadi itu semacam style, gaya yang dikira nyentrik. Lihat saja, hampir semua video klip musik lokal Flores penyanyinya bergaya demikian. Orang Flores menyebutnya kacamata Reben (baca: Ray-Ben), tak peduli produk mana dan merek apa sebenarnya, selama kacamatamu berwarna hitam maka ia dinamakan Reben. Nasib pasta gigi pun sama, semua dibilang Odol padahal itu sesungguhnya merek pasta gigi Jerman. Pars pro toto. Satu mengatasnamakan semua.

“Kalau Bro mau, kita berangkat sebentar jam dua siang.”

“Bukannya itu masih terlalu siang?” tanyaku.

“Masalahnya kalau ke pulau itu kita harus ke Talibura dulu, ke desa Tanjung Darat. Dari sanalah nanti dengan perahu motor ke pulau.”

“Tidak dari pelabuhan di Maumere sini?”

“Tidak. Nyaris tidak ada transportasi yang punya rute pelabuhan Maumere menujuh kesana. Desa Tanjung Darat adalah wilayah terdekat pulau Pangabatang.” Oh, jadinya kami harus ke Tanjung Darat yang letaknya ke arah timur Maumere, mendekati perbatasan kabupaten Sikka-Flores Timur.

“Aku akan kontak keluargaku disana, biar kita bisa singgah sejenak. Mereka tinggal langsung di antara nelayan. Kita bisa dapatkan perahu motor. Garansi, Bro. Bagaimana, deal or no deal?” Tanya Smith dengan mengangkat alisnya. Jenaka menirukan Tantowi Yahya dalam kuis televisi.

Diluar gedung perpustakaan, Schnelli - sepeda motor beat merahku- telah menunggu.

*****

Bersama waktu kami bergerak. Dua jam kemudian sebuah sampan kayu pipih berlajuh, menyeruak dari rimbunan mangrove Tanjung Darat. Hening perjalanan terpecahkan oleh tiga elemen: kanonisasi bunyi “de..de..ded..” dari mesin sampan, riak laut, dan kaok burung-burung pemakan ikan. Itu pun amat singkat karena putihnya pasir dan sebatang pohon artistik serta-merta membuatku berdecak kagum. Pohon setinggi badanku itu berdiri langsung di bibir pecahan ombak, rimbun hijau, posisinya amat fotogenik. Otakku bekerja, ilmu pastiku keluar menghadapi kasus ini: bagaimana tumbuhan itu bisa kokoh berdiri disitu? Kenapa ia begitu rimbun dalam rendaman garam? Dari spesies apakah ia dalam kerajaan Metaphyta? Tapi kali ini ada kekuatan aneh yang mendorongku untuk berhenti berpikir, menyerah dengan praduga yang rumit itu dan memilih untuk memejamkan mata sesaat. Tiba-tiba bawah sadarku berbisik: Tuhanlah yang menempatkan pohon itu disana. Seperti ciptaan indah lain, Dia melakukan seturut kehendak-Nya.

Lalu bathinku pun seperti dialiri air fontana alun-alun basilika Vatikan. Sejuk.

Butuh waktu tidak lebih dari setengah jam untuk mengelilingi pulau ini, sekalipun berjalan kaki dengan langkah amat lambat. Berandai-andailah aku, bila negara membolehkan kepemilikan sebuah pulau, pesohor siapa berminat dengan pulau kecil ini? Johnny Depp punya Little Hall’s Pond Cay di Bahamas, Leonardo DiCaprio menguasai Blackadore Cay di Belize. Siapa punya Pangabatang? Sayang, sepertinya pulau ini tak akan pindah tangan. Kendati kecil, terlalu kecil malahan, tapi Pangabatang terlanjur berpenghuni. Komunitas muslim, keturunan pelaut tangguh dari selatan Sulawesi yang bermigrasi puluhan tahun lampau menempati sebagian pesisir serta pulau-pulau kecil utara Flores, termasuk pulau ini. Rata-rata kaum ini masih menggunakan bahasa leluhur tapi uniknya di Pangabatang mereka berbahasa Sikka, bahasa daerah orang Maumere, malah dengan cengkok bagus pula. Boleh saja hunian mereka adalah gubuk sederhana, rumah doanya adalah masjid rapuh, namun menurutku mereka kaya raya. Keramahan bersahaja, tanpa prasangka, tanpa penilaian, tangan terbuka. Itulah harta mereka.

Catatan:

1. The Hundred Secret Senses : novel Amy Tan tentang penemuan kebahagiaan memakai seratus indra rahasia.

2. Haben Sie noch nicht gegessen (bah.Jerman): Anda belum makan?Foto-foto adalah milik penulis

Foto-foto adalah milik penulis

2 komentar:

Anonim mengatakan...

luar biasa indah anda menggambarkan Pangabatang.. tulisan yang bagus dan netral. Saya suka bagian terakhir tulisan ini.. salam..

Unknown mengatakan...

sungguh saya sangatlah terpesona..ketika membaca sekaligus melihat langsung pulau flores..laut nya dan alamnya serta kenangan di koka beach sungguh memukau...,,

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...