Jalan-Jalan Ke Jakarta


SIAPA SURUH DATANG KE
JAKARTA

“JIKA BUKAN demi visa, ogah saya kesini!,” gerutuku antara himpitan puluhan tubuh di halte transjakarta Blok M. Udara terasa begitu panas, manusia berdesak-desakan. Berbagai aroma terendus, dari parfum kelas atas sampai minyak wangi murahan. “Apa katamu?” tanya Sanjo. Peluh bercucuran di wajah tirus saudaraku itu. “Oh, perfect. Bahkan dalam posisi kita sudah bak kembar dempet pun kau tak mampu mendengar suaraku,” jawab saya nyaris mau berteriak.
Transjakarta (yang disebut Busway) berwarna gradasi merah kuning merapat ke halte. Dan alamak, nasib kami tak mampu dibedakan lagi dengan kuda-kuda liar, dierek keluar dari satu kandang kecil serta pengap menujuh ke kandang lain yang sialanya juga ternyata sempit dan pengap. Jam 18 sore, artinya ‘rush hour’ di Jakarta.
Ya, suka atau tak suka. Setelah penerbangan berjam-jam dari Flores ke Jakarta, saya harus menyisahkan energi pula untuk berebutan tempat, berdiri berpegangan erat pada pole di dalamnya, dan berupaya mempertahankan ‘wilayahku’ setiap kali Transjakarta berhenti dan diserobot terus-menerus oleh penumpang baru. Jumlah manusia yang keluar sama banyaknya dengan yang masuk. Semenjak beroperasi tahun 2004, armada Transjakarta tak pernah sepih. Betapapun jumlahnya terus bertambah, tetap kalah dari jumlah manusia yang memanfaatkannya.
Saya memandang Sanjo, kami berdiri berhadap-hadapan. Beberapa menit yang lalu saya pangling dengan kondisi fisiknya. Ia muncul dengan muka pucat dan tubuh yang lebih ceking dari sebelumnya. Jika dihitung, sudah delapan tahun kami tak bertemu. Setelah keluar dari asrama, terpisah dari teman-teman seperjuangan dan menghabiskan setahun penuh desperado di kampung, kami menempuh jalan menujuh cita-cita ‘sekunder’ masing-masing. Saya ke Bali, dia memilih Jakarta. Belajar musik, katanya. Ia memang mahir memetik gitar, Slash adalah gitaris idolanya, anehnya di Jakarta ia konsen ke classic guitar dan berasyik masyuk memainkan aransemen dari The Great Paraguayan John Williams: Asturias, La Cathedral, Maxixa, atau acapkali memecah udara dengan irama dari Francisco Tárrega, semisal Recuerdos de la Alhambra.
“Apa yang kau lihat?” Ia membuyarkan lamunanku. “Beginilah saya sekarang. Dan seperti inilah kira-kira kehidupanku, dari kos ke sekolah menumpang busway atau ganti-ganti metromini.” Saya menarik sedikit sudut bibirku keatas. Jalan hidup kita memang berbeda, kawan. Tapi saya pun pernah menempuh hidup yang sulit, lebih sulit mungkin darimu selama di Bali: datang dari daerah, tak punya apa-apa selain nekad dan semangat, bekerja paru waktu menguras tenaga selain kuliah, demi tetap survive dan berupaya meraih cita-cita - membuat diri sedikitnya merasa bangga dan berarti. Kini bertemu Sanjo, mendengarkan kisah hidupnya di Jakarta, serta melihat harapan pada matanya. “Nah, siapa suruh datang ke Jakarta? Sendiri mau, sendiri rasa,” kataku bergurau. Kami pun tertawa.
Kos Sanjo terletak bersebelahan dengan Thamrin City, tak jauh dari Bundaran HI, tak jauh juga dari Kedutaan Jerman tempat saya meng-apply visa. Bisa dibilang Sanjo memilih lokasi strategis, pintar dia. Inilah kali pertama saya ke Kedutaan Jerman. Selama ini setiap mau ke Jerman permohonan visaku selalu melalui konsulat di Sanur Bali. Jelas, lewat konsulat lebih hemat karena biaya transportasi masih mendingan sedikit. Bayangkan, harga return flight Flores-Jakarta itu sama dengan harga return flight Bali-Darwin! Biaya visa kan tak sampai sejuta, mahalan ticket pesawat domestik! Yang datang dari luar Jawa siap kesal, tapi mau bagaimana lagi? Sudah itu, saya paling tak suka dengan formalitas yang berlebihan. Terus terang, datang ke konsulat jauh lebih ‘ramah dan hommy’ ketimbang ke kedutaan. Sistem keamanan terkesan ‘terorismphobia,’ antrean yang lama, dan petugas yang pelit senyum. Padahal di Jerman tidak seperti itu. Seolah kita mau diwanti-wanti: Pass auf; zeig nicht dein mittelfinger obwohl du verdammt sehr böse bist, oder …du kriegst gar kein Visum, Schatz! - na ja, darĂĽber wird man später nur kaputt lachen. Garantiert.
Sedikit tips buat yang mau apply visa Jerman:
1. Datanglah pagi-pagi. Sebelum jam 8 sebaiknya sudah di depan pagar, 2. Bawa buku bacaan biar tak bosan menunggu – soalnya laptop, camera, hp, mp3, dan benda elektronik lainnya disita petugas, meski kita antrenya masih di halaman doang alias belum masuk ke gedungnya, 3. Bawa makanan/minuman ringan, bakalan kering tunggu giliran wawancara. 4. Turuti semua persyaratan dengan benar (pas photo harus benar-benar sesuai standar, dokumen harus lengkap. Baca baik-baik syarat di website kedutaan biar tak disuruh pulang.. hiks ). 5. Jangan pakai celana pendek atau baju tanpa lengan –“sangat tidak sopan,” begitu kata satpamnya sebelum kamu diusir. Aufwiedersehen.

RENCANA
saya yang sebelumnya hanya mau sepekan di Jakarta akhirnya diperpanjang jadi dua minggu. Hitung-hitung bernostalgia dengan Sanjo. Saya pun merencanakan tur bersamanya. Yang membuat saya heran, meski sudah bertahun-tahun di Jakarta tapi Sanjo belum pernah ke kota tua, ke TMII atau Ancol, dan bahkan baru sekali ke Monas. “Saya bukan tipe tukang jalan. Mending di kamar ketimbang habiskan uang dan tenaga buat jalan-jalan. Lagipula mau sama siapa?” Begitu alasan dia. “Ajak cewekmu dong!” serga saya. “Dia juga kerja, paling akhir pekan, itu pun tidak selalu. Lebih sering komunikasi via ponsel.” Ach ya, dia rupanya pacaran dengan ponsel, cium-ciuman dengan ponsel, bilang “I love you” ke ponsel!
Kali terakhir saya ke Jakarta sekitar empat tahun silam, waktu itu saya ikutan wawancara untuk beasiswa program budaya ke Italia dan nginap di jalan Jaksa, sempat jalan-jalan sebentar walau waktunya kepepet. Jakarta masuk dalam daftar ibu kota negara yang paling tidak diminati wisatawan.” There is nothing spectacular but traffic jam, crowded, business, malls. It has no fresh air, no green zone,” demikian petikan suara backpacker asing yang saya baca opininya tentang Jakarta. Jika saya yang ditanya, barangkali saya menjawab, “Jakarta, ya seperti ibu kota negara-negara berkembang lainnya. Dia menampilkan realita Indonesia, sebuah disparitas, ibarat menikmati musik dengan disonansi kontras.” Jakarta dihidupkan oleh madu impian dan empedu kenyataan - glamorous dan keterluntaan - ambisi dan keterpurukan - kemapanan dan ketidakberdayaan. Dalam satu kedipan, kau bisa melihat rumah mewah bak istana dikerubuti pondok reot gelandangan, kau bisa melihat orang makan di restoran dengan menu berharga jutaan sementara pengemis mengorek sisa makanan dari tong sampah restoran itu. Kau bisa melihat bahwa karyawan yang berdasi, necis, memakai gadget tercanggih dan bekerja di hotel seelit Mandarin Oriental maupun gerai termahal semisal Plaza Indonesia ternyata makan kipas-kipasan berpeluh di warung kaki lima. Pada akhirnya, kau bisa membuat summary bahwa di negeri kaya ini, ketimpangan dan ketakeseimbangan adalah fakta sekaligus mimpi siang malam yang teramat jauh dari garis finish.
Saya tidak punya alasan untuk menyepelehkan Jakarta. Saya justruh melihatnya sebagai medan untuk menemukan potret manusiawi. Jakarta sama dengan New Delhi-Mexico City-SĂŁo Paulo, mereka menghadirkan banyak karakter dari penghuninya, satu panggung dengan banyak permainan watak. Disini semua orang bisa mengaburkan otentistasnya dan melakonkan multirole.
Bicara perihal mengaburkan otentitas, saya yang selama di Indonesia terbiasa berselimut debu - mengenakan pakaian androgini manasuka - bau rumput, sesampainya di Jakarta mengubah ‘sedikit’ penampilan. Kebetulan, tahun-tahun belakangan ini gaya Jason Mraz atau Bruno Mars lagi booming. Nah, lagi di Jakarta kan? Saya kira cocoklah gaya itu diaplikasikan. Maka jadilah saya Bruno Mars wannabe (soale Bruno Mars kan mirip orang Flores hehe). Tapi saya menolak menggolongkan ini sebagai aksi manipulasi karakter. Saya melakukannya untuk Jakarta, hanya semacam teknik ‘penyesuaian diri,’ satu hal yang menjadi bakat jika kita lama menekuni dunia backpacking. Katakanlah ibarat ikutan program Ethnic Runaway (tapi dianggap gagal karena selama program itu kita tak pernah mengeluh apalagi sok-sokan bertingkah ‘orang kota masuk hutan.’ Tak jadi deh episode kita ditayangkan, sebab dianggap kurang mendramatisir keadaan haha..).


SAYA dan Sanjo pun mendatangi Kota Tua Jakarta. Pemandangan disana mengejutkan. Di areal sebesar ini, dengan bangunan-bangunan bersejarahnya, dengan tata kota yang mengesankan, kok bisa-bisanya ‘diabaikan’ pemerintah Jakarta? Ini bisa menjadi Little Holland bila dipelihara dengan baik. Saya tahu, untuk merenovasi semuanya bakal menelan biaya tak sedikit. Saya pun tak memintah alokasi dana eksklusif dari Pemkot. Tapi, pikirkanlah, lebih bagus memandang gedung pencakar langit mengeluarkan emisinya ke udara Jakarta atau menikmati bangunan bersejarah ini? Tidak bisakah kita belajar dari kota Amsterdam? Tak masalah menjadikannya sebagai kawasan bisnis, perhotelan, restoran, rumah tinggal, atau apapaun dengan sentuhan turistik asalkan di bawah manajemen pelestarian bangunan, dirawat, atau singkatnya dihidupkan dalam konsep Living Museum.
Salah satu bangunan yang ‘selamat’ misalnya Museum Wayang. Penampilan bangunan bekas gereja buatan tahun 1912 ini segar dan terlihat ‘baru’ dari luar. Bangunan lain seperti Museum Fatahillah, kantor pos, museum Bank Indonesia, juga mampu melemparkan saya ke bayangan kota-kota bekas koloni Belanda seperti Paramaribo (Suriname) atau Stellenbosch (Afrika Selatan). Senang menyaksikan banyaknya anak-anak muda nongkrong di alun-alun, bersenda gurau, naik onthel, membaca buku, tawar menawar jasa tattoo maupun memilah milih perhiasan. Lebih asyik rasanya menemukan mereka disana, di area terbuka, ketimbang berseliweran di mall-mall.
Satu lagi, ternyata harga tiket masuk ke museum-museum di Jakarta sangat ekonomis. Jelas, sebagai backpacker saya tak akan menampik hal beginian. Kaget juga, soalnya di Eropa biasanya mahal-mahal -bisa sampai Rp.100.000- sementara kalau masuk ke Museum Bank Indonesia yang super canggih itu, kok malah gratis!? Museum Fatahillah cuma dikenakan tarif Rp. 2000/orang, padahal koleksinya bersejarah sekali.
Saya terus memikirkan nasib kota tua ini. Pemkot Jakarta perluh berbuka diri lagi, menerima pihak yang mau memanfaatkan bangunan-bangunan lainnya sebelum benar-benar lapuk lalu ambruk. Saya ingat seorang seniman tanah air, Ronggowarsito, pernah berujar,”If a building ages more than a half century, we should not destroy it.” Merusakkan bukan harus berarti merobohkannya dengan alat berat, membiarkan begitu saja sampai jatuh sendiri pun termasuk merusakkannya.



LAIN HARI setelah luntang-lantung keliling Jakarta hingga ke Puncak, kami mendatangi Monas lagi. Planningnya, setelah Monas akan ke Mesjid Istiglal lalu ke Katedral Jakarta. Langit penuh awan tapi matahari bersinar dan angin bertiup sepoi, hari yang bagus sebetulnya untuk menyisir ketiga tempat, apalagi berjalan kaki. Tiba di Monas, kami hendak memotret diri ala strobist. Mulailah beberapa photo seperti menendang kearah kamera, jari telunjuk menyentuh lensa, dan lain-lain.
Pamungkasnya mau melakukan jump lantas di-freezing. Saya mencoba lebih dulu, sedangkan Sanjo sudah siap dengan posisi tidur terkapar dan kamera diangkat keatas. Kami berhitung, dan pas di hitungan ketiga saya meloncat..Bbrakkkk!!!! Saya mendengar suara seperti ada tulang yang patah, tapi tidak sakit apa-apa. Hanya terasa bahwa bagian (maaf) pantat hingga selangkanganku tiba-tiba dingin. Cclesss….Celana saya robek mengikuti jahitan dari atas ke bawah. Kolor berwarna biru terang menampakan dirinya!
Tak urung lagi Sanjo terbahak. “Wah, bagaimana sekarang?” Saya buru-buru duduk di rumput, malu bukan main, banyak orang lalu-lalang pula.”Tak ada pilihan, saya pulang mengambil celana ganti, Kamu harus disini menunggu,” ujar Sanjo sambil terus saja terkekeh. Saya mengangguk saja, Sanjo pun beranjak pergi. Jarak Monas ke HI kan tidak dekat, harus ke kos, tunggu kendaraan. Semua tentu bisa berjam-jam. Apes….apes…
****
(Kesialan datang berulang setelah itu. Terjadi miscommunication antara saya dan petugas di Kedutaan, membuat saya harus balik lagi ke Jakarta seminggu setelah meninggalkannya)
=========================================================
MENGUNJUNGI IBU KOTA
How To Go: Sebagai ibukota negara, banyak cara untuk mencapainya. Untuk wilayah Pulau Jawa,Bali, Sumatera bagian selatan, bisa menggunakan bus. Yang paling biasa,ya dengan kapal laut atau pesawat terbang. Agar lebih hemat dan nyaman, setibanya di airport Soekarno Hatta tumpangi armada bus Damri. Info harga tiket dan rute bus Damri dari airport, silahkan klik ke: http://www.transportasiumum.com/content/damri-bandara , Info bus dan harga tiket dari kota-kota di pulau Jawa dan Sumatera ke Jakarta, baca di: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3518333 Untuk busway, download gratis rutenya di : http://www.rutebusway.com/
When To Go: Kapan saja, kecuali musim mudik lebaran.
Where To Sleep: Menginap di beberapa hotel murah di Jakarta Pusat? Mungkin bisa ke Hotel Bintang Baru: Jl. Dr. Sutomo - mulai Rp 150,000-Tel.(021)3515533, Dzire Kost & Hotel: Jl. Dwiwarna 2 No.48- mulai Rp.150.000-Tel.(021) 6254839/08788-333-5692, Hotel Oasis Amir: Jl. Senen Raya Kav.135-137-mulai Rp.160.000-Tel. (021)3863060-62-63 atau ke Hotel Prima Indah: Jl. Gunung Sahari No.19-mulai Rp. 125.000-Tel.(021)62203606
Where To Eat: Ke kota tua Jakarta sempatkan ke Café Batavia, selain makanannya yang enak juga bisa menikmati atmosfer dari bangunannya. Pilihan lain adalah makan malam sambil menikmati view terbuka Jakarta dari ketinggian di Solaria Sky Dining - Plaza Semanggi atau di Pawon Solo-Kemang. Pizza mungkin bisa didapatkan dimana-mana, tapi coba dulu di Pisa Cafe - Jl. Gereja Teresia,Menteng. Citarasa pizza dan masakan khas Italia lainnya plus suasana yang asyik.

Diposting @Agustus 2011

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...