Coconut Garden Beach Resort Maumere (Hotel Review)


Coconut Garden Beach Resort
'an oasis of serenity'

An oasis of serenity

“ Saya ingin tiap orang yang datang, langsung merasa bahagia berada di tempat ini,” ujar Andrej Zorko. Pria berwarganegara Slovenia ini adalah pemilik Coconut Garden Beach Resort, sebuah akomodasi pinggir pantai yang baru hadir di Kabupaten Sikka, sekitar 10 km arah timur dari pusat kota Maumere, 15 menit dari Frans Seda Airport.

Andrej mengaku langsung jatuh cinta pada Flores begitu datang berkunjung pertama kali. “Pulau kalian ini masih sangat natural, punya keindahan dari gunung hingga bawah laut yang menawan. Dan yang istimewa adalah banyak dari keindahan ini masih tersembunyi, tidak dengan gampang ditemukan, cocok untuk petualang. Ini yang bikin Flores priceless, tidak murahan,” ujarnya ramah bersemangat. Andrej takjub menemukan pantai di Maumere yang dipenuhi pepohonan kelapa nan rimbun. “Rasanya seperti di Carribean,” kenangnya. 

Rattan chairs in the front of the room

Look like giant Mushrooms under the coconut trees

Konsep eco-friendly  adalah trend yang berkembang akhir-akhir ini, sejalan dengan kesadaran manusia bahwa modernitas perluh diseimbangkan dengan alam, karena bila tidak maka kerusakan bumi tidak akan terhindarkan. Global warming atau pemanasan global adalah salah satu efek dari terlalu banyaknya aplikasi bahan-bahan yang sulit didaur ulang oleh bumi. Kita seakan lupa bahwa bahan-bahan alami justruh lebih ‘bersahabat’ bagi manusia. Lagipula, bila dikreasikan dengan jeli, kayu atau bambu tidak hanya sekedar dijadikan material hunian sederhana tapi bisa berubah jadi ‘wah’ serta istimewa.

“Disadari atau tidak, kita akan merasa lebih earthy, lebih down to the earth bila berada di hunian berbahan natural, ketimbang dalam gedung yang terbuat dari beton,” ungkap pria murah senyum ini. Agaknya kami sepaham. Sebagai Traveler, saya pun merasa lebih nyaman-simple-cocok-sehat-dan diterima ketika berada di alam, daripada di kota. Itulah sebabnya saya cenderung memilih masuk ke pedalaman daripada ke kota besar (Well, I’ve tried to be a city-scene guy but it didn’t work. If you ask me to describe how I feel, I will name it as: ‘Blank Space’. It sounds cruel isn’t?? ). 

Almost finished. Only need few stuffs.

Andrej terilhami oleh sejumlah akomodasi yang sudah lebih dahulu memakai bambu sebagai bahan utama. Namun, ia malah ingin 100% bangunan dibuat dari bambu. Agak nyeleneh sih, tapi keinginannya toh terungkap dengan bagian atap penginapan yang juga dari bambu - padahal kebanyakan orang memakai alang-alang atau ijuk.

Pengerjaan bangunan Coconut Garden Beach Resort Maumere telah dimulai pertengahan tahun 2015 silam, dan kini telah rampung dengan menghadirkan 8 bungallow utama, 1 dive center, 1 fitness center, dan 1 café.

Besarnya ruangan bungalow adalah 50m2 (termasuk teras dan toilet), masing-masing memiliki open air toilet and shower, lantai dari kayu, tempat tidur serta perabot dari bambu. Tiap kamar mengusung warna putih sebagai warna primer, ditimpali oleh beberapa warna sebagai ornamen. Dilengkapi dengan AC dan kipas angin. Teras depan masing-masing bungalow dipasangi hammock (ayunan) untuk tidur bersantai. Coconut Garden Beach Resort Maumere sungguh-sungguh ingin menciptakan kesan rileks namun spesial. Oya, ada pula kamar khusus bagi budget travelers/backpackers.

Romantic Sunset

Dive Center Coconut Garden Beach Resort Maumere dilengkapi alat-alat diving maupun snorkeling. Selain itu juga menyediakan Kayak, sehingga bila ingin sesuatu yang rekreatif sembari menyusuri perairan, para tamu bisa mendayung Kayak, ditemani oleh salah satu staff terlatih, agar bisa membantu mengenali pergerakan arus laut.

Satu sarana yang menambah nilai lebih dari Coconut Garden Beach Resort Maumere yakni Horse riding. Bila sudah snorkeling, sudah kayaking, bisa pula menunggang kuda melipir pantai. Apalagi pas cuaca cerah, apalagi sore hari menjelang sunset. Andre memang memilih lokasi yang fotogenik untuk peninapannya.

Soal Horse Riding ini, Andrej punya alasan sendiri.  “Saya dari Slovenia. Negara kami sangat identik dengan kuda. Semua orang yang paham soal kuda, tentu tahu kuda Lizzipan dari Slovenia yang terkenal. “

“Tapi bukan hanya karena saya dari Slovenia, lantas ada kuda disini. Orang Flores, khususnya Maumere pun sangat dekat dengan kuda, bahkan bagi mereka kuda adalah simbol harga diri pria Sikka. Kalau mau menikah, harus bawa kuda. Itulah kenapa kuda gampang ditemui di Maumere. Nah, itu juga yang menimbulkan kesan ‘similar/kemiripan’ antara negara Slovenia dan kabupaen Sikka,” jelas Andrej lagi.

Saya suka pengusaha yang memahami kehidupan lokal, yang akulturatif, yang punya mata laiknya mata fotografer. Dengan begitu dia bisa mensinergikan apa yang dimiliki oleh daerah setempat dengan ide-ide dari otaknya. Agak aneh kalau Andrej memelihara Unta di Maumere, bukan?  

Hammock is waiting for you

So, jika ke Flores, jangan lupa ke Maumere. Dan kalau sudah di Maumere, nginaplah di Coconut Garden Beach Resort. Seperti kata Andrej, “tiap orang yang datang, langsung merasa bahagia berada di tempat ini.”

Don’t twink twice, think to book:
Price & detail infos “Coconut Garden Beach Resort Maumere”
Contact: +62 82 144 260 185 or +62 85 338 167 866
Website


Mejeng ahh...:) :) kamarnya belum dibenarin..

Jalan - Jalan ke Raja Ampat (Papua Barat)

Rapsodi 
RAJA AMPAT


Stand here, dude, before you die.
Aktifitas pasar kecil di tenggara Waisai telah bubar. Pada jam 7 malam seperti ini, hanyalah aroma sayuran, bawang, siri pinang, amis ikan-ikan yang tersisa. Tali perahu nelayan ditambatkan di pepohonan dimana serangga Tonggeret bergerit memecah sunyi. 

Ini ronde ketiga saya mampir ke pasar yang sama, sejak tadi setelah tiba dari Sorong. Kegelisahan saya sekarang  beradu dengan harapan yang terpelihara, untuk satu misi penting: dapatkan kapal join trip island hopping hari ini, atau saya akan terlunta keesokannya. 

Beberapa saat menjelang tiba dari Sorong ke Waisai. 
Seorang perempuan berkerudung muncul dari gelapnya pasar, dan saya tidak ragu memberitahukan kegelisahan saya. “Oh, kakak saya biasa membawa grup ke pulau. Ayo, Dik, kita ke rumah saja. Di depan gerbang pantai WTC itu,” tunjuknya ke arah barat. “Siapa tahu ada tamu besok, kamu bisa ikut,” katanya. Santai sekali, seolah itu hal teramat biasa. Dia tak tahu betapa beruntungnya saya mendengarkan ajakan ramahnya.

Bertualang sendirian atas keputusan spontan dengan tujuan ke Raja Ampat yang digadang sebagai destinasi super mahal, sama halnya perjuangan seorang Ninja amatir. Jika tak sukses, berujung Harajuku, seperti bunuh diri. Tapi saya telanjur menganggap diri  bagai Despereaux, si tikus kecil yang memelihara kenaifan, khilaf, dan tidak punya apa-apa tapi dicengkeram hasrat berkelana begitu kuat sehingga hidup dalam zona nyaman terasa dipasung, terasa hambar datar. Saya tak akan mengelak karena memang, berada dalam sebuah perjalanan di tempat asing sebagai pejalan tunggal selalu membuat kita betul-betul ‘hidup’. Beda dengan bertualang dalam kelompok atau didampingi seseorang. Kita akan merasakan bagaimana indra-indra aktif berjaga; mata  merekam apapun yang terlihat, hidung antusias mengendus mengenali semua bau khas, telinga menangkap segala bunyi asing, tangan dan kaki menuntun badan ke tempat yang sekiranya aman. Otak akan terus dipenuhi pertanyaan, tebakan, ekspetasi, spekulasi, membuat konklusi, hingga meralat rangkaian stereotipe  yang didengar sebelumnya. Kita akan menghafal roman muka warga setempat, gang-gang kecil, nama-nama restoran, bangunan unik atau pemandangan elok yang ditemukan secara tak terduga. Seperti bayi baru lahir dan langsung mawas, semua hal yang terjadi di sekeliling menjadi amat berarti, sebab asyik tidaknya perjalanan dan kelangsungan perjalanan itu -juga tentunya nyawa kita-  tergantung pada bagaimana kita mengenali lingkungan dimana kita berada, bagaimana intuisi kita bekerja. Sepanjang perjalanan kita akan terus mengobarkan keyakinan; bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan akan bertemu orang-orang baik pula. Senyuman dan sapaan hangat, menjadi sangat bernilai, seolah diberikan  signal “tenanglah, kamu aman.”  

Senja di Waisai

Mini Eiffel Tower?? Tidak begitu yakin...hehe

Pohon kelapa yang menjulang tinggi-tinggi
Pak Umar kakak dari perempuan berkerudung yang baik hati itu, menyambut saya dengan bermacam kisah yang ia kumpulkan selama mengantar orang ke pulau-pulau karst Raja Ampat. Tapi perihal mungkin tidaknya saya bergabung dalam trip ternyata belum jelas, lantaran ia masih menunggu kabar dari grup yang kemarin mengontaknya. Anehnya, saya tidak merasa gagal. Saat pulang ke penginapan yang bersebelahan dengan masjid hijau bermenara  kue tart, saya justruh membeli bermacam penganan, namun tidak ingin mengicip satu pun hingga malam mengundang mimpi. Sekitar jam 12 malam ponsel bordering, “Dik, besok bangun jam 5 ya? Kita jadi berangkat. Nanti dijemput di penginapan,” suara Pak…dari seberang.  Oh, saya melonjak girang dan tidak lagi tenang melanjutkan tidur setelahnya!

Air bersih bening bagai kristal. Segeerrrrr....!!

Pulau Pasir Timbul
MELAMPAUI PULAU DEMI PULAU
Laut bergelombang menyambut kami di dermaga. Langit pun tak secerah kemarin. “Jangan kuatir. Paling juga sejam lagi semua akan normal. Bulan-bulan begini memang laut biasa berombak pagi hari,” Pak Umar menghalau risau. Grup kami adalah saya beserta sekelompok mahasiswa yang menjalani masa praktek sebagai guru wilayah Raja Ampat. Anak-anak muda ini merasa penempatan tugas di Raja Ampat adalah salah satu hal menakjubkan.

Kami mampir sejenak di Pulau Saunek yang berada tepat di depan Waisai. Pulau berpasir putih ini dulunya adalah pusat Raja Ampat yang sebenarnya sebelum beralih ke Waisai begitu Raja Ampat dijadikan sebuah kabupaten otonom tahun 2004. 

Pulau Saunek
Dari Pulau Saunek, kapal lantas membela lautan di selatan Pulau Waigeo yang sebagian besar tanahnya masih belum terjamah manusia sehingga tampaklah bagai taman Firdaus yang lebat menghijau. Lautan yang tak tercemar limbah menampilkan refleksi warna nan rupawan.

Whatever you name it. It's paradise.

Siapa yang tidak terpukau lihat beginian cuma dengan snorkeling di dermaga saja???

Menari bersama jutaan ikan
Kapal melaju lagi, kendati kami belum rela pergi dari kerumunan ikan-ikan di Arborek. Bayang-bayang pulau hilir mudik mengisi pandangan. Saya tak mungkin menghitung nusa-nusa kecil yang kami lalui. Mengetahui bahwa wilayah Raja Ampat mencakup lebih dari 1500 pulau sudah cukup menjadikan saya tertegun, benar bahwasanya Indonesia itu Raya, Indonesia itu Gadang. 

Para mahasiswa menembangkan rapsodi lagu-lagu nasional yang bertalu di tengah desau gelombang laut, membuat darah saya berdesir.

MAJESTIC HIKING PIANEMO

Velositas kapal berkurang, tereduksi oleh pemandangan baru yang telah kami tunggu-tunggu. Gugusan karst Raja Ampat yang adiwarna itu nyata-nyata hadir di depan mata. Tapi ini bukan Wayag. Ini adik kembarnya, bernama Pianemo. 

Karst - karst dengan formasi runcing dan tinggi

Trekking santai dari pulau ke pulau....
Agaknya saya butuh pemanasan sebelum Wayag. Lagipula Pianemo tak kalah indah, walau belum begitu popular. Pak Umar bilang, lusa ada grup baru ke Wayag, saya bisa ikut. Jadi, saya punya kemungkinan besar untuk menikmati keduanya sekaligus.

Arah perjalanan ke Pianemo berbeda dengan ke Wayang, dia di barat Pulau Gam sedangkan Wayag nun jauh di utara. Waktu tempuhnya pun berlainan, Pianemo hanya butuh dua jam dari Waisai. 

Star Lagoon, sebuah laguna berbentuk bintang. Warga menyebutnya Tanjung Bintang

View gahar macam ini, dilihat dengan mata langsung-bukan pakai Drone!
Masuk dalam celah-celah tebaran pulau karang Pianemo, mata saya tak ingin terpejam. Bila umumnya saya menyukai pagi dan senja, di Pianemo saya memuja pancaran penuh Sang Surya yang menebar tinta pirus pada laut, menampilkan benderang warna hijau dan biru. Sebelum singgah ke pulau-pulau yang menyediakan jalur hiking, kami terlebih dahulu melaporkan diri ke pos jaga, dimana pengunjung bisa juga menyewa Kano dan menginap. 

How beautiful our country!!!

Terserah,Om. Mau pakai boat, mau kayaking, mau sekalian berenang saja pun boleh, silahkan kelilingi pulau-pulaunya.
Hari itu kami melakukan tiga kali hiking di tiga pulau berlainan.  Saya tak bisa bilang mana yang paling bagus. Masing-masing memberikan persepsi visual yang berbeda. Begitu para mahasiswa berdendang lagi, saya memilih untuk ikut serta dalam rapsodi mereka, menyerukan lirik baru…Lahir di negeri sebesar Indonesia, kenapa takut bertualang…

(few) fans to meet up after the journey : ) at Domine Osok Airport-Sorong

Jalan - Jalan ke Candi Ijo (Yogyakarta)


Marka Abadiah
Candi Ijo


Di atas sebuah bukit berpanorama menawan, candi buatan abad-IX ini menyembul anggun, dan menguarkan sebuah kutukan!

Pintu candi yang masih perluh diperbaiki temboknya.
Hujan menyisahkan rinai-rinai terakhir ketika saya terbangun dari rehat siang di penginapan perbatasan kota Yogyakarta-Sleman. Setengah jam kemudian matahari kembali memancarkan sinarnya, mengembalikan warna langit dari kelabu menjadi biru. Saya selalu menyukai kecerahan cakrawala usai hujan, seakan-akan bumi dimandikan, segar dan beraroma tanah.

“Jadi ke Candi Ijo, mas?” tanya Ismanto resepsionis hotel.
“Ya. Keliatannya sunset bakalan bagus nih kalau berada disana,” jawab saya sekeluarnya dari kamar. Tadi pagi saya sempat bercakap dengan Ismanto dan mengutarakan nazar mengunjungi Candi Ijo. Ia bersedia menyewakan sepeda motornya untukku.

Kunjungan ke candi adalah salah satu aktivitas yang tak bisa dielakkan bila melancong ke Yogyakarta. Propinsi berstatus Daerah Istimewa ini memang memiliki segalah yang dibutuhkan untuk urusan pelesiran. Bagi saya, Yogyakarta itu seperti sumur, dan budaya kuno yang Hinduis adalah airnya. Di luar hanya terlihat percikan-percikannya karena tertutup oleh perubahan jaman, namun bila masuk lebih dalam, maka kita bisa menyelami sari-sari peradabannya.

Suasana senja di kompleks candi
Sebagaimana yang dituturkan sejarah, wajah masa silam Yogyakarta dan daerah sekitarnya adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha bernama kerajaan Mataram yang kulturnya tetap berpengaruh hingga kini. Petilasan-petilasan berupa karya seni, baik musik, tari, kriya, berakar pada filosofi Hindu-Buddha ini. Sedangkan candi-candi peninggalannya adalah marka abadiah bagi dunia.

Tentu orang sudah akrab dengan nama-nama seperti Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, Plaosan, atau Pawon. Tapi itu hanyalah sejumlah candi yang popular, sebab nyatanya masih banyak candi yang belum terekspos dan tak kurang keindahannya. Salah satu yang patut diperhitungkan adalah Candi Ijo, sebuah candi Hindu yang berada di atas ketinggian dengan panorama elok. Dalam artikel Jogja’s Secrets yang ditulis oleh penulis Inggris, Emily Barr, pemandangan sore Candi Ijo disanjung dengan kalimat “a scenic hill from the past to the future”- sebuah bukit indah dari masa lalu ke masa depan. Oh, saya penasaran.

Arca lembu tunggangan Dewa Siwa
NAIK TURUN LERENG
Dari penginapan, saya melajuhkan sepeda motor mengikuti jalur jalan raya ke Candi Prambanan. Jalur ini adalah arah yang mengantar ke sejumlah candi, termasuk Candi Ijo. Jika sudah pernah ke situs Ratu Boko, maka haluan yang sama juga dipakai untuk ke Candi Ijo, yakni berbelok ke kanan, di persimpangan di seberang pintu masuk kawasan Candi Prambanan. Secara administratif berada di Desa Sambirejo. 

Bagian candi yang masih direnovasi

Pemandang ke ceruka-cerukan menuju ke candi. Jalan alternatif.
Sayangnya, jalan paling ringkas menuju bukit itu sedang ada proyek perbaikan. Terpaksa saya harus menempuh jalur lain yang lebih panjang. Namun saya tetap menyukainya sebab tampak banyak lahan kosong yang dijadikan sawah, membuat kesan alami amat kentara terasa. Saya berpapasan dengan orang-orang yang menggiring itik, memikul karung berisi rumput hijau pakan sapi, juga iring-iringan pengantin Jawa.

Matahari yang mulai menguning mendatangkan kekuatiran. Bagaimanapun, saya ingin tiba di bukit sebelum sunset. Jalan berubah mendaki, tapi tidak semata-mata mendaki, karena topografi perbukitannya naik turun, berliku. Sesudah melewati sebuah gapura, akhirnya saya melihat pucuk-pucuk candi, dan tahu bahwa sebentar lagi sampai. Bepergian sendiri memang menantang insting, namun senantiasa memberi saya pengetahuan geospasial yang lebih mumpuni. 

Tangga menuju ke candi utama. Warna kuning kemerahan ini karena efek lampu

Ukiran kepala Naga

KUTUKAN MISTERIUS
Dinamakan Candi Ijo, lantaran terletak di Bukit Ijo alias Gumuk Ijo. Penamaan ini seturut Prasasti Poh yang berumur 906 Masehi. Ketinggian Gumuk Ijo 410 meter dpl,  otomatis membuat candi yang berada disana terdaftar sebagai candi berposisi tertinggi di Yogyakarta.

Begitu masuk ke dalam kompleks paling, pengunjung langsung menyadari bahwa bagan candinya adalah teras-teras berundak. Teras-teras ini menghadap ke barat secara lapang terbuka, tanpa terhalang pohon atau bukit lain. Siapapun yang tiba di teras teratas  sore hari akan terpana oleh panorama yang terbentang di depan, apalagi bila cuaca cerah. Persawahan di bawah bukit, kampung-kampung, kota Yogyakarta, hingga Pantai Parangtritis bisa ditilik. Tidak cuma itu, aktifitas terbang dan mendaratnya pesawat di bandara Adi Sucipto juga jelas dipantau dari sini. 

Tiga candi perwara/ candi pengapit
Secara umum, kompleks candi terdiri atas 17 struktur bangunan yang menempati 11 teras berundak, kebanyakan melintang dari utara ke selatan. Namun belum semua teras diekskavasi. Teras yang ke-11 merupakan teras dengan kondisi bangunan paling baik karena sudah dipugar. Saat ini sedang berlangsung renovasi untuk bangunan pada teras ke-10.

Komposisi pada teras ke-11 berupa pagar batu keliling (belum diperbaiki), delapan lingga patok, serta empat bangunan yakni satu candi utama dan tiga candi perwara. Masing-masing teras merepresentasikan tingkat kesakralan. Nah, teras ke-11 inilah yang paling sakral. 

Bagian paling belakang dari teras paling atas

Meskipun tidak memiliki relief-relief sedetail Candi Borobudur, namun Candi Ijo menarik juga untuk diamati struktur bangunannya. Dinding luar candinya menampilkan jendela-jendela lancung, bukan jendela benaran. Tangga di ambang pintu masuk ke ruang dalam dihiasi sepasang naga bermulut terbuka, dan bila dicermati seksama mulut naga tersebut terdapat burung kakatua. Sedangkan di atas pintu candi, dipahat relief kepala Kala Makara.

Di dalam salah satu candi perwara terdapat arca Nandi, yakni seekor lembu, binatang yang dipercaya sebagai tunggangan Dewa Siwa. Sebetulnya masih ada sejumlah arca lain, tapi atas alasan keamanan dipindahkan ke kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta. Beda lagi dengan isi candi utama, yaitu Lingga-Yoni, berukuran lumayan besar, lambang kesuburan, sekaligus pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Parwati istrinya.

Dibalik nuansa religi dan hidangan pemandangan yang permai, Candi Ijo juga menyembunyikan sebuah misteri yang belum terpecahkan. Misteri ini tertuang dalam sebuah prasasti yang berisi kutukan mengerikan. Bahkan kutukan ini diseruhkan berulang-ulang. Itulah sebabnya candi ini dipandang angker. Prasasti itu seakan menjadi marka abadiah tentang sesuatu yang tak baik.

Saya pun sungkan berlama-lama berada disana. 
Masa lalu senantiasa menyimpan misteri!

Sesekali main BW, gan :)

TIPS UNTUK MENIKMATI CANDI IJO
  •  Timing sangat penting agar momen istimewa tempat ini bisa dinikmati secara maksimal. Jika dari pusat kota Yogyakarta, sebaiknya berangkat sekitar jam 14.00 siang. Jam ini sudah terhitung lamanya berkendaraan dan menghindari kemungkinan tersendat di jalan akibat macet atau jalan yang diblokir. Tiba di Candi Ijo pun tidak tergesa-gesa untuk mengejar sunset, ada waktu untuk eksplorasi dan memperhatikan detail-detail candi.
  • Jika hendak memotret, bidiklah interior candi terlebih dahulu yakni ruang di dalam candi. Ini semata-mata demi mendapatkan pencahayaan ruang yang memadai, ketimbang nanti bila keburu gelap pas sunset, gelap pastinya (sementara Anda pasti juga mencurahkan perhatian saat sunset itu, bukan?)
  • Akses di kompleks Candi Ijo ditutup jam 18.00 usai sunset. Jika masih ingin memotret, mintalah izin ke petugas penjaga. Anda bisa mendapatkan suasana yang syahdu serta mistis karena pengunjung lain sudah pergi.
  • Jangan datang pas weekend atau Hari libur, pasti pengunjung banyak. Datanglah di hari biasa, saat cuaca cerah dan wisatawannya sedikit.
  • Pedagang makanan & minuman ringan ada di luar pagar kompleks candi Ijo/ area parkir. Jadi, jangan kuatir bila kehausan. Belilah minuman disana sebelum masuk. Hitung-hitung Anda memberi sedikit keuntungan ekonomi bagi warga sekitar
Catatan: Tulisan & foto-foto tentang Candi Ijo, dimuat di Majalah BATIK (Inflight Magazine of Batik Air) - Januari 2015











Jalan - Jalan ke Fatumnasi (Timor)

Fantasi
Fatumnasi


Bocah bermain di batu granit raksasa Fatukolen
Ruangan bundar selebar enam meter dengan bumbungan mengerucut itu berwarna kelam. Perabot-perabot dari kayu bertumpuk sana sini tapi sulit dikenali satu per satu. Asap dari tungku apilah penyebabnya. Sudah puluhan tahun bubuk hitamnya menempeli semua benda. Maklum, hanya ada satu pintu dan satu jendela yang memungkinkan udara keluar masuk, itupun berukuran kecil. Namun alih-alih sendu, ruangan ini justru memancarkan aura perenial, ruh penghidupan nan mistis. Lihat saja, bagaimana kekuatan melodi seruling yang ditiupkan Mateos Anin menggiring lusinan burung Merpati terbang mengebaskan sayap melintasi cahaya matahari yang remang, kemudian kawanan anjing melangkah pelan seraya mengebaskan ekornya riang. Hewan-hewan ini datang berkerumun di kaki Mateos. 

Dalam sekejab saya merasakan daya magnetis, menghubungkan apa yang saya lihat sekarang dengan legenda Der Rattenfänger, Sang Peniup Seruling dari Hameln, Jerman. Tapi tidak, yang ini bukan legenda. Ini nyata.

Seruling Bapak Mateos...dan hewan-hewan pun berkumpul di kakinya. Sooo... Magnetic and give me goosebumps.

“Suku kami, Anin Fuka, bersahabat dengan binatang. Malah jika memungkinkan, rumah ini menjadi tempat naung bagi segala jenis hewan,” pria tua bersorban merah itu bertutur khidmat. Mateos adalah generasi ke sebelas dari suku Anin Fuka, klan asli kampung Fatumnasi, sekaligus juru kunci Gunung Mutis, Timor. Ia menyambut kedatangan saya dan teman perjalananku Dicky Senda, senja kemarin seusai kami membenamkan diri di kolam Oehala, air terjun bertingkat enam. 

Air terjun Oehala. Bertingkat enam, foto diambil di tengah-tengah, masih ada tingkatan di bawahnya

Menjelang sunset di Bukit Tunua

Fatumnasi berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl, tepat di pintu masuk menuju Gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor. Saya sudah lama mendengar tentang gunung ini tapi tidak menduga bahwa di kakinya terbentang alam seindah yang pernah saya lihat di Swiss ataupun Austria. Dalam buku panduan para pelancong Lonely Planet Faumnasi dideskripsikan memiliki ‘spectacular alpine scenery.’

Dengan suhu sejuk dan tanah basah sepanjang tahun, rerumputan di lereng-lereng bukit Fatumnasi tidak pernah setinggi mata kaki serta selalu hijau bak taman golf. Berlekuk-lekuk molek diisi pohon Cemara, Kayu Putih, Ampupu, juga kelompok pohon yang hanya ada di kawasan itu saja. Setiap satu kelokan baru bakal menghidangkan pemandangan baru juga. 

Panen murbei! Bikin betah di kebun

Kembang Gladiol dimana-mana, tumbuh dengan liar

Kuda kembar yang masih belia
Kawanan sapi serta kuda merumput dan berlarian tanpa tali kekang, bebas lepas. Kembang-kembang Gladiol liar bermekaran dimana-mana. Batas antar ladang petani dipagari lintangan kayu-kayu tersusun apik. Saya tak bisa menghitung berapa kali sudah saya berhenti untuk memotret, hingga akhirnya diam tersihir oleh terbenamnya Matahari nan gemilang di bukit Tunoa.

Siapa sangka, Timor yang kerap diidentikkan dengan kering tandus itu menyimpan tempat gema ripa laiknya Eden, taman perdana manusia. Dalam bertualang, acapkali kita mengikuti pola yang telah tergeneralisir, manut pada pedoman perjalanan yang direpetisi terus menerus sehingga kemudian menjadi semacam citra klise mengenai sebuah daerah. Timor, sebagaimana kepulauan lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) memang cenderung kering dan mendapat timpaan matahari yang lebih lama. Tapi, bagaimana wajah Timor ketika musim basah, ya seperti tampilan Fatumnasi di bulan Februari hingga Mei ini. Bersiaplah tercengang!

Gerombolan Sapi melintasi jalan

Kuda-kuda merumput dengan bebas

Warga menyusuri jalan nan rindang
Surga Yang Nyaris Dihancurkan
Yang amat kentara terlihat di Fatumnasi adalah terjaganya alam serta budaya mereka. Warga memanfaatkan sumber daya alam secara seimbang, apalagi mereka terikat oleh peraturan adat yang mengutamakan keselarasan dengan alam. Meskipun sederhana, tapi mereka dapat dibilang tidak mengalami kekurangan kebutuhan hidup. Tanaman serta ternak berkembang dengan baik.

Sebagai bagian dari kawasan Gunung Mutis, Fatumnasi kaya akan flora khas dataran tinggi, tapi uniknya pepohonan disini tumbuh dengan bentuk yang aneh. Contohnya, terdapat area bonsai dimana pohon-pohon Ampupu mengerdil dan dibaluti oleh lumut serta tanaman paku mini. Formasi batang-batangnya amat memikat. Jika datang saat kabut, serasa berada di dunia fantasi. Sedangkan hewan-hewan disini merupakan hewan endemik, misalnya Rusa Timor (Cervus timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus jonguilaceus), dan Pergam Timor (Ducula cineracea.

Hutan Bonsai dengan pohon-pohon nan surealis

Terlepas dari panorama serta flora fauna, tanah di Fatumnasi ternyata juga menyimpan kandungan marmer berlimpah, bahkan termasuk yang terbaik di dunia. Orang awam mungkin mengira bukit-bukit batu yang bertebaran di Fatumnasi tiada bedanya dengan gelondongan batu granit, padahal mereka adalah batu marmer. Hanya saja formasi batunya terlihat seperti batuan granit raksasa. Fakta tentang marmer ini kemudian mengundang investor untuk mengeksploitasi bukit-bukit Fatumnasi, termasuk perusahaan Korea. Penambangan dibuka, dan penghancuran alam terjadi. Efek dari ekploitasi ini akhirnya dirasakan warga beberapa tahun kemudian, ditandai oleh keringnya sejumlah sumber air.

Penduduk yang cepat sadar lantas melakukan serangkaian aksi penolakan tambang tersebut. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Mama Aleta Baun (2013 Goldman Environmental Prize Winner), perempuan lokal yang gigih berjuang menyuarakan keadaan alam mereka. Syukurlah, awal tahun 2000-an suara warga didengar dan tambang-tambang pun enyah dari surga Fatumnasi.

Mendatangi Benteng & Danau
Saya dan Dicky bermalam di rumah kakek Mateos Anin. Ini satu-satunya penginapan di Fatumnasi, direkomendasikan semua orang, dan tempatnya sangat menyenangkan. Ada tiga rumah tradisional disebut Ume Khubu, seperti butiran telur, dibuat di halaman belakang untuk inap tamu. Lopo-lopo macam ini menjadi ciri khas kampung Fatumnasi. Karena ukurannya yang kecil, suhu ruangnya jadi hangat, cocok sekali dengan iklim pegunungan yang senantiasa dingin.

Ume Khubu

Kami mendapat banyak cerita tentang sejarah leluhur suku Anin Fuka beserta ritual-ritual adat. Makanan tersaji dengan keramahan yang tulus, lalu dihibur oleh permainan gambus (yang lucunya, mereka sebut itu Biola). Saya selalu terkesima oleh suasana yang magis lantaran burung-burung Merpati yang terus terbang keluar masuk rumah menembus pancaran matahari.

Gunung Mutis

Keesokannya, kami disarankan untuk masuk ke hutan lindung Gunung Mutis. Dua cucu kakek  Mateos menemani. Yang kecil, Justin, masih berumur empat tahun, tapi memaksa untuk ikut, padahal kami akan mendaki ke bukit batu yang terjal. Bukit batu tersebut dinamai Benteng, dan dipercaya menjadi tempat mula-mula leluhur suku Anin Fuka bermukim. Justin yang kecil itu akhirnya minta digendong saat tiba di kaki bukit batu.

Cuaca yang cerah memberi kami kesempatan untuk menatap puncak Gunung Mutis dan panorama sekitarnya dengan jelas. Menurut cucu kakek Mateos, kami beruntung, sebab jarang sekali orang bisa memperoleh pemandangan sempurna bila naik ke Benteng. Saya dan Dicky memahaminya sebagai restu alam.

Fatumnasi memang bagaikan potongan alam pegunungan Eropa yang terlempar di Timor. Kami juga mendatangi danau kecil Fatukoto dan saya tak bisa berhenti memuji manakala warna-warna senja mengambang di atas danau tersebut. Seandainya boleh menarik waktu, ingin rasanya tinggal lebih lama di Fatumnasi dan hanyut dalam fantasi alamnya. 

Rembang senja di Danau Fatukoto


Tenun Timor Berwarna Cerah

GETTING THERE
Penerbangan dari kota-kota besar Indonesia ke Kupang dilayani oleh Garuda Indonesia, Lion Air, Batik Air, Sriwijaya Air, Susi Air, Nam Air, dan TransNusa.
Kemudian lanjut berkendaraan ke Fatumnasi, dengan transit di kota Soe. Lebih hemat dan lebih asyik menyewa sepeda motor lalu mengemudikan sendiri, dengan harga Rp.70.000 – 100.000/hari. Kondisi jalan dari Kupang ke Soe sangat baik dan tidak ramai, namun jalan dari Soe ke Fatumnasi masih darurat - tapi ini adalah petualangan, bukan?

SOUVENIR
Kain tenun dari Timor terkenal memiliki warna-warna mencolok dengan motif etnik kotak-kotak. Orang menyebutnya Tenun Buna. Membelinya langsung dari tangan penenun lebih memberi cerita personal ketimbang di pasar. Harga tenun berkisar Rp.50.000 hingga Rp. 1 juta tergantung ukuran kain dan kerumitan motif. 

Tulisan ini dipublikasikan di Majalah LIONMAG. Foto jadi cover majalah tersebut.






Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...