Jalan-jalan Keliling Flores (Maumere-Part 5)


Jarang Koting: Horse’s Day Out

====================================================================

Pulang kampung dan tanpa pekerjaan itu menyedihkan! Terlebih lagi bila salah satu impian besar Anda dibuat beku oleh kejadian di luar ekspetasi. Sadar bahwa masih ada terlalu banyak hal di sekitar yang bisa dialami dan dinikmati selama menyusun Plan B, saya melakukan petualangan keliling Flores dan mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, seperti Lembata, Adonara, dan tentu saja Komodo. Dari usaha meraih puncak gunung hingga menyusup lautan biru, ditemani sepeda motorku “Schnelli” (Kau hebat, Sayang!).

Pahit manis perjalanan juga sedikit permenungan coba kutulis dengan perspektif naifku, seorang Flores yang berusaha bersikap netral. Sunggu maaf, jika kata-kataku dalam kisah berikut menyinggung perasaan atau terbaca ironi atau dirasa menyepelekan beberapa hal yang dikultuskan di Flores. Hanya debulah aku!

===========================================================


Kupikir-pikir, layaklah bila penghargaan kuberikan kepada seorang perempuan dari keluarga Ximenes da Silva penguasa Kerajaan Sikka, kerajaan besar di Maumere. Ratu Dona Ines da Silva namanya, memegang tampuk monarki itu pada dekade 1600an. Aku menganggap sudah sepatutnya namanya masuk daftar Women in Power dalam situs para perempuan pemimpin dunia. Well, pujianku ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan perjuangannya menyetarakan gender, yang ratusan tahun mendahului langkah R.A. Kartini. Atau bahwa kebijakannya berhasil membawa rakyat kerajaan Sikka berlayar dan berdiplomasi ke tanah Jawa sampai Singapura sehingga manner, tutur kata penduduk Sikka menjadi lebih halus dari penduduk wilayah lain (melahirkan julukan Ata Sikka Mang Memek atau Orang Sikka berlidah lembut). Bukan itu, bukan, untuk kali ini pujian kutujuhkan pada dampak baik sikap pemerintahannya terhadap eksistensi bangsa Equus, K.U.D.A. Kok kuda sih?

Faktanya, diantara semua hewan dalam kerajaan animalia, ternyata bukan singa atau harimau yang menduduki tempat paling terhormat di mata orang Maumere, melainkan kuda. Dengan bantuan kuda-lah regenerasi manusia Maumere bisa langgeng. Langgeng secara pantas, terhormat, dan berbudaya. Ah, kau, mana ada perkawinan antara manusia dengan kuda? Lalu kau katakan itu pantas dan terhormat pula? Bukan itu maksudku. Dengarlah baik-baik: “Ada dua hal yang perluh kau miliki pabila ingin memiliki seorang nona Maumere: yaitu Cinta dan Kuda.” Itu kalimat ayah, walaupun sebenarnya ia merevisi sedikit saja dari kalimat kakekku, mencopot kata “Kuasa” milik kakek lalu menggantinya dengan “Cinta.” Mungkin kakek,yang dulu terkenal ganas, punya kuasa dan hebat di kampung, enggan mengakui ketaklukan hati terhadap perempuan taksirannya, nenekku. Begini hikayat mereka:


“Tersebutlah Frans, pemuda tanggung yang roman mukanya bernyala-nyala dan disegani, ia putra semata wayang Mo’at Baba dan Du’a Rikas. Karena wataknya yang demikian keras, para gadis segan menegurnya. Sepintas Frans kelihatan lebih nyaman berkuda daripada mendekati dan bertegur sapa dengan para gadis. Kedua orang tua pun akhirnya turun tangan, mereka kuatir akan mandeknya penerus garis keturunan. Singkat cerita dititahkanlah Frans, beserta dua lelaki pendamping, menjumpai seorang gadis yang diperkirakan sepadan untuknya. Nama si gadis Nona Bura, ia tinggal di sebuah kampung kecil di atas bukit Wololora. Frans, beserta dua lelaki pendampingnya berangkat, dengan menunggang kuda. Setibanya di kampung kecil tersebut, nasib ternyata tak mempertemukan Frans dengan Nona Bura, sebab si gadis beserta keluarganya sedang berada di ladang. Tak mau pulang dengan tangan hampa, salah satu dari pendampingya, Mo’at Aloysius menganjurkan perjalanan diteruskan menujuh sebuah kampung sebelah, kampung kecil Umaili. Dengan dalih bahwa di Umaili terdapat sumber mata air, dimana mereka bisa menyegarkan diri dan memandikan kuda-kuda mereka. Ketika telah sampai ke kampung itu, suasana sepi. Mo’at Aloysius menampakan kekecewaan. Bergegaslah ketiga lelaki itu ke sumber mata air. Namun, tiba-tiba terdengarlah bunyi gemeretak alat-alat tenun dari sebuah rumah. Frans mencari asal bunyi itu. Dan tertegunlah ia mendapati dua gadis kakak-beradik asyik bertekun menenun sarung. Saat kedua kakak-beradik itu mengangkat wajah demi menyadari kehadiran seseorang, terkesimalah Frans akan gadis yang paling muda, si adik. Johana, begitu namanya. Usianya baru 17 tahun, amat belia tapi lakunya dewasa lagi anggun. Dengan tanpa menunda lagi, Frans menemui orang tua Johana. Awalnya kedua orang tua menolak sebab anak mereka yang masih hijau itu, dan lagi perkawinan setempat biasa dilakukan saat orang menginjak umur 30. Namun dengan gigih Frans meyakinkan. Akhirnya luluhlah mereka oleh wibawa Frans. Apa yang terjadi kemudian? Johana dinaikan ke atas kuda. Dengan diiringi kedua pendampingnya, Frans membawa sang gadis, memasuki kampung besarnya, mempertemukannya dengan ibu serta ayahanda. Penduduk kampung besar gempar dan keheranan, Frans membawa seorang gadis di atas kuda! Sesuatu yang belum pernah dilakukan pemuda manapun.”

Kisah itu sering berkelebat kala aku menemukan kuda, dimana pun kapan pun. Dan selama di Maumere ini tiap hari otakku harus terus mengulang-ulang kisah tersebut, juga akan satu impianku. Bagaimana tidak, aku bersua kuda tiap hari! Hebat benar kan nasib kuda di Maumere, gara-gara dekrit “harga diri perempuan” yang dikeluarkan oleh sang Ratu Dona Ines da Silva, hewan ini memainkan peranan penting dalam proses perkawinan orang Maumere. Perkawinan yang salah satu tujuannya adalah reproduksi-regenerasi. Semakin banyak kuda yang bisa kau hantar ke rumah keluarga calon istrimu, semakin tinggi derajatmu. Itulah yang kumaksud regenerasi secara pantas dan terhormat. Maka tak heran kuda tetap lestari di Maumere. Setiap laki-laki membutuhkanya. Gempuran globalisasi tidak membuat posisi kuda digantikan oleh hal modern lain, misalnya mobil. Justruh sebaliknya, mobil-mobil jadi tumpangan kuda, mobil-mobil harus relah bermandi kencingnya.

Dua puluh tahun aku tak memperhatikan keanggunan kuda. Tak peduli akan tempat terhormatnya di mata orang Maumere dan menganggapnya setara kerbau, sama-sama dungu (amboi, semasa kecil tetanggaku kerap meneriaki anak tirinya yang lamban dengan cercaan “dasar otak kuda!!” bukan “dasar otak kerbau!!”). Hingga suatu ketika aku menonton tayangan di Phoenix, saluran televisi dokumenter Jerman, tentang hebatnya kuda-kuda Lipizzan berwarna putih dan kelabu dari Slovenia. Terbukalah mataku penuh sukacita. Ya, mirip peristiwa Pentekosta, bedanya para rasul Tuhan diliputi oleh Roh Kudus sedangkan aku dihimpit Roh Kuda.
Setelah itu mulailah aku mengangkat derajat kuda, menurunkan pangkat anjing, binatang pujaanku sebelumnya. Meloak dvd koleksiku seperti Me & Marley, Buddy, Beethoven, ke pasar barang bekas Flohmarkt Langenhagen dan dengan uang jualannya berhasil kuperoleh Horse in Gray Flannel Suit. Wallpaper komputer, mangkuk sereal, hingga bed cover pun tak luput oleh gambar kuda kelabu. Untungnya barang- barang itu mudah diperoleh di IKEA, perusahaan Swedia yang bisa dibilang rajanya toko perabot rumah tangga dunia. Seolah-olah tahu aku tak sudi lagi pada satwa keluarga Canis lupus, kebanyakan anjing menyalak saat kudekati, dan lebih naasnya lagi tak ada pasangan dari mereka yang rela tertangkap mataku saat memainkan adegan panas yang ditiru dengan baik oleh Rocco Sifredi. Tapi biarlah, sebagai gantinya aku akan punya impian baru: menunggang kuda Lipizzan kelabu dari Slovenia itu.

***

Sepupuhku, Yonas, punya dua kuda muda tegap. Warna mereka cokelat, bukan putih bukan pula kelabu seperti kuda Lipizzan. Namun ketika tali kekang salah satunya diulurkan Yonas padaku, “mau coba?”, aku tahu bahwa aku telah memasuki tahap novisiat, persiapan untuk menyongsong kuda Lipizzan. Maumere akan jadi tempat pertamaku menempah ketrampilan berkuda. “Oya, sesuai namanya, Jarang Koting, kudaku ini berasal dari kampung Koting. Kuda-kuda dari sana paling diminati bangsawan dulu, oleh raja-raja, paderi Portugis, juga serdadu Belanda dan Jepang.” Terkekeh dia, lantas berdendang, sebuah lagu yang liriknya menyebut-nyebut Jarang Koting.

“Ini kuda-kuda yang belum labil, lebih sering dibawa ke kebun. Agak repot jika bertemu kendaraan. Tapi hebatnya, mereka sangat mahir di medan berbatu atau berbukit.” Kupandangi raut wajah Yonas. Boleh juga nih bocah, dia tak hanya pintar mengutak atik tunggangan bermotor tapi tahu juga soal tunggangan bernyawa.
“Ajari aku mengendalikan dia”
“Dengan senang hati, kalau kau tak keberatan dengan kursus sistem kampung”

“Sistem kampung katamu? Aku tumbuh belasan tahun dengan sistem kampung. Sistem itulah yang membekaliku selama ini. Kompeni bisa, Portugis bisa, masa aku tak bisa?”
Ia melirikku sebentar.“Kau banyak berubah. Itu yang membuatku kuatir, kau akan ukur semua yang ada disini dengan standar Eropa ”
“Sangkahmu aku tergila-gila dengan segala hal di Eropa? Tak semua hebat disana dan tak segalahnya buruk disini. Aku memang berubah banyak tapi itu toh sudah menjadi ciri makluk hidup. Ingat pelajaran SD”

“Behh.., aku lupa dasar pelajaran IPA itu”
“Aku malah jeblok di Matematika hingga sekarang”
“Baiklah, kau memang tidak berubah seratus persen” Monyet kau, Yonas!

Sesudah menaruh kain sarung usang pada punggung kuda sebagai pelapis, Yonas mulai dengan teknik dasar, bagaimana naik ke punggung kuda. Karena kuda disini tak punya sesuatu sebagai pijakan kaki, jadi mesti naik dengan melompat. Dan sebagai pemula, aku gagal total di teknik pertama. Yonas cekikikan.

“Monyet.., ayo kita cari batu besar agar aku bisa bertumpuh”
“Kau tetap harus berlatih melompat”

“Ya, tapi ayolah, aku mau cepat-cepat duduk di punggung kuda. Ajari aku bagaimana menyatukan chemistry”

Kemudian, lihatlah, berada di atas punggung kuda ternyata melahirkan sensasi tersendiri. Disini ada kerjasama yang timbul antara manusia dengan hewan, kau merasa tidak menguasai melainkan ditinggikan kemanusiaanmu. Kau menjalani pertukaran pikiran, merasakan aliran timbal balik energi. Sistem telepati jadi aktif. Aku menepuk, lebih tepatnya mengusap tengkuk kuda. Begini rupa kakekku dulu di atas kuda, mungkin. Tampak gagah. Apalagi posisi muka kuangkat, dada kudorong naik. Ini malah kerennya setimpal dengan duduk di belakang setir Porsche Panamera, BMW Z8, atau Mercedes Benz AMG SLS. Masa bodoh kalau ketiga mobil itu melajuh angkuh di lintasan autobahn Jerman. Lagipula mereka tak valid untuk mendapatkan seorang gadis di Maumere.

“Kita ke pantai..!”
Kami memindah gigi, dari gigi dua ke gigi empat, dengan cara yang hanya bisa diterapkan pada hewan seperti kuda atau gajah: cukup dengan sedikit kibasan di perutnya. Cara ini efektif. Terlalu mujarab sampai-sampai aku sudah seperti bola bekel yang memantul-mantul di satu tempat dengan gerakan statis. Yonis memberiku instruksi, kuikuti mentah-mentah, ternyata hasil instruksi itu hanya membuat aku bergidik.
Lalu “Arya Kamandanu memacuh kudanya, darah mengalir deras, bercampur peluh..ia...harus tiba di kotaraja secepatnya….” Aku bisa menggambari diriku demikian, sepotong lakon sandiwara radio tahun 90-an datang di mataku begitu saja.
Kami akhirnya berada pada batas pasir dan buih. Samudra di depan kami. Peluh bercucuran, bau asin, namun aku bahagia. Bayu senja datang. Matahari mencuri pandang di balik awan, sedikit saja ia bergerak turun, sudah merubah warna cakrawala.
Sejuk, hangat. Kemudian panas.

“Panas?” “Pantatku,auw..w..” Inikah ereksi dari berkuda dengan hanya memakai pelana yang tipis? Pantatku bagai digebuk. Aku kuatir, apakah nanti membengkak? Kulitku termasuk kulit rawan lecet. Lima kali mengayuh cangkul di tanah atau tiga puluh menit mencabut rumput sudah bisa melepuhkan telapak tanganku. Aku bersusah payah menahan perih. Sial, semakin lama semakin naik tensi perihnya.

Tengah malam, saking tak kuat lagi menahan perih, aku mengerang.

Yonas ke kamarku,”Nah ketahuan, kamu mimpi jorok rupanya”

“Mimpi jorok apaan..”

“Kudengar suaramu tadi. Behh.., tak kalahnya rintihan pengantin di malam pertama”

“Ya, malam pertama dengan kudamu. Pergi sana!”
“Dengan kudaku?”
Matanya mendelik,
“Jangan bilang kalau kau mimpi jorok tentang kudaku. Atau,…ooh tidak, jangan-jangan kau….”

“Zoophilia?! Sadis kau, Monyet”
Dia mengangkat bahu, bibir bawahnya maju.
Pikiranku melesat, secepat tembakan Lucky Luck tepat pada satu relief kuil Khajuraho di India. Relief yang mempresentasikan Zoophilia dengan mencengangkan.
Dan itu cukup membuat pantatku mendadak berhenti memanas. Aku tetap menyanjung Ratu Dona Ines da Silva, bangga akan kisah kakekku, akan terus mengimpikan kuda Lizzipan, dan berterima kasih pada Jarang Koting.

Ya, ya…aku tahu, untuk naik Jarang Koting aku masih harus berlatih melompat.



Keterangan:
1. Zoophilia: Penyimpangan seks, manusia bersetubuh dengan hewan.


(Foto adalah milik penulis)



Jalan-jalan Keliling Flores (Maumere-Part 4)


Gunung Egon


===================================================================

Pulang kampung dan tanpa pekerjaan itu menyedihkan! Terlebih lagi bila salah satu impian besar Anda dibuat beku oleh kejadian di luar ekspetasi. Sadar bahwa masih ada terlalu banyak hal di sekitar yang bisa dialami dan dinikmati selama menyusun Plan B, saya melakukan petualangan keliling Flores dan mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, seperti Lembata, Adonara, dan tentu saja Komodo. Dari usaha meraih puncak gunung hingga menyusup lautan biru, ditemani sepeda motorku “Schnelli” (Kau hebat, Sayang!).

Pahit manis perjalanan juga sedikit permenungan coba kutulis dengan perspektif naifku, seorang Flores yang berusaha bersikap netral. Sunggu maaf, jika kata-kataku dalam kisah berikut menyinggung perasaan atau terbaca ironi atau dirasa menyepelekan beberapa hal yang dikultuskan di Flores. Hanya debulah aku!

============================================================================


Disini Skype belum begitu terkenal. Teknologi ini ternyata ada manfaatnya. Selain bisa chatting lancar walau koneksi internet lelet, bisa juga dipakai untuk mencari kenalan. Katakanlah aku pemain baru di Skype. Maka iseng kucari tahu berapa banyak orang Flores memakai jasanya. Pencarian dimulai. Kuketik Flores di kolom pencarian pengguna. Tentu tidak lupa menyertakan Indonesia karena sadar bahwa Flores terpakai juga sebagai nama wilayah di negeri latin seperti Uruguay, Argentina, Guatemala, Costa Rica, dan tentu saja the Godfather Portugal . Dari pencarian ini tidak begitu banyak nama muncul. Dua orang menarik perhatianku. Gabriela Zimmermann dan G. Kirchbecker. Terasa sangat Jerman. Sebelum menulis sesuatu ke mereka, aku meng-copy pastekan ke Google. Cara yang kerapkali mengungkap identitas seseorang. Google menolongku. Kusingkirkan nama G. Kirchbecker. Dia memang Jerman tapi seorang rohaniawan Katolik. Nanti saja, bila mengalami krisis hidup yang berat, aku akan coba kontak dia. Suatu saat. Tapi mudah-mudahan tidak sama sekali. Gabriela Zimmermann. Bukan biarawati. Puji Tuhan. Disebutkan ia berada di Labuan Bajo. Nama sebuah perusahaan penyelaman menyertai profilnya. Ia tentu seorang penyelam. Dekat dengan laut. Pencinta alam. Itu bayanganku. Layak bukan? Baiklah kutinggalkan beberapa kalimat dalam bahasa Jerman kepadanya. Berharap ketika ia online, kelak akan merespon.

Nyatanya Gabi, nama panggilannya, bukanlah penyelam aktif. Setelah beberapa kali bersua di Skype, kukenal Gabi dengan lebih jelas. Dia itu freelance marketing untuk perusahaan dive yang punya cabang di Labuan Bajo selain Bali dan Papua. Lucunya, Gabi tinggal di Sanur dan baru Labuan Bajo-lah bagian dari Flores yang dia singgahi. Banyak hal ringan yang kami bicarakan. Bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari. Hingga suatu saat ia memperkenalkan aku pada dua orang Belgia, Frank dan Ellen. Dua orang dengan profesi yang berbeda. Nah, soal Ellen, dia akan datang ke Flores dalam waktu dekat untuk memimpin sebuah rombongan wisatawan Belgia. Gabi menghubungkan aku dengan Ellen. Kami lantas berkomunikasi via e-mail juga Skype. Singkatnya Ellen mengajakku menemani rombongannya mendaki gunung Egon. Aku sudah barang tentu mengiyakan ajakan itu. Egon. Ke Egon loh! Sewaktu ke pulau Pangabatang dengan Smith kali lalu, sempat kami terpesona memandang bumbungan asap gunung ini. Waktu itu aku bertanya dalam hati, kapan mendaki Egon setinggi 1,703 itu? Smith menolak dengan berbagai alasan. Yang kutanggkap, ia tidak suka mendaki gunung. Hal yang berbalikan dengannku. Aku cinta gunung, bukit, tempat yang tinggi.

Rombongan Ellen datang seminggu kemudian. Setibanya di Maumere, kami langsung bertemu di Sea World Resort tempat mereka menginap. Tentu Schnelli yang membawaku. Kinclong ia hari ini, kemarin menjalani check up bulanan di Raja Jaya Motor disusul mandi busa di kali Batikwair. Bagusnya semalam sempat gerimis, jadinya hari ini debu Maumere belum melekat pada body Schnelli.

Manfaat chatting dan webcam ternyata positif. Ellen seperti sahabat yang kembali kutemui setelah perpisahan lama. Postur tubuhnya lebih bagus dari yang kubayangkan. Menarik. Dan kuduga ia menyukaiku, “kulitmu bagus,” itu pertanda baik. Tak akan ada masalah dengan rombongan yang dipimpin Ellen, aku diperkenalkan sebagai teman dekat, bahkan Ellen mengibuli mereka bahwa kami telah bersua dua kali. Di Brussels. Edan, tapi aku tidak berkomentar apa-apa. Kalau pun ada diantara mereka yang menanyakan tentang ibu kota Belgia itu, aku siap. Sisi mempesona Brussels adalah arsitektur Art Neauveunya. Itu alasan kenapa tiga kali aku bertandang kesana. Jika lawan bicaraku paham tentang dunia arsitektur, tentu memberi input pengetahuanku.

Karena kami akan ke Egon pagi-pagi maka aku menginap di resort. Atas usaha Ellen, entah bagaimana caranya, aku mendapat kamar bagus juga tropikal prasmanan. Dinner di Sea World enak, dengan angin laut, dengan alunan pertunjukan musik etnis. Tapi breakfastnya Hotel Sylvia – yang di kota, yang baru, yang bintang tiga, yang kolam renangnya lapang, yang berlift, yang kamarnya tak punya lampu baca, yang serambi untuk duduk di luar kamar tak punya kursi- sedikit lebih baik.

kkk

Kendaraan pengangkut kami telat menjemput. Jam karet. Ini Indonesia, Bung. Bukan Eropa. Semestinya take it easy. Bedanya, setelah terbiasa hidup dengan semboyan Punklichkeit, tepat waktu, yang tertanam dalam-dalam seperti chip di otak setiap orang Jerman, maka di negaraku tercinta ini aku uring-uringan jika masalah perjanjian waktu disepelehkan. Ah, aku terus berkutat dengan sindrom Jerman. Tapi tengoklah, untuk Indonesiaku: angka 9 pada kertas Undangan umumnya dipahami sebagai jam 10 atau 11. Dan kata-kata semisal “nanti,” atau “sebentar” bisa berujung pada penantian yang panjang atau sebaiknya dilupakan saja!

Rombongan akhirnya berdiri di rute pendakian setelah berkendaraan selama setengah jam. Kami pun bergerak. Cuaca bagus. Awalnya aku berjalan di tengah-tengah rombongan, sementara Ellen di depan. Sebagai tour leader, meskipun tiga warga lokal juga bertindak sebagai guide tambahan, Ellen terus meracau beberapa hal, bertukar cerita, menyemangati rombongan dalam bahasa mereka, Flemish. Kendati berakar serupa bahasa Jerman, selama pendakian kosa katanya kupahami tidak lebih banyak dari jumlah sila-sila Pancasila. “Bahasa Flemish itu sama dengan Belanda”. Ellen membantah,”Tidak.” Kugoda lagi,”kalian juga serupa orang Belanda.” Dia melotot.”No way! Kami tak sekikir mereka.”

Sejam kemudian posisi kami bertukar. Setengah dari tamu mulai melambat. Maka dipecahkan rombongan menjadi dua, yang dirasa tangguh dan lebih muda usia bergerak lebih dulu bersamaku, sisanya bersama Ellen. Gerakan kami sempat terhenti sesaat guna melakukan ritual ‘tung piong’ atau sesajen bagi roh penghuni Egon. Diberondonglah aku dengan pertanyaan, kenapa praktek animisme masih dilakukan padahal kalian beragama? Bukankah itu menduakan Tuhan?

Dua tamu pria menyerah saat menyentuh batas akhir hutan Eucalyptus. Secara fisik keduanya overweight. Menurut Ellen, sudah ada peringatan sebelumnya bahwa berat badan mereka tak diijinkan untuk melakukan pendakian. Hanya saja mereka bersihkeras. Lelaki atau jantan, predikat jenis ini selalu merasa tertantang. Bahkan ketika ditolak, dilarang, dihentikan, malah kian terlecut.

Selama kuliahku di Denpasar aku nyambi kerja pada travel agency. Guna mempraktekkan bahasa asing sekaligus alternative untuk survive, manut pada prasasti “Bertahan hidup a la mahasiswa rantau” karangan tetangga kos, mahasiswa senior yang sepuluh tahun belum angkat kaki juga dari kampusnya. Dalam posisiku sebagai karyawan ‘all round’ di travel agency itu, sering sekali aku mendaki gunung. Hampir semua atas permintaanku sendiri. Pendakian Batur adalah pendakian gunung paling gampang menurutku. Tidak ada kesulitan apa pun. Gunung Bromo? Itu bukan sebuah pendakian jika ke Penanjakan memakai jeep dan 10 menit waktu terpakai untuk naik tangga ke bibir kawah. Jam terbangku masih belum seberapa. Aku berharap bisa naik Semeru dan Jayawijaya. Omong-omong, bagaimana dengan Gunung Rinjani? Trekking yang melelahkan, pemandangan bagus dan hutan kaya pepohonan tapi belum menjumpai ‘batas antara hidup dan mati’. Gunung Slamet di Jawa Tengah lumayan menggetarkan tapi belum begitu memacu adrenalin. Gunung Egon beda. Memang tak setinggi Slamet atau Rinjani tapi pendakian Egon bagiku tak cuma menguras fisik, tapi juga mental. Ada tiga level kesulitan yang dipunyainya, begini kesimpulanku :

· Level pertama, mulai dari awal rute hingga jajaran akhir pohon-pohon Eucalyptus. Menguras tenaga tetapi pas untuk pemanasan. Namun sampai disini sebaiknya membaca kemampuan fisik karena level berikutnya akan jauh lebih berat.

· Level kedua, selepas hutan Eucalyptus, mulai dari lereng tanpa pohon (hanya ditumbuhi Vaccinium Varingiaefolium dan segelintiran bunga Edelweiss pendek-pendek) hingga bahu lereng. Sengatan bau belerang jelas tercium disini. Kerasnya pendakian terasa bertambah kadarnya ketika naik ke bagian lereng yang sudah sama sekali tanpa tumbuhan. Yang ada hanya batu-batu rawan longsor. Bagian ini kita bakalan kerap meniru gaya Spider-Man alias merayap. Sungguh-sungguh merayap dengan ujung-ujung jari kaki dan tangan mencari topangan! Karena Egon adalah Stratovolcano, gunung berapi curam dan tanahnya merupakan lava dan abu vulkan, maka bila kena air akan licin - kena terik akan rapuh.

Jika sukses meraih bahu lereng, tersenyumlah sejenak karena telah melakukan kerja keras.

· Level ketiga, dari bahu lereng menujuh bibir kawah. Jarak kurang lebih 120 meter. Pendaki berada pada pilihan yang sulit: cukup puas untuk sampai disini atau lanjut. Yang akan di hadapi di depan adalah meniti jurang pada kemiringan 40 derajat. Mental baja paling diperluhkan. Karena bagian yang dititi hanya selebar 20 cm, salah langkah dan kehilangan keseimbangan adalah maut. Apalagi jika berkabut. Cuma sisi kiri jurang yang bisa disentuh tangan.

Posisi jurang yang menukik ke selatan, jelas menandakan arah longsororan ketika terjadi letusan. Aktifitas terakhirnya di awal tahun 2008 lalu memaksa ribuan penduduk sekitar gunung mengungsi, sedangkan empat tahun sebelumnya ia juga menghalau lebih dari enam ribuan jiwa. Tercatat pada tahun 1925 Egon meradang dasyat. Muntahan bebatuan ke pesisir utara, yang daerah itu kini dikenal dengan Wairita, adalah kenang-kenangan kedasyatan Egon.

Aku meniti terus, dan berusaha tak melempar pandangan ke jurang. “Tetaplah memandang ke depan, pusatkan perhatian pada tujuan anda” bunyi tips agar pendakian sukses. Tips yang benar. Pada akhirnya, begitu mata bertemu genangan cokelat kawah Egon, tahulah bahwa aku berhasil. Lalu semua level kesulitan pendakian di atas tersimpan dengan sendirinya dalam memori, tak serta merta lenyap bersama tiupan angin kencang yang menggetarkan kaki. Dalam senyap aubade semesta, nilai perjuangan selama pendakian ternyata lebih tinggi skornya dari pada kekaguman akan pencapaian yang diraih. Barang tentu benar kata orang, proses ternyata lebih kaya makna ketimbang hasil akhir. Gunung- gunung sepintas tak bernyawa tapi mereka menyimpan bara, menyimpan kekuatan, termasuk gunung tak berapi. Gunung tak untuk ditaklukan tapi untuk diraih puncaknya, aku setujuh kata-kata itu.

Lalu apa yang dilakukan orang setelah mencapainya? Hanya satu dambaan jua yang tersisa: turun kembali.



SEMUA FOTO ADALAH MILIK PENULIS
(baca juga kisah perjalanannku keliling Flores sebelumnya.Thanks)

Keliling FLORES (Maumere - Sikka Part 3)




Blikon Blewut!

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pulang kampung dan tanpa pekerjaan itu menyedihkan! Terlebih lagi bila salah satu impian besar Anda dibuat beku oleh kejadian di luar ekspetasi. Sadar bahwa masih ada terlalu banyak hal di sekitar yang bisa dialami dan dinikmati selama menyusun Plan B, saya melakukan petualangan keliling Flores dan mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, seperti Lembata, Adonara, dan tentu saja Komodo. Dari usaha meraih puncak gunung hingga menyusup lautan biru, ditemani sepeda motorku “Schnelli” (Kau hebat, Sayang!).

Pahit manis perjalanan juga sedikit permenungan coba kutulis dengan perspektif naifku, seorang Flores yang berusaha bersikap netral. Sunggu maaf, jika kata-kataku dalam kisah berikut menyinggung perasaan atau terbaca ironi atau dirasa menyepelekan beberapa hal yang dikultuskan di Flores. Hanya debulah aku!

=========================================================


Mungkin aku dikira penikmat pesta yang pulang kepagian ketiga Schnelli menggeram pada aspal kasar menaiki sepi bukit Nilo pukul 5 subuh tadi. Hal yang sudah ingin kulakukan sejak lama. Sekarang, aku terpekur di bawah tatapan mata Sang Perawan, Maria Bunda Segala Bangsa, patung setinggi 28 meter. Orang Maumere boleh bangga. “Kalau Bali punya Garuda Wisnu, Jepang punya Ushiku Amida Buddha, Rio de Jeneiro punya Christ the Redeemer, maka Maumere punya Sang Perawan ini,” tulisku dalam email untuk seorang teman. Pagi ini cat putih keperakan tubuhnya berdagrasi jadi kuning, bercahaya ketika matahari menyembul dari barisan gunung gemunung di timur jauh. Sang Perawan menghadap ke sejuruh penjuruh kota, merefleksikan sinar yang diterimanya dari matahari. Kuambil jarak, ke depan keluar dari batas, turun meniti batang pohon lalu berdiri di atas sekepalan batu raksasa. Angkasa menggelora dengan pendar kuning-merah-biru. Awan- awan mengeriting.

A super sunrise!!


Perlahan dunia kian nyata. Kota sekecil dan sesederhana Maumere amat mudah dikenali dari ketinggian bukit Nilo. Kampung Wuring di pesisir utara, contohnya. Tempat ini dihuni komunitas suku bugis dari Sulawesi. Rumah-rumah panggung yang didirikan di atas perairanlah menyebabkan komunitas kecil ini beda. Satu pesona melihat perempuan disana, dengan wajah berbalur lulur beras memikul beban di kepala tapi tak juah goyah meniti bila-bila bambu yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain. Satu poin minus ketika datang ke tempat ini: sampah berserahkan, mengapung atas basah air. Mungkin warganya terlampau sulit memahami kotbah, ”bersih itu bagian dari iman.” Dalam buku pandauan wisata, Wuring digelari The Gypsi Village, kampung kaum gypsi, pengembara. Julukan yang rasanya sudah usang karena mereka telah mendiami tempat itu puluhan tahun. Tak ada lagi pengembaraan, tak ada lagi hidup berpindah-pindah laiknya pemandangan kaum gypsi peziarah di Externsteine, Teutoburger Wald - Jerman. Kuakui, saat itu aku terpukau gaya hidupnya, ingin menjadi bagian dan menorehkan satu tatoo di lenganku: Kebebasan. Tak peduli kaum ini dimusuhi masyarakat, dianggap tidak produktif dan merana. “Berpikirlah lagi untuk menjadi gypsi,” kata temanku di Köln ketika kusinggung soal itu. Ia berdiam sejurus, menyeritkan kening lalu berujar “Na ja, tidak terlalu buruk. Menyaksikan eksistensi mereka membawaku pada revolusi Flower Power1.”

“Kecuali aksi yang berbau FKK2,” Aku tergelak.

“Beehh.h…mana mungkin. Buktinya sewaktu ke lokasi FKK kamu mengendap di antara pepohonan, berlama-lama mengintip”

Nur neugierig” Hanya penasaran.

So ein Spiner” Dia bilang aku penipu. Sialan.


Kemudian pandangan berpaling ke timur kota Maumere, dari sekian bukit, dimanakah letaknya kampung Dobo yang menyimpan artefak Jong Dobo itu? Benda mini serupa kapal-kapalan dari perunggu tersebut asal usulnya samar, entah dari Portugal, Vietnam, atau Sumeria, tak jelas kesimpulan para arkeolog. Aku sendiri cenderung berpikir bahwa artefaknya datang dari wilayah Asia, antara Asia Selatan hingga Tenggara sebab motif serta bahannya jamak ditemukan pada benda purbakala Asia. Paling tidak kunjungan yang pernah kulakukan ke Museum Leuvre di Paris dan Museum Dahlem di Berlin memberi andil kesimpulanku. Di lain pihak, kepercayaan lokal punya cerita yang unik meski lebih menitikberatkan pada hal tak logis. Kuhargai itu dan kuanggap sebagai suatu kekayaan budaya. Kendati rasional adalah kompas pikiranku, penghargaan terhadap sesuatu yang dikultuskan patut dimiliki setiap orang, karena dengan begitulah sebuah peradaban itu tak lekang akarnya. Sejak kecil sering kudengar nama benda itu disebut oleh orang dewasa sekitarku, tentu dengan kisah mencengangkan. Hanya saja lucunya mereka belum pernah melihat artefak itu langsung. Maka aku pergi kesana dengan sedikit bumbu pencitraan spiritual. Tapi faktanya beda, cerita-cerita magis yang melingkupi Jong Dobo tidak seimbang dengan perlakuan terhadapnya, hal yang justruh menjatuhkan nilai benda itu. Rasa kagum, kecewa dan geli ibarat permen Nano-Nano. Agus, pengunjung dari Manado menyeletuk padaku, “salah satu skenario magis yang patut direvisi adalah pernyataan bahwa artefak Jong Dobo tak akan muncul jika ngana sendirian masuk ke hutan keramat. Artefak hanya muncul jika ngana didampingi juru kunci hutan keramat itu.“

Bukan hal baru bagiku. Kedengarannya kamu hendak menyarankan sesuatu…

Ya. Nasihatku tak muluk-muluk. Sebaiknya sang juru kunci punya asisten agar skenario ini tidak kelihatan sebagai sebuah tipuan murahan. Setiap pengunjung yang hendak melihat Jong Dobo aturannya harus datang dulu ke rumah juru kunci. Jelas siapa pun tak akan menemukan artefak karena disimpan oleh juru kunci di rumahnya, bukan?”

“Aku nyaris mengatakan itu kepadamu…”

“Dan apakah torang sebegitu lugunya meyakini tas yang dibawah sang juru kunci isinya hanya pulpen dan buku catatan pengunjung, sementara dengan jelas kulihat ‘beban lain’ dalam tas itu? Artifak tidak muncul sendiri. Ayolah, juru kunci tak pantas melempar artefak itu disemak hanya demi melanggengkan mitos! Jejak kaki segar kelihatan di sekitar itu. Dan sekali-kali jangan ijinkan pengunjung untuk memegangnya. Aku merasakan sendiri. Aura magis hilang begitu benda itu boleh kupegang dan kutimang-timang”

“Kamu tertarik dengan kemagisannya?”

Agus mengangguk, dan aku merasa kami berseberangan. Tapi pasti ia bisa jadi teman yang tepat untuk mengeksplor harta arkeologi.


Schnelli kembali mengepul, aku beranjak turun dari bukit Nilo, seperti semut merambat di gunungan, sedangkan Sang Perawan tetap pada ekspresi sama. Satu serangan badai di awal tahun 2006 pernah merobohkannya. Konon, tangan dan mahkota patung menyentuh tanah tetapi kedua kaki patung masih tegak di atas bola dunia, sebagaimana Sang Perawan disimbolkan sebagai pelindung bumi, Bunda segala bangsa. Dia berdiri lagi setelah direstorasi. Sebuah kejadian “aneh” menyusul di bulan Agustus 2007. Suatu pagi banyak warga yang berdiam di sekitar gempar dan melaporkan bahwa patung berputar selama beberapa menit. Otoritas Gereja Katolik kala itu menanggapi fenomena ini sebagai momen untuk berefleksi dan mewanti-wanti warga untuk tidak larut dalam sensasi yang ditimbulkan. Tidak terdengar lagi berita aneh-aneh sesudahnya tentang patung Sang Perawan.

***

Sekembalinya dari bukit Nilo aku ingin ke sebuah tempat terdekat, tapi masih terlalu dini. Kuputuskan ke kota untuk mandi dan sarapan.


Riuh lalu lalang kendaraan pagi Maumere tak menarik. Bunyi klakson dan erangan pelek racing rakitan untuk ukuran kota sekecil ini malah terlalu memekakakan telinga. Beberapa puluh tahun lagi keributan jalanan ini bisa menyamai kota Roma Italia.


Sepenuh hati kujumput kopi tubruk di teras depan kamar sewaan. “Begini seharusnya bangsa kita menikmati kopi,” terngianglah orasi singkatku kepada teman sekelas di Bildungsverein Hannover. Ia pemuda dari Kolombia. “Kamu tahu, Amigo, kini di negara penghasil kopi seperti Kolombia-mu dan Indonesia-ku lidah rakyatnya dipelintir untuk mengkonsumsi kopi instant, bukan café de verdad3. Lihatlah, Jerman tak punya kebun kopi, Amigo, tapi rakyatnya lebih tahu minum kopi. Penguasa negara kita telah menukarnya dengan minuman basura, sampah restoran kelas teri negara-negara miskin matahari seperti Jerman ini.” Hari itu dia berjanji tidak akan minum kopi instant.


Mesin Schnelli kembali bekerja, aku terselip diantara lalu lalang Maumere. Di antara deruh kendaraan dan debu kota, pagi ini kusadari, bahwa begitu banyak warna pakaian di dunia ini, satu jua yang amat dirindukan orang muda tanah airku: warna cokelat. Aneka cita-cita dan impian di muka bumi ini, satu yang paling diminati orang muda tanah airku: jadi PNS. Terserah entah PNS guru, entah PNS bidan, entah PNS kantoran. Pakai baju seragam coklat. Necis, rapi, bangga. Buktinya jelas di depan mataku.

Karena itukah kakak perempuanku menyodorkan koran Pos Kupang kemarin? Pengumuman tes CPNS! Ia berkoar, “Berhentilah jadi petualang. PNS itu pekerjaan aman karena kamu akan diganjar gaji seumur hidup. Gajimu berupa gaji selama kamu berada dalam masa usia produktif kerja, dan gaji pensiun ketika kamu memasuki usia pensiun. Itu bahkan bisa diwariskan. PNS juga memberi jasa, sangkahmu hidup bisa sinergis dan tertata tanpa pegawai pemerintah?“ Aku maunya berdebat tapi moodku lagi enak, jadi aku hanya berujar pendek, “Itu bukan pilihanku. Pekerjaan adalah masalah hati, aku melakukan apa yang hatiku mau” Kakakku mundur, kurasa ia memilih tidak menyinggung impian swastaku yang hancur. Hancur? Lihat saja, ini tak mengakhiri mimpiku. Sama sekali tidak hancur! PNS bagiku bukan pintu air, tapi pasungan. Ia pilihan mereka yang tak punya pilihan. Ia mimpi mereka yang sesungguhnya kalah dari mimpi-mimpi mereka sendiri sebelumnya. Ruang bagi yang tak mau merdeka. Aku pribadi merdeka, tak mau terkalahkan mimpi, punya pilihan, tahu cara menemukan pintu air. Akan begitu seterusnya.


Tujuan sesungguhnya yang hendak kuarahkan pagi tadi sepulang dari bukit Nilo adalah ke Museum Blikon Blewut. Untuk kesana aku kembali mengontak Agus, wisatawan dari Manado itu. Aku mengajaknya walau apresiasi kami terhadap benda purba berbeda. Tak apa, selama berada pada ketertarikan yang sama. Susah menemukan orang-orang muda bangsaku yang tertarik dengan sejarah, apalagi mengajak masuk museum. Bagaimanapun Blikon Blewut adalah satu-satunya museum di Flores. Ketertarikanku pada arkeologi dan proses evolusi peradaban seolah terus mewanti-wanti untuk menyinggahi museum dan situs-situs purbakala dimanapun mereka ada. Agus menerima ajakanku dengan senang. Jarak museum yang hanya 5 km dari kota itu tercapai singkat. Museum ini milik seminari, sekolah yang tujuannya mencetak pastor serta misionaris katolik, sejak tahun 1960-an beroperasi dan dikelola oleh pihak seminari. Sejak diperkenalkan oleh Ibu Ertin Lirong, guru SMPku, Blikon Blewut langsung menjadi laboratorium, ruang observasi bagiku. Koleksinya lumayan banyak kendati dipaksa berdesakan dalam bangunan kecil. Kurang penataan. Padahal jika diberi ruang lebih lapang, sedikit cela bagi tiap benda, tambahkan pencahayaan demi mempertegas fokus terhadap obyek, museum ini tidak kalah menawan disandingkan dengan museum atau gallery di kawasan Ubud Bali. Koleksi album foto kekayaan motif tenun ikat Flores, alat-alat jaman batu dan megalithikum, keramik cina, berbagai fosil tulang- belulang, foto-foto jepretan para misionaris tempo dulu, dan banyak benda menarik lainnya. “Yang mencengangkanku adalah fosil tulang stegadon, exitinct elephant-like mammoth, yang pernah hidup di Flores. Usianya 300.000 tahun sebelum masehi,” uraiku semangat.


Lantaran keasyikan berkata-kata dengan Agus, aku menerobos begitu saja pos petugas satpam. Suasana sekitar pintu gerbang agak ramai sebab lalu lalang mahasiswa. Tak ayal lagi kami dicegatnya.

“Maaf, Om. Tadi kepalang tak kuperhatikan posnya.” Orang itu menatap kami dari ubun hingga kaki. Untukku sikap seperti ini sama dengan proses scanning, penilaian buat menentukan level seseorang. Aku sadar hanya mengenakan celana pendek dan sandal, penampilan begini stigmanya rendah untuk ‘lingkungan putih’ seperti seminari ini. Kucari kalimat penyokong. Mendadak satu pamflet terbaca mataku. “Kita mau sebentar saja ke toko buku itu,” tanganku menunjuk ke pamflet toko buku berharap ia berpikir: ”Anak-anak muda kumal. Baiklah, kulepaskan saja. Toh mereka hanya ingin membeli buku-buku aneh”. Tapi harapanku pupus, dan mulailah ia berlaku bak kucing yang memandang kami sebagai cecurut-cecurutnya. Khas militan yang jamak di Indonesia. “Waduh, sekali lagi maaf, Om. Tadi memang tidak sengaja. Oya, kami punya KTP, jadi Om bisa tahan KTPnya selama kami ke toko buku.” Tangan kurogohkan ke kantung celana.

Amit-amit melunak, ia justruh merasa superior. “Kalian tidak bisa begitu. Ikut aku sini!!!”

Wajahnya ditarik. Tengik. Menggiring kami ke istananya, sebuah bangunan kecil berlabur putih. Pertanda waktuku akan disedot si Yosep Hungan ini (Ia memang sepintas mirip aktor laga itu). Oke, rupanya ia memancing kebengalanku. Hari yang sempurnah untuk sebuah pemberontakan ringan, rebellio mollis. Jadi marilah kita bermain sebentar.

“Masa main masuk aja. (diteruskan dengan bla…bla….bla….) Harus lapor…!!!” Panjang lebar menyerocos. Kelihatannya ia menyukai sekali, kesempatan yang jarang diperoleh.

Berlagaklah sedikit bego,Valentino. Pasang tampang beku.

“Harus lapor ya, Om?”

“Kau tidak dengar omonganku?! Hanya itu komentarmu?! Jelas! Setiap orang yang masuk harus lapor! Apa tidak lihat tulisan disitu: ta-mu wa-jib la-por!!!???”

Belum apa-apa ia sudah panas. Sudut bibirnya berbusa. Pemain yang bagus.

“Jadi kami ini tamu ya?”

“Woehh….!!!! kau nih sekolah atau tidak??!!! Kalau masuk rumah orang, ya namanya tamu!!”.

“Oo..tamu toh…bukan pencuri..” Masih pilon aku. Nah, makan umpanmu, Hidung besar! “Tapi Om bersikap seolah kami ini pencuri.’ Berpalinglah aku ke Agus. “Hei, kita bukan pencuri kan, Agus?!!” Suara naik tiga oktaf. Dia kaget dengan seruanku yang tiba-tiba. Kulempar mataku kepada si Yosep Hungan. Dia tersentak. Dua kali lebih kaget dari Agus. “ Bukan pencuri, kan?!!” Beku. Silentium, dan aku sekonyong merasa iba pada Agus. Dalam waktu singkat aku berpikir untuk sebaiknya membawanya ke tempat lain. Man, ini orang benaran tamu! Dia datang jauh-jauh dari Manado.

Beberapa mahasiswa mendekat. Si Yosef Hungan tidak nyaman. Bukti bahwa sungguh-sungguh amatiran.

“Oke. Kalian masih mau masuk?”

Dia melunak tapi tetap mau kami mengemis padanya. “Tidak”

“Ha????!!”

“Ya. ..Tidak. Lain kali saja”

Api yang hampir padam tersulut kembali.

“Sudah.!!! Kalau begitu lebih baik kalian pergi sajalah!! Kalian ber….!!.”

“Kami memang mau pergi dari sini.”

“Pergiii… !!”

“Ya.. pergi”

Kuhidupkan si Ride, sepeda motor itu berdengung. Tawaku nyaris meledak. Tubuh Agus ringan bukan main saat ia duduk di boncengan. Dan Si Yosef Hungan, ia seperti baru bertemu hantu. Hantu sepeda motor.

***

Agus hening luar biasa.

“Bro, ayo kita ke tempat lain,” suaraku pecah.

Kudengar ia menghela nafas. “Aku masih belum bisa konsen nih, Bro..Tadi itu…”

Dan akhirnya luber juga tawaku yang tertahan. “Hanya sedikit schok teraphy. Sudah jengah aku dengan arogansi gaya kunyuk penjaga keamanan kita. Di seluruh negeri ini sama, dari satpam hingga panglima, mainnya intimidasi. Sekali sentuh seragam, seribu wibawa naik”

“Tapi aku benaran kaget tadi. Sumpah…! Jawaban ngana pe pendek, ketus, raut wajah ngana ju datar skali. Sementara satpamnya su nyaris telan kitorang. Chickk..chicck.chick …ngana bisa...

“Mengingat di Maumere sulit untuk dapatkan ole-ole, jadi anggap saja kejadian tadi ole-ole untuk kamu bawa ke Manado”

“Hahaha…ngana bisa….ngana bisa…selama satpam masih ada di muka bumi, selama itu juga aku ingat par ngana pung gila.”

“Bagaimana kalau hari ini kita datangi semua satpam di Maumere, terus kita berikan teraphy juga?”

“Hahahaha…jadinya headline perjalanan hari ini berjudul: Satu Hari Menggilir Satpam?”

ngana bisa”

ngana bisa..!!!! HUA..HA…HA…HA…”

(Loh, tawa Agus yang terakhir aneh? Kulirik ke kaca spion. Astaga…, aku membonceng mendiang Mba Surip!)

Catatan:

1. Flower Power: Sebuah gerakan yang lahir di tahun 1960-an, menentang kekerasan (dikaitkan dengan invasi Amerika ke Vietnam).Gerakan ini kemudian tumbuh berkembang dengan semangat hippy, narkoba, dan kembali ke alam yang direfleksikan dgn ketelanjangan. Disebut Flower Power karena diwarnai pembagian bunga dan pakaian bermotif bunga warna-warni.

2. FKK: Freikörperkultur (bah. Jerman): Advokasi ketelanjangan (nudism) baik di area privat maupun publik sebagai gerakan budaya dan atau politik yang tumbuh di Jerman. Pelakunya dewasa ini disebut Naturist. Hampir semua propinsi di Jerman memiliki komunitas ini, tempat-tempat paling popular adalah di pantai utara, namun daerah gunung seperti wilayah Bayern pun tak mau kalah dengan memanfaatkan danau untuk perkemahan nudis.

2. Café de Verdad (bah.Spanyol): kopi asli


FOTO ADALAH MILIK PENULIS

(Baca juga tulisan-tulisanku sebelumnya tentang perjalananku keliling Flores)




Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...