Jalan - Jalan ke Pulau Sebayur (Labuan Bajo)

Desau Bayu
Pulau Sebayur
MENGGENGGAM KEHENINGAN NAN JENJAM
DI GERBANG TAMAN SANG NAGA


D
ermaga Kampung Ujung, pagi itu ramai seperti biasanya. Di bagian paling utara, sebuah sekoci berwarna putih berayun. Di dalamnya dua pria kulit putih duduk bercakap dengan awak kapal. Seorang lelaki muda menyambut saya, “Selamat pagi. Mari, kita akan langsung berangkat. Pak Massi dan Mikel sudah ada,” ujarnya. Saya melompat masuk ke dalam sekoci, dan kedua pria itu mengulas senyum, “Selamat Pagi! Boungiorno!” Dalam waktu singkat tahulah saya bahwa mereka orang Italia.

Pak Massi atau lengkapnya Massimiliano de Reviziis tak lain adalah pemilik penginapan di pulau yang hendak saya tuju, sedangkan Mikel merupakan instruktur dive kepercayaannya. Pantas saja penumpangnya hanya kami bertiga, sebab tetamu lainnya baru akan diberangkatkan tengah hari. Kemarin saya dihubungi stafnya agar berangkat pagi-pagi saja. Tentu saya bersukacita, sebab terus terang, saya lebih menyukai perjalanan laut pagi ketimbang siang hari.

Sekoci pun dengan gesit membelah laut di antara puluhan kapal yang bersandar di Labuan Bajo. Langit biru cerah dan matahari memapar suam. Hari yang afdal untuk anjangsana ke pulau-pulau, laut, dan pantai.

Ada sekitar 260-an pulau kecil di sekitar Labuan Bajo, hanya 30 pulau yang masuk dalam zona lindung Taman Nasional Komodo. Artinya, masih banyak pulau yang dapat dikembangkan untuk wisata bahari, selain yang menjadi habitat Varanus Komodensis. Sayangnya, justru banyak pengusaha Indonesia yang tidak peduli hal ini. Mereka memilih yang dianggapnya lebih menguntungkan tanpa peduli akibat destruktifnya, yakni berinvestasi langsung di zona inti konservasi. Akhirnya muncul masalah-masalah, seperti kasus Pulau Rinca dan Pulau Padar yang sedang disorot dunia akibat hendak dikonversi menjadi resort.

Nah, hari ini saya akan bertandang ke salah satu pulau yang tidak termasuk dalam zona lindung tersebut. Namanya Pulau Sebayur.  Terletak di sebelah barat Pulau Kanawa. Sebagian kecil pulau ini dimanfaatkan untuk wisata dengan menghadirkan penginapan pinggir pantai. Pak Massi memilih mendirikan Xpirates Camp di sana. “Sesuai namanya, ini bukan resort mewah, saya hanya membangun perkemahan. Konsepnya sangat natural, karena memang saya menyukai kealamiaan dan keheningan,” terang lelaki itu dengan gestur khas Italia. Sepertinya kami menyukai hal yang sama. 

Burung-burung gagak senantiasa beterbangan dan tak takut-takut mampir di resto.
Perairan dangkal di sisi barat, tepatnya di sekitar Komodo Resort memiliki taburan terumbu karang yang amat subur

Antar jemput penumpang dengan speed boat ke kapal saat laut surut
SETELAH 40 MENIT tangkas meluncur, sekoci pun merapat ke sisi utara Pulau Sebayur yang sangat lengang. Karena laut sedang surut, sekoci berhenti di batas koral, dan dari arah penginapan, sebuah speed boat mungil menjemput kami.

Ini seperti masuk ke sarang bajak laut. Saat menjejaki pantainya, saya menyadari tempatnya begitu alamiah. Lereng bukit cadas yang langsung menghadang, pepohonan menyembunyikan pondok-pondok sederhana, lambang bajak laut terpampang, dan kawanan burung gagak terus berkitar dengan suara menggelegar. Saya seolah salah satu tamu di kediaman Captain Jack Sparrow. Untung saja staf-staf di sini tidak berkostum bajak laut!

Soal makan, di sini ternyata dilayani dengan sepenuh hati. Serasa tidak sedang berada di pulau terpencil, hidangannya beraneka. Barangkali lantaran pemiliknya orang Italia, hal-hal terkait urusan perut memang prioritas. Tambah lagi terdapat resto dekat tebing berpanorama menawan.

Saya tidak menepis hasrat untuk menceburkan diri ke dalam laut. Mikel malah iklas meminjamkan saya kamera kedap air untuk memotret ikan serta koral. Kondisi terumbu tidak begitu spektakuler, atau mungkin saya belum mendapatkan titik yang tepat. Toh, saya sempat bersua seekor Pari Bintil Biru (Blue Spotted Stingray).

Satu elemen alam yang paling saya sukai adalah bukit. Selalu antusias kalau kemana saja bertualang melihat bukit. Termasuk ke pulau-pulau kecil. Sebagai orang yang gemar mendaki, suka jalan kaki, dan senang berada di ketinggian, hampir setiap destinasi alam yang saya datangi targetnya ada hiking, tidak musti bukit yang menjulang, asalkan bisa melihat panorama lapang dari ketinggian.

Restoran terbuka Xpirates Camp di sisi tebing menghadap lautan luas

Sisi utara Sebayur banyak dihiasi oleh tebing-tebing berwarna merah

Sebuah beanbag di kaki batuan putih menunggu seseorang untuk rebahan di atasnya
PULAU SEBAYUR berbentuk seperti otak manusia, sebagian besarnya terdiri atas bukit sabana, sama seperti pulau-pulau lainnya di Taman Nasional Komodo. Tanahnya berwarna merah. Bukit di sisi utara lebih tinggi dari bukit di sisi selatan. Namun saya tetap tertarik untuk mendakinya demi mendapatkan pemandangan lebih luas.

Sore pertama saya hanya mampu mencapai bahu bukit sebelah barat. Kendati vistanya memikat tapi saya belum puas. Keesokannya saya kembali mendaki lebih awal, sekitar jam 3.00 sore. Matahari masih menyengat, namun saya mencoba pelan-pelan merayapi bagian yang curam. Ini saya tempuh agar berada lebih lama di atas ketinggian saat senja.

Taktik ini jitu, mengingat tidak ada pohon untuk berteduh selama mendaki, satu-satunya cara yakni bergerak lebih lambat guna menghemat tenaga. Dari Xpirates Camp hingga ke puncak bukit, kurang lebih sama levelnya dengan mendaki di Pulau Gili Lawa yang baru-baru ini terbakar. Dari atas ini saya bisa melihat lebih jelas sejumlah pulau-pulau mungil tak berpenghuni di sisi barat Sebayur. Ada Pulau Nusa Batumandi, Pulau Sebayur Kecil, Pulau Klepor, Pulau Mangiatan, Pulau Siaba, hingga Pulau Tatawa. Sangat menawan. 

Deretan pulau-pulau saling bersilangan hingga ke selatan tampak pulau Padar nan jauh

Senja di atas bukit syahdu yang mendamaikan 

Saya menanti momen matahari tenggelam sendirian di atas bukit. Benar-benar hanya ditemani desau bayu yang menyapu alang-alang. Tenteram dan khidmat mengamati cakrawala berubah warnanya, dari biru ke jingga, merah ke violet. Saya baru memutuskan pulang saat jangkrik-jangkrik mulai berderit. Perjalanan turun bukit tidaklah sesulit ketika mendaki.

Esok paginya, seorang tamu penginapan mengajak berkeliling pulau dengan sekoci kecil. Saya tidak menolak keberuntungan itu. Kami mampir di sebuah resort di sisi selatan Sebayur, dimana karang-karangnya amat subur berlimpah ikan. Lantas beralih ke Pulau Sebayur Kecil yang pantai pasir putihnya membentang panjang di tepi utara. Saya mengingat rupa pulau ini saat mendaki puncak bukit sore sebelumnya. Di sini bayu pun bertiup, meski di siang hari membuat mata terkantuk-kantuk dan yang tergenggam hanya keheningan. Yang jelas, saya tidak memikirkan hal-hal yang rumit. Demikianlah kalau berada di pulau kecil dengan pantai nan aduhai. 

Saya berada di bukit ini benar-benar sendirian hingga jam 18.40. Kemudian turun gelap-gelapan.
Saya juga menginap di Komodo Resort, penginapan di sisi barat Sebayur

Kamar yang saya inapi. Arsitekturnya meniru rumah lumbung, nyaman dan sejuk.



@valentinoluis.indonesia
-----
Tulisan ini dimuat di majalah pesawat Lionmag (Lion Air). Bisa dilihat versi online PDF-nya DI SINI.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores #travelwriterindonesia

Jalan - Jalan ke Kreta (Yunani)

KEISTIMEWAAN
KRETA
PULAU TERBESAR YUNANI, TEMPAT KELAHIRAN DEWA ZEUS, 
YANG RAKYATNYA SANGAT TAHU BAGAIMANA MENSIASATI HIDUP




D
engan sigap Panagiotis memindahkan tiga pot tanaman hijau dan menaruhnya di depan pintu kamar. Seketika pintu itu pun tampak artifisial, kehilangan fungsinya sebagai akses masuk. “Selesai. Sekarang kamu bisa masuk lewat pintu samping dan dapatkan kamar seperti maumu,” katanya dengan senyum lebar. Saya terperangah. Cerdik nian dia memutar otak. “Endaxi, Efkaristo poli*. Begini lebih bagus,” ujarku. 

Setelah terlunta cukup lama di Piraeus-Athena, dilanjutkan berlayar semalaman ke Heraklion tanpa tidur yang cukup, saya kehilangan semangat bergerilya dari penginapan ke penginapan, hal yang memberi kesenangan tersendiri saat berkelana. Makanya, begitu tiba di Kreta, saya ingin selekasnya saja mendapatkan kamar.  Di pelabuhan berjejer banyak akomodasi, namun insting frugalku mengisyaratkan agar mencari kamar di gang-gang kecil belakang yang ramai dengan tulisan ‘Rent Rooms’

Insting itu pulalah yang mempertemukan saya dengan Panagiotis, salah satu juragan losmen. Dia menawarkan kamar paling depan namun saya kurang sreg dengan sistem pintu ganda, terutama pintu depan yang langsung bersisian dengan jalan. Panagiotis tak hilang akal, dengan cerdiknya menutupi pintu itu dengan meletakkan tiga pot tanaman rimbun. Di saat ekonomi negara Yunani dililit krisis panjang seperti sekarang ini, aksi yang dilakukan Panagiotis barusan adalah trik sederhana nan jitu. Bila tak mau kehilangan calon penyewa yang sudah berdiri di depan mata, kita harus berpikir dan bertindak cepat. “Orang boleh mencibir negara ini, tapi resesi tak akan mengubah penduduk Kreta menjadi pengemis kalut. Kamu tahu, Eropa belajar berpolitik dari nenek moyang kami,” Panagiotis berkata dengan santai namun implisit. “Teguklah Mythos, biar tidurmu ringan,” dia menyodorkan sebotol minuman dingin berembun, seakan-akan hendak menghapus pikiran saya yang telanjur dikotori stereotip media. Oya, Mythos adalah merek bir popular di Yunani, seperti Bintang di Indonesia, senantiasa hadir di mana pelancong menyemut.    

Greek Salad, saladnya Yunani ini adalah idola saya.
Sayuran segar dengan bawang, buah dan minyak zaitun, dan tentunya keju feta putih yang paling saya sukai!
Dinikmati sembari meneguk bir Mythos dan cocolan roti bakar hangat. Legit.

Jejeran hotel di sekitar pelabuhan.
Sebagaimana semua kepulauan  Yunani, umumnya bangunan dibuat dengan model kotak-kotak

Tempat makan di tengah perumahan tua memberi kesan tersendiri

Taverna berjejer menjamu pengunjung pulau. Taverna adalah sebutan untuk kafe-kafe kecil di Yunani.

BANGUN DARI TIDUR, Panagiotis membekali saya peta, memudahkan untuk menapaki bagian-bagian penting Heraklion, semisal mampir ke alun-alun Plateia Anglon di dermaga tua berhiaskan benteng Koules Venetian, kemudian ikut dalam keramaian pusat kota di mana anak-anak kecil bermain air mancur empat Singa, Morosini Fountain, tak jauh dari gereja Agios Markos. Kota ini dikelilingi oleh tembok dari abad 16, tapi isinya lebih modern dari perkiraan saya sebelumnya, agak beda nuansanya dari kota-kota lain Yunani. Dan yang menarik adalah wajah-wajah penduduknya yang jauh dari kesan depresif atau muram. Ya, Panagiotis benar, orang boleh saja mencibir ekonomi negaranya tapi penduduk tetap menjalani hidup dengan semangat. Mungkin mengamalkan pepatah Yunani ‘Tha zíso ópos ávrio den érchetai poté: Saya akan hidup seolah besok tak pernah hadir’?

Kreta tak hanya berstatus sebagai pulau terbesar di Yunani (8,303 Km2) tapi juga memainkan peran historis penting. Di sinilah cikal bakal Peradaban Minoan yang digadang sebagai peradaban paling maju di Eropa, hampir 3000 tahun SM silam. Tak cuma itu saja, pulau ini pun diakui sebagai tanah kelahiran sejumlah dewa-dewi terhormat dalam mitologi Yunani. Sebut saja Zeus, Artemis, Apollo. Dalam sejarah perkembangan agama Kristen pun Kreta menjadi lokasi penyebaran Injil pertama sebelum meluas ke seantero Eropa.

Sebagai destinasi wisata, nama Kreta punya tempat lebih istimewa ketimbang pulau-pulau lainnya. Mungkin pelancong Asia memfavoritkan Santorini, namun jika membandingkan keduanya secara seksama, maka Santorini tak lebih dari sekedar pulau kosong yang mencari perhatian lewat bangunan-bangunan putih yang tergantung di bibir tebing. 

Kontur alam Kreta sangat bervariatif. Sungai, danau, ngarai, hingga gunung bersalju dimilikinya. Dalam kunjungan ke sejumlah tempat sepanjang jarak antara Heraklion sampai Chania, kemolekan pulau berpeduduk 650.000 jiwa ini begitu memikat. Padahal, itu barulah dua kota di pesisir utaranya yang saya lihat.

Susah mencari persamaan Kreta dengan tempat lain di Yunani yang sudah pernah saya datangi. Pulau ini memadukan hal-hal kontras. Pikirkanlah, kita melintasi sebuah jalan lengang di tepi laut nan biru bening sementara di sisi lainnya berjejer pegunungan menjulang dengan putih salju, tapi suhu udaranya hangat khas Mediterania. Pikirkanlah puing-puing kuil kuno berumur ribuan tahun, ada yang berserak di lahan kosong tanpa siapapun, ada yang tegak berdiri dibekap sejuk hijau pepohonan teraliri air.

Anak-anak muda di sekitar dermaga tua Chania yang awalnya adalah tempat singgah kapal-kapal bangsa Venetia

Cathedral Virgin Mary di tengah kota Chania.
Meskipun mayoritas penduduk beragama Kristen Orthodox tapi ada beberapa umat Katolik di sini.

Almyriki, restoran kincir angin putih ini sangat saya sukai, dekat pantai pula

KECERIAAN MENYAMBUT saya manakala tiba di Chania, kota terbesar kedua Kreta. Saya suka komposisi kota ini dengan bayang undak pegunungan Lefka Ori sebagai mahkotanya. Dinding bangunan-bangunan di Chania berlumur cat beda warna. Orang mengenakan pakaian longgar, rata-rata putih, menimbulkan kesan rileks. Apalagi penginapan di sini diberi nama yang indah-indah, membacanya saja sudah seperti diajak ke dunia telenovena. 

Chania lebih kental bernuansa Venetian, struktur kotanya klasik elegan. Mercusuar dari bebatuan putih, alur jalan setapak, mansion bekas hunian kaum bangsawan maupun saudagar yang rata-rata hadir sejak abad ke-15. Namun tidak semata-mata Venetian, sebab pengaruh Byzantine pun nyata lewat gereja-gereja Orthodoks serta bekas benteng. Tak ketinggalan peninggalan kekaisaran Ottoman Turki dari tahun 1600an, terwakili oleh mesjid serta kastil tua. Pulau ini memang rebutan banyak bangsa. Untungnya, setiap pengaruh baru dari luar yang datang tidak serta merta menghilangkan yang sudah ada. Modernitas difilter dengan hati-hati. Beda dengan kota-kota di Indonesia, cenderung mudah terkonversi secara masif sehingga unsur-unsur otentiknya mengabur. Mungkin Yogya serta Solo adalah segelintir kota yang masih kuat mempertahankan aura lokal.  

3S: Sun, Sea, and Sand telah menjadi trade mark kepulauan Yunani. Tak ketinggalan di Kreta. Malah, bisa dibilang Kreta adalah tempat sesungguhnya bila mendamba ketiga hal tersebut. Jumlah pantai indahnya bejibun, mengelilingi pulau, jaraknya pun bersisian hanya  dipisahkan oleh tebing atau tanjung. Semacam parade eksotis. Untuk pantai-pantai di seputaran Chania, dengan komposisi pasir putih bersih, laut biru bening dan topografi yang bagus, letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Akses ke pantai-pantai ini pun mudah karena telah terhubung oleh sarana transportasi publik seperti bus yang haltenya langsung menuju ke pantai. 

Saat menilik Balos Beach di Tanjung Gramvoussa, Elafossini Beach, Falassarna Beach, dan menghantar terbenamnya Surya dari gua Matala Caves yang menghadap ke lautan, saya merasa orang-orang Kreta memiliki segala yang mereka butuhkan, bahkan lebih. Mereka juga telah menciptakan sejarah yang mempengaruhi penjuru Eropa tapi tetap menikmati hidup sebagai orang Kreta yang sejati. Mereka empunya keistimewaan. Maka apa yang ditulis novelis Inggris, HH Munro, bahwa “the people of Crete unfortunately make more history than they can consume locally” perlu direvisi. Sepertinya.

Matala caves, gua-gua purba yang jadi titik ideal menyaksikan matahari terbenam

Lembayung senja di lautan Kreta. Jika berlayar terus ke barat mengikuti terbenam matahari,
maka akan mencapai Pulau Antikythera

*
GLOSSARIUM:
Endaxi, Efkaristo poli : OK, Terima kasih banyak (bahasa Yunani)


-----
Tulisan ini dimuat di majalah pesawat Batik Air. Bisa dilihat versi PDF-nya DI SINI.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores #travelwriterindonesia

Jalan - Jalan ke Portugal (Obidos)


Mabuk Ginja di
ÓBIDOS


“T
urunlah kemari, di situ bahaya,” teriak Marina. Gadis mungil enam tahun itu melambaikan tangannya dari tangga depan kastil Pousada do Castelo. Saya dan Antonio, paman Marina, sudah lebih dari dua jam berbincang santai seraya memandang gereja kecil Nossa Senhora do Carmo yang sendirian di tengah ladang terkerubuti rumput liar, lansekap luar benteng yang tampak keemasan tertimpah matahari pagi. Kami bergayut, seperti menunggang kuda, pada pundak lempengan pagar benteng sebelah kiri paling ujung yang membatasi antara bagian pekarangan kastil dengan bagian rumah-rumah penduduk Óbidos.

Tembok benteng tersebut tingginya lima meter, melingkari Óbidos, dan agak berbahaya sebenarnya bila tak hati-hati berada di atasnya. Namun saya dan Antonio bukan anak ingusan, keselamatan tak perlu dirisaukan, meski saya paham, ketidakacuan kami pastilah berbeda bila mengikuti pola pikir anak sepolos Marina.

“Ayo, lekaslah, avô menunggu kalian.” Beberapa menit kemudian Marina berteriak lagi. Kali ini ia sudah sewot. Pita merah pemberian Antonio kemarin sebagai hadiah untuk penghias ekor kudanya menambah rona kekesalannya. Antonio menatap keponakannya lantas menyahut, “Ya, ratu kecilku, bilang ke avô-mu kami segera datang..” Avô adalah kata dalam bahasa Portugis yang berarti kakek. Marina mendowerkan kedua bibirnya dan bercekak pinggang, tak puas, tapi segera pula ia menuruti kata Antonio, berbalik ke arah yang sama seperti arah sebelum ia datang. Sejurus saya melihat seorang pria memperhatikan gerak-gerik Marina dari kastil Pousada do Castelo, sedikit misterius.

“Dia tentu salah satu turis yang menginap di kastil,” ujar Antonio yang rupanya menyadari kehadiran pria itu pula. “Kita bisa melihat isi kastil nanti," tambahnya. Saya mendelik, seolah bola mataku terisi tanya ‘memangnya boleh masuk ke dalam kastil yang kau bilang usianya telah melampaui 1290 tahun itu, huh?’  Antonio bergerak menuruni tembok, saya menyusulnya. “Oh, memang Pousada do Castelo tak boleh dikunjungi orang sesuka hati sejak resmi jadi hotel tahun 1950an. Tapi jangan kuatir, saya kenal baik hampir semua pegawai di sana.”

Bagian Obidos yang dikepung tembok benteng

Pousada do Castelo yang dulunya dihuni keluarga raja kini beralih menjadi hotel

SAYA BARU
semalam di Óbidos, datang bersama Antonio sehari sebelumnya dari Lisbon. Antonio de Abreu, nama lengkap bujangan asli Óbidos ini, bekerja di Lisbon sebagai staf Welcome Center de Lisboa, yang kalau di Indonesia kita menyebutnya pusat informasi pariwisata. Jadi perkara seluk beluk tempat wisata sekitar Lisbon, sahabat saya ini bolehlah dibilang masternya. Jarak ibukota negara Portugal tersebut dengan Óbidos 80 km. Dengan mobil hanya menghabiskan waktu sejam, jalanannya pun jarang berkelok-kelok.

Toh, Antonio tak tiap akhir pekan mudik ke kampung halamannya. Sekali sebulan, jadwalnya. Bukan karena ia lebih suka pada gemerlap yang ditawarkan Lisbon, melainkan ia punya kelompok musik yang manggung tiga kali seminggu di Alfama, bagian dari pusat kota Lisbon yang identik dengan permainan Fado, musik khas Portugis nan melankolis. Selain memenuhi panggilan jiwa untuk melestarikan musik tanah airnya, Antonio bercita-cita, kelak tabungan dari gaji kantor serta bayaran manggung, ditambah jaringan pertemanannya bisa dipakai merealisasikan mimpinya.

Menjadi penyuplai Ginja besar, setidaknya di negaranya. Begitu impian Antonio. Ia sudah merintis jalan ke arah perwujudan cita-cita tersebut. Bermula kejadian kehabisan pasokan Ginja pada salah satu restoran terkenal di Lisbon tempat grup musik Fado-nya manggung perdana. Ia lalu spontan menawarkan jalan keluar dengan mendatangkan Ginja dari daerahnya. Lambat laun, dari satu restoran menjadi beberapa restoran, mempercayakan urusan Ginja mereka kepada Antonio. Suatu peristiwa di luar dugaan yang dari situlah terbaca kesempatan untuk menjadi distributor Ginja.  

Manalagi Ginja dari Óbidos terkenal sebagai satu dari sedikit daerah penghasil Ginja tradisional terbaik. Keluarga Antonio, terkhusus sang ayah, pandai meramunya. “Sederhana sekali resepnya, anakku. Sekarang banyak orang menambahkan satu dua bahan atau sekedar mempercantik kemasan luarnya lalu berkata mereka menemukan ramuan baru. Tak apa, setidaknya minuman kaum jelatah ini sampai juga ke negeri-negeri seberang. Pada ujungnya toh kebesaran nama bangsa kamilah (Portugis) yang disebut,” gelak ayah Antonio menyingkapi pertanyaan saya tentang klaim Ginja terbaik dari beberapa produsen.

Ayah Antonio melangkah menyusuri lorong rumah

Gang-gang sempit yang diisi para pengunjung Obidos

ÓBIDOS tak cuma mencakup area di dalam benteng tapi juga perkampungan yang mengitarinya. Rumah keluarga Antonio berada di dalam benteng, tepatnya di sudut kanan bawah bersebelahan dengan kastil sekaligus hotel Pousada do Castelo. Masuk akal pabila Antonio mengenal baik para pegawainya. Saya yakin sekali sewaktu kecil ia pasti suka bermain di alun-alun dekat pintu gerbang kastil, di mana terdapat menara tua Torre AlbarÇŽ dan pos polisi. Lalu jika pegawai-pegawai hotel lewat, mereka akan menyapanya dan tak pelak ada yang ‘menyeludupkannya’ masuk ke dalam kastil.

“Kami, saya dan kakakku, bebas keluar masuk kastil karena ibu bekerja disitu dulunya. Ya, tidak sama sekali bebas sesuka hati sih, lebih sering di dapur. Hanya kalau lagi ada pesta seperti Natal, Paskah, dan perayaan besar lainnya baru kami bisa melihat ruang makan kerajaan. Pernah sekali saya dan kakakku menyelinap ke sebuah kamar yang kasurnya begitu empuk. Saya berguling-guling di atasnya. Sementara kakak saya takjub pada satu benda berbentuk daun yang ada lubang di tengahnya. Belakangan kami tahu kalau itu kamar Ratu Urraca dan benda berbentuk daun yang dia kagumi lubangnya itu ternyata sebuah kloset. Hahaha…gila kan, untuk buang hajat saja klosetnya terbuat dari emas mengkilap,” cerita Antonio mengenang masa kecilnya.

Pousada do Castelo sesungguhnya kastil yang dibangun orang-orang Moor, kelompok Muslim dari wilayah utara Afrika, yang berjaya serta hidup menyebar hingga ke semenanjung Iberia, mencakup Portugal dan Spanyol. Diperkirakan kastil ini didirikan mereka tahun 714 di dalam areal yang merupakan rongsokan kota tua  Romawi bernama Eburobrittium.

“Nama Óbidos berasal dari kata Oppidum, dalam bahasa Latin Romawi artinya benteng. Nah, saat Reconquista berkobar dan kekristenan di semenanjung Iberia kembali dominan, kejayaan orang Moor turut runtuh. Kastil pun diambil oleh Afonso Henriques, raja pertama Portugal. Seratus tahun kemudian, raja kedua memberikan kastil kepada permaisurinya sebagai hadiah pernikahan mereka. Perlakuan terhadap kastil ini sebagai hadiah pernikahan raja bagi permaisurinya terus berulang, semacam tradisi hingga abad ke-19. Bisa dibilang, Óbidos adalah kota kecil yang paling sering dikunjungi ratu. Ujung-ujungnya menjadi masyur dan dijuluki sebagai Vila das Rainhas, Kota Para Ratu,” urai Antonio.

Saya melihat pohon bugenfil memekarkan bunganya di mana-mana. Ada juga kembang geranium. Kedua bunga ini mengisi Óbidos, menghias lorong-lorong sempitnya. Tetapi yang paling saya sukai dari Óbidos adalah rumah-rumahnya yang khas. Atap genteng natural, dinding berlabur cat putih dengan ornamen garis biru, merah, atau kuning. Satu rumah memakai dua warna. Putih sebagai warna dasar lalu salah satu dari tiga warna tadi menjadi warna sekunder. Pada abad Pertengahan penggunaan warna sekunder merupakan sebuah simbol. Warna kuning berarti kemakmuran, biru lambang sukacita, merah maknanya pengusir roh jahat. Terus terang, daya tarik Óbidos di mata saya lebih dikarenakan pemandangan santun bersahaja rumah-rumah penduduknya, bukan pada kastil. Menemukan kastil Pousada do Castelo sekedar kejutan tambahan dari Óbidos. 

Seorang oma merajut taplak meja sebagai souvenir Obidos. 

Genteng alamiah berlumut sebagai atap rumah menambah kesan teduh dan rustik

Jejeran kartu pos yang dipajang di depan kios cenderamata Obidos

SORE HARI kami duduk mengelilingi meja makan. Rencananya saya akan diajarkan bagaimana membuat Ginja sederhana. Selain orang tuanya, hadir pula kakak perempuan Antonio, Isabel, beserta putrinya Marina. Mereka datang dua hari sebelumnya dari rumah mereka di Nazare. “Papa sedang di Braga, jadi Mama dan saya kemari,” celoteh Marina sambil mengunyah potongan kecil Lombinho, variasi sandwich berisi daging babi. Saya mengamati isi rumah sambil terus meneguk Ginja.

Ginja, meski bernama mirip, tapi tak punya keterkaitan dengan Ganja. Baik ditinjau dari asal-usul ataupun bentuk. Kecuali satu hal, keduanya sama-sama bisa membuat kita mabuk kepayang! Ketika pertama kali datang ke Portugal dan mendengar kata Ginja, pikiran saya langsung mengarah kepada ganja atau minuman olahan opium. Manalagi ada satu merek terkenal yang namanya ‘menyerempet’ ke arah sana, Oppidum. Nyatanya Ginja tak lain tak bukan hanyalah minuman sekelas liqueur. Rasa manis serta kadar alkoholnya beragam, membuat saya yang tidak terbiasa minum alkohol pun tak menampik. Bahan dasar buah cerry asamnya kurang lebih sama dengan Griottes, liqueur yang dikonsumsi di sekitar Dordogne, Perancis.  

Di hadapan saya tersedia semangkuk besar buah cherry, bulat-bulat sekecil kelereng. Yang terbaik adalah buah yang merah cerah, masih keras, tidak terlalu ranum. Kemudian bahan berikutnya yakni gula berwarna kekuningan, kayu manis, dan cairan berbau alkohol yang disebut aguardente. Isabel meletakan satu gentong kecil terbuat dari tanah liat. Proses pembuatannya singkat.

Mula-mula saya menuangkan cherry ke dalam gentong, Menyusul taburan gula. Kayu manis dibagi beberapa potong, ditanam di atas taburan gula tersebut. Aguardente dituangkan hingga mendekati bibir gentong. Selesai. “Jangan diaduk…!!,” Isabel tiba-tiba menyelah seraya melepaskan tawanya saat melihat saya mengambil senduk kayu panjang. Niat saya memang ingin mengaduk isi gentong. Saya ikutan tertawa menyadari ketidaktahuanku. “Cherry harus selalu berada di lapisan terbawa.” Isabel lalu mengambil secarik kertas, menulis sejenak di atasnya lantas merekatkannya pada gentong dengan isolasi bening, “GINJA VALENTINO,” demikian tulisannya. Hah, saya tersenyum senang, ini Ginja buatan saya.

Sayangnya, untuk memperoleh rasa terbaik, Ginja saya harus didiamkan paling singkat selama setahun. Begitu mendengar bahwa saya masih lama di Portugal, Ibu Antonio, dengan penuh cinta, memboyong gentong Ginjaku ke gudang penyimpanan mereka. Ia mengangkat kedua tangannya begitu keluar dari gudang, kemudian mengatupkan telapaknya, gaya khas ibu-ibu ketika baru saja menyelesaikan sebuah pekerjaan. “Beres. Anakku, kamu hanya perlu sedikit bersabar hingga umurmu bertambah satu angka lagi. Ginjamu aman di sini.” 

Buah cherry-bahan utama Ginja

Karyawati hotel Pousada de Castelo bercanda sembari menikmati Ginja dalam wadah cokelat

Manisnya Ginja dalam wadah mungil berbahan cokelat

SEBELUM makan malam, saya dan Antonio mengunjungi kastil Pousada do Castelo untuk melihat isinya. Kami terlebih dahulu menyinggahi dapur, di mana perempuan-perempuannya bergegas serempak menciumi Antonio begitu mereka melihatnya muncul. Yang tua-tua mengusap wajahnya, yang muda menepuk legannya. Ia bak pangeran saja di sini. Kami memasuki kamar tidur yang katanya cocok untuk satu keluarga tapi bagiku rasanya terlalu sempit. Ruang-ruang kastil dekorasinya sederhana namun kental dengan nuansa abad Pertengahan. Mungkin bagian terbaik adalah berdiri di jendela-jendelanya dan memandang matahari terbit atau terbenam.

Makan malam kami lakukan beramai-ramai di restorante Zina, kira-kira dua kilometer di luar benteng Óbidos. Makanannya enak, masing-masing gelas kami tertuang Ginja, kecuali gelas milik Marina. Ia tampaknya cukup senang memperoleh setengah lusin mangkok kecil yang terbuat dari cokelat. Mangkok-mangkok tersebut seukuran tutupan jerigen dan sebenaranya berfungsi sebagai wadah Ginja.

Ide menjadikan cokelat sebagai wadah Ginja diperkenalkan oleh Dário Albano Pimpão, pendiri perusahaan Ginja Oppidum pada permulaan tahun 2000an. Óbidos adalah tempat pertama Dário memperkenalkan cara barunya itu. Kini gaya menyajikan Ginja dalam wadah cokelat sudah menyebar ke seantero Portugal. Antusias konsumen sangat tinggi, terpanas-panasi lagi dengan desas-desus bahwa minum Ginja bercampur cokelat mampu meningkatkan vitalitas seksual. Saya pikir, bukan pada vitalitas tapi lebih tepatnya sensasi seksual. Bayangkan, asyiknya bercinta diselingi manisnya liqueur dan aroma cokelat!

Malam itu, saking banyaknya meneguk Ginja, langkah saya terhuyung-huyung keluar dari restoran. Saya mabuk Ginja. Rupanya yang kami minum tadi memiliki kadar alkohol tinggi. Anehnya, saya bersuka cita, sungguh-sungguh gembira oleh kehangatan keluarga dari Óbidos ini. 

Mencicipi Ginja murah di sekitar rumah-rumah penduduk Obidos


**
*Tulisan ini pernah dimuat di majalah National Geographic Travel Indonesia. Versi lain dengan perubahan seperlunya dimuat di majalah Batik Air – inflight magazine.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores

Jalan - Jalan ke Bajawa - Part 2


Magi Arunika
Maghilewa

SYAHDU SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL
DI LERENG SELATAN GUNUNG INERIE - FLORES.


T
ernyata pagi telah didupai aroma kopi ketika saya terjaga. Dari balik dinding papan rumah adat Sa’o Ne Wue yang saya inapi, suara air panas yang tertuang pada gelas-gelas beradu gurau Mama Ella dan beberapa tetangga. Saya menyibak tirai yang menutupi Bheja one, balai depan rumah adat, dan mendapati langit di sisi timur kampung berona merah. Sebentar lagi arunika, momen terbitnya matahari.

Dengan segera saya bergegas keluar, lalu berdiri di pekarangan kampung tepat di bawah Ngadhu, tiang kayu berukir dan beratap alang-alang simbol kehadiran roh leluhur pria Maghilewa. Dari situ saya memandangi binar-binar kuning munculnya Sang Surya yang menerobos pepohonan. Sebagian cahaya terpapar ke lancip gunung membentuk garis cahaya paralel bagaikan laser, sebagian lagi menyentuh bubungan rumah-rumah adat di sebelah timur.

“Suasana pagi seperti inilah yang selalu muncul setiap saya mengingat Maghilewa,” kalimat Agustinus Thuru terdengar pelan di hadapan saya. Lelaki berkacamata itu muncul dari rumah adat Sa’o Ne Ledo, selang satu rumah dari Sa’o Ne Wue. Tiap rumah adat di kampung ini memiliki nama sendiri-sendiri.

Berbeda dengan saya yang benar-benar baru, Agustinus sesungguhnya salah satu keturunan asli Maghilewa. Hanya saja dia telah lebih dari dua dekade bermukim di Bali. “Jalan hidup membawa saya ke pulau itu. Namun Maghilewa yang senyap ini terus menarik saya kembali,” katanya lagi. Kami tiba bersamaan, meski dengan iktikad yang berbeda; dia ke sini karena terpagut rindu pada kampung halamannya, sedangkan saya datang lantaran  dihela rasa ingin tahu. 
Arunika. Pancar sinar matahari pagi menembus pohon dan memapar lereng Gunung Inerie

Jalan menuju Maghilewa melalui punggung bukit penuh pepohonan

Menuruni tangga-tangga terasering yang menghubungkan rumah-rumah adat

INI ADALAH HARI KEDUA saya di Maghilewa, sebuah kampung tradisional pada lereng  Gunung Inerie, Bajawa – Flores. Kampung syahdu ini dibekap rimbun pepohonan kemiri dan cengkeh, berhawa sejuk karena terletak di ketinggian. Meski begitu, jaraknya dengan Laut Sawu hanya terpisah tiga kilometer, sehingga dari balai Sa’o Ne Wue yang berada paling utara, mata saya sempat bisa mencuri pandang ke lautan.

Dibandingkan dengan kampung-kampung tradisional lain di Bajawa, nama Maghilewa belum begitu seterkenal Bena, Gurusina, atau Tololela. Namun justru inilah magnet yang melecut saya kemari. Ada perasaan istimewa manakala bisa mendatangi tempat-tempat yang belum masyur, mengindra, serta mengalami hal-hal yang masih otentik, masih apa adanya.

Kemarin sore, misalnya, bersama keluarga Mama Ella, saya dan Agustinus mengikuti ritual Ti’i Ka Puju Pia, semacam upacara penghormatan bagi leluhur. Dengan khusuk ritual dipimpin oleh dua penatua yang mengumandangkan syair-syair adat, lalu melakukan penerawangan terhadap nasib baik anggota keluarga suku. Pada lokasi yang bertabur bebatuan megalith diteduhi pohon-pohon cengkeh berembus wangi, ritual itu menghadirkan aura magi. Di seantero Flores dan hampir semua wilayah Nusa Tenggara Timur, leluhur yang telah lama meninggal sangat dihormati. Suku-suku lokal percaya, setelah kematian, roh-roh para karuhun masih tetap berdiam di sekitar mereka. 

Berhimpun di lokasi ritual untuk melakukan doa bagi leluhur

Temaram malam Maghilewa begitu syahdu dan damai

Anak-anak Maghilewa menghalau dingin dengan mengenakan sarung tenun hitam

KAMPUNG-KAMPUNG tradisional di Flores umumnya tidak hanya didirikan oleh satu suku, melainkan beberapa suku. Para arkeolog mengungkapkan bahwa kampung-kampung adat dibentuk oleh kelompok-kelompok kecil pengembara purbakala yang memiliki keserupaan visi atau bermigrasi karena alasan yang sama. Acapkali mereka datang dari arah yang berbeda, tapi mereka kemudian memufakati sistem yang satu. Di Maghilewa, peradaban diembuskan oleh empat suku: Turu Ebu Ruma, Kutu, Kemo, dan Boro.

Tidak diketahui pasti sejak kapan kampung ini dibangun. Yang dituturkan turun temurun hanyalah bahwa nenek moyang mereka berasal dari negeri nan jauh, berlayar menyinggahi pulau-pulau di barat Nusantara, mendarat di pesisir selatan Bajawa, kemudian membangun kampung-kampung di sekeliling kaki Gunung Inerie. “Penamaan kampung ini terilhami oleh pohon lontar menjulang yang dijumpai para leluhur tatkala membuka lahan untuk dijadikan kampung. Kata Maghi yang artinya lontar dipadukan dengan kata Lewa yang berarti tinggi,” urai Agustinus.

Maghilewa menerapkan pola tata ruang serta arsitektur khas etnis Ngada. Rumah-rumah adat dibangun mengitari pekarangan segi empat. Membujur dari utara ke selatan, pada lahan berundak-undak bagai teras sawah. Atap dari alang-alang ditopang oleh struktur kayu dan juga bambu. Rumah-rumah adat ini memiliki strata atau pangkat. Sa’o Saka Pu’u stratanya paling tinggi dan berperan sebagai rumah utama. Di atap bagian tengahnya dimahkotai sebuah miniatur rumah yang menegaskan posisinya sebagai induk. Ia kemudian diapit oleh rumah-rumah adat berstrata lebih rendah yakni Sa’o Saka Lobo serta Sa’o Sipe

Ukiran motif ayam pada dinding rumah lambang kemakmuran.

Jelang sore hari. Dipotret dari sisi barat rumah-rumah adat.

Kendati sepintas terlihat amat sederhana, rumah-rumah adat ini punya beberapa bagian yang tidak boleh sembarangan dimasuki. “Area yang paling lazim untuk menerima tamu yakni balai paling depan yang kami sebut Teda Moa,” Agustinus menjelaskan. “Jika sudah akrab dengan tuan rumah atau bila hendak menjamu makan, barulah diajak masuk ke balai tengah, Bheja One. Bagian paling dalam, One, hanya boleh diakses oleh keluarga suku. Di situ percakapan bersifat pribadi juga ritual keluarga diadakan,” lanjutnya.

Ketenangan adalah aksen sehari-hari di Maghilewa. Tidak ada ribut gadu. Gemeretak ranting pohon yang patah beradu dengking serangga serta desau angin dihayati sebagai kidung alam. Setelah matahari tenggelam dan makan malam usai, acapkali para pria pamit berburu hewan-hewan nocturnal di hutan. Entah apapun hasilnya, dapat atau tidak, senantiasa mereka pulang dengan cerita.

“Tapi Maghilewa terlalu senyap,” bisik Agustinus lirih. Ia sepertinya merasa bersalah meninggalkan kampung ini. Memang perkebangan jaman telah mendorong perpindahan penduduk ke dataran dekat pantai, juga keinginan untuk melihat sisi dunia yang lain. Tidak ada yang salah, sebab hasrat untuk berpindah-pindah ada dalam darah manusia. Penduduk yang bertahan tinggal berusaha menjaga kampung ini agar tetap memiliki denyut kehidupan, dan tiap pagi bangun menyambut magi arunika dengan kecintaan pada tanah leluhur mereka.

Agustinus, saya yakin, akan selalu membawa Maghilewa dalam ingatannya. Sepekan setelah pulang, saya membaca puisi melankoli yang ditulisnya dalam sebuah portal;
“para leluhurku di kampung sunyi
kupercaya tidak pulas dalam sejarah
waktu yang terus mengalir
adalah jalan panjang bagimu berjaga
tak pernah lelah menyusupkan cinta
pada rentang kehidupan anak cucumu”

Tampilan depan Maghilewa dengan model terasering bertingkat

***      
Tulisan ini dipublikasikan di majalah pesawat BATIK AIR dan menjadi salah satu Top 10 cover Batik Air favorit saya. Klik untuk mengetahui Top 10 cover Batik Air DI SINI

Follow Instagram saya DI SINI
#valentinoluis #travelwriterindonesia #traveljournalist #travelphotographyindonesia #lionmag #lionair #inflightmagazine #batikair #batikairmagazine #majalahpesawat #penulisperjalanan #maghilewa #kampungtradisional

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...