Jalan-Jalan Ke Gunung Bromo




Stairway To Heaven
Adanya Di Timur Pulau Jawa!



Once upon a time, during the reign of the last king of Majapahit (13-14 century AD), Brawijaya, one of the King's wives gave birth to a girl, Roro Anteng. Later she got married to Joko Seger, from Brahman (priests) caste. Because of an unfortunate situation, they were forced to leave the kingdom. They settled an area in the mountain, named it "Tengger."
For years, they were unhappy because they didn't have a child. They climbed the peak of the mountain, prayed to gods. Betara Bromo (God of Fire) promised them many children, but
they have to sacrifice their youngest children.

They finally got 25 children, and they had to sacrifice the youngest, Kesuma, but they hid him. But an eruption happened and Kesuma fell into the crater. Then his voice heard: "I have to be sacrificed so that you will all stay alive.
From now on you should arrange an annual ceremony on the 14th of Kesodo."
***

Legenda itu sudah terpatri lekat dengan Bromo. Gunung di bibirnya daerah Tengger. Nama Tengger sendiri konon berasal dari gabungan kata Roro Anteng dan Joko Seger. Diyakini keturunan keduanya adalah cikal bakal keberadadan masyarakat Tenger kini. Entah benar atau bukan, itulah ceritanya. Jika demikian adanya, tentu Roro Anteng dan Joko Seger itu berperawakan mungil, kecil-kecil. Soalnya hampir semua orang-orang Tengger badannya kecil-kecil amat. Rumah mereka pun mungil benar dan memanjang ke belakang. Orang bilang rumah mereka dibuat sempit dan memanjang ke belakang lebih karena agar suhu dalam rumah hangat. Maklum, daerah Tengger berada pada ketinggian. Dingin. Mungkin benar begitu. Tak perlu juga sebegitu curiousnya. Ada yang punya versi lain. Terserah. Terima semuanya, nikmati saja kekayaan bangsa kita. Bukankah tanah air kita gema ripah lo jinawi? Termasuk kekayaan akan mitos serta legenda.

Cerita tentang indahnya view pegunungan Bromo di kala matahari terbit, menggodaku untuk melihatnya sendiri. Kebetulan kuliahku di Denpasar baru aja kelar, hitung-hitung sebagai rasa syukur. Naik gunung kayaknya asyik tuh, pas momentnya.


Saya berangkat dengan bus malam DAMRI dari Terminal Ubung Denpasar jam 8.00 malam. Dengan ticket seharga .....ke Probolinggo, kota yang paling dekat sama daerah tujuan saya. Ini kali pertama perjalanan menyeberangi pulau dengan bus malam. Sebelumnya saya selalu berpikiran negatif tentang perjalanan darat antar pulau, apalagi ke Pulau Jawa. Top reason adalah tentang security. Mungkin selama ini Cuma dengar yang buruk-buruk saja tentang lalu lintas di pulau padat penduduk itu. Saya malu sendiri saat seorang remaja SMU mengisahkan seringnya dia menyeberangi Sumatra-Jawa-Bali dengan bus tapi tetap baik-baik saja.

Lepas tiga puluhan menit, saya sudah terkantuk-kantuk. Sopir bus rupannya angkatan ‘Tembang Kenangan’ yang nggak doyan menghidangkan musik dandut di busnya. Gimana ngga cepat KO kalau lagu-lagunya seolah mengiring kita ke alam mimpi? Agak terganggu tidurku ketika bus terasa seperti berayun-ayun jalannya. Ah, rupannya kami tengah berada di perairan anatara Pulau Bali dan Jawa. Sebentar lagi sampai ke Pelabuhan Ketapang, pintu gerbang menujuh Java Dwipa (begitulah Jawa dulu dikenal karena jadi Island of Rice, Pulau Padi).

Sekitar jam 5 pagi kami berhenti di daerah Pasir Putih. Ternyata sarapan,Bos. Aha…kok?? Restaurannya lumayan cozy, prasmanan pula. Wah, saya seperti ditampar pikiran saya sendiri.


Tapi rasa senangku jadi berubah dongkol dot com ketika sudah di Probolinggo!

Edan…, saya diturunkan di pinggir jalan lalu disuruh nunggu bus lain….

!!!!!!……?????

????!!!!!…!

Alkisah, bus Damri yang saya tumpangi itu tujuannya Malang. Saya sudah tahu itu. Waktu di Denpasar kondekturnya bilang nanti saya akan diturunkan di Probolinggo. Tentu saja pikiran saya bakalan diturunkan di terminal Probolinggo. Nyatanya? bus ngga boleh masuk ke terminal. Kalau pun demikian, setidaknya diberitahu: “Penumpang tujuan Probolinggo turun di dekat terminal.” Kan bagus.. Ini ngga, bus jalan aja trus, sementara saya mulai bertanya-tanya sendiri. Pemandangan Probolinggo sebagai kota mulai larut, kembali sub-urban, keluar dari kota. Saya harus melakukan sesuatu, pikirku. Langsung saya tanya kondekturnya:

” Dimana nanti saya diturunkan? Saya tujuannya Probolinggo. Anda sudah tahu kan itu?”

„Probolinggo mana?“ Tanyanya kaget.

„Seharusnya di terminal, Mas”

Saya lihat roman mukanya berubah.

“Masnya mau kemana?”

“Saya mau ke Bromo.”

Kebetulan saya duduknya di dekat sopir. Dari awal saya buka bicara, sudah mulai kasak-kusuk. Tiba-tiba seorang penumpang berbisik. 50 meter lagi, ada pos polisi. Saya minta berhenti aja nanti. Katanya, langsung aja ke kantor polisi. Ha??? Ngapain? Saya ngga mau berurusan sama polisi. Mengeluhkan masalah ke polisi, maksudnya? Bah, malah bikin certa tambah panjang....

Belum sempat saya ngomong apa-apa, dia sudah minta sopir berhenti di depan kantor polisi. Saya bingung. “ Turun saja disini, Mas.” Saya menatap dia, lalu kondektur, terus ke penumpang lain. Aneh, seolah-olah semua wajah memerintah. Saya pun turun. Tak ada pilihan lain, saya masuk pekarangan kantor polisi. Dua polisi di ruangan itu. Saya menyalami mereka dan kata-kata pun meluncur keluar. Seorang bereaksi dengan bahasa lokal. Saya bisa menangkap sedikit maksudnya. Tapi ujarku kemudian:

Please, Pak. Pakai aja bahasa Sumpah Pemuda. Saya ngga tau bahasa Sumpah Palapa…”

Lalu kami sama-sama tertawa. Maksud saya ke polisi itu agar pakai bahasa Indonesia, jangan bahasa Jawa. Ternyata di sebelah kantor polisi ada pertigaan dimana angkutan umum biasanya mengangkut warga Tengger atau mereka yang mau ke Bromo. Beberapa menit kemudian saya sudah berada diantara penumpang menujuh Tengger. Plong……


Tiba di Ngadisari hampir jam 4 sore. Tapi saya ngga berhenti disana untuk bermalam tapi harus menujuh ke Cemara Lawang. Sebuah hotel, sesuai dengan rekomendasi teman, ada tepat di bibir lautan pasir menghadap langsung ke Bromo. Benar saja,menujuh ke penginapan itu saya langsung dibuat kagum dengan pemandangan di sebelah kanan saya. Anjo de Guarda! Yang saya inginkan sudah di depan mata !

Lava View Lodge, demikian penginapan yang saya maksud. Seakan hidangan utama di lodge itu adalah lava view Bromo. Penginapan ini menyediakan beragam tipe kamar, dari family room, bungalow, standard superior rooms dan standard junior rooms.

Arsitektur bangunan khas Indonesia (harga: http://www.globaladventureindonesia.com/lava%20view%20lodge.htm ). Punya restaurant sendiri yang kalau malamnya ada live band. Servisnya lumayan, selain breakfastnya pilih sendiri, juga ada free afternoon tea/coffee. Mmm…mm bayangkan, betapa asyiknya menyeruput secangkir kopi hangat sore-sore dengan view gunung Bromo di depan mata…Rasa penat karena perjalanan jauh sontak menguap bersama udara sore yang dingin. Kabut senja lumayan banyak di sekitar Bromo tapi untunglah saya bawa mini teropong, sehingga mata saya bisa meneruak bayangan anak-anak tangga di dinding luar kawah. Besok saya akan kesitu!



Pukul 04.30 pagi saya sudah bangun, beberapa menit kemudian bunyi mesin beberapa mobil hardtop terdengar di halaman Lava View Lodge. Kerumunan wisatawan sudah ada disana. Semalam saya sudah booking salah satu mobil via receptionist. Harganya sedikit mahal jika memesan lewat penginapan, tapi kita bisa memesan di beberapa pos di luar. Harganya bervariasi mulai Rp. 170.000-250.000. Bisa sharing dengan beberapa teman atau sesama tourist biar bayarnya lebih murah. Lantas setengah jam kemudian saya sudah terguncang-guncang di dalam hardtop, melintasi lautan pasir dalam gelap. Tapi pagi yang masih buta itu kami tak sendirian, di belakang dan di depan kami pun ada kendaraan yang punya tujuan sama, ke Penanjakan: disitulah tempat paling pas untuk melihat view Bromo secara utuh dalam balutan sunrise. Sesampainya di lokasi, banyak orang tumpah rua.



Dingin ternyata tak mampu mengalahkan semangat puluhan manusia untuk menaklukan imajinasi mereka akan Bromo. Kiri-kanan ada pedagang kaki lima: souvenir khas bromo dipajang disana dari t-shirt bergambar Bromo, topi, syal, hingga barang-barang imut lainnya. Tak mau ketinggalan pedagang minuman hangat, makanan ringan, hingga penjual baterai camera yang tetap aktif menawarkan dagangannya hingga di spot khusus untuk melihat view sunrise. Siapa tahu saking gilanya foto ada yang baterei cameranya kehabisan energi..hahaha.




Langit merah menyalah, oranye, garis-garis biru. Itulah warna pagi sebelum matahari terbit di belakang Bromo. Kiblatan blitz camera terus menerus berkelip. Hingga saat matahari mulai menyembul, semua orang berdecak kagum. Demikian pun saya. Tuhan Maha Kuasa!!! Di depan mata seperti lukisan. Berjejer Gunung Batok (2.470m) yang menonjol dengan garis-garis di tubuhnya, Bromo (2.392m) yang terus mengepulkan asap abadinya, Gunung Kursi (2,581m) Gunung Watangan (2.662m) dan Gunung Widodaren (2.650m) yang tampak malu-malu bercelana kabut. Lalu di belakang sana, yang menjulang dengan anggun serta bermahkotakan asap seumpama asap bom nuklir Hiroshima itu adalah Gunung Mahameru. Katanya gugusan gunung gemunung itulah penghantar menujuh nirwana. Dan Stairway to Heaven (tangga menujuh Nirwana) itu ada di antara salah satunya. Sepatutnya saya kesana. Harus. Lalu kendati dengan berat hati saya musti menyingkir turun dari Penanjakan. Demi menujuh Stairway to Heaven itu….

Tiang-tiang putih setengah meter berbaris rapi. Seperti pagar, pemberi arah biar tak sesat. Ringkik puluhan kuda disitu. Ada yang berdiri menunggu penumpang, ada yang berlari dengan naluri bagai mengejar matahari. Entah mereka yang mau atau tuannya yang ingin. Saya halus menampik tawaran tumpangan naik kuda. Alasan pertama karena saya anak kampung, bukan orang yang lahir di kota besar. Waktu kecil saya sering menghabiskan waktu di atas punggung kuda sepupuh-sepupuhku yang tinggal di gunung. Naik turun bukit hingga pantatku sakit bahkan memar lantaran tulang punggung binatang itu beradu dengan tulang pantatku. Alasan kedua karena hampir semua kuda-kuda yang ditawarkan rata-rata berbadan pendek. Satu juta persen ngga lucu, kakiku yang panjang tergantung dan tampar menampar dengan pasir berdebuh. Uhh…..kaki menerjang badai!!! Jagoan tolol.



Gunung Batok demikian dekatnya hingga alur-alurnya jelas tersusur. Eksotis.

Dan setelah mengarungi lautan pasir, saya (ngos-ngosan) berdiri di depan Stairway To Heaven. Ternyata tangga menujuh Nirwana itu adanya disini, di timur Pulau Jawa. Mungkinkah dongeng nenek saya tentang surga dan dunia yang dulunya hanya berjarak sekian meter itu ada hubungannya dengan gunung Bromo? Sayang, nenekku sudah keburu meninggal. Maunya kudengar lagi dongeng itu sepulang dari Bromo. Wajah nenekku kembali terbayang saat kukenal rangkain bunga Edelweiss-lah yang sedang di genggam dua perempuan di depan anak tangga. Mereka seperti dayang-dayang negeri anta beranta dari Mongolia. Nenekku punya liontin dengan bunga bunga Edelweiss di dalamnya. Bunga abadi, kata beliau. Bunga ini merupakan bunga yang populer dan disukai oleh orang-orang pegunungan Eropa. Nama edelweiss sendiri datang dari bahasa Jerman, Edel dan Weiss, si putih yang mulia. Sementara nama ilmiahnya Leontopodium.


Akhirnya saya merayapi anak tangga (spiderman?). Iseng mau hitung, tapi tanggung malas lagipula manusia hilir mudik naik turun. Kawah Gunung Bromo mengepul putih. Bau belerang tercium. Sampai disini saya diam.

Begitu banyak yang datang dan pergi. Di bawah sana bayangan pura Hindu berdiri sendiri dikepung angin lautan pasir. Nirwana ternyata tetaplah perasaan di relung jiwa. Sebagai salah satu masterpiece Tuhan, Bromo juga adalah sebagian keping nirwana.






















Jalan - Jalan ke Montecarlo dan Cannes (Perancis)

Montecarlo & Cannes
Dua Permata dari Selatan Perancis



Dua kota yang sudah sangat popular. Kendati beratus-ratus kilometer jauhnya dari sang Bunda, Paris, tetapi nyatanya mereka mampu menyedot perhatian jagat. Katakan saja orang-orang mungkin banyak belanja kota-kota besar dunia, tapi uang mereka pasti jadi lebih tak bernilai jika memasuki dua kota ini.
Montecarlo dan Cannes, di ujung selatan negeri biru, keduanya saling bahu membahu mengambil perhatian para superstar, melonggarkan saku para jutawan.
Bila suatu saat anda datang ke sini, temukan diri Anda sebagai bagian dari mereka. Walau cukup memandangi deretan kapal mewah atau kelap-kelip lampu casinonya, saya yakin Anda pun serasa turut menjadi bintang. Jika tidak bagi dunia, setidaknya buat diri Anda sendiri.

***


DULU, dulu sekali…. saya tidak yakin, kota yang letaknya di lereng bukit seperti Montecarlo ini ternyata lebih punya gengsi ketimbang Las Vegas. Begitu pun Cannes yang mungil, sulit meyakini bahwa disinilah tolak ukur sebuah film berkualitas dinilai, film-film sarat makna dan pesan, yang bercerita banyak dan humanis, tidak seperti Hollywood yang penuh fiksi, dar-dir-dor dan hanya mengejar duit.

Berikut adalah sedikit ceritaku, jalan-jalan ke Montecarlo-Cannes….
Monte Carlo
Mataku menalar lagi papan-papan petunjuk berwarna hijau yang mulai sering muncul. Yakinlah, kendaraan saya memang menujuh ke kota Montecarlo. Semenjak keluar dari wilayah Ventimiglia - Italia, rupa-rupanya jalanan tidak seberapa jauh dari laut walau tidak bisa juga dibilang di pinggir pantai. Topografi lintas batas selatan Italia dan Perancis memang penuh dengan pegunungan kapur tinggi-tinggi. Makanya jangan heran kalau kita kerap keluar masuk terowongan. Nyali sedikit ciut, lantaran terowongan-terowongannya rata-rata lumayan panjang, kendaraan kurang sekali hilir mudik. Beginilah, kalau terjadi apa-apa, apakah saya akan mengalaminya jauh dari jangkaun?? Tambah pula rute terus menyisir lereng-lereng yang terjal, melewati jembatan antara satu lereng ke lereng berikutnya yang ternyata membentang bergantungan setinggi sekian ribu kaki.

Mujurlah, seiring munculnya satu per satu bangunan, serta kota-kota kecil komunitas manusia, kekuatiran humane-ku perlahan berkurang. Ya…kita manusia, Bos. Seberani-beraninya kita, keder juga nyali kalau mengalami hal seperti ini.

Dan ketika mataku samar menerawang bangunan-bangunan putih bertingkat di lereng bukit pantai, sadarlah saya bahwa inilah Montecarlo. Kota dibawah kaki lintasan pegunungan Maritime Alps. Untuk masuk ke kota ternyata kita harus menuruni jalanan berbelok-belok yang cukup membuat kepala pening. Rasa-rasanya kok rute seperti ini mirip arena balap Formula 1 ya? Dan perasaan ku itu ternyata benar,Bos. Jalur kota yang menurun berbelok-belok ini masuk ke dalam rute balapan. Jalur ini akan diblokir bila perlombaan adu mobil tercepat itu digelar. Sirkuit Monaco ini merupakan salah satu sirkuit terpanjang dan paling berisiko. Rally mobil yang digelar di Monte Carlo adalah rally awal, sebelum Formula One melakukan tur ke kota-kota lain. Jadi Monte Carlo berposisi sebagai start. Wah, jadi bangga juga nih, walau kecepatan mobil kami tak sebanding tapi serasa pembalap juga hehehe….. tancap gas! 


Montecarlo (atau kerap ditulis terpisah “Monte Carlo”), punya sebutan lain juga yakni Montcarles. Ini berlaku bagi kaum Occitan. Sementara ras Monéqasque memanggilnya Monte-Carlu. Tidak terlalu signifikan beda panggilannya. Kepeleset sedikit-sedikit lah…..Tapi nama-nama itulah kita bisa temukan kunci dari mana nama kota ini berasal. Baik sejarah maupun literal, jelas sekali nama Monte Carlo datang dari Italia, negara tetangga. Lidah Inggris menyebutnya “ Mount Charles” atau jika di-bahasa Indonesiakan menjadi “Gunung Charles”. Nama yang disebut untuk merujuk pada daerah yang masa itu dipimpin oleh seorang raja bernama Charles III of Monaco.

Karena kemakmuran dan popularitasnya, Montecarlo kadang-kadang dipahami secara salah sebagai ibu kota dari negara kerajaan Monaco. Jujur saja, saya pun begitu sebelumnya. Tidak terpikirkan jika mereka adalah satu kesatuan dalam negara Perancis. Tapi rada bingung juga nih, kata orang lagi Monte Carlo itu sama halnya dengan Vatican. Dia disebut sebagai the second smallest independent state in the world setelah Vatican. Nah loh!!! 

Anyway, bisa dibilang Monaco ini kalau di Indonesia sama seperti “Daerah Istimewa (DI)” Yogyakarta atau Aceh. Bedanya di Eropa, jika sebuah wilayah disebut istimewa itu artinya mereka punya otonomi sendiri, punya hak-hak istimewa. (Misalnya: Saya kira, embel-embel DI yang diberikan untuk Yogya dan Aceh selama ini bisa jadi cuma pemanis. Maaf, Pak Presiden kalau salah. Ini kan berdasarkan penglihatan saya. Kalau sekarang di negara kita ramai terdengar istilah otonomi, pertanyaannya: seperti apa bentuknya? Realisasinya? Dan ujungnya, apa yang bisa dicapai atau dihasilkan dengan pemberian otonomi itu? Perubahan seperti apa? Wess wes…., jadinya kok membicarakan politik?? -Rapat selesai, forum ditutup.-)

Populasi kota Monte Carlo sendiri diperkirakan tidak begitu banyak, sekitar 3000-3500 penduduk. Seperti yang sudah kita ketahui, Monte Carlo sangat terkenal berkat bisnis casino, perjudian, hal-hal berbau glamour, serta disini kita bisa melihat orang-orang terkenal (swear..!!). Kota Monte Carlo sendiri bukan hanya pusat kotanya saja tapi sudah termasuk bagian seperti Larvotto, Saint Michael, dan Saint Roman.




Monaco mungkin satu-satunya negara di dunia yang tak memiliki masalah lingkungan. Mulai dari situs CIA hingga ke catatan PBB, negara ini tak terdokumentasikan bermasalah dengan polusi apapun. Bahkan asap knalpot pun tak tercium disini. Meski dengan GDP perkapita US $ 30 ribu, penduduk negara Grimaldi tersebut dijamin mampu memiliki kendaraan pribadi.

Jalan-jalan di Monte Carlo, Monaco memang mulus tanpa retakan sedikit pun. Namun tetap saja jarang mobil terlihat di sana. Bahkan dalam jam-jam sibuk sekalipun, penduduknya terlihat lebih senang berjalan kaki. Mengikis jejak emisi karbon yang biasanya banyak dihasilkan dari kendaraan bermotor di kota-kota dunia. Para pejalan kaki memang dimanja di sini.

Monaco telah lama dikenal sebagai negara Eropa yang pro lingkungan. Tata kota dengan jalan sempit berkelok diimbuhi tata kota yang apik, membuat penduduknya lebih senang berjalan kaki. Berbanding terbalik dengan biaya hidup yang tinggi, tarif transportasi umum Monaco justru murah. Hanya dengan 1 Euro saya sudah dapat berkeliling negara ini bahkan menyeberang ke kota Nice. Kenyamanan ini berasal dari kebijakan Pemerintah Monaco memberikan subsidi tinggi pada tarif angkutan umum. Hasilnya terlihat pada 2007, saat jumlah pengguna transport umum negara itu meningkat hingga 20 %.

Kebijakan pro lingkungan Monaco juga berlaku lewat peraturan Haute Qualite Environnementale alias Kualitas Tinggi Lingkungan Hidup. Kebijakan ini mengharuskan setiap bangunan di Monaco menghemat 10 persen dari energi yang digunakan. Penghematan ini dihitung terutama lewat pemakaian energi listrik dan konsumsi air. Contoh paling nyata terlihat lewat Gedung Forum Grimaldi tempat konferensi UNEP diselenggarakan. Semua keran air disini bersifat otomatis, yang langsung berhenti saat tangan diangkat dari wastafel. Manajemen antisipasi bencana juga terlihat lewat infrastruktur yang menguatkan tembok-tembok batu karang di seluruh Monaco.

Secara sejarah, Monaco yang dikuasai Dinasti Grimaldi memang dekat dengan isu penyelamatan lingkungan. Pangeran Albert I terkenal aktif dalam pencegahan penangkapan ikan berlebih. Sementara Pangeran Albert II yang kini berkuasa kerap mengunjungi Kutub Utara guna mengecek langsung dampak pemanasan global. Kesadaran lingkungan berpadu dengan kekuatan dana, telah membuat udara, air dan tanah Monaco hampir sebersih hutan perawan.

Well, yang musti dilakukan kalau bertandang ke kota berbendera merah-putih ini (sama seperti warna bendera kita), adalah:
- Pastikan untuk bisa nyelonong ke Casino de Paris (Grand Casino) di gedung Place du Casino. Arsitektur dan dekorasi bagian dalamnya dasyat abis ! Syaratnya umur harus diatas 18 tahun,dan casino ini buka jam 2.00 pagi teng. Trus, dilarang pakai jacket dan ngga boleh buat foto. Pokoke masuk aja walau ngga ada niat buat gambling. Hitung-hitung liat suasananya juga ketimbang cuma liat di TV doang kan ?? PLUS Banyak perempuan cuantikk….

- Pagi-pagi datanglah ke Palais du Prince (Prince Place). Berada di kawasan kota tua, setelah puas liat bangunan yang indah tertimpah cahaya matahari pagi, kita bisa liat proses pergantian penjaga istana atau istilahnya Carabiniers pada jam 12 siang.
- Mau lihat lebih dari 4000 jenis ikan tanpa nyemplung ke dasar laut ? Singgalah ke Oceanographic Museum and Aquarium. Tempat yang sangat bagus buat kita untuk lebih tau fauna air, mulai dari yang kecil-kecil, tuna, dan ada piranha. Mas Tukul pasti ada..hehehe…
- Jardin Exotique (Exotic Gardens). Mampir kesini will make you blue !
Eit…t..jangan ngeras dulu,Bos. Ini adalah taman yang menampilkan berbagai jenis bunga dari seluruh pelosok bumi. Letaknya di ketinggian sehingga kita bisa menikmati indahnya tanaman-tanaman dengan view kota juga tepi pantainya yang ada di bawah. Blue !

- Mau taman yang ada tebing-tebingnya ? Nah, ke Saint Martin aja. Tempat ini punya venue yang bagus untuk liat cliff-side garden yang menawan. Nah tempat ini sudah dekat sama Catedral Monaco. Bisa masuk untuk liat interior bangunan yang dibangun akhir abad 19 ini.
- Berhubung Monte Carlo sangat populer dengan wisata pantainya, maka keterlaluan kalau Bos berada jauh-jauh dari laut. Pelototi berjenis-jenis kapal pesiar mewah dengan design serta karakternya yang bikin diri melamun jadi jutawan !
- Kalau lagi ada perhelatan seperti balap F-1, pastikan dapat tempat yang pas buat mengamati seruhnya lomba kejar-mengejar mobil itu. Tempat yang lebih tinggi, lebih baik.

Cannes

Mendengar nama kota berjulukan "Côte d'Azur" ini serta merta akan membuatku membayangkan anggunnya langkah-langkah para bintang film, kiblatan cahaya ratusan ribu kamera, penghargaan film bermutu, dan….indahnya kota tepi pantai.






















Sebagai focal point for festivals throughout the world and a cultural melting pot, Cannes dengan senyum dan tangan terbuka menyambut anda. Orang-orang sudah lama jatuh cinta pada kota ini dengan vibrant, colourful town and its peaceful way of life. Mulai dari bangsa Roma, Napoleon, Cocteau dan banyak lagi yang lainnya. Mereka menyangjungnya dengan menyebut: ‘bahkan dalam mimpi pun anda tak mampu mendapati kota seindah surga seperti Cannes ini.’


150 tahun yang lampau Cannes hanyalah sebuah kampung nelayan yang tak penting dibahas. Kala itu nama kampung ini belumlah Cannes tapi Canua, yang merujuk pada sejenis rumput liar. Dalam bahasa Occitan : Canas. Namun menjelang abad 20, tempat ini bermunculan hotel serta penginapan mewah, sebut saja nama dua diantaranya, Miramar dan Martinez.






























Kota ini kemudian semakin berkembang dengan ditambahkan sarana publik lainnya seperti sports center, jalur jalan, dana lain-lain yang mennyebabkan kota ini kemudian menjadi tempat peristirahatan yang pas bagi tentara Perancis setelah Perang Dunia I. menyusul menjadi tempat relaksasi bagi mereka yang sebelumnya terlibat dalam perang seperti tentara Jerman, Inggris, lalu kemudian Amerika. Kunjungan demi kunjungan pun meramaikan daerah ini. Dari musim ke musim, winter, summer, autumm, spring. Dan konstruksi-konstruksi gedung penghilang stress serta mesin duit seperti casino pun dibangun di sekitar Palm Beach.




Lalu tentang Festival Film Cannes?
Membahas Cannes tanpa menyinggung perihal Festival Film rasanya lebih baik tak perlu menyebut Cannes sama sekali!




















Dimulai tahun 1939, Festival Film Cannes merupakan salah satu festival film paling prestisius di dunia. Ia menjadi sejarah dan nadi Cannes. Selama 2 minggu penuh kota ini menjadi sorotan dan kampung para great filmmakers. Selama periode ini tema yang paling dibicarakan adalah film, film, dan film. Disini hadir bukan hanya superstar Hollywood tapi para penggiat indenpendent film pun jumlahnya sama banyak. Festival Film Cannes bahkan disebut-sebut sebagai granddaddy of all film festivals".

Datang ke Cannes pada bulan Mei, adalah saat yang tepat tetapi juga akan mencengangkan anda. Ya, karena pada bulan Mei lah perhelatan Festival Film itu berlangsung. Jangan kaget kalau sesuatu yang sebelumnya tanpa harga, tiba-tiba jadi punya nilai. Ini contohnya : di Hotel Cartlon Nice akan dikutip tarif lebih dari US$30 satu jam hanya untuk nongkrong di kursi pantai ! Emang rada susah dapat lokasi yang bagus tapi tanpa kena biaya pada bulan Mei ini.

Meskipun di sekitar pantai Croisette, bisa menikmati pantai berpasir putih dan bermain-main air, atau duduk-duduk menikmati matahari, tapi kita bakal agak puyeng karena daerah ini dipadati oleh pengunjung. Tapi Croisette bisa jadi incaran anda, ibarat paparazi atau seolah salah satu groupies, kita bisa hilir musik disini memata-matai para selebritis dunia, karena Croisette punya sejumlah cafe yang diminati selebritis.

Apakah Festival di Cannes cuma itu?
Ngga!!!!! Ada juga beberapa yang ngga kalah seruh.
Yakni :
Cannes Lions International Advertising Festival, dibilang sebagai satu-satunya perhelatan bagi kaum kreatif dunia periklanan. Tercatat lebih dari 10.000 delegasi dari 85 negara yang berpartisipasi disini tiap tahun. Dalam festival ini kita bisa menyaksikan lebih dari 28.000 karya iklan kreatif, bisa joinan di lebih dari 50 seminar tentang advertising, dan 25 workshop. So, bagi anda yang tertarik, berbakat, dan merasa hidup anda pantes mati-matian di bidang periklanan, Cannes sudah menunggu, Bos!!! (http://www.canneslions.com).
Carnival on the Riviera, atau dalam bahasa Perancisnya ‘Mardi Gras’ merupakan gelaran karnaval keliling kota. Dibuat untuk menyambut masa Pra- Paskah (Kristen). Banyak tampilan lucu dan unik di acara ini. Biasa diadakan kitaran bulan Februari atau Maret, menurut penanggalan liturgi gereja. Dalam edisi Inggris dibilang Shrove Tuesday atau lucunya diterjemahkan: Selasa Gemuk hahahaha……
The International Festival of Games, diadakan di bulan Februari, event dimana kita bisa menonton atau bahkan berpartisipasi dalam adu otak serta ketelitian semisal bermain kartu, belote, backgammon, catur, draughts, tarot dan permainan otak lainnya.
Festival de la Plaisance (www.salonnautiquecannes.com), adalah pameran/ show kapal-kapal pesiar. Bertempat di Vieux Port, yang paling antusias disini tentu saja para jutawan serta keluarganya. Berbagai perusahaan kapal pesiar mewah memarkir karya mereka disini. Moment ini pun digunakan sebagai ajang perniagaan, jual - beli kapal pesiar. Anda akan geleng-geleng kepala jika melongok satu persatu kapal yang dihadirkan di sini.



Kendati berwisata disini agak menuntut biaya, kota kecil Cannes yang menyala saat festival film digelar atau Monte Carlo yang eksotis, bukanlah berat untuk 'ditaklukkan'. Setuju ?

Salam!
Valentino 

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...