Jalan - Jalan ke Lisbon- Portugal (Bagian 1)


LISBON
DALAM MELANKOLI
MASA LAMPAU



“ANJO DA GUARDA. Eu estou aqui, disinilah saya” pekikku menatap kibaran helai-helai kain pada pucuk tiang bendera yang mengibarkan komposisi warna hijau dan merah dengan ornamen lambang kerajaan kekuningan, di pelataran pintu keluar bandar udara internasional Lisbon Portela alias Aeroporto Internacional de Lisboa. Saya menghirup nafas panjang, melempar pandang ke sekitar.

Ajaib. Dalam sekejab saya merasa seperti tidak sedang berada di negeri asing. Ini bagai mudik ke kampung halaman sendiri, hanya saja pemandangannya berbeda, sementara atmosfernya sama. Terlebih manusia-manusianya. Baru beberapa menit, saya telah disapa orang per orang, seolah saya adalah bagian dari mereka. Oh, di pihak saya sendiri, saya merasa bagian dari mereka juga. Secara emosi, secara fisik…... Tapi saya sadar benar: saya telah berada di Lisbon, ibukota Portugal.

Portugal. Ya, Portugal. Inilah tanah yang telah lama saya impikan. Saya menaruh namanya di nomor pertama bangsa yang ‘harus’ saya kunjungi. Mimpi tentang negara ini telah saya rajut dari kecil. Terlahir di Flores bagian timur dengan catatan sejarah sebagai persinggahan yang cukup lama bagi bangsa penjelajah itu, memang mau tak mau memberi bekas bayangan masa silam. Menggoda rasa ingin tahu. Apalagi leluhur saya, separuh dari darah ini, berasal dari Sikka yang dulu menjadi basis komunitas Portugal di abad ke XVI-XVIII.

Saya tak mau berspekulasi dengan pertanyaan mungkin atau tak mungkin saya memiliki pertalian darah dengan bangsa itu. Jika ya, so what? Itu tidak mengubah nasib juga nasionalisme saya sebagai orang Indonesia. Jika pun tidak, why not untuk melihat tanah air The Godfather pulau kami?






BUS MEMBAWA saya ke jantung kota. Melewati jalur yang jauh berbeda tampilannya dengan kota London di Inggris yang beberapa jam lalu saya tinggalkan. Lebih sederhana, kadang irregular, namun sekilas tertangkap bahwa kehidupan disini lebih ejewantah, lebih bernyawa.

Nama kota Lisbon dalam lidah lokalnya disebut Lisboa. Beberapa negara menamakannya Lissabon. Nama ini konon berasal dari “Allis Ubbo” bahasa Phoenician yang bermakna “Dermaga Yang Aman”. Teori lain menyebut nama Lisbon muncul dari jaman pra-romawi, “Lisso” atau “Lucio” yang dialamatkan kepada sungai Tagus (Tagus River) yang bermuara disana, dan diintegrasikan dengan propinsi kuno Romawi, Lusitania. Bicara soal namanya yang menyerempet ke kata Lisso, Lucio, dan Lusitania, saya jadi teringat pada hebohnya “Lusitânia Expresso,” sebuah kapal ferry yang mengangkut penumpang dan kendaraan dari Portugal ke Timor Leste pada tahun 1992 (saya masih SD kelas 3 waktu itu tapi ingatan saya kuat hehe...). Perjalanan kapal ini dilakukan oleh 120 pelajar dari 23 negara untuk menggugah dunia perihal pembantaian warga Timor-Timur di Santa Cruz, Dilli (baca artikel: Insiden Santa Cruz). Rencananya para pelajar akan melakukan tabur bunga mengenang tragedi itu. Sayangnya, perjalanan laut yang begitu jauh tersebut terhadang oleh pasukan militer Indonesia pada tanggal 11 Maret di laut Timor, memaksa untuk kembali ke Portugal. Hubungan Indonesia-Portugal pun memanas tapi peristiwa ini memancing dunia untuk mengarahkan mata ke Timor Leste (English: East Timor). Situasi di Flores juga ikutan tegang, karena isu-isu perang menyebar. Saking hebohnya kapal itu, salah satu nelayan di kampung saya ikut memberi nama sampannya dengan nama serupa.

Kota ini takluk dalam kuasa kaum Moor Muslim dari Arab dan utara Afrika di tahun 711. Sistem pemerintahan, ekonomi, agama, sosial berada dalam hukum Islam. Bahkan orang Kristen yang merupakan penghuni aslinya dilarang menjadi anggota tentara. Setelah 400 tahun terbebas dan meraih kembali kejayaan, lagi-lagi ia ditimpa kemalangan dari alam, yakni gempa bumi dasyat disusul tsunami yang tak hanya memporak-porandakan banyak bangunan megah tapi juga membunuh 40.000 warganya. Kendati begitu keindahan Lisbon tak langsung musnah. Sebagai tempat yang menerima pengaruh banyak budaya, kota penyelenggara ajang sepakbola piala Eropa UEFA Euro 2004 ini dipenuhi banyak arsitektur menarik. Satu yang menjadi ciri khasnya yakni rumah-rumah berdinding porselen biru- putih penuh lukisan naratif yang luar biasa indah. Angkah “4” mungkin identik dengan kota ini, buktinya di tahun yang sama dengan penyelenggaran piala Eropa, Lisbon dianugerahi gelar sebagai European Capital of Culture, ibukota budaya Eropa.





BERHUBUNG SAYA TIBA sore hari dan harus kesana-kemari memikul ransel mencari penginapan di sekitar Praça do Marquês de Pombal , maka malam pertama hanya sanggup saya habiskan di sekitar area itu. Dua jam sempat kencangkan betis berjalan kaki hingga ke Praça dos Restauradores dengan misi cari makan. Apes, sesampai disana rumah makan lokal sudah tutup, yang buka cuma restoran cepat saji global, batal jadinya niat mencicipi masakan Portugis.

Pagi hari saya dibangunakan oleh cicit burung-burung kecil dari balik jendela hotel Parque Eduardo VII, tempat saya bermalam. Setelah sarapan yang mengenyangkan, rasanya saya siap untuk menghabiskan waktu di luar sana.

Lalu lintas manusia dan kendaraan mulai sibuk saat saya menujuh stasiun metro (kereta bawah tanah) terdekat. Hari ini saya ingin mengeksplor bagian kota tua. Saya tersenyum membaca tulisan di dinding gedung sebuah perusahaan perbankan dekat stasiun, ‘Bank Espiritu Santo’. Di kampung saya kata Espiritu Santo –yang berarti Roh Kudus- hanya kami gunakan dalam konteks kereligiusan. Sebagai bekas koloni Portugis, bahasa daerah kami telah tercampur dengan kosa kata bahasa Portugis.





Saya turun di Praca dom Pedro IV atau lebih singkat disebut Rossio. Kesan lapang, antik, dan khas Mediterania langsung terekam manakala bertatapan dengan monumen raja Pedro serta air mancur di tengah kepungan restoran serta hotel. Terdapat gedung teater tua dan sebuah bangunan bergaya gotik tinggal rangka tanpa atap bernama gereja Convento Carmo yang tersembul di barisan belakang, berada di ketinggian. Mmm..saya harus kesana.






Sebelum ke gereja Convento Carmo, saya mengitari sejenak kawasan Baixa. Saya terperanjat menemukan satu arsitektur neo-gotik serupa baja di menara Eiffel, namanya Elevador San Justa. Ternyata struktur bangunannya memang sealiran dengan maskot kota Paris itu, arsiteknya sendiri adalah anak didik Gustave Eiffel, orang di balik menara Eiffel. Elevador San Justa berfungsi sebagai lift yang menghubungkan kawasan Baixa dengan Bario Alto yang berada di ketinggian. Maksud hati mencoba naik dengan Elevador, kebetulan Convento Carmo tepat di kepalanya, apa daya harus menunggu lamanya antrean, plus tidak gratis, saya pun memilih menapaki anak tangga biasa.







Gereja Convento Carmo walau kehilangan atap tapi masih menyisahkan keanggunan masa lalunya. Dibangun pada tahun 1300 tapi hancur oleh gempa bumi dasyat yang menimpah Lisbon pada pertengahan abad ke 18. Sekarang fungsinya beralih menjadi museum. Disini masih bisa dilihat dengan jelas ornamen-ornamen bergaya antropomorfis. Salah satu ruangan malah ada mummy-nya juga. Saya merabah sang mummy, iseng ‘berharap’ menghidupkannya lagi seperti yang dilakukan Brendan Fraser dalam film “The Mummy.” Namun amit-amit ia bangkit.





Saya lanjutkan eksplorasi ke bagian lain dari kawasan Barrio Alto. Rasa-rasanya kawasan ini lebih berjiwa muda, bukan lantaran bangunan lebih modern, bukan. Ia nyaris sama saja dengan Baixa, namun disini orang-orang muda lebih banyak kelihatan hilir mudik. Ada bar, kafe, distro yang juga ditujukan bagi kaum muda.

Sampailah saya di Miradouro Sao Pedro de Alcantara, Disini saya mendapati pemandangan kota Lisbon dari atas dengan mengagumkan. Di depan mata terpampang kastil São Jorge, sungai Tagus dengan jembatan merah menyalahnya. Angin berhembus sepoi, menyejukan udara hangat, melontarkan pengunjung ke bayang-bayang rupa kota di masa jayanya. Ini adalah tempat terindah untuk melihat view Lisbon. “ Nanti malam saya harus kesini lagi, pastinya akan lebih bagus,” bathin saya.

Kembali ke bagian bawah kota, saya menumpang trem kuno. Lucu, mendapati alat transportasi tua tersebut masih eksis di jaman sekarang. Alih-alih menghilangkannya, kendaraan ini malah menjadi maskot tambahan bagi Lisbon, daya tarik turistik tersendiri.







ALFAMA ADALAH kawasan tua Lisbon yang saya datangi berikutnya. Siapa pun yang bertandang ke Lisbon, sepertinya wajib ke Alfama. Ia memiliki aura melankoli masa lalu nan khas. Dia adalah bagian kota paling miskin, namun balik wajahnya yang terkesan ‘merana dan terlantar,’ Alfama menyimpan untaian kisah sejarah yang dalam. Portugis dan Spanyol adalah dua negara yang pernah dikuasai orang-orang muslim Moor selama abad ke-8 hingga abad ke-12. Alfama menjadi pusat kehidupan orang Moor di masa itu. Namanya datang dari bahasa Arab Al-hamma, berarti tempat pemandian. 

Ketika kejayaannya sirna oleh kebangkitan kerajaan Portugis maupun konflik internal kaum muslim sendiri, para pemimpin Moor meninggalkan Alfama, menyisahkan penduduk yang bertahan dan memilih berpindah keyakinan. Saya berhenti sejenak di Katedral Santa Maria Maior de Lisboa dan menjumpai percampuran sentuhan Gothic, Roccoco, Romanesque, dan Arab pada arsitekturnya. Pemandangan luas yang juga mengagumkan tersebar di sekitar katedral, saya jadi ragu apakah telah tepat memilih Miradouro Sao Pedro de Alcantara untuk didatangi nanti malam ataukah disini saja?































Alfama juga tempat terbaik mendengarkan pertunjukan musik Fado. Musik tradisional Portugis ini merupakan hasil perpaduan tiga budaya; Portugis, Arab, dan Afrika. Perkenalan pertama saya dengan musik Fado terjadi di Hannover, Jerman. Waktu itu saya diberitahu kerabat bahwa akan ada pertunjukan musik dari seniman Portugis, Trio Fado (www.triofado.de). Saya langsung jatuh cinta pada musik itu dan mencari tahu informasi tentangnya. Kini saya di Lisbon, di Alfama pula, urat nadinya musik ini. Bayangkanlah, bagaimana Anda menyusuri gang-gang sempit kala temaram, memandang ke lautan luas, mencicipi masakan lokal, dan mendengarkan Fado dengan lagu menyentuh seperti Português de Nós yang dibawakan oleh penyanyi Mariza atau sekaligus oleh tokoh legenda Fado, Amália Rodrigues . Tidakkah sebuah perjalanan yang sempurna?








MASIH DI KAWASAN Alfama, berdirilah kastil São Jorge yang saya pandangi dari Miradouro Sao Pedro de Alcantara sebelumnya tadi. Melihat sekilas, kastil ini mirip kastil-kastil di Syria (Timur Tengah) seperti Masyaf Castle. São Jorge memang kastil kaum Moor Muslim yang jatuh ke tangan raja pertama Portugal, King Afonso Henriques saat berkobar gerakan kebangkitan Kristen, Reconquista” dari tahun 790 sampai 1300. Ada sebuah kisah heroik seorang pejuang bernama Martim Moniz yang dikenang oleh rakyat Lisbon kala terjadi perebutan itu. Martim merelahkan tubuhnya dijepit gerbang kastil hingga tewas demi membuka jalan bagi balatentara raja Afonso. Terdapat banyak monumen di kota yang dibuat demi mengingat pengorbanan Martim, umpamanya stasiun metro yang memakai namanya. Pintu gerbang kastil São Jorge pun kini diberi nama serupa.
Karena antrean masuk ke dalam kastil begitu sibuk, saya memutuskan untuk menyingkir saja ke pagar kastil dan menikmati panorama berlawanan arah dengan Miradouro Sao Pedro de Alcantara. Jarak antara kedua bukit memang amat dekat sehingga dengan muda saya mengenali titik-titik yang pernah saya singgahi di seberang sana.

Selanjutnya saya kembali lagi ke Baixa, menumpang metro ke penginapan. Masih banyak tempat lain untuk dikunjungi tapi rasanya badan saya sudah kelelahan. Butuh rehat untuk penelusuran berikut. Saya mendamba bagian lain lagi dari kota Lisbon, atau menikmati apa yang telah saya lihat tapi dalam ‘timing’ yang beda, atau…saya ingin menemukan hal-hal berkaitan dengan pulau kami Flores. Uii.i.., curiosidade, rasa penasaran ini membuncah!





Diposting @April 2012

Bersambung.......
(SEMUA FOTO ADALAH PRODUK PRIBADI)

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...