Jalan - Jalan ke Labuan Bajo, Pulau Komodo, Pulau Kanawa, Pulau Seraya, dan Pulau Bidadari-FLORES (Bagian 1)


LABUAN BAJO,
KOMODO,
DAN SENSASI 127 HOURS

Nama Labuan Bajo tiba-tiba akrab di telinga. Iklan komersil yang disponsori satu produsen minuman berenergi tahun-tahun kemarin menyebabkannya meroket. Padahal kota kecil di ujung barat Flores ini dulunya hanya pemukiman sembrawut nelayan suku Bugis dari Sulawesi Selatan.
Lain lagi dengan Pulau Komodo, dunia sudah mencatatnya sebagai satu-satunya rumah terakhir hewan prasejarah. Meski demikian, puluhan tahun popularitasnya di negeri sendiri tak begitu bergaung. Baru-baru ini keikutsertaannya dalam New World’s 7 Wonders malah memicuh kontroversi, kendati toh akhirnya membuktikan diri bahwa ia tak hanya ada untuk dihargai sepintaslalu saja namun layak untuk didatangi dan dijaga.
Seperti apa rupannya? Berikut ini catatan perjalanan saya.


LABUAN BAJO
SUA PERDANA SAYA dengan Labuan Bajo kira-kira terjadi enam tahun silam. Jangan tanyakan seberapa besar perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut, saya melihat kota ini bergeliat kian hari kian cepat. Masih lekang dalam ingatan, karena enam tahun lalu itu Labuan bajo baru saja menetas jadi ibukota kabupaten baru: Manggarai Barat. Otonom, lepas dari naungan induk.







Kabupaten Manggarai yang dulunya menjadi kabupaten terluas di Flores, telah pecah menjadi tiga. Nah, sebagaimana sebuah distrik yang ‘baru merdeka,’ enam tahun lalu itu yang bisa dihirup dari jalanannya adalah debu semata. Debu dari jalan-jalan yang baru dibuka atau diperlebar serta debu dari kegiatan pembangunan gedung-gedung pemerintah. Saya hafal benar situasinya, segelintir penginapan pengap, bagaimana repotnya bepergian ke area-area sekitarnya.
Kini, transformasinya mengagetkanku. Terlebih di bagian pesisirnya. Sebagai pintu gerbang menujuh Komodo tampaklah Dive center berjejeran, hotel tumbuh satu per satu dengan standar semakin baik, travel agen sudah bak jamur, restoran malah ada yang berkualitas dunia. Kendati sana sini Labuan Bajo masih menyisahkan kekumuhan rumah penduduk dan sampah yang menjadi ciri khas tempat huni nelayan pengembara, tapi sungguh, dia telah banyak berubah, mengalahkan satu dua ibukota kabupaten di Flores yang lebih dulu ada. Labuan Bajo bisa kubilang sebagai kota kabupaten yang paling kelihatan progresnya.






MENYEBUT ‘BATU CERMIN’ sebagai satu situs wisata alam di dekat pusat kota Labuan Bajo mungkin bukan hal baru. Akan tetapi, gua stalaktit yang terletak tak lebih 5 km dari airport ini menjadi spot yang akan selalu saya kenang bukan karena keindahannya, melainkan oleh satu pengalaman konyol yang saya dapatkan disana.

Ceritanya, bersama Krack, keluarga dari Jerman, saya mengunjungi Batu Cermin pagi-pagi. Petugas pemungut bea karcis belum datang saat itu, sehingga kami masuk gratis dan dengan bebas kami pun menyelip dari satu kisi ke kisi lain dalam gua, melompat kesana kemari. Keberuntungan yang tentu amat dinanti backpacker kere seperti saya. Jangan bayangkan Batu Cermin disesaki oleh stalaktit atau stalakmit ya? Memang ada, tapi tonjolan hasil pengerasan speleothem tersebut jumlahnya cukuplah dihitung dengan jari. Saya pikir obyek seperti ini butuh support atraksi lain, misalnya mini museum yang berisi info tentang stalaktit dan stalakmit atau apapun yang bisa membuat pengunjung merasa “get something worthwhile” daripada datang dan hanya menemukan sebuah gua yang tak seberapa besar.

Sampailah di titik jenuh, kami pun beranjak hendak meninggalkan Batu Cermin. Begitu akan melalui pintu keluar, kami melihat petugas pemungut bea karcis sudah berdiri disana. Wah, tidak bakalan gratis lagi nih kalau sampai disamperin petugasnya, dia hafal pastinya siapa saja yang masuk, apalagi pengunjung hari itu cuma segelintiran. Siasat buruk pun kami atur. Tampaknya ada jalan setapak di sebelah kiri gua yang tembus hingga ke belakang. Saya yakin pastilah ada kampung dan jalan raya.

Apesnya, sudah lebih dari 6 km berjalan kaki, kami tak melihat satu rumah pun. Sepi. Daerah itu hanya terdiri dari padang yang mengering. Matahari menyengat, serta diperburuk pula oleh kenyataan bahwa persediaan air minum kami telah habis. Alih-alih atap berteduh, satu pohon rindang saja tak tampak sama sekali. Stress menghinggapi. Saya dan Krack mulai saling menyalahkan, menggerutu, menyumpahi situasi. Siasat yang awalnya untuk menyelamatkan diri malah membawa kami pada keadaan yang menyedihkan. Air, pemukiman penduduk, jalan raya, kendaraan, itulah hal yang sangat kami impikan. Dan saat itu, di bawah terik matahari, yang kami temui hanyalah fatamorgana. Benar-benar fatamorgana, baik dalam arti literal maupun metafor.
“Lain kali saya tak mau lagi jalan sama kamu!,” keluh saya.
“Loh, ini kan keputusan bersama?!”
“Tapi saya sudah haus,lapar, capek..dan tersesat”
“Ich auch!! Leider ich kann nicht verändern. Weisst du??!*
Wah, parah kalau Krack sampai mengomel dalam bahasanya. Lantas kami jalan lagi, dengan jarak yang berjauhan, dengan pikiran masing-masing. Siapa yang lebih banyak mencaci-maki siapa, tak tahulah…
Enam tahun berselang, saya merindukan perjalanan sengsara bersama Krack ini.









































CUNCA WULANG, bila dibilang canyon waterfallmemang tak keliru. Bila dibilang bisa mandi-mandi segar sambil lompat-lompatan dari tebing juga tak keliru. Yang keliru hanya satu yakni datang kesana saat hujan. Kebayang kan naik turun bukit, kaki belepotan lumpur, dan basah kuyup pula?
Seperti itulah setting perjalanan saya menggapai air terjun yang berjarak 30an km dari pusat Labuan Bajo. Nyaris dua jam sendirian mengendarai sepeda motor sewaan, ternyata masih harus berjalan kaki lagi sejauh 3 km. Jarak 3 km ini andaikata datar saja, ya tak perluhlah dikeluhkan, namun lain cerita jika jarak yang diatas kertas terasa pendek ini, pada kenyataannya ternyata menguras waktu nyaris sejam. Apa benar 3 km seperti kata petugas di pos penjualan karcis?
Saya digabungkan dengan empat pengunjung asing dalam satu grup, ditemani seorang guide kami menuruni bukit. Dari huma penduduk lantas menerobos turun ke lebatnya hutan. Berbagai serangga dan suara burung menemani kami. Termasuk nyamuk. Keempat pengunjung asing itu berusia lebih dari 5o tahun dan gemuk-gemuk pula, jalannya aduhai lamban, dengan mangkel saya ‘terpaksa’ menyesuaikan laju. Ini yang paling saya benci kalau jalan dalam kelompok, ketemu yang tidak asyik, mendengar salah satu dari mereka mulai mengeluarkan keluhan-keluhan, mood saya jadi tak enak. Agar tidak terlalu mempengaruhi semangat, saya mensiasatinya melalui perbincangan dengan guide kami, Boni. Lelaki sebaya saya ini menceritakan legenda-legenda tua daerahnya, termasuk dongeng Cunca Wulang sebagai pemandian para dewa.

Cerita Boni bisa jadi hanya karangan semata, tapi itu menolong saya. Ketika sampai di hadapan canyon mininya, hati saya serta merta dialiri kedamaian. Panjang lereng tebing berbatunya hanya beberapa meter tapi nuansa mistis, senyap, teduh, dan segar yang tercipta tampaknya mampu membayar rasa penasaran saya.

Boni mengajak saya mendaki ke lereng sebelah kiri supaya bisa melihat dari atas. Saya agak ragu karena kondisi tanah yang basah dan hidangan tebing terjal menunggu mangsa di sisi kanan, namun ajakan ini tak bisa saya tampik. Saya selalu menginginkan yang lebih. Keempat pengunjung itu mengomeli kami. Masa bodoh, memangnya saya capek-capek datang kemari untuk lihat aliran sungainya saja?
Jatuhnya air di sela batu, kolam-kolam kecil yang tercipta pada tebingnya juga cela sempit yang dingin, menciptakan aura gaib. Adrenalin saya juga turut terlecut saat Boni mendadak mengambil ancang-ancang hendak loncat ke bawah, menyerahkan tubuhnya diterkam ruang canyon yang semata batu dan sempit. Cuplikan film 127 Hours* datang di otakku dengan segera, secepat hilangnya tubuh Boni yang dalam hitungan detik diikuti bunyi “byurrr..”.
Keren!!









































































































PERCOBAAN KEDUA agar bisa ke Danau Sano Nggoang akhirnya berhasil. Saya pernah gagal di kali pertama. Ibarat sudah jatuh tertimpah tangga pula, niat saya ke Sano Nggoang pada awalnya berbuah pahit. Baru sampai di desa sebelum berbelok ke arah barat, saya mengalami kecelakaan sepeda motor, jatuh dengan luka yang lumayan besar sampai-sampai harus dirawat di Puskesmas terdekat. Kondisi jalan raya tidak jelek sebenarnya tapi pas di tikungan menurun, mendadak sebuah mobil muncul dari depan, saya mengerem sepeda motor tapi naasnya di hadapan saya bertebaran kerikil kecil. Kendaraanku terpeleset dan harus merelahkan betis kiri diparut aspal. Aww..perihnya minta ampun!

Saya tak jerah. Selang dua bulan, cerita dari beberapa orang tentang kawasan yang rimbun dan kaya burung endemik Flores di bawah naungan gunung Mbeliling ini menggoda semangat saya lagi. Letak danaunya memang jauh dari jalan raya, sama seperti ke Cunca Wulang. Dan dengan sepeda motor, perjalanan terasa teramat berat karena lubang dan batu-batu besar terhampar belum tersentu aspal. Namun begitu sampai di kampung Nunang, semua pengorbanan terbayarkan. Danau Sano Nggoang tak hanya memberi keasrian tapi menciptakan surga kecil. Lagi-lagi suara burung memecah sunyi, itik-itik hutan berenang membuat riak kecil di permukaan danau. Sebentar terang, sebentar berkabut, permainan cahaya alami nan indah. Saya jadi teringat pertemuan saya dengan danau-danau di pegunungan South Tirol, Austria.
Bermalam disini bukanlah hal sulit karena Sano Nggoang sudah dikelola dengan bagus. Melakukan trekking-trekking ringan ke bukit sekitar untuk memperoleh view lebih lapang di pagi hari pun jadi ide yang spontan mendorong kita mensyukuri alam ciptaan-Nya. Berkat turun tangan dari Burung Indonesia* juga jalinan kerjasama yang baik dengan penduduk setempat, wisata dan ekosistem tempat ini ada harapan untuk berjalan seimbang.








PULAU KOMODO
“KOK BISA, mengaku orang Flores, sudah kemana-mana tapi belum pernah ke Komodo?!,” delik Raymond teman Couchsurfing asal Jakarta. Saya hanya mengangkat bahu, tertepuk perasaan malu. Raymond mungkin diam-diam mencemooh saya, tatapannya terkesan ‘ridicule.’
Bukannya saya jadi korban peribahasa semut di seberang tampak - gajah di pelupuk mata tak tampak itu. Bukannya saya lebih tertarik bertandang ke tanah orang ketimbang tanah air sendiri. Kerinduan itu ada, hanya saja selalu muncul alasan: “Ah, Komodo kan tak jauh, ibarat melompat sekali sudah sampai. Kapan-kapan sajalah kesana.”
Kalimat ‘kapan-kapan sajalah kesana’ tersebut pada akhirnya menanti realisasi. Dan saya beranggapan bahwa inilah saatnya mendatangi Komodo.
Pak Yahya atau lebih akrab disapah Abba Yaya, warga Labuan Bajo sekaligus pemilik kapal motor mewujudkan nazar saya. Kami berkenalan saat saya mulai sering nongkrong di warung kopi Mama Bella. Mendengar keinginan saya, Abba Yaya bersimpati dan berjanji menyertakan saya dalam pelayaran menujuh Komodo, kapal motor beliau memang selalu disewa wisatawan. Saking bahagianya, saya berjingrak-jingkrak konyol disambut derai tawa Mama Bella dan warga yang akrab saya temui disana. Ini dia, daripada duduk membisu di restoran mahal, mending bergabung di warung kopi. Makan minum murah plus interaksi dengan penduduk lokal. Dijamin bakal punya ‘keluarga’ baru. Asal tahu saja, di warung Mama Bella bisa WiFi gratis, pasalnya ia langsung di belakang restaurant Mediterraneo, tinggal datang nenteng notebook, browsing selama kita suka, cukup bayar makan harga gopek. Bagus kan? (Sttt..jangan bilang siapa-siapa ya?)





BERANGKAT meninggalkan Labuan Bajo jam 8 pagi, saya terselip antara 5 tamu asing. Rasanya beda menemukan pemandangan bahwa di depan dan di belakang kapal kami turut berlayar pula kapal lain bertujuan sama. Berjejeran seperti rantai semut. Satu demi satu pulau-pulau kecil kami lewati, terus ke barat, ada kalanya laju kapal cepat tapi ada kalanya amat lambat karena berlawanan dengan arus laut. Bertebarnya pulau-pulau kecil menciptakan banyak selat apalagi secara geografis letak kepulauan Komodo vertikal dengan selat Makassar sehingga menghasilkan arus yang deras. Dibalik efek kelambanan pelayaran yang disebabkannya, ternyata arus yang deras menjadi sarana migrasi dan tumbuh kembang biota laut. Pantas saja perairan Komodo ini kaya akan ikan dan terumbu karang. Fakta ini menjadi daya tarik lain di Komodo, bahwa selain melihat biawak purba, kedatangan wisatawan kemari pun dimotivasi untuk menikmati kehidupan bawah lautnya. Jangan kaget, di Labuan bajo obrolan bertema penyelaman lebih popular ketimbang tentang si reptil Komodo sendiri. Boleh dikatakan pula bahwa lebih dari 50% pengunjung adalah penyelam atau orang yang berniat belajar menyelam. “Komodo is not only about the dragon itself but also its marine life. That’s why this site becomes more attractive to visit, and of course to proctect,” terngiang cuplikan kalimat seorang instruktur penyelam yang pembicaraannya saya tangkap di sebuah resto Labuan Bajo. Dari database Divekomodo, salah satu operator dive, tercatat lebih dari 60 titik penyelaman tersebar di perairan Komodo dengan karakter serta keistimewaan masing-masing. Ambil contoh, di Gililawa Laut yang jadi surganya ikan kerapu, GPS Point tempat berkumpul hiu, Tatawa Kecil jadi planet ikan anthias, atau di Manta Alley lembah penuh ikan pari. Itu baru 4 titik. Kalau dihitung, butuh waktu dua bulan penuh, non stop, untuk menyaksikan atraksi bawah laut di 60 titiknya. Hebat nian.
Kapal tiba hampir jam 10 pagi di dermaga pulau Komodo, kami langsung membeli tiket di pos jaga. Tiketnya valid selama 3 hari kendati ada biaya tambahan untuk kamera. Keadaan pos jaganya bagus dan tertata. Perluh diketahui, sejak tahun 1980 kawasan Komodo (meliputi pulau Komodo, Rinca, Padar, dkk) menyandang status sebagai Taman Nasional sedangkan UNESCO mendeklarasikannya sebagai World Heritage Site* tahun 1991. Sebelum memulai trekking, ranger yang akan menemani kami, mengawali trip dengan penjelasan singkat mengenai sejarah dan habitat hewan purba itu di Taman Nasional Komodo. Sesudahnya kami pun memulai trekking. Terdapat 3 jenis pilihan trek, mau yang singkat, medium, atau trek panjang, tergantung keinginan pengunjung. Nasib mujur kembali datang, group saya rata-rata orang muda, sehingga kompak memilih trek panjang. Tak peduli matahari menyengat, kaki siap melangkah.


Sambil bergerak beriringan, ranger kami terus menerangkan pola hidup Komodo, dari reproduksi hingga teknik survival binatang itu. Sejak bayi, Komodo sudah harus mengasah insting bertahan hidupnya karena induk mereka punya kebiasaan memakan anaknya sendiri. Hewan bernama latin Varanus Komodoensis ini punya bisa racun mematikan, uniknya bisa itu hanya sanggup melumpuhkan mangsa hewan lain, bukan sesama Komodo.
Tiba-tiba langkah ranger terhenti dan mengisyaratkan kami untuk hening. Di depan ternyata berkumpul sekawanan rusa dalam bilangan yang banyak. Saya yang dari tadi bersikap tenang, gopoh-gopoh mengeluarkan kamera. “Ada mangsa artinya ada predator. Jadi, kemungkinan besar disekitar gerombolan rusa ini ada Komodonya,” bisik sang ranger seraya mengayunkan tongkat yang ujungnya bercabang dua, ‘senjata’ khas para ranger. Tapi memandang rusa-rusa cokelat yang lucu dan berwajah innocent, saya merasa iba, tega juga Tuhan menempatkan mereka disini sebagai santapan Komodo. Oh, poor deers, rusa-rusa yang malang…..
Baru lima langkah melanjutkan trekking, ranger berhenti lagi. Kali ini senyumnya mengembang, girang. Dia mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah pohon asam nan rindang, dan…alamak, itu dia Komodonya!!!!
Semua kami tercengang. Ada dua ekor Komodo berukuran super besar bertempur sengit. Saya gelagapan memegang kamera, baru mengatur fokus belum menekan shutter, eh pertempuran itu berakhir dengan kekalahan salah satunya. Saya melongoh. Antara kecewa namun juga terpesona. Pelan-pelan ranger memimpin kami untuk mendekat. “Kita datang agak telat. Ini pertempuran yang sengit, dengan ukuran tubuh sebesar itu banyak menguras energi mereka. Sekarang kita punya kesempatan untuk berada lebih dekat lagi karena dalam kondisi paska perang, mereka butuh waktu berjam-jam untuk kembali stabil, menyentuh tubuh mereka tak berbahaya dalam keadaan seperti ini,” kata sang ranger, kembali mengembang senyum. Saya melotot. Apa? Kami bisa mendekatinya bahkan boleh menyentuhnya?
“Serius nih, Om. Saya boleh lebih dekat kesana?”
“Ya, mari ikut saya.” Dua cewek bule remaja bergidik ngeri dan berpelukan. Jason, pemuda Amerika mengekori saya lantas menggoda keduanya.
“Come on, girls. Come to papa, give a kiss to the winner..,” candaannya disambut cekikikan kami.







PERJUMPAAN KAMI dengan The Ancient Dragons terus berlanjut, diselingi gemeretak lari babi hutan, serenade burung elang di langit biru pekat, dan ayunan kera-kera keabuan dari dahan ke dahan. Hingga di akhir etape, bukan hanya hati kami yang bermada tapi perut kami pun dandutan.

Kami kembali ke kapal, menyantap makan siang dikelilingi laut antara Komodo dan Rinca. Kami batal menjejaki Rinca hari itu, tinggal beberapa meter saja padahal tapi tanggung terpesona pada pemandangan menggoda di Pillarsteen, dimana ikan-ikan besar berekor kuning mengelilingi kapal kami serta sebaran karang lunak bagai taman bunga bawah air. Sebuah titik hitam mengambang pelan, itu kura-kura. Kami telah bertemu Sang Naga, sepertinya cukup, kini giliran bermain dengan Kura-Kura Ninja. Jadi, ayo cebur.
“Shit, it’s fucking cold!!!,” erang Jason. Air lautnya dingin bukan main. Dua gadis remaja yang tadi digodanya, bercekak pinggang, dan dari atas kapal terbahak,
“Come on, boys. Come to mama, give a kiss to the turtles..!!,” teriak mereka.


Puas di Pillarsteen kami bergerak untuk kembali ke jalur semula dan menceburkan diri lagi di laut depan Pink Beach. Sesuai namanya, pasir pantai pulau ini berwarna merah jambu. Halus saat disentuh. Wah, sepertinya cocok untuk bulan madu. Jam 5 sore kami pelan-pelan beranjak ke Labuan Bajo. Melihat sebuah pulau pasir menyembul sendirian di tengah laut, kami memohon nahkoda kapal untuk singgah disana. Warna putih bersihnya amat kontras dengan birunya laut. Satu per satu kami berenang ke pulau sepanjang 6 langkah itu. Berlagak bak Tom Hanks, terdampar di sebuah pulau tak bernama. Sungguh, tak salah, ini dia rasanya Cast Away.
Tapi saya tak mau pulang…
Saya mau disini….
Saya menyalahkan diri saya karena sempat ikut-ikutan tak setujuh dengan kampanye Vote for Komodo. Saya juga malu pada diri sendiri untuk mengakui, bahwa gara-gara kontroversi itu saya terlecut untuk melihat Komodo. Benar pepatah lama bilang, tak kenal maka tak sayang. Jika ada yang masih bertanya, apa sih hebatnya TN Komodo, saya tak mau menjelaskan panjang lebar, cukup dua kata: Datang, Lihatlah.






KEMBALI BICARA TENTANG Labuan Bajo. Sudah kubilang enam tahun telah tercipta perubahan berarti di Labuan Bajo, buktinya kalau dulu hanya bisa makan di RM Artomoro sekarang sudah bisa milah-milih sekehendak hati. Sampai-sampai saya punya list 5 Best Restaurants, 5 Best Accomodations, and 5 Best Dive Centers in Labuan Bajo. Tapi kali ini saya fokus ke gastronomi (masalahnya akhir-akhir ini saya sangat suka memperhatikan urusan perut saat bepergian). Rating ini saya buat berdasarkan personal taste, icip-icip saya yang sudah hampir berkali-kali ke Labuan Bajo:
  • Mediterraneo.
Seturut namanya, tak pelak lagi yang ditawarkan adalah menu masakan negeri Mediterania. “Terutama Italia,” tegas Mattia Nizzardo, staf dari resto yang punya ikon bunga matahari dari susunan sendok garpu ini. Mediterraneo punya design bangunan yang menarik perhatian dengan jembatan kayu panjang dan dinning room yang lega plus view ke dermaga. Tiramisu serta Barracuda carpacio, adalah dua contoh menu kesukaan saya disini. Perkara rasa, sungguh al dente! Diolah langsung oleh koki Italia. Jl. Soekarno Hatta, Tel. 082146161663. Free Wi-fi. Lebih cocok didatangi untuk: Lunch dan Dinner, atau sekedar menikmati minuman ringan sore hari.




  • Three Top
Restaurant imut berbentuk rumah adat Lombok ini punya 3 lantai, dengan pernak-pernik bernuansa merah. Ukurannya tak seberapa besar, membagi tiga lantai dengan fungsi sendiri-sendiri: lantai pertama diisi meja billiard, lantai kedua barulah ruang makan sesungguhnya, lantai ketiga hanya dimanfaatkan untuk berleha sejenak. Matheus, pemilik resto yang gemar menyelam di perairan Komodo rupanya punya misi untuk menyediakan tempat ini sebagai arena makan sekaligus pelepas penat para divers. Jl. Soekarno Hatta, Tel. 038542093. Free Wifi. Lebih cocok didatangi untuk: Dinner, atau sekedar menikmati minuman ringan siang/sore hari.



  • The Corner
Tempat makan yang satu ini sangat familiar bagi saya karena saya kenal baik staf dan pemiliknya. Sebelum adanya Mediterraneo atau Three Tops, The Corner adalah rekomendasi utama sekaligus tempat kumpul para penyelam. Apa yang membuat ia ‘kalah’ dari kedua resto diatas mungkin pada anbientnya. Sementara masakannya, hingga kunjungan terakhir saya kesana, masih tetap lezat kok. Pesanlah menu-menu hot plate atau barbecue-nya. Jl. Soekarno Hatta, samping gerbang masuk dermaga, Tel. 081237759159, Free Wifi. Lebih cocok didatangi untuk: Dinner




  • The Lounge
The Lounge paling rajin saya datangi. Saya merasa ‘hommy’ saja saat duduk disini sambil berinternet atau baca buku. Meski hanya di peringkat 4 untuk menikmati makanan tapi ini tempat nyaman untuk Brunch atau segelas kopi/jus. Mas Asep, pengelola The Lounge amat sopan dan bersahabat, demikian pun staffnya- membuat pengunjung jauh dari terror “pesan apa lagi, pak?” (staff Mediterraneo suka sekali dengan pertanyaan ini). Jl. Soekarno Hatta, Tel. 038541962. Free Wifi. Lebih cocok didatangi untuk: Brunch atau menikmati minuman ringan siang/sore hari.


  • Paradise Bar
Letaknya di lereng bukit. Pemandangan perairan Labuan Bajo nan luas, adalah senjata utama Paradise Bar. Saya tidak terlalu menikmati masakannya, tapi datang kesini saat senja, membiarkan angin menyapu kulit, menikmati sunset dari ketinggian seraya menyeruput kopi atau fresh juices sepertinya dapat membuat terlena. Akhir pekan bar ini diramaikan dengan live music hingga subuh. Tak perluh menebak jenis musik apa yang paling popular disini. Kita di Flores, Bung, jadi sudah pasti irama Reaggae! (Jl. Binongko, sedikit mendaki. Tel. 038541733. Lebih cocok didatangi untuk: menikmati kopi/minuman ringan sore hari, lalu Beer di malam hari.)


Atau lebih memilih berhemat dengan masakan Indonesia yang enak, ekonomis, penyajiannya baik juga halal? Nah, ada satu tempat makan yang layak didatangi, namanya Restaurant Philemon, milik Pak Udin (Tel 038541066, samping pelabuhan Pelni). Tempat ini jauh lebih mending ketimbang makan Nasi Ayam di rumah makan Padang yang bertebaran di sepanjang jalan. Hot plate dan fresh juicenya cukup sedap di lidah. Kalau mau lebih murah lagi, datang saja ke warung kopi Mama Bella yang berupa pondok kecil di belakangnya Mediterraneo, langsung di tepi laut, hanya buka dari jam 9 pagi- 7 petang, pesan kopi-mie instan-nasi campur (harga dibawah 10.000) sambil ikut ngobrol dengan penduduk lokal yang ramah-ramah. Opsi terakhir makan malam di warung-warung kaki lima sebelah utara tepi laut (arah menujuh Paradise Bar), ikan bakarnya boleh juga (harga 15-25.000 tergantung ukuran ikan). Mau?






Rekomendasi Lokasi memotret di sekitar Labuan Bajo:
Bukit Waringin, ada hotel di bukit ini. Untuk memotret pemandangan segalah penjuru dermaga dan pulau-pulau beranjaklah ke banguan sebelah selatan. Sangat bagus saat pagi hari dan pastinya saat sunset. Paradise Bar, suasana senja disini Top punya. Pantai Ujung, lokasinya sebelah utara setelah Paradise Bar. Cantik sekali saat matahari terbenam karena terdapat dermaga kayu disini, eksplor juga pesisir sebelah kanannya. Pantai Pede, ini pantai yang bersih dan tenang, siang dan sore hari sama bagusnya untuk tidur-tiduran. Terletak di sebelah selatan pusat kota, ke arah sebelum Hotel Bintang Flores.
Agar leluasa bermobilisasi, sebaiknya sewalah sepeda motor di Labuan bajo, mulai Rp. 60-100.000/hari, penyewaan terdapat di sepanjang Jl. Soekarno Hatta, lakukan tawar menawar harga. Biasanya harga lebih murah lagi jika menyewa dua hari atau lebih.
Harga ojek dari Bandar udara Labuan bajo ke pesisir (pusat wisata) yakni Rp.5000. Bersikaplah seolah sudah pernah ke Labuan bajo, karena acapkali tukang ojek meminta harga 10.000-15.000/orang padahal cuma 2 km jaraknya. Atau minta stop di Hotel Waringin, cukup bayar 3000, lalu turuni jalan setapak di sebelah kanan hotel menujuh ke bawah kota.
Kalau ingin bersnorkeling di perairan sekitarnya, biasanya kapal motor sewaan sudah menyiapkan mask. Tanyakan saat mau menyewa kapalnya, jika tidak maka perlengakapan snorkeling bisa disewa di biro-biro perjalanan kecil. Harga berkisar 15.000-20.000 untuk mask beserta fins dan snorkel.
Tunggu apa lagi?
Bersambung……Next episode, bagian 2: Pulau Kanawa, Seraya, dan Bidadari.
Catatan Kaki:
  • “Ich auch!! Leider ich kann nicht verändern. Weisst du??! : Saya juga!! Sayangnya saya tidak bisa mengubahnya. Tahu kamu??! (bah. Jerman)
  • 127 Hours: Dibintangi James Franko, film petualangan ini berkisah tentang pendaki gunung yang terperangkap batu di Robbers Roost, Utah-Amerika. Sang petualang harus memotong tangannya agar bisa keluar setelah terperangkap selama 127 Jam. Salah satu adegan favorit saya yakni saat ia bersama seorang backpacker wanita terjun dari cela dinding yang amat sempit menujuh ke danau bawah tanah. Film ini dapat 6 nominasi Academy Award tahun 2011.
  • Burung Indonesia: LSM yang konsen pada konservasi burung, berada dibawah BirdLife International-berpusat di Denmark.
  • World Heritage Site mengakui resmi 7 situs Indonesia dalam daftarnya, yakni: Candi Borobudur, TN Komodo, Candi Prambanan, TN Ujung Kulon, Sangiran, TN Lorentz, dan Hutan Tropis Sumatera. Sedangkan dalam status tentative (belum diakui) terdapat 27 situs. Selengkapnya silahkan klik ke: http://whc.unesco.org/en/tentativelists/state=id
Untuk melihat foto dalam ukuran besar, klik ke salah satu foto. Semua foto adalah karya pribadi, penulis memegang original file dan berkuasa penuh atas hak cipta. Pemakaian foto untuk tujuan apapun DILARANG tanpa izin. Terima Kasih.

Diposting @Januari 2012 

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...