Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa 

Kawa

 MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES




P

ada celah antara dua pohon besar yang dijuntai alga fruktikos Usnea longissima nan lebat, pemimpin adat Don Bosco Doko berdiri menyambut. “Petu Keta, Zaza Ja - yang panas jadilah dingin,” sabda lelaki tua itu sembari memercikan air ke tiap orang yang baru tiba. Saya menghitung setidaknya lima kali ia mengirap-ngirapkan tangannya ke badan saya, bagaikan proses pemindaian oleh petugas keamaan kepada tetamu di hotel-hotel. Esensinya mirip; demi menghalau kemungkinan-kemungkinan buruk yang datang dari luar. Bedanya, petugas keamanan hotel memakai alat modern pendeteksi logam, sedangkan Don Bosco Doko hanya menggunakan air dalam Kula- sebuah wadah dari buah labu kering. Tanpa energi listrik, tanpa alarm, tanpa kedipan lampu, namun air dalam Kula punya daya nekromansi. 

Kami lantas diperkenankan memasuki pekarangan kampung yang lapang namun amat senyap. Maklum, musim hujan telah menyibahi tanah, sehingga kampung-kampung di pegunungan cenderung sunyi di siang hari lantaran penduduk kebanyakan menghabiskan waktu di ladang mereka, menggarap dan menanam. Yang tinggal di rumah-rumah biasanya kaum lanjut usia dan anak-anak kecil.

Saya berhati-hati melangkah, sebab di halaman kampung berserakan beberapa batu megalith yang disakralkan. Sebelum tiba tadi, kami sudah diwanti-wanti agar tidak sembarangan menginjak atau duduk di kumpulan-kumpulan batu dalam kampung. “Bisa kena sial dan musti dibuatkan ritual segera,” begitu kata Yohanes Niku, pemandu kami.     

Kawa, nama kampung yang kami datangi ini adalah sebuah kampung tradisional di Nagekeo, daerah wilayah tengah Flores, Nusa Tenggara Timur. Letaknya menyelimat di balik halimun Gunung Amegelu. Sudah lama saya mendengar namanya, tapi belum punya kesempatan untuk mendatangi. Kendati saya telah menyambangi sejumlah kampung tradisional di Nagekeo, namun Kawa jadi dambaan sendiri, justru karena posisinya yang terisolir itu. 


Don Bosco Doko, pemimpin adat kampung Kawa. Di rumahnya tersimpan sebuah kain kuno peninggalan Portugis yang dikeramatkan.

Usnea longissima, alga yang bergelayutan pada pohon besar yang menjadi gerbang masuk kampung

Susunan bebatuan megalith yang tersebar acak di pekarangan kampung. Patut diperhatikan agar jangan terinjak saat jalan

UNTUK MENCAPAI KAWA, kami berjalan kaki selama dua jam lebih, hiking melewati hutan, mendaki dan menuruni bukit berulang-ulang hingga otot betis berasa liat. Pendakian bermula dari kantor desa Labolewa setelah tiga puluh menit dari Mbay, ibukota Nagekeo. Dari kantor desa Labolewa, rute menuju ke kampung ini kasar berbatu, meskipun lebar jalan cukup untuk dilalui mobil namun hanya nyaman bila ditempuh dengan mobil sejenis 4WD atau lebih gagah dengan menunggang kuda. Di musim hujan, jalan menjadi lembek licin, membuat langkah kaki terasa berat karena direkati lumpur.

Yohanes Niku, pemandu kami, mengisi waktu pendakian dengan cerita yang tiada habisnya sehingga kami lupa menghitung peluh. Misalnya legenda setempat mengenai Jinga Beli, sosok makluk raksasa yang menakutkan serta cacat moral. Kata Yohanes, Jinga Beli meninggalkan jejak kakinya pada bebatuan dalam hutan yang kami lalui. Di sebuah titik, Yohanes mengarahkan kami untuk mencari batu jejak kaki raksasa itu, sayangnya, kami tidak menemukannya. Di titik yang lain dia menunjukkan Batu Gong, bebatuan ceper lebar yang apabila diketoki dengan batu kecil langsung berbunyi nyaring dan jika diselaraskan dengan ketokan-ketokan lain akan menghasilkan irama musik.

Setelah melewati hutan, rute pendakian menyisir sisi barat Gunung Amegelu di mana ladang-ladang warga mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau jagung dan palawija. Sebuah bukit kecil yang dinamai Bukit Terlarang mencuat di lereng dan menjadi penanda bahwa letak kampung Kawa tak lagi jauh. Sepanjang jalur ini panorama ke lembah Aesesa dengan ngarai dan lapisan-lapisan perbukitan di seberang memanjakan mata. “Setibanya di kampung, jangan langsung masuk ke pekarangannya. Kita musti menunggu di gerbang kampung yang ditandai oleh dua pohon besar. Nanti setelah diperciki air dan diizinkan, barulah kita masuk,” pesan Yohanes begitu sayup gonggongan anjing-anjing penjaga kampung mulai terdengar.


Jalur pendakian dari Desa Labolewa menuju kampung Kawa melewati jalan berbatu
diapit hutan belukar. Sepanjang jalan terisi oleh kicauan aneka burung.

Pemimpin perjalanan kami, Yohanes Niku, membunyikan Batu Gong sembari juga mengisahkan legenda Jinga Beli.

SIAPA YANG TIBA di kampung Kawa, akan langsung menyukai tempat ini. Lokasinya estetik. Kampung Kawa memanjang dari barat ke timur membentuk formasi huruf ‘U’. Di baratnya langsung bersemuka dengan puncak Gunung Amegelu dengan kuda-kuda merumput pada lerengnya yang bagai permadani berkabut. Di sisi timur, Gunung Ebulobo menaungi, walau jaraknya amat jauh berpuluh kilometer tapi seperti disematkan tepat bagai mahkota untuk kampung Kawa.  Bagian utara selatan dikitari pepohonan kemiri. Kampung ini sungguh-sungguh terpisah dari kampung lain, terpental sendirian, dengan hawa sejuk. 

Bak dianjur magnet, saya mengikuti langkah pemimpin adat Don Bosco Doko ke rumahnya. Arsitektur kampung Kawa mengikuti gaya perkampungan tradisional di Nagekeo umumnya, dalam versi yang lebih bersahaja. Rumah-rumah berpanggung rendah dari bambu dan atap alang-alang serta ijuk. “Di sini kami tidak memiliki banyak ornamen sebagaimana di kampung tradisional lainnya karena nenek moyang kami senantiasa berpindah-pindah kampung dulunya, sehingga kampung tidak dibentuk dengan permanen. Tidak ada simbol adat seperti Peo dan Lado, antena di bubungan rumah,” urai Don Bosco. 

“Terdapat lima belas rumah adat, namun yang utuh tiga belas rumah. Ini milik lima suku. Rumah yang berada paling depan bagian utara adalah milik suku Nakazale, mereka punya dua rumah, namanya Sa’o Aja Ola dan Sa’o Radawona,” Don Bosko menerangkan. Ternyata kendati sederhana, namun tiap rumah punya nama sendiri. 

Di samping suku Nakazale, ada pula suku Riburato yang juga punya dua rumah adat bernama Sa’o Laluola dan Sa’o Natanghedu. Lalu suku Wala dengan rumah Sa’o Nagonata dan Sa’o Keliwala. Menyusul suku Geganeja punya empat rumah yakni Sa’o Nitubata, Sa’o Radonio, Sa’o Watutaga, Sa’o Radonio, dan Sa’o Radomengi. Dua rumah yang terakhir disebutkan telah dibongkar dan butuh dibangun kembali. “Saya sendiri dari suku Nakabhega. Kami punya lima rumah yakni Sa’o Rajamengi, Sa’o Kadamanu, Sa’o Batalabo, Sa’o Pu’uwaru, dan yang sekarang kami tinggal adalah Sa’o Batanitu,” tambahnya dengan ramah. Don Bosco menunjukkan satu demi satu rumah yang ia maksud. 

Aktifitas warga Kawa tidak cuma berladang namun juga berburu. Menurut Don Bosco, kampung mereka masih sering didatangi rusa dan kerbau liar. “Sekitar bulan September digelar ritual berburu rusa, masuk hutan dan bergelayang ke padang sabana. Kami menyebutnya ritual Dai Nara,” katanya dengan mimik sukacita seakan momen tersebut amat ditunggu-tunggunya.


Deretan rumah-rumah bagian selatan. Tampak berjejer Sa'o Batanitu, Sa'o Pu'uwaru,
dan Sa'o Natangedhu

Seorang warga baru pulang dari berburu kerbau liar di hutan,
membawa daging buruan segar yang sudah dibagi-bagi

Jelang senja, ia mengantar kami ke padang sabana di sisi barat kampung, menuruni lembah, menghadap Gunung Ebulobo. Saya terkesima lantaran mendapati lansekapnya paling menawan dari padang sabana manapun yang pernah saya lihat di Flores. Kawa boleh saja sebuah kampung bersajaha, namun ia dibingkai oleh alam yang transenden, dicucuri hawa yang membuat hati legawa. Sejuk, sebagaimana takrif yang diucapkan Don Bosco saat menyambut siapa saja di gerbang kampungnya; ”Petu Keta, Zaza Ja.”


Lembah padang rumput Kawa menghadap ke Gunung Ebulobo (2.124 mdpl)

Sisi utara kampung dengan panorama ke ngarai Aesesa


***

GLOSARIUM:

  • Usnea longissima: Sejenis lumut yang menggantung seperti rumbai pada pepohonan. Disebut juga “Methuselah's Beard”. Lumut ini biasanya hidup di pohon-pohon tua yang tumbuh di pegunungan atau di tempat yang udaranya sangat bersih. Seringkali menjadi penanda bagi para ilmuwan bahwa tempat itu bebas polusi. Lumut ini berbeda dari Lumut Janggut, meskipun mirip.
  • Nekromansi: penghubung manusia dengan arwah leluhur/ kemampuan meramalkan masa depan dengan mengadakan hubungan dengan arwah orang yang telah meninggal.
  • Dianjur: dari  kata ‘anjur’, berarti disentak/ ditarik/dierek/diseret
  • Takrif: pernyataan, maklumat. 

#kampungkawa #kampungadatkawa #kampungadatflores #penulisntt #penulisflores #traveljournalist #travelwriter #travelphotographer #penulisperjalanan #valentinoluis #lionmag #inflightmagazine #majalahpesawat #visitnagekeo #kawanagekeo #kawatraditionalvillage          

Tulisan ini diterbitkan di LionMag, inflight magazine Lion Air, edisi Februari-Maret 2021. Klik di sini untuk membaca versi PDF majalahnya.  




Jalan - Jalan ke Larantuka (Flores Timur) Part 5

 Silir Sulur Soneta

Solor 

MELAWAT PULAU SUNYI DENGAN BABAD SEJARAH YANG DINAMIS


 

P

erjalanan ke tempat historis itu ibarat membuka komunikasi dengan roh manusia-dari abad yang berbeda. Persis seperti yang disabdakan filsuf Perancis, René Descartes, persis juga sebagaimana saya rasakan sekarang; menjejakkan kaki di antara puing benteng Lohayong, tercengut mendapati betapa masih rekatnya sisa-sisa kapur pada struktur bikinan Portugis ini. 

Ada semacam bayang-bayang kehidupan masa silam berkelebat dalam kebisuan purna; ilusi tubuh-tubuh kaum Eropa berinteraksi dengan wajah-wajah bumiputra. Laiknya berada dalam sepotong adegan serial tivi ‘Once Upon A Time’ yang menghadirkan kilas hikayat lampau di situasi kini, saya mengancar-ancar kembali suasana tahun 1566 ketika para padri Dominikan, sebuah ordo Katolik, membangun benteng ini di lereng bukit menghadap ke perairan yang kala itu mulai sibuk oleh lintas perdagangan yang dimabuki wangi Cendana.  

Menurut laman Fortificações na Indonésia, nama asli benteng ini adalah Forte de Nossa Senhora da Piedade de Solor yang disederhanakan penyebutannya  dengan Forteleza de Solor. Lantas ketika ditaklukkan Belanda tahun 1613, ia dinamai Fort Henricus XVII. Meskipun sekarang terkonversi menjadi komplek rumah warga, toh saya masih dapat dengan jelas memastikan bahwa benteng ini memang hasil gubahan Portugis. Saya pernah ke negara itu, telah melihat kesamaan rancang bangun antara benteng ini dengan sejumlah benteng-benteng di sana. Dan bila menilik pada sketsa tua Fort Henricus XVII, di mana dilukiskan bahwa ada empat bastion di sudut benteng beratap kerucut, maka saya bisa mendapati  ekuivalensinya dengan Castelo de Porto de Mos di Leiria, sekitar satu setengah jam ke arah utara Lisbon, ibukota Portugal.  Tentu saja dimensi benteng Lohayong lebih kecil juga pendek. 


Memandangi kota Larantuka dari dalam kapal motor yang menuju Solor

Para ibu berkain tenun warna merah

Sampan dengan nelayan yang sedang menebarkan jala saat senja memerah

SOLOR, sebuah pulau kering berwujud paha ayam, tercelat selat berarus kencang antara Flores, Adonara, dan Lembata. Hijau tetumbuhan menyaput 217 km2 wilayahnya dari Januari hingga Mei, setelahnya kekeringan merambati tanah berbatu merapak pohon lontar dan gajus yang tak seberapa teduh. Namun ada tanaman lain sanggup mekar subur walaupun musiman, yakni sorgum (sorghum spp.) dan kelor (moringa oleifera), yang kini acapkali jadi label bagi pulau ini. “Solor itu akronim dari SOrgum dan keLOR,” begitu canda seorang warga. 

Jauh sebelum wilayah lain di Flores mendapat pengaruh Eropa, pulau ini adalah persinggahan paling awal Portugis. Dikatakan, mula-mula mereka menempati Lamakera, wilayah timur Solor yang strategis untuk pelintasan kapal, kemudian membangun benteng dan komunitas yang dihuni para pedagang dan imam Katolik di Lohayong. Orang-orang Solor dapat dipastikan sebagai penganut agama Katolik paling pertama di gugus kepulauan Flores.  Sayangnya, pertikaian dan persaingan setempat, yang kemudian diperparah lagi dengan masuknya Belanda, akhirnya membuat pulau ini lantak dan ditinggalkan.

 

Anyaman dari daun lontar adalah kriya yang lihai dikerjakan ibu-ibu di Solor

Rumah-rumah tradisional di kampung tua Karawatung

BERANJAK dari puing-puing peninggalan Portugis, saya menuju ke wilayah barat Solor yang masih kental dengan budaya lokal. Wilayah ini tidak diperebutkan pada masa silam sehingga adat istiadat asli masih mudah untuk ditemukan. Sejumlah kampung-kampung tradisional sisa dari jaman prehistoris tetap terpelihara.

Di Karawatung, misalnya, tak sampai 10 km jaraknya dari benteng Lohayong, saya bersemuka dengan 15 rumah tradisional di tengah ladang yang sunyi. Arsitekturnya sederhana, menyerupai rumah-rumah tradisional di Lembata, pulau seberang timur Solor. Rumah berbentuk panggung yang rendah dinaungi atap lapang dari daun alang-alang, dinding bambu separuh. Tidak ada ukiran atau hiasan yang riwet.

“Arsitekturnya memang sangat polos, lebih mengutamakan fungsi, terutama untuk upacara-upacara adat, tapi kampung ini adalah yang tertua di Solor,” kata Petrus Moron, sang kepala desa yang menemani saya. “Sekarang tidak lagi dihuni, karena penduduk sudah berpindah tinggal di rumah permanen serta berpencar-pencar membentuk desa baru, tapi nyaris setiap hari ada saja warga yang datang menjenguk dan menjaga,” lanjut Petrus lagi.

Momen penting yang menghadirkan seluruh keturunan suku-suku di kampung Karawatung terjadi pada pertengahan tahun, sekitar bulan Juni, saat ritual Berauk digelar.”Berauk adalah pesta syukuran panen. Pulau ini kelihatan kering, namun sejak jaman dahulu kami tidak mengalami kelaparan, sebab ada sorgum, jagung, jewawut, dan umbi-umbian yang tumbuh. Makanan ini menguatkan kami. Dengan menggelar Berauk, kami mensyukuri berkat, dan mengharapkan kecukupan pangan hari-hari setelahnya,” Petrus bertutur sungguh-sungguh. Ketika Berauk digelar sorgum dan pangan lokal dihadirkan juga dimuliakan sebagai persembahan. Mendengar penjelasan ini membuat saya kagum bagaimana Tuhan membentuk negeri ini dengan unik, sejumlah daerah diberikanNya sumber makanan pokok yang berbeda. Maluku dan Papua dengan sagu, Nusa Tenggara Timur dengan jagung serta sorgum.

Selain Karawatung, kampung tradisional lain seperti Lewolo serta Lamagohang juga melakukan ritual serupa. Lewolo yang berada di atas ketinggian lereng gunung, amat memikat karena menebarkan pemandangan ke dua sisi laut yang berlekuk. Kampung-kampung tradisional ini tampak senyap namun memiliki roh, atma peradaban Solor. “Kampung tradisional terlahir oleh darah para leluhur, roh mereka tinggal tetap saat raganya melebur dalam debu,” kata-kata Petrus terpatri dalam ingatan saya.  


Pemuda dari Lewotana Ole dengan hiasan kepala menutupi mata

Seorang pria dari Balaweling

LAZIMNYA daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur, perihal tari-tarian daerah Solor juga menganut langgam yang sama, yakni tarian yang dipentaskan secara massal bukan ditampilkan orang per orang, lebih mengutamakan ketangkasan kaki dan menuntut durabilitas. Variasi gerakannya tidak banyak tapi tidak akan membosankan, semua akan menari dengan semangat selama berjam-jam. Ini mengindikasikan kuatnya ikatan komunal dan solidnya kebersamaan dalam suku. 

Saya beruntung menyaksikan sejumlah tariannya. Dari Ritaebang, desa pesisir barat Solor yang ditaburi pasir putih, orang-orang menari dengan kedua tangan dikaitkan di belakang badan. Tarian Perik Merik, namanya, hanya diiringi oleh pukulan satu gendang kecil mereka menari sekaligus menyanyi dengan pekikan-pekikan energik. Sedangkan di Nuhalolon, desa tetangga Ritaebang, tarian Belun Bele menampilkan gerakan rancak sekumpulan ibu-ibu berbalut kain tenun merah jambu-hitam dan mahkota bulu-bulu ayam. Tidak ketinggalan, tarian Beku dari desa Lewotana Ole, yang dihadirkan oleh para pria tangguh dengan hiasan kepala bagai elang berjambul merah panjang, bergandengan tangan membentuk lingkaran. Melihat para penari yang berapi-api sekaligus penuh peluh penghayatan, seolah menatap orang-orang berdoa dalam gerakan, antara silir sulur soneta.

 

Alat tradisional yang bila ditekan akan mengeluarkan bunyi yang bergaung

Pegelaran tarian adat hingga larut malam

Saya tidak menduga, sungguh, hal-hal menyangkut energi durabilitas manusia dalam menjalani hidup justru terpancar di daerah-daerah yang sepintas terkesan tak mampu menyokong penghidupan.  Oh, saya lupa, mungkin bangsa Portugis menyadari ini, sebab Solor pernah dirancang untuk menjadi pengganti Melaka, rencana yang muncul setelah pusat kekuasaan mereka tersebut jatuh ke tangan Belanda. Mereka memberangkatkan orang-orang Melayu Melaka dalam kelompok-kelompok untuk kelak menghuni Solor. Namun apa hendak dikata, VOC mengendus niat tersebut.

Dalam artikel Avarice & Inquity at The Solor Fort, R.H Barnes menulis, "VOC kuatir akan rencana itu, lalu pada tanggal 1 Februari 1646 mengirim Mayor Willem van der Beek bersama 25 tentara dan 35 pelaut membombardir Loyahong dan pesisir Solor." Orang-orang Melayu Melaka terpaksa menyelamatkan diri, mencari tempat-tempat aman untuk berlindung. Mereka ke Tanjung Bunga,  Adonara, Larantuka, Konga, dan wilayah barat Solor yang tenang. Rencana Portugis menjadikan Solor sebagai Melaka Kedua gagal, dan orang-orang Melayu itu melebur diri menjadi warga setempat, yang kini mewariskan kisah napak tilas mereka lewat cerita lisan hingga tradisi dan seni.

Bagai ilusi optik, Solor menutupi babad-babad dinamika sejarahnya dalam tanah yang nampak kering dan berbatu. Lewat penampilannya yang boyak banal, ia memalang komunikasi kita terhadap roh manusia-dari abad yang berbeda. Saya perlu terus belajar , menggali, dan bepergian, untuk mengumpulkan saripati tempat-tempat bersejarah dan manusianya. 



***
Follow Instagram saya DI SINI

#valentinoluis #travelwriterindonesia #traveljournalist #travelphotographyindonesia #lionmag #lionair #inflightmagazine #adonara #kerajaanadonara #saguadonara #balenagi #festivalbalenagi #pulausolor #florestimur

Tulisan ini dipublikasikan di majalah pesawat LIONMAG (Lion Air) edisi bulan November 2020. 
Untuk membaca versi PDF online, silahkan klik foto berikut ini. TERIMA KASIH



Jalan - Jalan ke Pulau Sebayur (Labuan Bajo)

Desau Bayu
Pulau Sebayur
MENGGENGGAM KEHENINGAN NAN JENJAM
DI GERBANG TAMAN SANG NAGA


D
ermaga Kampung Ujung, pagi itu ramai seperti biasanya. Di bagian paling utara, sebuah sekoci berwarna putih berayun. Di dalamnya dua pria kulit putih duduk bercakap dengan awak kapal. Seorang lelaki muda menyambut saya, “Selamat pagi. Mari, kita akan langsung berangkat. Pak Massi dan Mikel sudah ada,” ujarnya. Saya melompat masuk ke dalam sekoci, dan kedua pria itu mengulas senyum, “Selamat Pagi! Boungiorno!” Dalam waktu singkat tahulah saya bahwa mereka orang Italia.

Pak Massi atau lengkapnya Massimiliano de Reviziis tak lain adalah pemilik penginapan di pulau yang hendak saya tuju, sedangkan Mikel merupakan instruktur dive kepercayaannya. Pantas saja penumpangnya hanya kami bertiga, sebab tetamu lainnya baru akan diberangkatkan tengah hari. Kemarin saya dihubungi stafnya agar berangkat pagi-pagi saja. Tentu saya bersukacita, sebab terus terang, saya lebih menyukai perjalanan laut pagi ketimbang siang hari.

Sekoci pun dengan gesit membelah laut di antara puluhan kapal yang bersandar di Labuan Bajo. Langit biru cerah dan matahari memapar suam. Hari yang afdal untuk anjangsana ke pulau-pulau, laut, dan pantai.

Ada sekitar 260-an pulau kecil di sekitar Labuan Bajo, hanya 30 pulau yang masuk dalam zona lindung Taman Nasional Komodo. Artinya, masih banyak pulau yang dapat dikembangkan untuk wisata bahari, selain yang menjadi habitat Varanus Komodensis. Sayangnya, justru banyak pengusaha Indonesia yang tidak peduli hal ini. Mereka memilih yang dianggapnya lebih menguntungkan tanpa peduli akibat destruktifnya, yakni berinvestasi langsung di zona inti konservasi. Akhirnya muncul masalah-masalah, seperti kasus Pulau Rinca dan Pulau Padar yang sedang disorot dunia akibat hendak dikonversi menjadi resort.

Nah, hari ini saya akan bertandang ke salah satu pulau yang tidak termasuk dalam zona lindung tersebut. Namanya Pulau Sebayur.  Terletak di sebelah barat Pulau Kanawa. Sebagian kecil pulau ini dimanfaatkan untuk wisata dengan menghadirkan penginapan pinggir pantai. Pak Massi memilih mendirikan Xpirates Camp di sana. “Sesuai namanya, ini bukan resort mewah, saya hanya membangun perkemahan. Konsepnya sangat natural, karena memang saya menyukai kealamiaan dan keheningan,” terang lelaki itu dengan gestur khas Italia. Sepertinya kami menyukai hal yang sama. 

Burung-burung gagak senantiasa beterbangan dan tak takut-takut mampir di resto.
Perairan dangkal di sisi barat, tepatnya di sekitar Komodo Resort memiliki taburan terumbu karang yang amat subur

Antar jemput penumpang dengan speed boat ke kapal saat laut surut
SETELAH 40 MENIT tangkas meluncur, sekoci pun merapat ke sisi utara Pulau Sebayur yang sangat lengang. Karena laut sedang surut, sekoci berhenti di batas koral, dan dari arah penginapan, sebuah speed boat mungil menjemput kami.

Ini seperti masuk ke sarang bajak laut. Saat menjejaki pantainya, saya menyadari tempatnya begitu alamiah. Lereng bukit cadas yang langsung menghadang, pepohonan menyembunyikan pondok-pondok sederhana, lambang bajak laut terpampang, dan kawanan burung gagak terus berkitar dengan suara menggelegar. Saya seolah salah satu tamu di kediaman Captain Jack Sparrow. Untung saja staf-staf di sini tidak berkostum bajak laut!

Soal makan, di sini ternyata dilayani dengan sepenuh hati. Serasa tidak sedang berada di pulau terpencil, hidangannya beraneka. Barangkali lantaran pemiliknya orang Italia, hal-hal terkait urusan perut memang prioritas. Tambah lagi terdapat resto dekat tebing berpanorama menawan.

Saya tidak menepis hasrat untuk menceburkan diri ke dalam laut. Mikel malah iklas meminjamkan saya kamera kedap air untuk memotret ikan serta koral. Kondisi terumbu tidak begitu spektakuler, atau mungkin saya belum mendapatkan titik yang tepat. Toh, saya sempat bersua seekor Pari Bintil Biru (Blue Spotted Stingray).

Satu elemen alam yang paling saya sukai adalah bukit. Selalu antusias kalau kemana saja bertualang melihat bukit. Termasuk ke pulau-pulau kecil. Sebagai orang yang gemar mendaki, suka jalan kaki, dan senang berada di ketinggian, hampir setiap destinasi alam yang saya datangi targetnya ada hiking, tidak musti bukit yang menjulang, asalkan bisa melihat panorama lapang dari ketinggian.

Restoran terbuka Xpirates Camp di sisi tebing menghadap lautan luas

Sisi utara Sebayur banyak dihiasi oleh tebing-tebing berwarna merah

Sebuah beanbag di kaki batuan putih menunggu seseorang untuk rebahan di atasnya
PULAU SEBAYUR berbentuk seperti otak manusia, sebagian besarnya terdiri atas bukit sabana, sama seperti pulau-pulau lainnya di Taman Nasional Komodo. Tanahnya berwarna merah. Bukit di sisi utara lebih tinggi dari bukit di sisi selatan. Namun saya tetap tertarik untuk mendakinya demi mendapatkan pemandangan lebih luas.

Sore pertama saya hanya mampu mencapai bahu bukit sebelah barat. Kendati vistanya memikat tapi saya belum puas. Keesokannya saya kembali mendaki lebih awal, sekitar jam 3.00 sore. Matahari masih menyengat, namun saya mencoba pelan-pelan merayapi bagian yang curam. Ini saya tempuh agar berada lebih lama di atas ketinggian saat senja.

Taktik ini jitu, mengingat tidak ada pohon untuk berteduh selama mendaki, satu-satunya cara yakni bergerak lebih lambat guna menghemat tenaga. Dari Xpirates Camp hingga ke puncak bukit, kurang lebih sama levelnya dengan mendaki di Pulau Gili Lawa yang baru-baru ini terbakar. Dari atas ini saya bisa melihat lebih jelas sejumlah pulau-pulau mungil tak berpenghuni di sisi barat Sebayur. Ada Pulau Nusa Batumandi, Pulau Sebayur Kecil, Pulau Klepor, Pulau Mangiatan, Pulau Siaba, hingga Pulau Tatawa. Sangat menawan. 

Deretan pulau-pulau saling bersilangan hingga ke selatan tampak pulau Padar nan jauh

Senja di atas bukit syahdu yang mendamaikan 

Saya menanti momen matahari tenggelam sendirian di atas bukit. Benar-benar hanya ditemani desau bayu yang menyapu alang-alang. Tenteram dan khidmat mengamati cakrawala berubah warnanya, dari biru ke jingga, merah ke violet. Saya baru memutuskan pulang saat jangkrik-jangkrik mulai berderit. Perjalanan turun bukit tidaklah sesulit ketika mendaki.

Esok paginya, seorang tamu penginapan mengajak berkeliling pulau dengan sekoci kecil. Saya tidak menolak keberuntungan itu. Kami mampir di sebuah resort di sisi selatan Sebayur, dimana karang-karangnya amat subur berlimpah ikan. Lantas beralih ke Pulau Sebayur Kecil yang pantai pasir putihnya membentang panjang di tepi utara. Saya mengingat rupa pulau ini saat mendaki puncak bukit sore sebelumnya. Di sini bayu pun bertiup, meski di siang hari membuat mata terkantuk-kantuk dan yang tergenggam hanya keheningan. Yang jelas, saya tidak memikirkan hal-hal yang rumit. Demikianlah kalau berada di pulau kecil dengan pantai nan aduhai. 

Saya berada di bukit ini benar-benar sendirian hingga jam 18.40. Kemudian turun gelap-gelapan.
Saya juga menginap di Komodo Resort, penginapan di sisi barat Sebayur

Kamar yang saya inapi. Arsitekturnya meniru rumah lumbung, nyaman dan sejuk.



@valentinoluis.indonesia
-----
Tulisan ini dimuat di majalah pesawat Lionmag (Lion Air). Bisa dilihat versi online PDF-nya DI SINI.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores #travelwriterindonesia

Jalan - Jalan ke Kreta (Yunani)

KEISTIMEWAAN
KRETA
PULAU TERBESAR YUNANI, TEMPAT KELAHIRAN DEWA ZEUS, 
YANG RAKYATNYA SANGAT TAHU BAGAIMANA MENSIASATI HIDUP




D
engan sigap Panagiotis memindahkan tiga pot tanaman hijau dan menaruhnya di depan pintu kamar. Seketika pintu itu pun tampak artifisial, kehilangan fungsinya sebagai akses masuk. “Selesai. Sekarang kamu bisa masuk lewat pintu samping dan dapatkan kamar seperti maumu,” katanya dengan senyum lebar. Saya terperangah. Cerdik nian dia memutar otak. “Endaxi, Efkaristo poli*. Begini lebih bagus,” ujarku. 

Setelah terlunta cukup lama di Piraeus-Athena, dilanjutkan berlayar semalaman ke Heraklion tanpa tidur yang cukup, saya kehilangan semangat bergerilya dari penginapan ke penginapan, hal yang memberi kesenangan tersendiri saat berkelana. Makanya, begitu tiba di Kreta, saya ingin selekasnya saja mendapatkan kamar.  Di pelabuhan berjejer banyak akomodasi, namun insting frugalku mengisyaratkan agar mencari kamar di gang-gang kecil belakang yang ramai dengan tulisan ‘Rent Rooms’

Insting itu pulalah yang mempertemukan saya dengan Panagiotis, salah satu juragan losmen. Dia menawarkan kamar paling depan namun saya kurang sreg dengan sistem pintu ganda, terutama pintu depan yang langsung bersisian dengan jalan. Panagiotis tak hilang akal, dengan cerdiknya menutupi pintu itu dengan meletakkan tiga pot tanaman rimbun. Di saat ekonomi negara Yunani dililit krisis panjang seperti sekarang ini, aksi yang dilakukan Panagiotis barusan adalah trik sederhana nan jitu. Bila tak mau kehilangan calon penyewa yang sudah berdiri di depan mata, kita harus berpikir dan bertindak cepat. “Orang boleh mencibir negara ini, tapi resesi tak akan mengubah penduduk Kreta menjadi pengemis kalut. Kamu tahu, Eropa belajar berpolitik dari nenek moyang kami,” Panagiotis berkata dengan santai namun implisit. “Teguklah Mythos, biar tidurmu ringan,” dia menyodorkan sebotol minuman dingin berembun, seakan-akan hendak menghapus pikiran saya yang telanjur dikotori stereotip media. Oya, Mythos adalah merek bir popular di Yunani, seperti Bintang di Indonesia, senantiasa hadir di mana pelancong menyemut.    

Greek Salad, saladnya Yunani ini adalah idola saya.
Sayuran segar dengan bawang, buah dan minyak zaitun, dan tentunya keju feta putih yang paling saya sukai!
Dinikmati sembari meneguk bir Mythos dan cocolan roti bakar hangat. Legit.

Jejeran hotel di sekitar pelabuhan.
Sebagaimana semua kepulauan  Yunani, umumnya bangunan dibuat dengan model kotak-kotak

Tempat makan di tengah perumahan tua memberi kesan tersendiri

Taverna berjejer menjamu pengunjung pulau. Taverna adalah sebutan untuk kafe-kafe kecil di Yunani.

BANGUN DARI TIDUR, Panagiotis membekali saya peta, memudahkan untuk menapaki bagian-bagian penting Heraklion, semisal mampir ke alun-alun Plateia Anglon di dermaga tua berhiaskan benteng Koules Venetian, kemudian ikut dalam keramaian pusat kota di mana anak-anak kecil bermain air mancur empat Singa, Morosini Fountain, tak jauh dari gereja Agios Markos. Kota ini dikelilingi oleh tembok dari abad 16, tapi isinya lebih modern dari perkiraan saya sebelumnya, agak beda nuansanya dari kota-kota lain Yunani. Dan yang menarik adalah wajah-wajah penduduknya yang jauh dari kesan depresif atau muram. Ya, Panagiotis benar, orang boleh saja mencibir ekonomi negaranya tapi penduduk tetap menjalani hidup dengan semangat. Mungkin mengamalkan pepatah Yunani ‘Tha zíso ópos ávrio den érchetai poté: Saya akan hidup seolah besok tak pernah hadir’?

Kreta tak hanya berstatus sebagai pulau terbesar di Yunani (8,303 Km2) tapi juga memainkan peran historis penting. Di sinilah cikal bakal Peradaban Minoan yang digadang sebagai peradaban paling maju di Eropa, hampir 3000 tahun SM silam. Tak cuma itu saja, pulau ini pun diakui sebagai tanah kelahiran sejumlah dewa-dewi terhormat dalam mitologi Yunani. Sebut saja Zeus, Artemis, Apollo. Dalam sejarah perkembangan agama Kristen pun Kreta menjadi lokasi penyebaran Injil pertama sebelum meluas ke seantero Eropa.

Sebagai destinasi wisata, nama Kreta punya tempat lebih istimewa ketimbang pulau-pulau lainnya. Mungkin pelancong Asia memfavoritkan Santorini, namun jika membandingkan keduanya secara seksama, maka Santorini tak lebih dari sekedar pulau kosong yang mencari perhatian lewat bangunan-bangunan putih yang tergantung di bibir tebing. 

Kontur alam Kreta sangat bervariatif. Sungai, danau, ngarai, hingga gunung bersalju dimilikinya. Dalam kunjungan ke sejumlah tempat sepanjang jarak antara Heraklion sampai Chania, kemolekan pulau berpeduduk 650.000 jiwa ini begitu memikat. Padahal, itu barulah dua kota di pesisir utaranya yang saya lihat.

Susah mencari persamaan Kreta dengan tempat lain di Yunani yang sudah pernah saya datangi. Pulau ini memadukan hal-hal kontras. Pikirkanlah, kita melintasi sebuah jalan lengang di tepi laut nan biru bening sementara di sisi lainnya berjejer pegunungan menjulang dengan putih salju, tapi suhu udaranya hangat khas Mediterania. Pikirkanlah puing-puing kuil kuno berumur ribuan tahun, ada yang berserak di lahan kosong tanpa siapapun, ada yang tegak berdiri dibekap sejuk hijau pepohonan teraliri air.

Anak-anak muda di sekitar dermaga tua Chania yang awalnya adalah tempat singgah kapal-kapal bangsa Venetia

Cathedral Virgin Mary di tengah kota Chania.
Meskipun mayoritas penduduk beragama Kristen Orthodox tapi ada beberapa umat Katolik di sini.

Almyriki, restoran kincir angin putih ini sangat saya sukai, dekat pantai pula

KECERIAAN MENYAMBUT saya manakala tiba di Chania, kota terbesar kedua Kreta. Saya suka komposisi kota ini dengan bayang undak pegunungan Lefka Ori sebagai mahkotanya. Dinding bangunan-bangunan di Chania berlumur cat beda warna. Orang mengenakan pakaian longgar, rata-rata putih, menimbulkan kesan rileks. Apalagi penginapan di sini diberi nama yang indah-indah, membacanya saja sudah seperti diajak ke dunia telenovena. 

Chania lebih kental bernuansa Venetian, struktur kotanya klasik elegan. Mercusuar dari bebatuan putih, alur jalan setapak, mansion bekas hunian kaum bangsawan maupun saudagar yang rata-rata hadir sejak abad ke-15. Namun tidak semata-mata Venetian, sebab pengaruh Byzantine pun nyata lewat gereja-gereja Orthodoks serta bekas benteng. Tak ketinggalan peninggalan kekaisaran Ottoman Turki dari tahun 1600an, terwakili oleh mesjid serta kastil tua. Pulau ini memang rebutan banyak bangsa. Untungnya, setiap pengaruh baru dari luar yang datang tidak serta merta menghilangkan yang sudah ada. Modernitas difilter dengan hati-hati. Beda dengan kota-kota di Indonesia, cenderung mudah terkonversi secara masif sehingga unsur-unsur otentiknya mengabur. Mungkin Yogya serta Solo adalah segelintir kota yang masih kuat mempertahankan aura lokal.  

3S: Sun, Sea, and Sand telah menjadi trade mark kepulauan Yunani. Tak ketinggalan di Kreta. Malah, bisa dibilang Kreta adalah tempat sesungguhnya bila mendamba ketiga hal tersebut. Jumlah pantai indahnya bejibun, mengelilingi pulau, jaraknya pun bersisian hanya  dipisahkan oleh tebing atau tanjung. Semacam parade eksotis. Untuk pantai-pantai di seputaran Chania, dengan komposisi pasir putih bersih, laut biru bening dan topografi yang bagus, letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Akses ke pantai-pantai ini pun mudah karena telah terhubung oleh sarana transportasi publik seperti bus yang haltenya langsung menuju ke pantai. 

Saat menilik Balos Beach di Tanjung Gramvoussa, Elafossini Beach, Falassarna Beach, dan menghantar terbenamnya Surya dari gua Matala Caves yang menghadap ke lautan, saya merasa orang-orang Kreta memiliki segala yang mereka butuhkan, bahkan lebih. Mereka juga telah menciptakan sejarah yang mempengaruhi penjuru Eropa tapi tetap menikmati hidup sebagai orang Kreta yang sejati. Mereka empunya keistimewaan. Maka apa yang ditulis novelis Inggris, HH Munro, bahwa “the people of Crete unfortunately make more history than they can consume locally” perlu direvisi. Sepertinya.

Matala caves, gua-gua purba yang jadi titik ideal menyaksikan matahari terbenam

Lembayung senja di lautan Kreta. Jika berlayar terus ke barat mengikuti terbenam matahari,
maka akan mencapai Pulau Antikythera

*
GLOSSARIUM:
Endaxi, Efkaristo poli : OK, Terima kasih banyak (bahasa Yunani)


-----
Tulisan ini dimuat di majalah pesawat Batik Air. Bisa dilihat versi PDF-nya DI SINI.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores #travelwriterindonesia

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...