Keliling FLORES (Maumere - Sikka Part 3)




Blikon Blewut!

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pulang kampung dan tanpa pekerjaan itu menyedihkan! Terlebih lagi bila salah satu impian besar Anda dibuat beku oleh kejadian di luar ekspetasi. Sadar bahwa masih ada terlalu banyak hal di sekitar yang bisa dialami dan dinikmati selama menyusun Plan B, saya melakukan petualangan keliling Flores dan mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, seperti Lembata, Adonara, dan tentu saja Komodo. Dari usaha meraih puncak gunung hingga menyusup lautan biru, ditemani sepeda motorku “Schnelli” (Kau hebat, Sayang!).

Pahit manis perjalanan juga sedikit permenungan coba kutulis dengan perspektif naifku, seorang Flores yang berusaha bersikap netral. Sunggu maaf, jika kata-kataku dalam kisah berikut menyinggung perasaan atau terbaca ironi atau dirasa menyepelekan beberapa hal yang dikultuskan di Flores. Hanya debulah aku!

=========================================================


Mungkin aku dikira penikmat pesta yang pulang kepagian ketiga Schnelli menggeram pada aspal kasar menaiki sepi bukit Nilo pukul 5 subuh tadi. Hal yang sudah ingin kulakukan sejak lama. Sekarang, aku terpekur di bawah tatapan mata Sang Perawan, Maria Bunda Segala Bangsa, patung setinggi 28 meter. Orang Maumere boleh bangga. “Kalau Bali punya Garuda Wisnu, Jepang punya Ushiku Amida Buddha, Rio de Jeneiro punya Christ the Redeemer, maka Maumere punya Sang Perawan ini,” tulisku dalam email untuk seorang teman. Pagi ini cat putih keperakan tubuhnya berdagrasi jadi kuning, bercahaya ketika matahari menyembul dari barisan gunung gemunung di timur jauh. Sang Perawan menghadap ke sejuruh penjuruh kota, merefleksikan sinar yang diterimanya dari matahari. Kuambil jarak, ke depan keluar dari batas, turun meniti batang pohon lalu berdiri di atas sekepalan batu raksasa. Angkasa menggelora dengan pendar kuning-merah-biru. Awan- awan mengeriting.

A super sunrise!!


Perlahan dunia kian nyata. Kota sekecil dan sesederhana Maumere amat mudah dikenali dari ketinggian bukit Nilo. Kampung Wuring di pesisir utara, contohnya. Tempat ini dihuni komunitas suku bugis dari Sulawesi. Rumah-rumah panggung yang didirikan di atas perairanlah menyebabkan komunitas kecil ini beda. Satu pesona melihat perempuan disana, dengan wajah berbalur lulur beras memikul beban di kepala tapi tak juah goyah meniti bila-bila bambu yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain. Satu poin minus ketika datang ke tempat ini: sampah berserahkan, mengapung atas basah air. Mungkin warganya terlampau sulit memahami kotbah, ”bersih itu bagian dari iman.” Dalam buku pandauan wisata, Wuring digelari The Gypsi Village, kampung kaum gypsi, pengembara. Julukan yang rasanya sudah usang karena mereka telah mendiami tempat itu puluhan tahun. Tak ada lagi pengembaraan, tak ada lagi hidup berpindah-pindah laiknya pemandangan kaum gypsi peziarah di Externsteine, Teutoburger Wald - Jerman. Kuakui, saat itu aku terpukau gaya hidupnya, ingin menjadi bagian dan menorehkan satu tatoo di lenganku: Kebebasan. Tak peduli kaum ini dimusuhi masyarakat, dianggap tidak produktif dan merana. “Berpikirlah lagi untuk menjadi gypsi,” kata temanku di Köln ketika kusinggung soal itu. Ia berdiam sejurus, menyeritkan kening lalu berujar “Na ja, tidak terlalu buruk. Menyaksikan eksistensi mereka membawaku pada revolusi Flower Power1.”

“Kecuali aksi yang berbau FKK2,” Aku tergelak.

“Beehh.h…mana mungkin. Buktinya sewaktu ke lokasi FKK kamu mengendap di antara pepohonan, berlama-lama mengintip”

Nur neugierig” Hanya penasaran.

So ein Spiner” Dia bilang aku penipu. Sialan.


Kemudian pandangan berpaling ke timur kota Maumere, dari sekian bukit, dimanakah letaknya kampung Dobo yang menyimpan artefak Jong Dobo itu? Benda mini serupa kapal-kapalan dari perunggu tersebut asal usulnya samar, entah dari Portugal, Vietnam, atau Sumeria, tak jelas kesimpulan para arkeolog. Aku sendiri cenderung berpikir bahwa artefaknya datang dari wilayah Asia, antara Asia Selatan hingga Tenggara sebab motif serta bahannya jamak ditemukan pada benda purbakala Asia. Paling tidak kunjungan yang pernah kulakukan ke Museum Leuvre di Paris dan Museum Dahlem di Berlin memberi andil kesimpulanku. Di lain pihak, kepercayaan lokal punya cerita yang unik meski lebih menitikberatkan pada hal tak logis. Kuhargai itu dan kuanggap sebagai suatu kekayaan budaya. Kendati rasional adalah kompas pikiranku, penghargaan terhadap sesuatu yang dikultuskan patut dimiliki setiap orang, karena dengan begitulah sebuah peradaban itu tak lekang akarnya. Sejak kecil sering kudengar nama benda itu disebut oleh orang dewasa sekitarku, tentu dengan kisah mencengangkan. Hanya saja lucunya mereka belum pernah melihat artefak itu langsung. Maka aku pergi kesana dengan sedikit bumbu pencitraan spiritual. Tapi faktanya beda, cerita-cerita magis yang melingkupi Jong Dobo tidak seimbang dengan perlakuan terhadapnya, hal yang justruh menjatuhkan nilai benda itu. Rasa kagum, kecewa dan geli ibarat permen Nano-Nano. Agus, pengunjung dari Manado menyeletuk padaku, “salah satu skenario magis yang patut direvisi adalah pernyataan bahwa artefak Jong Dobo tak akan muncul jika ngana sendirian masuk ke hutan keramat. Artefak hanya muncul jika ngana didampingi juru kunci hutan keramat itu.“

Bukan hal baru bagiku. Kedengarannya kamu hendak menyarankan sesuatu…

Ya. Nasihatku tak muluk-muluk. Sebaiknya sang juru kunci punya asisten agar skenario ini tidak kelihatan sebagai sebuah tipuan murahan. Setiap pengunjung yang hendak melihat Jong Dobo aturannya harus datang dulu ke rumah juru kunci. Jelas siapa pun tak akan menemukan artefak karena disimpan oleh juru kunci di rumahnya, bukan?”

“Aku nyaris mengatakan itu kepadamu…”

“Dan apakah torang sebegitu lugunya meyakini tas yang dibawah sang juru kunci isinya hanya pulpen dan buku catatan pengunjung, sementara dengan jelas kulihat ‘beban lain’ dalam tas itu? Artifak tidak muncul sendiri. Ayolah, juru kunci tak pantas melempar artefak itu disemak hanya demi melanggengkan mitos! Jejak kaki segar kelihatan di sekitar itu. Dan sekali-kali jangan ijinkan pengunjung untuk memegangnya. Aku merasakan sendiri. Aura magis hilang begitu benda itu boleh kupegang dan kutimang-timang”

“Kamu tertarik dengan kemagisannya?”

Agus mengangguk, dan aku merasa kami berseberangan. Tapi pasti ia bisa jadi teman yang tepat untuk mengeksplor harta arkeologi.


Schnelli kembali mengepul, aku beranjak turun dari bukit Nilo, seperti semut merambat di gunungan, sedangkan Sang Perawan tetap pada ekspresi sama. Satu serangan badai di awal tahun 2006 pernah merobohkannya. Konon, tangan dan mahkota patung menyentuh tanah tetapi kedua kaki patung masih tegak di atas bola dunia, sebagaimana Sang Perawan disimbolkan sebagai pelindung bumi, Bunda segala bangsa. Dia berdiri lagi setelah direstorasi. Sebuah kejadian “aneh” menyusul di bulan Agustus 2007. Suatu pagi banyak warga yang berdiam di sekitar gempar dan melaporkan bahwa patung berputar selama beberapa menit. Otoritas Gereja Katolik kala itu menanggapi fenomena ini sebagai momen untuk berefleksi dan mewanti-wanti warga untuk tidak larut dalam sensasi yang ditimbulkan. Tidak terdengar lagi berita aneh-aneh sesudahnya tentang patung Sang Perawan.

***

Sekembalinya dari bukit Nilo aku ingin ke sebuah tempat terdekat, tapi masih terlalu dini. Kuputuskan ke kota untuk mandi dan sarapan.


Riuh lalu lalang kendaraan pagi Maumere tak menarik. Bunyi klakson dan erangan pelek racing rakitan untuk ukuran kota sekecil ini malah terlalu memekakakan telinga. Beberapa puluh tahun lagi keributan jalanan ini bisa menyamai kota Roma Italia.


Sepenuh hati kujumput kopi tubruk di teras depan kamar sewaan. “Begini seharusnya bangsa kita menikmati kopi,” terngianglah orasi singkatku kepada teman sekelas di Bildungsverein Hannover. Ia pemuda dari Kolombia. “Kamu tahu, Amigo, kini di negara penghasil kopi seperti Kolombia-mu dan Indonesia-ku lidah rakyatnya dipelintir untuk mengkonsumsi kopi instant, bukan café de verdad3. Lihatlah, Jerman tak punya kebun kopi, Amigo, tapi rakyatnya lebih tahu minum kopi. Penguasa negara kita telah menukarnya dengan minuman basura, sampah restoran kelas teri negara-negara miskin matahari seperti Jerman ini.” Hari itu dia berjanji tidak akan minum kopi instant.


Mesin Schnelli kembali bekerja, aku terselip diantara lalu lalang Maumere. Di antara deruh kendaraan dan debu kota, pagi ini kusadari, bahwa begitu banyak warna pakaian di dunia ini, satu jua yang amat dirindukan orang muda tanah airku: warna cokelat. Aneka cita-cita dan impian di muka bumi ini, satu yang paling diminati orang muda tanah airku: jadi PNS. Terserah entah PNS guru, entah PNS bidan, entah PNS kantoran. Pakai baju seragam coklat. Necis, rapi, bangga. Buktinya jelas di depan mataku.

Karena itukah kakak perempuanku menyodorkan koran Pos Kupang kemarin? Pengumuman tes CPNS! Ia berkoar, “Berhentilah jadi petualang. PNS itu pekerjaan aman karena kamu akan diganjar gaji seumur hidup. Gajimu berupa gaji selama kamu berada dalam masa usia produktif kerja, dan gaji pensiun ketika kamu memasuki usia pensiun. Itu bahkan bisa diwariskan. PNS juga memberi jasa, sangkahmu hidup bisa sinergis dan tertata tanpa pegawai pemerintah?“ Aku maunya berdebat tapi moodku lagi enak, jadi aku hanya berujar pendek, “Itu bukan pilihanku. Pekerjaan adalah masalah hati, aku melakukan apa yang hatiku mau” Kakakku mundur, kurasa ia memilih tidak menyinggung impian swastaku yang hancur. Hancur? Lihat saja, ini tak mengakhiri mimpiku. Sama sekali tidak hancur! PNS bagiku bukan pintu air, tapi pasungan. Ia pilihan mereka yang tak punya pilihan. Ia mimpi mereka yang sesungguhnya kalah dari mimpi-mimpi mereka sendiri sebelumnya. Ruang bagi yang tak mau merdeka. Aku pribadi merdeka, tak mau terkalahkan mimpi, punya pilihan, tahu cara menemukan pintu air. Akan begitu seterusnya.


Tujuan sesungguhnya yang hendak kuarahkan pagi tadi sepulang dari bukit Nilo adalah ke Museum Blikon Blewut. Untuk kesana aku kembali mengontak Agus, wisatawan dari Manado itu. Aku mengajaknya walau apresiasi kami terhadap benda purba berbeda. Tak apa, selama berada pada ketertarikan yang sama. Susah menemukan orang-orang muda bangsaku yang tertarik dengan sejarah, apalagi mengajak masuk museum. Bagaimanapun Blikon Blewut adalah satu-satunya museum di Flores. Ketertarikanku pada arkeologi dan proses evolusi peradaban seolah terus mewanti-wanti untuk menyinggahi museum dan situs-situs purbakala dimanapun mereka ada. Agus menerima ajakanku dengan senang. Jarak museum yang hanya 5 km dari kota itu tercapai singkat. Museum ini milik seminari, sekolah yang tujuannya mencetak pastor serta misionaris katolik, sejak tahun 1960-an beroperasi dan dikelola oleh pihak seminari. Sejak diperkenalkan oleh Ibu Ertin Lirong, guru SMPku, Blikon Blewut langsung menjadi laboratorium, ruang observasi bagiku. Koleksinya lumayan banyak kendati dipaksa berdesakan dalam bangunan kecil. Kurang penataan. Padahal jika diberi ruang lebih lapang, sedikit cela bagi tiap benda, tambahkan pencahayaan demi mempertegas fokus terhadap obyek, museum ini tidak kalah menawan disandingkan dengan museum atau gallery di kawasan Ubud Bali. Koleksi album foto kekayaan motif tenun ikat Flores, alat-alat jaman batu dan megalithikum, keramik cina, berbagai fosil tulang- belulang, foto-foto jepretan para misionaris tempo dulu, dan banyak benda menarik lainnya. “Yang mencengangkanku adalah fosil tulang stegadon, exitinct elephant-like mammoth, yang pernah hidup di Flores. Usianya 300.000 tahun sebelum masehi,” uraiku semangat.


Lantaran keasyikan berkata-kata dengan Agus, aku menerobos begitu saja pos petugas satpam. Suasana sekitar pintu gerbang agak ramai sebab lalu lalang mahasiswa. Tak ayal lagi kami dicegatnya.

“Maaf, Om. Tadi kepalang tak kuperhatikan posnya.” Orang itu menatap kami dari ubun hingga kaki. Untukku sikap seperti ini sama dengan proses scanning, penilaian buat menentukan level seseorang. Aku sadar hanya mengenakan celana pendek dan sandal, penampilan begini stigmanya rendah untuk ‘lingkungan putih’ seperti seminari ini. Kucari kalimat penyokong. Mendadak satu pamflet terbaca mataku. “Kita mau sebentar saja ke toko buku itu,” tanganku menunjuk ke pamflet toko buku berharap ia berpikir: ”Anak-anak muda kumal. Baiklah, kulepaskan saja. Toh mereka hanya ingin membeli buku-buku aneh”. Tapi harapanku pupus, dan mulailah ia berlaku bak kucing yang memandang kami sebagai cecurut-cecurutnya. Khas militan yang jamak di Indonesia. “Waduh, sekali lagi maaf, Om. Tadi memang tidak sengaja. Oya, kami punya KTP, jadi Om bisa tahan KTPnya selama kami ke toko buku.” Tangan kurogohkan ke kantung celana.

Amit-amit melunak, ia justruh merasa superior. “Kalian tidak bisa begitu. Ikut aku sini!!!”

Wajahnya ditarik. Tengik. Menggiring kami ke istananya, sebuah bangunan kecil berlabur putih. Pertanda waktuku akan disedot si Yosep Hungan ini (Ia memang sepintas mirip aktor laga itu). Oke, rupanya ia memancing kebengalanku. Hari yang sempurnah untuk sebuah pemberontakan ringan, rebellio mollis. Jadi marilah kita bermain sebentar.

“Masa main masuk aja. (diteruskan dengan bla…bla….bla….) Harus lapor…!!!” Panjang lebar menyerocos. Kelihatannya ia menyukai sekali, kesempatan yang jarang diperoleh.

Berlagaklah sedikit bego,Valentino. Pasang tampang beku.

“Harus lapor ya, Om?”

“Kau tidak dengar omonganku?! Hanya itu komentarmu?! Jelas! Setiap orang yang masuk harus lapor! Apa tidak lihat tulisan disitu: ta-mu wa-jib la-por!!!???”

Belum apa-apa ia sudah panas. Sudut bibirnya berbusa. Pemain yang bagus.

“Jadi kami ini tamu ya?”

“Woehh….!!!! kau nih sekolah atau tidak??!!! Kalau masuk rumah orang, ya namanya tamu!!”.

“Oo..tamu toh…bukan pencuri..” Masih pilon aku. Nah, makan umpanmu, Hidung besar! “Tapi Om bersikap seolah kami ini pencuri.’ Berpalinglah aku ke Agus. “Hei, kita bukan pencuri kan, Agus?!!” Suara naik tiga oktaf. Dia kaget dengan seruanku yang tiba-tiba. Kulempar mataku kepada si Yosep Hungan. Dia tersentak. Dua kali lebih kaget dari Agus. “ Bukan pencuri, kan?!!” Beku. Silentium, dan aku sekonyong merasa iba pada Agus. Dalam waktu singkat aku berpikir untuk sebaiknya membawanya ke tempat lain. Man, ini orang benaran tamu! Dia datang jauh-jauh dari Manado.

Beberapa mahasiswa mendekat. Si Yosef Hungan tidak nyaman. Bukti bahwa sungguh-sungguh amatiran.

“Oke. Kalian masih mau masuk?”

Dia melunak tapi tetap mau kami mengemis padanya. “Tidak”

“Ha????!!”

“Ya. ..Tidak. Lain kali saja”

Api yang hampir padam tersulut kembali.

“Sudah.!!! Kalau begitu lebih baik kalian pergi sajalah!! Kalian ber….!!.”

“Kami memang mau pergi dari sini.”

“Pergiii… !!”

“Ya.. pergi”

Kuhidupkan si Ride, sepeda motor itu berdengung. Tawaku nyaris meledak. Tubuh Agus ringan bukan main saat ia duduk di boncengan. Dan Si Yosef Hungan, ia seperti baru bertemu hantu. Hantu sepeda motor.

***

Agus hening luar biasa.

“Bro, ayo kita ke tempat lain,” suaraku pecah.

Kudengar ia menghela nafas. “Aku masih belum bisa konsen nih, Bro..Tadi itu…”

Dan akhirnya luber juga tawaku yang tertahan. “Hanya sedikit schok teraphy. Sudah jengah aku dengan arogansi gaya kunyuk penjaga keamanan kita. Di seluruh negeri ini sama, dari satpam hingga panglima, mainnya intimidasi. Sekali sentuh seragam, seribu wibawa naik”

“Tapi aku benaran kaget tadi. Sumpah…! Jawaban ngana pe pendek, ketus, raut wajah ngana ju datar skali. Sementara satpamnya su nyaris telan kitorang. Chickk..chicck.chick …ngana bisa...

“Mengingat di Maumere sulit untuk dapatkan ole-ole, jadi anggap saja kejadian tadi ole-ole untuk kamu bawa ke Manado”

“Hahaha…ngana bisa….ngana bisa…selama satpam masih ada di muka bumi, selama itu juga aku ingat par ngana pung gila.”

“Bagaimana kalau hari ini kita datangi semua satpam di Maumere, terus kita berikan teraphy juga?”

“Hahahaha…jadinya headline perjalanan hari ini berjudul: Satu Hari Menggilir Satpam?”

ngana bisa”

ngana bisa..!!!! HUA..HA…HA…HA…”

(Loh, tawa Agus yang terakhir aneh? Kulirik ke kaca spion. Astaga…, aku membonceng mendiang Mba Surip!)

Catatan:

1. Flower Power: Sebuah gerakan yang lahir di tahun 1960-an, menentang kekerasan (dikaitkan dengan invasi Amerika ke Vietnam).Gerakan ini kemudian tumbuh berkembang dengan semangat hippy, narkoba, dan kembali ke alam yang direfleksikan dgn ketelanjangan. Disebut Flower Power karena diwarnai pembagian bunga dan pakaian bermotif bunga warna-warni.

2. FKK: Freikörperkultur (bah. Jerman): Advokasi ketelanjangan (nudism) baik di area privat maupun publik sebagai gerakan budaya dan atau politik yang tumbuh di Jerman. Pelakunya dewasa ini disebut Naturist. Hampir semua propinsi di Jerman memiliki komunitas ini, tempat-tempat paling popular adalah di pantai utara, namun daerah gunung seperti wilayah Bayern pun tak mau kalah dengan memanfaatkan danau untuk perkemahan nudis.

2. Café de Verdad (bah.Spanyol): kopi asli


FOTO ADALAH MILIK PENULIS

(Baca juga tulisan-tulisanku sebelumnya tentang perjalananku keliling Flores)




Tidak ada komentar:

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...