Jalan-jalan Keliling Flores (Maumere-Part 5)


Jarang Koting: Horse’s Day Out

====================================================================

Pulang kampung dan tanpa pekerjaan itu menyedihkan! Terlebih lagi bila salah satu impian besar Anda dibuat beku oleh kejadian di luar ekspetasi. Sadar bahwa masih ada terlalu banyak hal di sekitar yang bisa dialami dan dinikmati selama menyusun Plan B, saya melakukan petualangan keliling Flores dan mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, seperti Lembata, Adonara, dan tentu saja Komodo. Dari usaha meraih puncak gunung hingga menyusup lautan biru, ditemani sepeda motorku “Schnelli” (Kau hebat, Sayang!).

Pahit manis perjalanan juga sedikit permenungan coba kutulis dengan perspektif naifku, seorang Flores yang berusaha bersikap netral. Sunggu maaf, jika kata-kataku dalam kisah berikut menyinggung perasaan atau terbaca ironi atau dirasa menyepelekan beberapa hal yang dikultuskan di Flores. Hanya debulah aku!

===========================================================


Kupikir-pikir, layaklah bila penghargaan kuberikan kepada seorang perempuan dari keluarga Ximenes da Silva penguasa Kerajaan Sikka, kerajaan besar di Maumere. Ratu Dona Ines da Silva namanya, memegang tampuk monarki itu pada dekade 1600an. Aku menganggap sudah sepatutnya namanya masuk daftar Women in Power dalam situs para perempuan pemimpin dunia. Well, pujianku ini sebenarnya tidak ada kaitan dengan perjuangannya menyetarakan gender, yang ratusan tahun mendahului langkah R.A. Kartini. Atau bahwa kebijakannya berhasil membawa rakyat kerajaan Sikka berlayar dan berdiplomasi ke tanah Jawa sampai Singapura sehingga manner, tutur kata penduduk Sikka menjadi lebih halus dari penduduk wilayah lain (melahirkan julukan Ata Sikka Mang Memek atau Orang Sikka berlidah lembut). Bukan itu, bukan, untuk kali ini pujian kutujuhkan pada dampak baik sikap pemerintahannya terhadap eksistensi bangsa Equus, K.U.D.A. Kok kuda sih?

Faktanya, diantara semua hewan dalam kerajaan animalia, ternyata bukan singa atau harimau yang menduduki tempat paling terhormat di mata orang Maumere, melainkan kuda. Dengan bantuan kuda-lah regenerasi manusia Maumere bisa langgeng. Langgeng secara pantas, terhormat, dan berbudaya. Ah, kau, mana ada perkawinan antara manusia dengan kuda? Lalu kau katakan itu pantas dan terhormat pula? Bukan itu maksudku. Dengarlah baik-baik: “Ada dua hal yang perluh kau miliki pabila ingin memiliki seorang nona Maumere: yaitu Cinta dan Kuda.” Itu kalimat ayah, walaupun sebenarnya ia merevisi sedikit saja dari kalimat kakekku, mencopot kata “Kuasa” milik kakek lalu menggantinya dengan “Cinta.” Mungkin kakek,yang dulu terkenal ganas, punya kuasa dan hebat di kampung, enggan mengakui ketaklukan hati terhadap perempuan taksirannya, nenekku. Begini hikayat mereka:


“Tersebutlah Frans, pemuda tanggung yang roman mukanya bernyala-nyala dan disegani, ia putra semata wayang Mo’at Baba dan Du’a Rikas. Karena wataknya yang demikian keras, para gadis segan menegurnya. Sepintas Frans kelihatan lebih nyaman berkuda daripada mendekati dan bertegur sapa dengan para gadis. Kedua orang tua pun akhirnya turun tangan, mereka kuatir akan mandeknya penerus garis keturunan. Singkat cerita dititahkanlah Frans, beserta dua lelaki pendamping, menjumpai seorang gadis yang diperkirakan sepadan untuknya. Nama si gadis Nona Bura, ia tinggal di sebuah kampung kecil di atas bukit Wololora. Frans, beserta dua lelaki pendampingnya berangkat, dengan menunggang kuda. Setibanya di kampung kecil tersebut, nasib ternyata tak mempertemukan Frans dengan Nona Bura, sebab si gadis beserta keluarganya sedang berada di ladang. Tak mau pulang dengan tangan hampa, salah satu dari pendampingya, Mo’at Aloysius menganjurkan perjalanan diteruskan menujuh sebuah kampung sebelah, kampung kecil Umaili. Dengan dalih bahwa di Umaili terdapat sumber mata air, dimana mereka bisa menyegarkan diri dan memandikan kuda-kuda mereka. Ketika telah sampai ke kampung itu, suasana sepi. Mo’at Aloysius menampakan kekecewaan. Bergegaslah ketiga lelaki itu ke sumber mata air. Namun, tiba-tiba terdengarlah bunyi gemeretak alat-alat tenun dari sebuah rumah. Frans mencari asal bunyi itu. Dan tertegunlah ia mendapati dua gadis kakak-beradik asyik bertekun menenun sarung. Saat kedua kakak-beradik itu mengangkat wajah demi menyadari kehadiran seseorang, terkesimalah Frans akan gadis yang paling muda, si adik. Johana, begitu namanya. Usianya baru 17 tahun, amat belia tapi lakunya dewasa lagi anggun. Dengan tanpa menunda lagi, Frans menemui orang tua Johana. Awalnya kedua orang tua menolak sebab anak mereka yang masih hijau itu, dan lagi perkawinan setempat biasa dilakukan saat orang menginjak umur 30. Namun dengan gigih Frans meyakinkan. Akhirnya luluhlah mereka oleh wibawa Frans. Apa yang terjadi kemudian? Johana dinaikan ke atas kuda. Dengan diiringi kedua pendampingnya, Frans membawa sang gadis, memasuki kampung besarnya, mempertemukannya dengan ibu serta ayahanda. Penduduk kampung besar gempar dan keheranan, Frans membawa seorang gadis di atas kuda! Sesuatu yang belum pernah dilakukan pemuda manapun.”

Kisah itu sering berkelebat kala aku menemukan kuda, dimana pun kapan pun. Dan selama di Maumere ini tiap hari otakku harus terus mengulang-ulang kisah tersebut, juga akan satu impianku. Bagaimana tidak, aku bersua kuda tiap hari! Hebat benar kan nasib kuda di Maumere, gara-gara dekrit “harga diri perempuan” yang dikeluarkan oleh sang Ratu Dona Ines da Silva, hewan ini memainkan peranan penting dalam proses perkawinan orang Maumere. Perkawinan yang salah satu tujuannya adalah reproduksi-regenerasi. Semakin banyak kuda yang bisa kau hantar ke rumah keluarga calon istrimu, semakin tinggi derajatmu. Itulah yang kumaksud regenerasi secara pantas dan terhormat. Maka tak heran kuda tetap lestari di Maumere. Setiap laki-laki membutuhkanya. Gempuran globalisasi tidak membuat posisi kuda digantikan oleh hal modern lain, misalnya mobil. Justruh sebaliknya, mobil-mobil jadi tumpangan kuda, mobil-mobil harus relah bermandi kencingnya.

Dua puluh tahun aku tak memperhatikan keanggunan kuda. Tak peduli akan tempat terhormatnya di mata orang Maumere dan menganggapnya setara kerbau, sama-sama dungu (amboi, semasa kecil tetanggaku kerap meneriaki anak tirinya yang lamban dengan cercaan “dasar otak kuda!!” bukan “dasar otak kerbau!!”). Hingga suatu ketika aku menonton tayangan di Phoenix, saluran televisi dokumenter Jerman, tentang hebatnya kuda-kuda Lipizzan berwarna putih dan kelabu dari Slovenia. Terbukalah mataku penuh sukacita. Ya, mirip peristiwa Pentekosta, bedanya para rasul Tuhan diliputi oleh Roh Kudus sedangkan aku dihimpit Roh Kuda.
Setelah itu mulailah aku mengangkat derajat kuda, menurunkan pangkat anjing, binatang pujaanku sebelumnya. Meloak dvd koleksiku seperti Me & Marley, Buddy, Beethoven, ke pasar barang bekas Flohmarkt Langenhagen dan dengan uang jualannya berhasil kuperoleh Horse in Gray Flannel Suit. Wallpaper komputer, mangkuk sereal, hingga bed cover pun tak luput oleh gambar kuda kelabu. Untungnya barang- barang itu mudah diperoleh di IKEA, perusahaan Swedia yang bisa dibilang rajanya toko perabot rumah tangga dunia. Seolah-olah tahu aku tak sudi lagi pada satwa keluarga Canis lupus, kebanyakan anjing menyalak saat kudekati, dan lebih naasnya lagi tak ada pasangan dari mereka yang rela tertangkap mataku saat memainkan adegan panas yang ditiru dengan baik oleh Rocco Sifredi. Tapi biarlah, sebagai gantinya aku akan punya impian baru: menunggang kuda Lipizzan kelabu dari Slovenia itu.

***

Sepupuhku, Yonas, punya dua kuda muda tegap. Warna mereka cokelat, bukan putih bukan pula kelabu seperti kuda Lipizzan. Namun ketika tali kekang salah satunya diulurkan Yonas padaku, “mau coba?”, aku tahu bahwa aku telah memasuki tahap novisiat, persiapan untuk menyongsong kuda Lipizzan. Maumere akan jadi tempat pertamaku menempah ketrampilan berkuda. “Oya, sesuai namanya, Jarang Koting, kudaku ini berasal dari kampung Koting. Kuda-kuda dari sana paling diminati bangsawan dulu, oleh raja-raja, paderi Portugis, juga serdadu Belanda dan Jepang.” Terkekeh dia, lantas berdendang, sebuah lagu yang liriknya menyebut-nyebut Jarang Koting.

“Ini kuda-kuda yang belum labil, lebih sering dibawa ke kebun. Agak repot jika bertemu kendaraan. Tapi hebatnya, mereka sangat mahir di medan berbatu atau berbukit.” Kupandangi raut wajah Yonas. Boleh juga nih bocah, dia tak hanya pintar mengutak atik tunggangan bermotor tapi tahu juga soal tunggangan bernyawa.
“Ajari aku mengendalikan dia”
“Dengan senang hati, kalau kau tak keberatan dengan kursus sistem kampung”

“Sistem kampung katamu? Aku tumbuh belasan tahun dengan sistem kampung. Sistem itulah yang membekaliku selama ini. Kompeni bisa, Portugis bisa, masa aku tak bisa?”
Ia melirikku sebentar.“Kau banyak berubah. Itu yang membuatku kuatir, kau akan ukur semua yang ada disini dengan standar Eropa ”
“Sangkahmu aku tergila-gila dengan segala hal di Eropa? Tak semua hebat disana dan tak segalahnya buruk disini. Aku memang berubah banyak tapi itu toh sudah menjadi ciri makluk hidup. Ingat pelajaran SD”

“Behh.., aku lupa dasar pelajaran IPA itu”
“Aku malah jeblok di Matematika hingga sekarang”
“Baiklah, kau memang tidak berubah seratus persen” Monyet kau, Yonas!

Sesudah menaruh kain sarung usang pada punggung kuda sebagai pelapis, Yonas mulai dengan teknik dasar, bagaimana naik ke punggung kuda. Karena kuda disini tak punya sesuatu sebagai pijakan kaki, jadi mesti naik dengan melompat. Dan sebagai pemula, aku gagal total di teknik pertama. Yonas cekikikan.

“Monyet.., ayo kita cari batu besar agar aku bisa bertumpuh”
“Kau tetap harus berlatih melompat”

“Ya, tapi ayolah, aku mau cepat-cepat duduk di punggung kuda. Ajari aku bagaimana menyatukan chemistry”

Kemudian, lihatlah, berada di atas punggung kuda ternyata melahirkan sensasi tersendiri. Disini ada kerjasama yang timbul antara manusia dengan hewan, kau merasa tidak menguasai melainkan ditinggikan kemanusiaanmu. Kau menjalani pertukaran pikiran, merasakan aliran timbal balik energi. Sistem telepati jadi aktif. Aku menepuk, lebih tepatnya mengusap tengkuk kuda. Begini rupa kakekku dulu di atas kuda, mungkin. Tampak gagah. Apalagi posisi muka kuangkat, dada kudorong naik. Ini malah kerennya setimpal dengan duduk di belakang setir Porsche Panamera, BMW Z8, atau Mercedes Benz AMG SLS. Masa bodoh kalau ketiga mobil itu melajuh angkuh di lintasan autobahn Jerman. Lagipula mereka tak valid untuk mendapatkan seorang gadis di Maumere.

“Kita ke pantai..!”
Kami memindah gigi, dari gigi dua ke gigi empat, dengan cara yang hanya bisa diterapkan pada hewan seperti kuda atau gajah: cukup dengan sedikit kibasan di perutnya. Cara ini efektif. Terlalu mujarab sampai-sampai aku sudah seperti bola bekel yang memantul-mantul di satu tempat dengan gerakan statis. Yonis memberiku instruksi, kuikuti mentah-mentah, ternyata hasil instruksi itu hanya membuat aku bergidik.
Lalu “Arya Kamandanu memacuh kudanya, darah mengalir deras, bercampur peluh..ia...harus tiba di kotaraja secepatnya….” Aku bisa menggambari diriku demikian, sepotong lakon sandiwara radio tahun 90-an datang di mataku begitu saja.
Kami akhirnya berada pada batas pasir dan buih. Samudra di depan kami. Peluh bercucuran, bau asin, namun aku bahagia. Bayu senja datang. Matahari mencuri pandang di balik awan, sedikit saja ia bergerak turun, sudah merubah warna cakrawala.
Sejuk, hangat. Kemudian panas.

“Panas?” “Pantatku,auw..w..” Inikah ereksi dari berkuda dengan hanya memakai pelana yang tipis? Pantatku bagai digebuk. Aku kuatir, apakah nanti membengkak? Kulitku termasuk kulit rawan lecet. Lima kali mengayuh cangkul di tanah atau tiga puluh menit mencabut rumput sudah bisa melepuhkan telapak tanganku. Aku bersusah payah menahan perih. Sial, semakin lama semakin naik tensi perihnya.

Tengah malam, saking tak kuat lagi menahan perih, aku mengerang.

Yonas ke kamarku,”Nah ketahuan, kamu mimpi jorok rupanya”

“Mimpi jorok apaan..”

“Kudengar suaramu tadi. Behh.., tak kalahnya rintihan pengantin di malam pertama”

“Ya, malam pertama dengan kudamu. Pergi sana!”
“Dengan kudaku?”
Matanya mendelik,
“Jangan bilang kalau kau mimpi jorok tentang kudaku. Atau,…ooh tidak, jangan-jangan kau….”

“Zoophilia?! Sadis kau, Monyet”
Dia mengangkat bahu, bibir bawahnya maju.
Pikiranku melesat, secepat tembakan Lucky Luck tepat pada satu relief kuil Khajuraho di India. Relief yang mempresentasikan Zoophilia dengan mencengangkan.
Dan itu cukup membuat pantatku mendadak berhenti memanas. Aku tetap menyanjung Ratu Dona Ines da Silva, bangga akan kisah kakekku, akan terus mengimpikan kuda Lizzipan, dan berterima kasih pada Jarang Koting.

Ya, ya…aku tahu, untuk naik Jarang Koting aku masih harus berlatih melompat.



Keterangan:
1. Zoophilia: Penyimpangan seks, manusia bersetubuh dengan hewan.


(Foto adalah milik penulis)



3 komentar:

Sebastian Haryanto mengatakan...

Tidak sangkah, semestinya Ratu Dona Ines da Silva diberi gelar pahlawan emansipasi juga. Dia lebih hebat dari Kartini! Thanks tulisannya,Bro. Sukses Terus

floresianaplus mengatakan...

suka banget dengan cara anda menulis, akhirnya ada pelarian lain di Maumere selain Gramedia, blognya keren, tapi cerita ttg Egon nya bikin ciut nyali padahal saya berencana kesana tgl 2 june ini...

SDN 2 PULOKULON mengatakan...

Blog yang bagus
Mari terus belajar dan berbagi
http://sdn2pulokulon.blogspot.com/

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...