Cerpen

Natal, Jangan Tiba Begitu Cepat

Kenangan Natal di Dusun yang Kecil1)

Obet mendengarnya sewaktu jeda makan siang kemarin dari balik pagar parkiran pusat perbelanjaan Matahari. Lebih tepatnya saat seiris tipis tempe berbunyi kriuk-kriuk dalam mulutnya. Sepiring nasi putih yang basah oleh kuah santan sayur singkong,ditambah seekor kecil ikan jangki, sepotong tahu, sesendok teh sambal terasi, siap-siap berserah diri pula tuk diisi ke perut.

Obet hafal benar syair lagu itu. Seandainya ia bukanlah satu-satunya orang yang ‘bertanda salib’ disitu, pasti ikut ia berdendang. Ia agak sungkan memberi sinyal kekatholikannya di antara orang, kecuali tanda salib yang refleks dibuatnya.

Selalu Obet makan cepat-cepat. Dan selalu ia merasa belum cukup kenyang setelahnya. Perempuan setengah baya penjual nasi itu hafal betul pada Obet. Bukan lantaran ia pelanggan tetap, tapi karena dulu Obet senantiasa minta ditambah nasinya.

“Berapa,Bu?”

“Empat ribu”

“Bukanya tiga setengah?”

“Memang tiga setengah. Tapi adik kan minta ditambahin nasinya tadi.”

Itu kejadian kali pertama ia makan disitu. Obet dongkol. Nasi yang ditambah tidak seberapa,eh…harganya sudah berubah. Di kampungnya, lelaki seusia dia mana cukup hanya makan sepiring, walau badan mereka seceking Obet. Di kampungnya, sesuka hati ia menentukan kapan waktunya makan. Di kampungnya, tak pernah dipikirkannya soal makanan, sebab ibunya sudah menyediakan tepat sebelum bayangan mentari melewati ubun.

Tapi Obet tidak jera makan disitu. Sekarang ia tidak perluh minta tambah,ibu itu sudah mengerti. Nasi membukit buat Obet. Sungguh baik hatikah ia? Mungkin ya, mungkin tidak. Obet dititipi pesanan dari teman-teman sekerjanya. Tiap hari belasan bungkus nasi. Barangkali itulahlah ibu itu mau bermurah hati. Tapi entahlah….

Kenangan Natal di Dusun yang Kecil.

Semasa SD dulu, bersama anak-anak seusianya di sekolah minggu,Obet diajarkan lagu itu. Pada awal-awal bulan desember. Tahu-tahu, lagunya dipersiapkan buat pementasan merayakan Natal. Dari pendengarannya Suster Agatha, pengajar mereka, ditunjuk tiga anak untuk menyanyikannya. Salah satunya Obet. Kata suster, suara Obet bening. Kalau sampai pada nada-nada tinggi, seolah asap pendupaan saja suaranya, membumbung ke langit-langit gereja.

Mengenang perihal tersebut membuat Obet tersenyum.

Sudah lama sekali tapi bayang mungil tubuhnya, berbaju putih-putih dengan lilin menyala di tangan, berdiri di atas panggung sebelah rumah pastoran, ditatap banyak orang termasuk ibunya, tidak lekang dari ingatan.

“Wah, Si Obet dapat jilidan banyak nih…” Sapaan dari Komang membuyar pikirannya.

“Biar bonusnya gede……hik..hik…,” timpal Kadek si imut yang sedari tadi serius mengonsep sampul. Gadis itu mulai ceria lagi setelah sebulan lalu ketiban sial, musti mengganti kerusakan akibat salah mengkonsepsi lima puluh buku. Konsumennya ngamuk, tidak terima. Warna cover tidak sesuai pesanan, judulnya juga disusun terbalik.

Perusahaan tidak mau rugi. Kadek dituntut memperbaiki kesalahan dengan membayar bahan yang telah terpakai : lima puluh lembar kertas Omega 40, seratus lembar kertas quarto, lima puluh kawat spiral tipe 1/2, dan seratus lembar plastik laminating. Waktu itu Kadek sangat terpukul, apalagi statusnya masih training.

“Jadi pulang ke Flores kan, Bet?” tanya Komang seraya mengamat-amati kerja Obet.

Obet menatap,lalu mengangguk. Dirapikan meja kerjanya. Pisau cutter khusus tangan, patahan-patahan mata pisaunya, lem kuning, batu spasi, penggaris, juga remah- remah kertas yang bertebaran disingkirkannya. Sesudah semua tersingkir, giliran Obet menggosok keramik, alas permukaan meja kerjanya dengan bensin. Ceceran lem kuning tergulung dengan mudah.

Ndak diselesaikan sekarang kan,Bet? Sudah jam dua belas, lapar nih” Kadek menghampirinya.

“Nanti, setelah makan”

Tiang2) nitip ya? Hei…,semua, ayo nitip-nitip” Kadek berlagak seperti mandor, memberitahu teman-temannya. Satu- satu merogoh saku.

“Seperti biasa, Bet !” teriak yang berdiri di pojok

“Nasi ikan buatku”

“Ayam goreng…”

“Punyaku pakai hati sama empela”

“Jangan pakai sambal kayak kemarin, kepedisan tuh..”

“………………..”

“………………..”

Tiap orang menyodorkan menunya. Sebanyak itu tapi buat Obet tak masalah. Ia hafal selera masing-masing mereka.

Kenangan Natal di Dusun yang Kecil.

Obet menyanyikannya seirama ayunan kaki. Obet senang-senang saja menenteng kresek berisi bungkusan nasi titipan teman-temannya.

Ia menghitung-hitung, masih bisa uangnya buat makan sampai tanggal kepulangannya ke Flores. Ia kas bon lagi minggu kemarin. Gajinya bulan lalu ludes cepat dan Obet tak tahu untuk apa saja uang itu mengalir.

Aneh, kenapa kebijaksanaan terbang tak tersisa taktala uang ratusan ribu bertengger pada telapaknya.

Terpaksa pula ia jual sarung tenunan ibunya. Komang memberitahu tempatnya. Ternyata harganya lumayan,sebesar gajinya malah. Sebenarnya ia sayang, sarung itu masih baru,pemberian ibunya. Tapi Obet ingin membelikan ibu dan adik-adiknya ole-ole.

“Kalau kepepet, tak apa-apa dijual,” kata Ibu saat mengeluarkannya dari peti kayu. Obet mencium bau kapur barus dari sana.

“Jangan lupa ke gereja. Ingat,kamu di tanah orang,tanpa saudara. Pucuk kelapa tanah ini nantinya hilang dari pandangan matamu. Jadi,perlakukan semua orang sebagai keluargamu. Ayah-ibu orang, jadikan orang tuamu juga. Saudara orang, anggaplah sebagai saudaramu…….”

Obet merasa geli waktu itu,ada pikiran nakal di otaknya. Ia menyela,

“Kalau istri orang? Kuperlakukan juga sebagai istriku,Bu?”

Ibunya langsung mendelik. Rambut Obet dijambak. Obet tertawa ngakak.

“Bu, jika Natal tiba, Obet pasti usahakan pulang. Ibu mau dibawakan apa dari Denpasar?”

“Aku mau kain Bali seperti yang dipakai bule-bule di tivi,” serga Lusia adik perempuannya

“Ibu mau dibawakan apa?,” tanya Obet sekali lagi. Perempuan tua itu masih diam.

“Bang, belikan saya seragam baru. Nih, lihat, celanaku dua-duanya tambalan semua.” Meteo, yang bungsu, masuk kamar tiba-tiba sambil menenteng celana merah dan cokelat tuanya.

“Ya, nanti abang bawakan buatmu”

“Janji ya?”

“Janji”

Kenangan Natal di Dusun yang Kecil

Obet mendengungkannya lagi. Ia sudah mendapat ide, hadiah apa yang bakalan ia bawa untuk ibunya. Ia ingat ibunya pagi-pagi, tidak hanya hari minggu, ke gereja dengan sandal jepit swallow. Ya, Obet ingin membelikan ibunya sandal baru yang kuat, yang bagus buat Natal ini. Biar ibunya tak perluh menyikat sandal jepitnya setiap kali mau ke gereja.

Obet memindahkan buku jilidan ke meja dekat mesin pemotong. Ditariknya gagang mesin potong ke atas, lantas tiga puluh buku dibaginya dua sejajar, ditaruh bersebelahan sesuai jangkauan pisau mesin pemotong. Tinggal hanya mengatur, menggeser beberapa centi kertas yang nanti dipotong.

Dua tumpukan buku itu belum diatur, ketika pintu samping diketuk. Obet berpaling : Pengantar air isi ulang berdiri disana. Obet melepas kerjaanya demi menyambut galon berisi air yang disodorkan orang itu. Tapi dinamo terlanjur dihidupkannya.

Diangkatnya galon itu tinggi-tinggi. Obet harus melewati lorong sempit antara meja mesin pemotong dengan dinding yang ditempeli dinamo penghidup mesin.

Obet buru-buru. Sempat ia bertanya, kenapa tempat galon itu musti ditaruh di belakang,di tempat sesempit itu? Tapi ia mencoba berhati-hati saja.

Tangan Obet yang kurus gemetaran. Galon itu licin. Dan terpeleset menghantam gagang mesin pemotong. Mesin itu berderit. Obet berhasil menahan galon itu. Namun ia mendengar suara kertas-kertas terpotong. Obet sadar, apa yang sudah terjadi!!

“Kenapa jadi begini,Bet?” Kadek bebisik tak percaya. Buku-buku itu terbelah sempurnah. Bunyi dinamo telah lenyap. Semua menjadi bisu di ruang kecil itu.

Obet linglung. Lemas. Gugup.

Tiga puluh buku. Dua ratus empat belas halaman dalam satu buku. Dua lembar quarto dan selembar kertas Omega untuk satu buku. Jadi, enam puluh lembar quarto dan tiga puluh lembar kertas Omega yang harus diganti, enam ribu empat ratus halaman harus difotocopy lagi. Tiga puluh buku yang harus dibuat ulang……Berapa biaya yang harus diganti, sementara ia juga punya kas bon….

Obet memekik dalam hati,

“Tuhan, tunda dulu Natal ini. Jangan biarkan Natal tiba terlalu cepat. Aku mau merayakannya bersama ibu dan adik-adikku….!”

Ia tertunduk lunglai. Sandal untuk ibu, kain Bali buat Lusia, seragam baru bagi Meteo. Ah…….

Tidak ada komentar:

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...