Jalan - Jalan ke Kreta (Yunani)

KEISTIMEWAAN
KRETA
PULAU TERBESAR YUNANI, TEMPAT KELAHIRAN DEWA ZEUS, 
YANG RAKYATNYA SANGAT TAHU BAGAIMANA MENSIASATI HIDUP




D
engan sigap Panagiotis memindahkan tiga pot tanaman hijau dan menaruhnya di depan pintu kamar. Seketika pintu itu pun tampak artifisial, kehilangan fungsinya sebagai akses masuk. “Selesai. Sekarang kamu bisa masuk lewat pintu samping dan dapatkan kamar seperti maumu,” katanya dengan senyum lebar. Saya terperangah. Cerdik nian dia memutar otak. “Endaxi, Efkaristo poli*. Begini lebih bagus,” ujarku. 

Setelah terlunta cukup lama di Piraeus-Athena, dilanjutkan berlayar semalaman ke Heraklion tanpa tidur yang cukup, saya kehilangan semangat bergerilya dari penginapan ke penginapan, hal yang memberi kesenangan tersendiri saat berkelana. Makanya, begitu tiba di Kreta, saya ingin selekasnya saja mendapatkan kamar.  Di pelabuhan berjejer banyak akomodasi, namun insting frugalku mengisyaratkan agar mencari kamar di gang-gang kecil belakang yang ramai dengan tulisan ‘Rent Rooms’

Insting itu pulalah yang mempertemukan saya dengan Panagiotis, salah satu juragan losmen. Dia menawarkan kamar paling depan namun saya kurang sreg dengan sistem pintu ganda, terutama pintu depan yang langsung bersisian dengan jalan. Panagiotis tak hilang akal, dengan cerdiknya menutupi pintu itu dengan meletakkan tiga pot tanaman rimbun. Di saat ekonomi negara Yunani dililit krisis panjang seperti sekarang ini, aksi yang dilakukan Panagiotis barusan adalah trik sederhana nan jitu. Bila tak mau kehilangan calon penyewa yang sudah berdiri di depan mata, kita harus berpikir dan bertindak cepat. “Orang boleh mencibir negara ini, tapi resesi tak akan mengubah penduduk Kreta menjadi pengemis kalut. Kamu tahu, Eropa belajar berpolitik dari nenek moyang kami,” Panagiotis berkata dengan santai namun implisit. “Teguklah Mythos, biar tidurmu ringan,” dia menyodorkan sebotol minuman dingin berembun, seakan-akan hendak menghapus pikiran saya yang telanjur dikotori stereotip media. Oya, Mythos adalah merek bir popular di Yunani, seperti Bintang di Indonesia, senantiasa hadir di mana pelancong menyemut.    

Greek Salad, saladnya Yunani ini adalah idola saya.
Sayuran segar dengan bawang, buah dan minyak zaitun, dan tentunya keju feta putih yang paling saya sukai!
Dinikmati sembari meneguk bir Mythos dan cocolan roti bakar hangat. Legit.

Jejeran hotel di sekitar pelabuhan.
Sebagaimana semua kepulauan  Yunani, umumnya bangunan dibuat dengan model kotak-kotak

Tempat makan di tengah perumahan tua memberi kesan tersendiri

Taverna berjejer menjamu pengunjung pulau. Taverna adalah sebutan untuk kafe-kafe kecil di Yunani.

BANGUN DARI TIDUR, Panagiotis membekali saya peta, memudahkan untuk menapaki bagian-bagian penting Heraklion, semisal mampir ke alun-alun Plateia Anglon di dermaga tua berhiaskan benteng Koules Venetian, kemudian ikut dalam keramaian pusat kota di mana anak-anak kecil bermain air mancur empat Singa, Morosini Fountain, tak jauh dari gereja Agios Markos. Kota ini dikelilingi oleh tembok dari abad 16, tapi isinya lebih modern dari perkiraan saya sebelumnya, agak beda nuansanya dari kota-kota lain Yunani. Dan yang menarik adalah wajah-wajah penduduknya yang jauh dari kesan depresif atau muram. Ya, Panagiotis benar, orang boleh saja mencibir ekonomi negaranya tapi penduduk tetap menjalani hidup dengan semangat. Mungkin mengamalkan pepatah Yunani ‘Tha zíso ópos ávrio den érchetai poté: Saya akan hidup seolah besok tak pernah hadir’?

Kreta tak hanya berstatus sebagai pulau terbesar di Yunani (8,303 Km2) tapi juga memainkan peran historis penting. Di sinilah cikal bakal Peradaban Minoan yang digadang sebagai peradaban paling maju di Eropa, hampir 3000 tahun SM silam. Tak cuma itu saja, pulau ini pun diakui sebagai tanah kelahiran sejumlah dewa-dewi terhormat dalam mitologi Yunani. Sebut saja Zeus, Artemis, Apollo. Dalam sejarah perkembangan agama Kristen pun Kreta menjadi lokasi penyebaran Injil pertama sebelum meluas ke seantero Eropa.

Sebagai destinasi wisata, nama Kreta punya tempat lebih istimewa ketimbang pulau-pulau lainnya. Mungkin pelancong Asia memfavoritkan Santorini, namun jika membandingkan keduanya secara seksama, maka Santorini tak lebih dari sekedar pulau kosong yang mencari perhatian lewat bangunan-bangunan putih yang tergantung di bibir tebing. 

Kontur alam Kreta sangat bervariatif. Sungai, danau, ngarai, hingga gunung bersalju dimilikinya. Dalam kunjungan ke sejumlah tempat sepanjang jarak antara Heraklion sampai Chania, kemolekan pulau berpeduduk 650.000 jiwa ini begitu memikat. Padahal, itu barulah dua kota di pesisir utaranya yang saya lihat.

Susah mencari persamaan Kreta dengan tempat lain di Yunani yang sudah pernah saya datangi. Pulau ini memadukan hal-hal kontras. Pikirkanlah, kita melintasi sebuah jalan lengang di tepi laut nan biru bening sementara di sisi lainnya berjejer pegunungan menjulang dengan putih salju, tapi suhu udaranya hangat khas Mediterania. Pikirkanlah puing-puing kuil kuno berumur ribuan tahun, ada yang berserak di lahan kosong tanpa siapapun, ada yang tegak berdiri dibekap sejuk hijau pepohonan teraliri air.

Anak-anak muda di sekitar dermaga tua Chania yang awalnya adalah tempat singgah kapal-kapal bangsa Venetia

Cathedral Virgin Mary di tengah kota Chania.
Meskipun mayoritas penduduk beragama Kristen Orthodox tapi ada beberapa umat Katolik di sini.

Almyriki, restoran kincir angin putih ini sangat saya sukai, dekat pantai pula

KECERIAAN MENYAMBUT saya manakala tiba di Chania, kota terbesar kedua Kreta. Saya suka komposisi kota ini dengan bayang undak pegunungan Lefka Ori sebagai mahkotanya. Dinding bangunan-bangunan di Chania berlumur cat beda warna. Orang mengenakan pakaian longgar, rata-rata putih, menimbulkan kesan rileks. Apalagi penginapan di sini diberi nama yang indah-indah, membacanya saja sudah seperti diajak ke dunia telenovena. 

Chania lebih kental bernuansa Venetian, struktur kotanya klasik elegan. Mercusuar dari bebatuan putih, alur jalan setapak, mansion bekas hunian kaum bangsawan maupun saudagar yang rata-rata hadir sejak abad ke-15. Namun tidak semata-mata Venetian, sebab pengaruh Byzantine pun nyata lewat gereja-gereja Orthodoks serta bekas benteng. Tak ketinggalan peninggalan kekaisaran Ottoman Turki dari tahun 1600an, terwakili oleh mesjid serta kastil tua. Pulau ini memang rebutan banyak bangsa. Untungnya, setiap pengaruh baru dari luar yang datang tidak serta merta menghilangkan yang sudah ada. Modernitas difilter dengan hati-hati. Beda dengan kota-kota di Indonesia, cenderung mudah terkonversi secara masif sehingga unsur-unsur otentiknya mengabur. Mungkin Yogya serta Solo adalah segelintir kota yang masih kuat mempertahankan aura lokal.  

3S: Sun, Sea, and Sand telah menjadi trade mark kepulauan Yunani. Tak ketinggalan di Kreta. Malah, bisa dibilang Kreta adalah tempat sesungguhnya bila mendamba ketiga hal tersebut. Jumlah pantai indahnya bejibun, mengelilingi pulau, jaraknya pun bersisian hanya  dipisahkan oleh tebing atau tanjung. Semacam parade eksotis. Untuk pantai-pantai di seputaran Chania, dengan komposisi pasir putih bersih, laut biru bening dan topografi yang bagus, letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Akses ke pantai-pantai ini pun mudah karena telah terhubung oleh sarana transportasi publik seperti bus yang haltenya langsung menuju ke pantai. 

Saat menilik Balos Beach di Tanjung Gramvoussa, Elafossini Beach, Falassarna Beach, dan menghantar terbenamnya Surya dari gua Matala Caves yang menghadap ke lautan, saya merasa orang-orang Kreta memiliki segala yang mereka butuhkan, bahkan lebih. Mereka juga telah menciptakan sejarah yang mempengaruhi penjuru Eropa tapi tetap menikmati hidup sebagai orang Kreta yang sejati. Mereka empunya keistimewaan. Maka apa yang ditulis novelis Inggris, HH Munro, bahwa “the people of Crete unfortunately make more history than they can consume locally” perlu direvisi. Sepertinya.

Matala caves, gua-gua purba yang jadi titik ideal menyaksikan matahari terbenam

Lembayung senja di lautan Kreta. Jika berlayar terus ke barat mengikuti terbenam matahari,
maka akan mencapai Pulau Antikythera

*
GLOSSARIUM:
Endaxi, Efkaristo poli : OK, Terima kasih banyak (bahasa Yunani)


-----
Tulisan ini dimuat di majalah pesawat Batik Air. Bisa dilihat versi PDF-nya DI SINI.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores #travelwriterindonesia

4 komentar:

Hashim mengatakan...

Your style is very unique compared to other folks I've read stuff from.https://crack6.com/yt-downloader-crack/

Anonim mengatakan...



It's a great article. In the future, I hope you will write more like this.

vMix pro

Anonim mengatakan...

Your post style is super Awesome and unique from others I am visiting the page I like your style.
vMix pro

patchzip mengatakan...

It's a great article. In the future, I hope you will write more like this.
Reclaim File Recovery

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...