Jalan - Jalan ke Bajawa - Part 2


Magi Arunika
Maghilewa

SYAHDU SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL
DI LERENG SELATAN GUNUNG INERIE - FLORES.


T
ernyata pagi telah didupai aroma kopi ketika saya terjaga. Dari balik dinding papan rumah adat Sa’o Ne Wue yang saya inapi, suara air panas yang tertuang pada gelas-gelas beradu gurau Mama Ella dan beberapa tetangga. Saya menyibak tirai yang menutupi Bheja one, balai depan rumah adat, dan mendapati langit di sisi timur kampung berona merah. Sebentar lagi arunika, momen terbitnya matahari.

Dengan segera saya bergegas keluar, lalu berdiri di pekarangan kampung tepat di bawah Ngadhu, tiang kayu berukir dan beratap alang-alang simbol kehadiran roh leluhur pria Maghilewa. Dari situ saya memandangi binar-binar kuning munculnya Sang Surya yang menerobos pepohonan. Sebagian cahaya terpapar ke lancip gunung membentuk garis cahaya paralel bagaikan laser, sebagian lagi menyentuh bubungan rumah-rumah adat di sebelah timur.

“Suasana pagi seperti inilah yang selalu muncul setiap saya mengingat Maghilewa,” kalimat Agustinus Thuru terdengar pelan di hadapan saya. Lelaki berkacamata itu muncul dari rumah adat Sa’o Ne Ledo, selang satu rumah dari Sa’o Ne Wue. Tiap rumah adat di kampung ini memiliki nama sendiri-sendiri.

Berbeda dengan saya yang benar-benar baru, Agustinus sesungguhnya salah satu keturunan asli Maghilewa. Hanya saja dia telah lebih dari dua dekade bermukim di Bali. “Jalan hidup membawa saya ke pulau itu. Namun Maghilewa yang senyap ini terus menarik saya kembali,” katanya lagi. Kami tiba bersamaan, meski dengan iktikad yang berbeda; dia ke sini karena terpagut rindu pada kampung halamannya, sedangkan saya datang lantaran  dihela rasa ingin tahu. 
Arunika. Pancar sinar matahari pagi menembus pohon dan memapar lereng Gunung Inerie

Jalan menuju Maghilewa melalui punggung bukit penuh pepohonan

Menuruni tangga-tangga terasering yang menghubungkan rumah-rumah adat

INI ADALAH HARI KEDUA saya di Maghilewa, sebuah kampung tradisional pada lereng  Gunung Inerie, Bajawa – Flores. Kampung syahdu ini dibekap rimbun pepohonan kemiri dan cengkeh, berhawa sejuk karena terletak di ketinggian. Meski begitu, jaraknya dengan Laut Sawu hanya terpisah tiga kilometer, sehingga dari balai Sa’o Ne Wue yang berada paling utara, mata saya sempat bisa mencuri pandang ke lautan.

Dibandingkan dengan kampung-kampung tradisional lain di Bajawa, nama Maghilewa belum begitu seterkenal Bena, Gurusina, atau Tololela. Namun justru inilah magnet yang melecut saya kemari. Ada perasaan istimewa manakala bisa mendatangi tempat-tempat yang belum masyur, mengindra, serta mengalami hal-hal yang masih otentik, masih apa adanya.

Kemarin sore, misalnya, bersama keluarga Mama Ella, saya dan Agustinus mengikuti ritual Ti’i Ka Puju Pia, semacam upacara penghormatan bagi leluhur. Dengan khusuk ritual dipimpin oleh dua penatua yang mengumandangkan syair-syair adat, lalu melakukan penerawangan terhadap nasib baik anggota keluarga suku. Pada lokasi yang bertabur bebatuan megalith diteduhi pohon-pohon cengkeh berembus wangi, ritual itu menghadirkan aura magi. Di seantero Flores dan hampir semua wilayah Nusa Tenggara Timur, leluhur yang telah lama meninggal sangat dihormati. Suku-suku lokal percaya, setelah kematian, roh-roh para karuhun masih tetap berdiam di sekitar mereka. 

Berhimpun di lokasi ritual untuk melakukan doa bagi leluhur

Temaram malam Maghilewa begitu syahdu dan damai

Anak-anak Maghilewa menghalau dingin dengan mengenakan sarung tenun hitam

KAMPUNG-KAMPUNG tradisional di Flores umumnya tidak hanya didirikan oleh satu suku, melainkan beberapa suku. Para arkeolog mengungkapkan bahwa kampung-kampung adat dibentuk oleh kelompok-kelompok kecil pengembara purbakala yang memiliki keserupaan visi atau bermigrasi karena alasan yang sama. Acapkali mereka datang dari arah yang berbeda, tapi mereka kemudian memufakati sistem yang satu. Di Maghilewa, peradaban diembuskan oleh empat suku: Turu Ebu Ruma, Kutu, Kemo, dan Boro.

Tidak diketahui pasti sejak kapan kampung ini dibangun. Yang dituturkan turun temurun hanyalah bahwa nenek moyang mereka berasal dari negeri nan jauh, berlayar menyinggahi pulau-pulau di barat Nusantara, mendarat di pesisir selatan Bajawa, kemudian membangun kampung-kampung di sekeliling kaki Gunung Inerie. “Penamaan kampung ini terilhami oleh pohon lontar menjulang yang dijumpai para leluhur tatkala membuka lahan untuk dijadikan kampung. Kata Maghi yang artinya lontar dipadukan dengan kata Lewa yang berarti tinggi,” urai Agustinus.

Maghilewa menerapkan pola tata ruang serta arsitektur khas etnis Ngada. Rumah-rumah adat dibangun mengitari pekarangan segi empat. Membujur dari utara ke selatan, pada lahan berundak-undak bagai teras sawah. Atap dari alang-alang ditopang oleh struktur kayu dan juga bambu. Rumah-rumah adat ini memiliki strata atau pangkat. Sa’o Saka Pu’u stratanya paling tinggi dan berperan sebagai rumah utama. Di atap bagian tengahnya dimahkotai sebuah miniatur rumah yang menegaskan posisinya sebagai induk. Ia kemudian diapit oleh rumah-rumah adat berstrata lebih rendah yakni Sa’o Saka Lobo serta Sa’o Sipe

Ukiran motif ayam pada dinding rumah lambang kemakmuran.

Jelang sore hari. Dipotret dari sisi barat rumah-rumah adat.

Kendati sepintas terlihat amat sederhana, rumah-rumah adat ini punya beberapa bagian yang tidak boleh sembarangan dimasuki. “Area yang paling lazim untuk menerima tamu yakni balai paling depan yang kami sebut Teda Moa,” Agustinus menjelaskan. “Jika sudah akrab dengan tuan rumah atau bila hendak menjamu makan, barulah diajak masuk ke balai tengah, Bheja One. Bagian paling dalam, One, hanya boleh diakses oleh keluarga suku. Di situ percakapan bersifat pribadi juga ritual keluarga diadakan,” lanjutnya.

Ketenangan adalah aksen sehari-hari di Maghilewa. Tidak ada ribut gadu. Gemeretak ranting pohon yang patah beradu dengking serangga serta desau angin dihayati sebagai kidung alam. Setelah matahari tenggelam dan makan malam usai, acapkali para pria pamit berburu hewan-hewan nocturnal di hutan. Entah apapun hasilnya, dapat atau tidak, senantiasa mereka pulang dengan cerita.

“Tapi Maghilewa terlalu senyap,” bisik Agustinus lirih. Ia sepertinya merasa bersalah meninggalkan kampung ini. Memang perkebangan jaman telah mendorong perpindahan penduduk ke dataran dekat pantai, juga keinginan untuk melihat sisi dunia yang lain. Tidak ada yang salah, sebab hasrat untuk berpindah-pindah ada dalam darah manusia. Penduduk yang bertahan tinggal berusaha menjaga kampung ini agar tetap memiliki denyut kehidupan, dan tiap pagi bangun menyambut magi arunika dengan kecintaan pada tanah leluhur mereka.

Agustinus, saya yakin, akan selalu membawa Maghilewa dalam ingatannya. Sepekan setelah pulang, saya membaca puisi melankoli yang ditulisnya dalam sebuah portal;
“para leluhurku di kampung sunyi
kupercaya tidak pulas dalam sejarah
waktu yang terus mengalir
adalah jalan panjang bagimu berjaga
tak pernah lelah menyusupkan cinta
pada rentang kehidupan anak cucumu”

Tampilan depan Maghilewa dengan model terasering bertingkat

***      
Tulisan ini dipublikasikan di majalah pesawat BATIK AIR dan menjadi salah satu Top 10 cover Batik Air favorit saya. Klik untuk mengetahui Top 10 cover Batik Air DI SINI

Follow Instagram saya DI SINI
#valentinoluis #travelwriterindonesia #traveljournalist #travelphotographyindonesia #lionmag #lionair #inflightmagazine #batikair #batikairmagazine #majalahpesawat #penulisperjalanan #maghilewa #kampungtradisional

2 komentar:

Aladin mengatakan...

Keren👍

BELAJAR BAHASA mengatakan...

sangat menarik

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...