Jalan - Jalan ke Larantuka (Flores Timur) Part 4

Deru Debu
SAGU
MERETAS DENAI-DENAI SEJARAH NAN AZAMAT
YANG BERDIAM DI KAMPUNG PESISIR PULAU ADONARA



T
ugu berwujud pilar pualam putih itu hampir tiga meter tingginya. Kelihatan janggal berdiri sendirian di antara kepungan rumah-rumah nelayan sederhana. Pada permukaan pilar yang menghadap ke laut, terdapat relief sebuah jangkar berhiaskan mahkota ‘Kroon van Nederland.’ Di kaki tugu dua buah prasasti tersemat, salah satu bertuliskan demikian; Hier Rust Luitje van der Borg in Leven Luitenant Ter Zee (Di sini beristirahat Luitje van der Borg Letnan Maritim).       

“Sang letnan terbunuh saat membantu Kerajaan Adonara dalam Perang Hongi,” terang Muhammad Sarabiti, warga lokal, yang mendampingi kami siang itu. “Ketika mendengar Luitje meninggal, tunangannya rela berlayar dari Belanda kemari dan memprakarsai berdirinya tugu ini. Patah hati perempuan itu tak terbendung, sehingga usai tugu diresmikan, dia meminta supaya ujung tugu ditembak dengan meriam. Potongan pucuk  tugu lantas dibawanya ke Belanda sebagai kenangan abadi akan sang kekasih,” lanjut Muhammad Sarabiti dengan nada kalem.

Saya termangu mendengar kisahnya, betapa cinta dua manusia asing terejawantah dengan cara yang luar biasa dalam kecamuk perang lokal berabad silam.  Apalagi membaca keterangan tambahan pada plakat, saya menyadari bahwa Luitje van der Borg, pria Belanda tersebut, tewas terbunuh di usia yang masih begitu muda, 25 tahun. Mirip seperti melankolia asmara Romeo & Juliet atau Jack & Rose, sama-sama dialami muda-mudi yang sepadan usianya. Namun, bila latar cerita mereka terlalu jauh di Eropa dan dianggap fiksi, maka kisah Luitje dan tunangannya ini bisa jadi cerita paling romantis yang nyata adanya.

Bisakah dibayangkan, bagaimana tunangan Luitje mengarungi lautan berbulan-bulan pulang ke Belanda sambil membawa potongan pilar tugu itu? Dan siapa sangka romansa ini terjadi di Sagu, kampung sunyi di pesisir Adonara, pulau yang teronggok dari tabir timur Flores? Saya bahkan baru tahu sekarang!

DILIHAT SEPINTAS, Sagu hanyalah kampung kecil di tepian pantai. Bila berkendaraan kemari pun orang-orang harus siap melindasi jalan debu berbatu. Dibandingkan wilayah lain di Pulau Adonara yang telah rapi dan tersentuh aspal mulus, kampung ini malah tampak tak terurus, kisut tak diacuhkan. Padahal, pada abad Pertengahan, Sagu adalah sentra Kerajaan Adonara sekaligus bandar perniagaan laut yang ramai. Barangkali perpecahan antar kerajaan-kerajaan lokal akibat seteru bangsa-bangsa kolonial dahulu masih menyisahkan sentimen hingga masa kini.

Pilar pualam putih dengan relief mahkota raja Belanda dan jangkar.

Bagian bawah tugu yang menuliskan nama Luitje van der Borg

Terpisahkan beberapa meter saja dari tugu Luitje, Muhammad Sarabiti mempertemukan saya dengan Arifin Nueng Ape, satu dari keturunan raja Adonara. Kediaman Arifin yang berdinding papan dan beratap seng penuh korosi itu ternyata terletak dalam kompleks istana raja yang telah roboh dua dekade lalu. Saya melihat pagar batu yang mengitari area luas itu, sumur antik, juga sisa gerbang di sisi utara.

“Dulu istananya berbentuk rumah panggung dikelilingi pagar batu dengan sejumlah gerbang,” kata Arifin sembari menunjukkan foto istana yang disimpannya baik-baik. Di ruang tamu saya melihat dua meja bundar dari marmer asli berukir amat indah, warisan istana yang tersisa.

Arifin mengisahkan bahwa pusat kerajaan sebenarnya berada di atas bukit di kampung tua Adonara, kemudian dipindahkan ke Sagu demi mempermudah aktifitas dan transportasi maritim pada masa pemerintahan raja Arkiang Kamba di tahun 1700an. “Beliau juga yang mempelopori pembangunan masjid di sebelah istana ini dan Islam berkembang  jadi agama mayoritas di pesisir,” urai Arifin. Ia memamerkan koleksi keris juga peci peninggalan raja Arkiang, kemudian membawa saya melihat makam sang raja yang berada di halaman samping masjid.

“Jika sempat, usai dari sini, berkunjunglah ke kampung tua Adonara.  Dari nama kampung itulah kemudian digunakan sebagai identitas keseluruhan pulau ini. Ada sisa benteng Portugis di sana,” ujar Arifin.

Mendengar kata-kata terakhirnya mengenai keberadaan benteng Portugis, membuat saya seperti diberi kejutan tambahan. Ini jelas sebuah perjalanan meretas denai-denai sejarah nan azamat. Belum banyak yang mengisahkan tentang hal ini, dan antusiasme saya jelas terlecut.

Sisa pagar istana kerajaan Adonara di Sagu. Istana yang roboh puluhan tahun lalu belum didirikan kembali.

Muhammad Sarabiti dan Arifin Nueng Ape di halaman mesjid tertua yang dibangun ratusan tahun silam
oleh Raja Arkian Kamba

UNTUK SAMPAI ke kampung tua Adonara dari Sagu kendaraan harus memutar sekitar 10 km. Ini lantaran topografi daerahnya yang berbukit-bukit,  sedangkan bila melalui jalur laut hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit. Setelah melintasi jalan raya, lantas berbelok menelusuri jalan kecil di punggung bukit yang lebih sepi berlatar Gunung Ile Boleng di timur dan lautan di barat.

Menjelang kampung tua Adonara, vista sebelah utara jalan memaparkan sebuah ngarai berisi air. “Itu Danau Kota Kaya,” kata Tarwan Stanislaus, jurnalis yang memberi saya tumpangan kendaraan. Lantaran sedang kemarau dan mengalami sedimentasi, volume airnya menipis. Ditambah desakan pertumbuhan pemukiman di tepian batas antara danau dengan laut akan membuat debit airnya kian menyusut. “Katanya dulu bebek Australia sering bermigrasi kemari,” imbuh Tarwan. Pemandangan dari punggung bukit ke danau ini cukup memikat dan jadi perhentian yang menenangkan bagi para pelintas.

Danau Kota Kaya yang mengalami sedimentasi terus menerus ini dulunya adalah tempat singgahnya migrasi burung-burung dari Australia

Tarwan Stanislaus berdiri di batu pada lereng dengan latar kampung nelayan di ujung Danau Kota Kaya

Benteng Portugis yang saya incar ternyata langsung berada di pinggir jalan. Bahkan, saya menduga sepertinya bagian dari benteng telah digerus untuk dijadikan badan jalan. Struktur konstruksinya hampir sama dengan benteng di Lohayong - Pulau Solor, gelondong batu-batu yang terususun dan direkatkan dengan bahan calcium carbonate.

Sebuah bastion berbentuk ruangan persegi dengan beberapa lubang pengintai menyisahkan sejumlah meriam kecil. Bastion ini jika tidak dilindungi dengan segera maka  akan lenyap dalam beberapa tahun mendatang. Meriam-meriam lain berserakan di pekarangan rumah warga kampung, seolah tidak dipedulikan sama sekali. Orang-orang hanya memandangi saya dengan diam sewaktu saya mengamati detail demi detail meriam itu.

Kampung tua Adonara ini bertengger di ujung bukit, membentuk tanjung. Sebuah lokasi ideal untuk membangun benteng atau fortification yang diidam-idamkan bangsa Portugis. Saya kesulitan untuk mencari referensi terkait benteng ini karena nyaris tidak ada catatan sama sekali mengenainya, mencari di Google pun tidak ada yang membahasnya. Sayang sekali, apakah terus begini nasib peninggalan-peninggalan bersejarah di sudut negeri?

Saya membayangkan lagi Sagu yang terlantar, tugu Luitje, lalu benteng serta kampung tua Adonara. Tempat-tempat dengan nilai historis luar biasa seperti ini semestinya tidak jadi korban abadi seteru masa lalu. Tidak harus merana lalu lenyap oleh deru debu waktu. Bisakah kita memanfaatkan sisi historisnya, menyoroti estetikanya, dan mengubahnya menjadi permai untuk mendamaikan friksi-friksi masa lampau?

Jika tidak dirawat atau dipedulikan, sisa benteng Portugis ini tak lama lagi lenyap.

Memandangi bentang panorama ke arah Gunung Ile Boleng dari puing bastion benteng Portugis

Satu dari sejumlah meriam yang terbengkalai di kampung tua Adonara


**
Follow Instagram saya DI SINI
#valentinoluis #travelwriterindonesia #traveljournalist #travelphotographyindonesia #lionmag #lionair #inflightmagazine #adonara #kerajaanadonara #saguadonara #balenagi #festivalbalenagi 

Tulisan ini dipublikasikan di majalah pesawat LIONMAG (Lion Air) edisi bulan Februari 2020. 
Untuk membaca versi PDF online, silahkan klik foto berikut ini. TERIMA KASIH.


Tidak ada komentar:

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...