Jalan - Jalan ke Candi Ijo (Yogyakarta)


Marka Abadiah
Candi Ijo


Di atas sebuah bukit berpanorama menawan, candi buatan abad-IX ini menyembul anggun, dan menguarkan sebuah kutukan!

Pintu candi yang masih perluh diperbaiki temboknya.
Hujan menyisahkan rinai-rinai terakhir ketika saya terbangun dari rehat siang di penginapan perbatasan kota Yogyakarta-Sleman. Setengah jam kemudian matahari kembali memancarkan sinarnya, mengembalikan warna langit dari kelabu menjadi biru. Saya selalu menyukai kecerahan cakrawala usai hujan, seakan-akan bumi dimandikan, segar dan beraroma tanah.

“Jadi ke Candi Ijo, mas?” tanya Ismanto resepsionis hotel.
“Ya. Keliatannya sunset bakalan bagus nih kalau berada disana,” jawab saya sekeluarnya dari kamar. Tadi pagi saya sempat bercakap dengan Ismanto dan mengutarakan nazar mengunjungi Candi Ijo. Ia bersedia menyewakan sepeda motornya untukku.

Kunjungan ke candi adalah salah satu aktivitas yang tak bisa dielakkan bila melancong ke Yogyakarta. Propinsi berstatus Daerah Istimewa ini memang memiliki segalah yang dibutuhkan untuk urusan pelesiran. Bagi saya, Yogyakarta itu seperti sumur, dan budaya kuno yang Hinduis adalah airnya. Di luar hanya terlihat percikan-percikannya karena tertutup oleh perubahan jaman, namun bila masuk lebih dalam, maka kita bisa menyelami sari-sari peradabannya.

Suasana senja di kompleks candi
Sebagaimana yang dituturkan sejarah, wajah masa silam Yogyakarta dan daerah sekitarnya adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha bernama kerajaan Mataram yang kulturnya tetap berpengaruh hingga kini. Petilasan-petilasan berupa karya seni, baik musik, tari, kriya, berakar pada filosofi Hindu-Buddha ini. Sedangkan candi-candi peninggalannya adalah marka abadiah bagi dunia.

Tentu orang sudah akrab dengan nama-nama seperti Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, Plaosan, atau Pawon. Tapi itu hanyalah sejumlah candi yang popular, sebab nyatanya masih banyak candi yang belum terekspos dan tak kurang keindahannya. Salah satu yang patut diperhitungkan adalah Candi Ijo, sebuah candi Hindu yang berada di atas ketinggian dengan panorama elok. Dalam artikel Jogja’s Secrets yang ditulis oleh penulis Inggris, Emily Barr, pemandangan sore Candi Ijo disanjung dengan kalimat “a scenic hill from the past to the future”- sebuah bukit indah dari masa lalu ke masa depan. Oh, saya penasaran.

Arca lembu tunggangan Dewa Siwa
NAIK TURUN LERENG
Dari penginapan, saya melajuhkan sepeda motor mengikuti jalur jalan raya ke Candi Prambanan. Jalur ini adalah arah yang mengantar ke sejumlah candi, termasuk Candi Ijo. Jika sudah pernah ke situs Ratu Boko, maka haluan yang sama juga dipakai untuk ke Candi Ijo, yakni berbelok ke kanan, di persimpangan di seberang pintu masuk kawasan Candi Prambanan. Secara administratif berada di Desa Sambirejo. 

Bagian candi yang masih direnovasi

Pemandang ke ceruka-cerukan menuju ke candi. Jalan alternatif.
Sayangnya, jalan paling ringkas menuju bukit itu sedang ada proyek perbaikan. Terpaksa saya harus menempuh jalur lain yang lebih panjang. Namun saya tetap menyukainya sebab tampak banyak lahan kosong yang dijadikan sawah, membuat kesan alami amat kentara terasa. Saya berpapasan dengan orang-orang yang menggiring itik, memikul karung berisi rumput hijau pakan sapi, juga iring-iringan pengantin Jawa.

Matahari yang mulai menguning mendatangkan kekuatiran. Bagaimanapun, saya ingin tiba di bukit sebelum sunset. Jalan berubah mendaki, tapi tidak semata-mata mendaki, karena topografi perbukitannya naik turun, berliku. Sesudah melewati sebuah gapura, akhirnya saya melihat pucuk-pucuk candi, dan tahu bahwa sebentar lagi sampai. Bepergian sendiri memang menantang insting, namun senantiasa memberi saya pengetahuan geospasial yang lebih mumpuni. 

Tangga menuju ke candi utama. Warna kuning kemerahan ini karena efek lampu

Ukiran kepala Naga

KUTUKAN MISTERIUS
Dinamakan Candi Ijo, lantaran terletak di Bukit Ijo alias Gumuk Ijo. Penamaan ini seturut Prasasti Poh yang berumur 906 Masehi. Ketinggian Gumuk Ijo 410 meter dpl,  otomatis membuat candi yang berada disana terdaftar sebagai candi berposisi tertinggi di Yogyakarta.

Begitu masuk ke dalam kompleks paling, pengunjung langsung menyadari bahwa bagan candinya adalah teras-teras berundak. Teras-teras ini menghadap ke barat secara lapang terbuka, tanpa terhalang pohon atau bukit lain. Siapapun yang tiba di teras teratas  sore hari akan terpana oleh panorama yang terbentang di depan, apalagi bila cuaca cerah. Persawahan di bawah bukit, kampung-kampung, kota Yogyakarta, hingga Pantai Parangtritis bisa ditilik. Tidak cuma itu, aktifitas terbang dan mendaratnya pesawat di bandara Adi Sucipto juga jelas dipantau dari sini. 

Tiga candi perwara/ candi pengapit
Secara umum, kompleks candi terdiri atas 17 struktur bangunan yang menempati 11 teras berundak, kebanyakan melintang dari utara ke selatan. Namun belum semua teras diekskavasi. Teras yang ke-11 merupakan teras dengan kondisi bangunan paling baik karena sudah dipugar. Saat ini sedang berlangsung renovasi untuk bangunan pada teras ke-10.

Komposisi pada teras ke-11 berupa pagar batu keliling (belum diperbaiki), delapan lingga patok, serta empat bangunan yakni satu candi utama dan tiga candi perwara. Masing-masing teras merepresentasikan tingkat kesakralan. Nah, teras ke-11 inilah yang paling sakral. 

Bagian paling belakang dari teras paling atas

Meskipun tidak memiliki relief-relief sedetail Candi Borobudur, namun Candi Ijo menarik juga untuk diamati struktur bangunannya. Dinding luar candinya menampilkan jendela-jendela lancung, bukan jendela benaran. Tangga di ambang pintu masuk ke ruang dalam dihiasi sepasang naga bermulut terbuka, dan bila dicermati seksama mulut naga tersebut terdapat burung kakatua. Sedangkan di atas pintu candi, dipahat relief kepala Kala Makara.

Di dalam salah satu candi perwara terdapat arca Nandi, yakni seekor lembu, binatang yang dipercaya sebagai tunggangan Dewa Siwa. Sebetulnya masih ada sejumlah arca lain, tapi atas alasan keamanan dipindahkan ke kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta. Beda lagi dengan isi candi utama, yaitu Lingga-Yoni, berukuran lumayan besar, lambang kesuburan, sekaligus pemujaan terhadap Dewa Siwa dan Parwati istrinya.

Dibalik nuansa religi dan hidangan pemandangan yang permai, Candi Ijo juga menyembunyikan sebuah misteri yang belum terpecahkan. Misteri ini tertuang dalam sebuah prasasti yang berisi kutukan mengerikan. Bahkan kutukan ini diseruhkan berulang-ulang. Itulah sebabnya candi ini dipandang angker. Prasasti itu seakan menjadi marka abadiah tentang sesuatu yang tak baik.

Saya pun sungkan berlama-lama berada disana. 
Masa lalu senantiasa menyimpan misteri!

Sesekali main BW, gan :)

TIPS UNTUK MENIKMATI CANDI IJO
  •  Timing sangat penting agar momen istimewa tempat ini bisa dinikmati secara maksimal. Jika dari pusat kota Yogyakarta, sebaiknya berangkat sekitar jam 14.00 siang. Jam ini sudah terhitung lamanya berkendaraan dan menghindari kemungkinan tersendat di jalan akibat macet atau jalan yang diblokir. Tiba di Candi Ijo pun tidak tergesa-gesa untuk mengejar sunset, ada waktu untuk eksplorasi dan memperhatikan detail-detail candi.
  • Jika hendak memotret, bidiklah interior candi terlebih dahulu yakni ruang di dalam candi. Ini semata-mata demi mendapatkan pencahayaan ruang yang memadai, ketimbang nanti bila keburu gelap pas sunset, gelap pastinya (sementara Anda pasti juga mencurahkan perhatian saat sunset itu, bukan?)
  • Akses di kompleks Candi Ijo ditutup jam 18.00 usai sunset. Jika masih ingin memotret, mintalah izin ke petugas penjaga. Anda bisa mendapatkan suasana yang syahdu serta mistis karena pengunjung lain sudah pergi.
  • Jangan datang pas weekend atau Hari libur, pasti pengunjung banyak. Datanglah di hari biasa, saat cuaca cerah dan wisatawannya sedikit.
  • Pedagang makanan & minuman ringan ada di luar pagar kompleks candi Ijo/ area parkir. Jadi, jangan kuatir bila kehausan. Belilah minuman disana sebelum masuk. Hitung-hitung Anda memberi sedikit keuntungan ekonomi bagi warga sekitar
Catatan: Tulisan & foto-foto tentang Candi Ijo, dimuat di Majalah BATIK (Inflight Magazine of Batik Air) - Januari 2015











5 komentar:

geLintang mengatakan...

foto2nya cakep,, masih ada lagi nggak :D

valentino luis mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
valentino luis mengatakan...

Thanks, mbak @geLintang. Fotonya ga begitu banyak krn waktu itu sedikit telat. Jadi waktu kepangkas untuk fokus beberapa angle saja :)

Baktiar77 mengatakan...

Candi-candi ini banyak yang terletak di daerah yang keren-keren viewnya... sayang aku sendiri malah belum pernah ke candi-candi ini. Bikin ngiler buat ke sana nih, foto-fotonya tetep ajib bikin mupeng

Unknown mengatakan...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...