Menantang Dinginnya
BAJAWA
Hasil bumi melimpah, alam nan elok, tradisi lestari,
ditimpali keramahan penduduk: berkah bagi
sebuah kota mungil di Flores yang hari-harinya
senantiasa terselimuti kabut.
SATU HAL BAIK tentang musik adalah ketika ia menyinggahimu, seketika itu pula rasa sakitmu hilang. Demikianlah kalimat yang terbaca dari punggung kaos seorang pemuda berambut gimbal saat saya menggigil masuk ke Lucas’ Café & Resto. Saya tersenyum kepada kaos bertuliskan kata-kata indah itu, entah kebetulan atau tidak, petikan kalimat raja reaggae Bob Marley tersebut rasanya ditujukan untukku. Maklum, badan saya remuk redam setelah seharian bersepeda sendirian dari Riung. Pegal, jelas. Di atas kertas tertulis jarak Riung-Bajawa ‘sekedar’ 76 km, yang saya duga sebelumnya akan sanggup saya tempuh maksimal satu setengah jam. Nyatanya, alamak, malah jadi dua kali lipat melampaui waktu estimasiku.
Perjalanan yang melelahkan, bisa dikatakan begitu. Di satu sisi harus kuakui bahwa saya sangat menikmatinya pula. Dan setelah membaca tulisan dari punggung kaos pemuda barusan, ditambah secangkir kopi hangat di depanku, dan tentu saja musik, maka rasa sakitku pun menguap. Siluet lubang-lubang menganga sepanjang jalan berliku dari Riung ke Bajawa beserta tebaran kerikil yang berhasil menumbang-jatuhkanku di atas aspal dengan bonus dua luka goresan di dengkul berubah sensasional, seolah-olah hal yang saya alami itu merupakan salah satu adegan film Motorcycle Diaries; konyol namun heroik dengan bumbu lansekap yang eksotis.
LAYAR PONSELKU menunjukkan angka 19:45 , petang yang amat dingin di Bajawa, ibukota kabupaten Ngada, Flores. Sebagai kota yang terletak di ketinggian lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut dan di kelilingi bukit serta gunung, hari-hari di Bajawa adalah kehidupan yang bergerak menyusup di balik percintaan antara dingin dan kabut. Untungnya di Lucas’ Café & Resto saya memperoleh kehangatan. Selain dari kopi dan disusul sup sayurannya, rasa hangat pun turut diciptakan oleh arsitektur restoran yang sebagian besar berbahan alami.
Dinding kayu, lantai kayu, dan ornamen- ornamen ringan bernuansa etnis. Beberapa iklan akomodasi serta jasa pariwisata seantero Flores mudah ditemukan disini. Restoran ini terletak berseberangan dengan hotel Edelweiss tempatku menginap, menjadi semacam treffpunk para turis. Mungkin disebabkan letaknya yang strategis, atau gara-gara bangunan berbahan kayunya yang menarik untuk disinggahi, atau karena dialah satu-satunya restoran yang terkesan ‘disiapkan khusus’ menjamu wisatawan. Apapun itu, jelas restoran imut ini membantu mengendorkan saraf sebelum petualangan saya hari berikutnya.

Dalam kertas oretanku, terdapat empat lokasi di sekitar Bajawa yang memikat saya: Kampung tradisional Bena, air terjun Ogi, kawah vulkanis Wawomuda, dan pemandian air panas Manggeruda. “Bena is awesome, its picture looks like Machu Piccu. The hot spring Manggeruda was extreme hot for me, but yeah..you should try,” tukas Janice Yeoh, turis asal Korea yang duduk di sebelahku. Kami bercakap akrab. “And how about Wawomuda crater and Ogi waterfall?” serga saya tiba-tiba, seolah baru saja menemukan satu peta wisata di mata belonya. “Oh, I never heard about Ogi. And Wowumuda…mmm..I have no idea yet, I plan to visit this place tomorrow” balasnya tersipu. Antusiasmeku separu terbentur. Ya, hanya separu, sebab mungkin ini pertanda baik, ada kesempatan mengajaknya pergi bersama. Seperti demam yang kini melanda bebagian besar orang Indonesia, saya pun lagi suka-sukanya nonton film Korea. Nah, sekarang ada cewek Korea, meski bukan Han Ga In tapi sebandinglah cantiknya. Saya tak butuh terbang jauh-jauh ke Korea kan?


Sejengkal keluar dari pusat kota, kami langsung tenggelam dalam senyap pagi jalan. Jemari tanganku kaku menggenggam setang sepeda motor, lagi-lagi karena dingin yang menusuk. Lampu sepeda motor turut saya nyalahkan karena kabut mengaburkan pandangan. Untuk mencapai Wawomuda kami melewati kampung Booripo menyusul kampung Watujaji dengan satu lagi biara Karmel berdinding merah. Biara yang satu ini dihuni bukan oleh para suster melainkan para calon pastor, isinya laki-laki saja.

Kami berpapasan dengan warga yang setiap kali bertemu muka selalu menyungging senyum dan menganggukan kepala. Dengan gaya sarkasme Janice berujar bahwa Tuhan itu gila, menciptakan hal-hal kontras. ”Jiwa orang-orang Flores ternyata berseberangan dengan tampang mereka yang sangar. Sekali mereka tersenyum, kita langsung kehilangan neraka.” Saya mengangguk, tersenyum karena rasa gelitik dari ucapannya . Di lain tempat orang menghambur-hamburkan uang untuk tampil memikat, lupa bahwa seulas senyuman adalah cara paling murah mengubah penampilan. Penduduk pedesaan memiliki cara paling murah tersebut, dan lucunya mereka tak sadar itu harta, menebar gratis senyumnya. Tuhan memang gila.
MESKI CUMA sekitar enam kilometer dari pusat kota Bajawa dan keadaan aspalnya mulus, jalur menujuh kawah Wawomuda awalnya agak membingungkan. Setelah melalui gapura bertuliskan ucapan selamat datang ke kampung Wawomuda dalam bahasa Inggris, tak ada lagi petunjuk ke arah mana harus bergerak. Tak ada seorang pun untuk dimintai petunjuk atau minimal papan-papan kecil dengan tulisan semisal “ ± 1 km ke kawah” atau “ belok disini.”

Kami menemukan arah yang benar. Ketika baru memulai beberapa meter ke kiri pada arah yang benar itu, saya mematikan mesin sepeda motor. Janice sigap melompat turun dari boncengan. Bukan karena setapak itu rusak tapi karena di samping kami terbentang pemandangan yang menggiurkan.
Kami berada di tempat terbaik untuk memandang kota Bajawa dari ketinggian. Dan coba tebak, kota kecil ini masih terbuntal kabut, padahal langit sudah membiru dan matahari terang benderang. Kami mengulur waktu hingga kabut menampakan wajah kota. Kurang lebih empat menara berwarna belang merah-putih milik sebuah perusahan profider selular menjadi bangunan tertinggi di Bajawa, sedangkan gereja katedral adalah gedung yang paling cepat dikenali. Namun yang membuat gambaran menawan pagi ini mengenai Bajawa bukanlah bangunan tinggi rancangan manusia itu, melainkan keanggunan gunung Inerie yang berdiri tepat di sisi kanan. Saya menyukai bentuk kerucut dengan sedikit ketidaksempurnaan di puncaknya.

Lenguhan kawanan sapi cokelat, cicit burung, dan wangi dedaunan pinus liar turut memberi kesan. Suasana begitu tenang, teduh menyegarkan. Dua lereng bukit kami sisiri, seperti huruf ‘S’ kira-kira formasi perjalanan kami sejak memutuskan ber-trekking. Janice mengartikan formasi ‘S’ itu dengan ‘Searching’. Boleh juga.

Kawah Wawomuda berbentuk bak kubangan lumpur. Kawah-kawah yang semula berwarna merah darah itu sekarang berubah cokelat susu. Yang awalnya empat kawah kini tersisa dua. Bau belerang samar saja terendus, bau itu berhasil dikalahkan oleh aroma pinus yang pohonnya tumbuh jangkung-jangkung.
Bila di awal menjelang pendakian kami menikmati kota Bajawa dengan gunung Inerie, disini kami mendapati kawah Wawomuda bernaung bayangan gunung Ebulobo nun jauh. Janice ingin lebih lama berada disini, saya mengatakan bahwa kami masih memiliki satu target lagi untuk didatangi bersama, yakni air terjun Ogi. Maka kami kembali menuruni bukit, mengitari lereng, membentuk hurus ‘S’ lagi.
Sekarang kira-kira apa makna ‘S’ itu? Janice membentang kedua tangannya, menghirup udara dalam- dalam dan mengembuskannya. “Now, S refers to Satisfied.’
MENUJU AIR TERJUN Ogi, kami harus balik lagi ke kota, saya menganggap perjalanan ini bakalan enteng sebab jalan tak lagi mendaki. Semalam, dari karyawan hotel Edelweiss saya diberitahu, jika hendak ke air terjun Ogi, turuti saja lintasan ke arah pom bensin (SPBU). Karena itu satu-satunya SPBU di kota Bajawa, tak susah menemukannya.
![]() |
Add caption |
Sesampainya di desa Ogi yang hanya berjarak 5 km dari pusat kota, lagi-lagi kasus ketidakadaan petunjuk menujuh obyek air terjun terulang. Untungnya, kampung seimut Ogi cukup hidup oleh lalu-lalang petani. Air terjun yang kami cari malah seperti ‘gajah di pelupuk mata yang tak tampak.’ Aneh, lokasinya berdekatan dengan bibir jalan tapi tak diberi tanda apa-apa.
Sepeda motor kemudian saya lajukan pelan-pelan melewati persawahan. Hijaunya rimbunan padi menjadi pengantar menujuh air terjun, sesekali capung-capung melintas tepat di depan mata. Janice mendendangkan lagu bernada riang, katanya itu adalah lagu tradisioanal Korea yang berkisah tentang kelincahan capung. Para petualang itu, kata orang Korea, ibarat capung. Bergerak cepat dan sigap, mencari tempat-tempat indah, bermata jeli dan bertubuh ramping.
Sesudah memarkir sepeda motor, kami berjalan kaki sejauh seratus meter untuk mencapai air terjun Ogi. Tempatnya sama sekali tidak tersembunyi. Saya mendengar gemuruh jatuhnya air dan tak menghiraukan gongongan anjing dari dua-tiga rumah di bibir air terjun.
Volume air yang jatuh dari tebing ternyata lumayan banyak. Hempasannya pun keras sehingga saya tak membawa kamera dekat-dekat. Bebatuan menghiasi aliran air, rumput-rumput hijau muda menempeli tanah. Saya tak habis pikir, dengan jarak sangat dekat dengan pusat kota, air terjun ini seharusnya lebih dioptimalkan. Kabupaten Ngada bisa dibilang salah satu kabupaten dengan hasil alam terkaya di Flores, pendapatan daerah pasti tak kecil. Mestinya ada perhatian untuk tempat-tempat indah seperti ini. Tidak harus dengan fasilitas hebat, dari hal yang kecil saja, contohnya pemasangan petunjuk arah ke obyek-obyek wisata, cukuplah. Lambat laun dengan seringnya pengunjung berdatangan, bisa pula memberi dampak ekonomi bagi warga sekitar. Saya tak ingin bertanya kemana larinya uang serta kepercayaan rakyat, toh satu kalimat dari P.J. O’Rourke sudah bisa menjawab tanya itu: Giving money and power to government is like giving whiskey and car keys to teenage boys.
Saya dan Janice berdiskusi banyak hal. Tentang pengalaman-pengalaman kami mengunjungi berbagai negara, tentang perbandingan ekonomi sosial politik negara Korea Selatan dan Indonesia, tentang hal-hal lucu dan unik mengenai manusia, tak lupa tentang budaya pop Korea. Sampai akhirnya berakhir pada harapan-harapan baik untuk kehidupan kami selanjutnya, seperti harapan baik bagi petualangan Janice berikutnya ke wilayah barat Flores. Saya mengantar Janice ke terminal bus Ende-Ruteng, setelah kami makan siang bersama. Saya menyukai ke-Koreaan Janice, juga lelucon sarkatisnya. Tapi begitulah namanya perjalanan, bergulir sebagaimana hidup itu sendiri, hari ini saya semeja dengan orang asing, besok orang asing itu menjadi teman, sehari berselang teman itu pergi, dan saya mungkin akan semeja lagi dengan orang asing baru. Every goodbye makes the next hello closer, dude. Kok saya ikutan sarkatis?

Baru 15 menit menderukan sepeda motor, saya terpikat pada satu tatanan perumahan tradisonal kampung Langa. Keadaan lokasinya lengang saat saya tiba. Rumah huni berbentuk panggung rendah berdiri berhadap-hadapan. Di halaman tengahnya tertanam batu-batu megalit dan pondok mirip rumah-rumahan. Formasi kampung tradisional Bajawa membentuk huruf ‘U’. Saya yakin, kalau Janice masih bersama saya, dia pasti punya tafsiran tentang formasi ‘U’ ini.

Lelaki tua itu bernama Zakarias. “Bapa tinggal berdua saja disini dengan istri. Kami tidak punya anak.” Seolah tahu pertanyaan yang hendak kuajukan padanya. Saya memang merasa rumah ini terlingkupi keheningan yang teramat lama. “Terus tetangga-tetangganya kemana?”
“Ke kebun. Yang tinggal di kampung begini, biasanya orang tua saja. Anak-anak muda merantau semua.” Merantau? Di Bajawa yang kaya hasil bumi ini anak-anak mudanya masih ingin merantau? “Jaman sekarang, anak muda mana yang mau tinggal di rumah kayu seperti ini,” timpalnya. Lagi-lagi ia telah menjawab pertanyaan sebelum kuajukan. Pak Zakarias seperti mampu membaca pikiranku. “Tapi kampung kami akan ramai di bulan Januari tiap tahun”.
“Benar. Tapi kami juga punya perayaan Tahun Baru sendiri disini. Adat kami merayakan Tahun Baru setiap tanggal 15 Januari, bukan tanggal 1 Januari.” Saya terhenyak, mereka punya penanggalan sendiri? Pak Zakarias lantas mengurai cerita tentang apa saja yang dilakukan orang kampungnya saat merayakan Tahun Baru ala mereka. Orang-orang disini akan menari sepanjang hari mengunjungi satu kampung ke kampung lain. Acara tari-tarian ini dinamakan Menari Owi, menari secara massal.
Pak Zakarias memberitahuku bahwa suku-suku di sekitar Bajawa menganut sistem matrialkal, dimana pihak perempuanlah yang memegang tampuk tertinggi dalam klan. Perkawinan dilakukan berdasarkan garis kekerabatan pihak ibu. Klan baru terbentuk dari perkawinan kekerabatan ini. Setiap pembentukan klan ditandai dengan pendirian simbol keluarga pria dan wanita. Simbol diwujudkan dalam rupa rumah mini dan rumah payung. Rumah mini disebut Bagha mereprentasikan keluarga wanita, sedangkan rumah payung atau Ngadhu mewakili keluarga pria. Atap-atap rumah hunian para warga, pada bagian tengahnya terpasang pula ornamen. Atap rumah keluarga pria, Sakapu’u, terdapat ornamen patung pria mirip boneka, atap rumah keluarga wanita, Sakalobo, dipasang lagi model rumah super mini. Pesta adat di Bajawa selalu mengorbankan ternak, yang paling sering adalah kerbau dan babi. Tanduk kerbau di pajang di dekat pintu rumah, gerahamnya disangkutkan di salah satu kisi-kisi rumah.
Rasanya betah berlama-lama di rumah Pak Zakarias. Meski kerongkongan kami hanya tersegarkan segelas air putih, saya merasakan keramahan bersahaja. Tanpa sekat. Pembicaraan kami seolah percakapan antara seorang kakek dengan cucunya yang dipenuhi rasa ingin tahu. Saya pun pamitan. Pak Zakarias malahan melepas kepergian saya sampai di mulut kampung. “Datanglah lagi bulan Januari, menginap di rumah kami, ” seruhnya. Tak ada alasan bagi saya untuk tak terharu.

Mendekati kaki gunung Inerie, jalan berbelok ke kiri. Tiba di tikungan pertama, mataku menangkap satu papan hitam kecil di sudut dengan tulisan semacam undangan mampir. Kampung tradisional Luba namanya. Saya penasaran untuk singgah, ditambah rasa belum puas karena rumah-rumah di kampung tradisional Langa, kampung Pak Zakarias tadi, seperempatnya sudah beratap seng bahkan ada yang berlantai keramik.
Kampung Luba benar-benar menjawab keinginannku. Datang kesini seolah menemukan sebuah tempat rahasia, ia tersembunyi. Kelihatan bahwa belum lama dipugar. Atap semua rumah dari alang-alang. Hening, jauh dari ribut gaduh. Saya mengitari halaman tengah, tak bisa lama walau saya sungguh menyenanginya. Mengingat tujuan utama saya adalah Bena, maka saya pun meninggalkannya. Untuk ke Bena saya mengikuti jalur yang sama, tanpa harus kembali ke jalan raya. Hanya perlu setengah kilometer menuruni bukit dengan pelan.


Soa pun dekat saja dari pusat kota, 18km, dan saya merasa kecolongan begitu melintasi jalan ke arah sana. Masalahnya, kemarin dari Riung saya melewati jalan yang sama ini juga. Satu-satunya alasan kenapa saya tak memperhatikannya kemarin mungkin disebabkan papan petunjuk yang membelakangi arahku.

Karena seorang filsuf pernah berujar, nikmatilah selagi kamu bisa menikmati, menderitalah sewaktu kamu harus menderita, maka saya tak peduli betapa petang telah membayang. Saya siap menggigil kedinginan nanti asalkan merasakan kehangatan air saat ini. Saya ingin menyingkirkan debu perjalanan, meresapi pesona tiap tempat yang baru saya kunjungi. Apalagi sekelompok pemuda, dengan gambus kayu menemani saya seraya mendendangkan lagu-lagu daerah. Musik memang membuat rasa sakit hilang, saya merenungkannya disini, di Bajawa, sebuah tempat yang kehidupannya bergerak menyusup di balik percintaan antara dingin dan kabut.
MAU IKUT MENANTANG DINGIN DI BAWAJA?
FACT: Bajawa, -dari kata ‘Ba’ dan ‘Jawa’ artinya Mangkok dari Jawa-, adalah ibukota kabupaten Ngada, terletak di barat pulau Flores, NTT. Waktu GMT +8 atau menurut waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA). Kode area untuk menelefon dari luar Bajawa: 0384.

HOW TO GO: Transportasi bisa melalui darat, laut, dan udara. Dari Jakarta, dengan pesawat perintis dan tiba di bandar udara Soa Bajawa atau Ende. Bisa pula terbang ke bandar udara Frans Seda Maumere dengan Lion Air dan Batavia Air, kemudian dengan bus/ mobil (orang Flores menyebut bus/mobil dengan “Auto” sama seperti orang Jerman, keren kan?hehe..).
Opsi lain, dengan kapal ferry PELNI ke pelabuhan laut Ipi Ende, Marapokot Mbay, Labuan Bajo, atau Laurens Say Maumere (jadwal kapal, kunjungi www.pelni.co.id). Untuk mengelilingi daerah sekitar Bajawa, cara paling baik adalah menyewa sepeda motor atau ojek.
WHERE TO SLEEP: Penginapan sederhana –basic accommodation- terdapat di sekitar Jl. Ahmad Yani, misalnya Hotel Edelweiss, Hotel Korina atau Dagalos. Area ini paling strategis sebab Lucas’ Café dan restoran Camelia, warnet, serta Pusat informasi wisata (tel. 0384-21554) juga terletak berdampingan di sekitarnya. Penginapan lain terdapat di Jl. Slamet Riyadi, yakni Hotel Anggrek, Kambera, dan Nusantara. Advice: Lihat dulu keadaan kamarnya ya?
LAIN-LAIN:
Money : ATM Bank BNI (Jl. Pierre Tendean), BRI
Souvenir : Kopi Bajawa (aromanya sedap, dapatkan di pasar), Kain tenun ( dijual di kampung tradisional. Walau motifnya tidak sekompleks dan seindah tenun Maumere atau tenun Ende, tapi saya menyukai monopoli warna kuning terangnya, kinclong!)
Try : Kalau pas musim buah, nikmati kelimpahan Markisa, Alpukat, dan Sawo di pasar Bajawa atau pasar dekat Mataloko. Rasa buahnya sangat kuat serta berukuran jumbo. Best in Flores. Lecker!
Caution : Jangan lupa jacket.
More info : Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada: Jl. Ade Irma 1, Tel. (0384) 2223785.
Tourism Map (klik foto untuk lihat ukuran besar):
-->
14 komentar:
nice story... nice picture..heheee..
bro..bisa minta kode url musik blogx kow... kyakx bgs tuh trh d blog sy..hehe..epang gawang.
This travel story,though written in Bahasa but helps me so much to arrange my trip plan to Flores.
What an attractive blog.
Keep moving, keep writing.
Best wishes
Claudia Nasemann
Tempatnya indah luar biasa.
Subhanallah.......
Pingin sekali kesana.
Thanks telah berbagi kisah.
KANGEN dengan Bajawa, sejuk dan mungil. Rindu keramahan penduduk dan pasti akan KOPI BAJAWA.
salam dari Jakarta
melihat dan membacanya, membuat aku ingin pulang... salam dari saya pendatang baru
(nango-tarawaja.blogspot.com)
LIKKKKKKKKKKKKKEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE TTTTHHHHHHHHHIIIIIIIIIIIIIISSSSSSSSSSSSSSSSS,, JAAAAAAADDDDDDDDDDDDDDDDDIIIIIIIIIIIIIIII KANGEEEEEEEEEEEEEEEEEENNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN
Rindu Pulang Bajawa,, semoga semakin maju dan tetap menjunjung tinggi tradisi dan nilai budaya
Bro, blog u jd ref trip sy akhir july ini
Thank you f sharing
Merasakan hidup dan bersekolah di Bajawa selama 5 tahun sebelum kembali ke Jawa,mendadak aku kangen sekali dengan kota kecil ini. 1 bulan menyewa di kamar hotel Kambera, sebelum mendapat rumah sewa. Apa kabarnya hotel ini. Terima kasih sudah membawa kenangan ini menjadi hidup dengan tulisan dan foto2 anda yang memesona.
Merasakan hidup dan bersekolah di Bajawa selama 5 tahun sebelum kembali ke Jawa,mendadak aku kangen sekali dengan kota kecil ini. 1 bulan menyewa di kamar hotel Kambera, sebelum mendapat rumah sewa. Apa kabarnya hotel ini. Terima kasih sudah membawa kenangan ini menjadi hidup dengan tulisan dan foto2 anda yang memesona.
Bajawa cool city....kota yang indah dan ramah penduduknya semoga bermanfaat untuk semua pariwisata asing maupun lokal....BAJAWA ALL THE BEST
Oh God...
thank you for sharing this
you really bring me there
these are little things I always think in my college day lately
God, I miss my hometown Bajawa
Hai.. sy baru aja plg dari bajawa..
Sayang cuma sebentar, 4D3N ga cukup buat explore tempat ini.
Pertanyaan yang sama di benak ku..
Kenapa sangat sedikit pemuda daerah yg mw membangun kota ini.
Sdh coba ke bukit Wolowio & Wolobobo? Track tidak sulit bisa pake sepeda tp cukup jauh buat sy.Ktnya biasa d pakai jogging tracknya pak Bupati ...
Aah ga cukup satu paragraf buat mendeskripsikan bajawa..
Mohon info transportasi / travel dari Bajawa ke Maumere adakah ? berapa jam perjalanan dari bajawa ke Maumere ? Thank's
Posting Komentar