Jalan-Jalan Ke Gunung Bromo




Stairway To Heaven
Adanya Di Timur Pulau Jawa!



Once upon a time, during the reign of the last king of Majapahit (13-14 century AD), Brawijaya, one of the King's wives gave birth to a girl, Roro Anteng. Later she got married to Joko Seger, from Brahman (priests) caste. Because of an unfortunate situation, they were forced to leave the kingdom. They settled an area in the mountain, named it "Tengger."
For years, they were unhappy because they didn't have a child. They climbed the peak of the mountain, prayed to gods. Betara Bromo (God of Fire) promised them many children, but
they have to sacrifice their youngest children.

They finally got 25 children, and they had to sacrifice the youngest, Kesuma, but they hid him. But an eruption happened and Kesuma fell into the crater. Then his voice heard: "I have to be sacrificed so that you will all stay alive.
From now on you should arrange an annual ceremony on the 14th of Kesodo."
***

Legenda itu sudah terpatri lekat dengan Bromo. Gunung di bibirnya daerah Tengger. Nama Tengger sendiri konon berasal dari gabungan kata Roro Anteng dan Joko Seger. Diyakini keturunan keduanya adalah cikal bakal keberadadan masyarakat Tenger kini. Entah benar atau bukan, itulah ceritanya. Jika demikian adanya, tentu Roro Anteng dan Joko Seger itu berperawakan mungil, kecil-kecil. Soalnya hampir semua orang-orang Tengger badannya kecil-kecil amat. Rumah mereka pun mungil benar dan memanjang ke belakang. Orang bilang rumah mereka dibuat sempit dan memanjang ke belakang lebih karena agar suhu dalam rumah hangat. Maklum, daerah Tengger berada pada ketinggian. Dingin. Mungkin benar begitu. Tak perlu juga sebegitu curiousnya. Ada yang punya versi lain. Terserah. Terima semuanya, nikmati saja kekayaan bangsa kita. Bukankah tanah air kita gema ripah lo jinawi? Termasuk kekayaan akan mitos serta legenda.

Cerita tentang indahnya view pegunungan Bromo di kala matahari terbit, menggodaku untuk melihatnya sendiri. Kebetulan kuliahku di Denpasar baru aja kelar, hitung-hitung sebagai rasa syukur. Naik gunung kayaknya asyik tuh, pas momentnya.


Saya berangkat dengan bus malam DAMRI dari Terminal Ubung Denpasar jam 8.00 malam. Dengan ticket seharga .....ke Probolinggo, kota yang paling dekat sama daerah tujuan saya. Ini kali pertama perjalanan menyeberangi pulau dengan bus malam. Sebelumnya saya selalu berpikiran negatif tentang perjalanan darat antar pulau, apalagi ke Pulau Jawa. Top reason adalah tentang security. Mungkin selama ini Cuma dengar yang buruk-buruk saja tentang lalu lintas di pulau padat penduduk itu. Saya malu sendiri saat seorang remaja SMU mengisahkan seringnya dia menyeberangi Sumatra-Jawa-Bali dengan bus tapi tetap baik-baik saja.

Lepas tiga puluhan menit, saya sudah terkantuk-kantuk. Sopir bus rupannya angkatan ‘Tembang Kenangan’ yang nggak doyan menghidangkan musik dandut di busnya. Gimana ngga cepat KO kalau lagu-lagunya seolah mengiring kita ke alam mimpi? Agak terganggu tidurku ketika bus terasa seperti berayun-ayun jalannya. Ah, rupannya kami tengah berada di perairan anatara Pulau Bali dan Jawa. Sebentar lagi sampai ke Pelabuhan Ketapang, pintu gerbang menujuh Java Dwipa (begitulah Jawa dulu dikenal karena jadi Island of Rice, Pulau Padi).

Sekitar jam 5 pagi kami berhenti di daerah Pasir Putih. Ternyata sarapan,Bos. Aha…kok?? Restaurannya lumayan cozy, prasmanan pula. Wah, saya seperti ditampar pikiran saya sendiri.


Tapi rasa senangku jadi berubah dongkol dot com ketika sudah di Probolinggo!

Edan…, saya diturunkan di pinggir jalan lalu disuruh nunggu bus lain….

!!!!!!……?????

????!!!!!…!

Alkisah, bus Damri yang saya tumpangi itu tujuannya Malang. Saya sudah tahu itu. Waktu di Denpasar kondekturnya bilang nanti saya akan diturunkan di Probolinggo. Tentu saja pikiran saya bakalan diturunkan di terminal Probolinggo. Nyatanya? bus ngga boleh masuk ke terminal. Kalau pun demikian, setidaknya diberitahu: “Penumpang tujuan Probolinggo turun di dekat terminal.” Kan bagus.. Ini ngga, bus jalan aja trus, sementara saya mulai bertanya-tanya sendiri. Pemandangan Probolinggo sebagai kota mulai larut, kembali sub-urban, keluar dari kota. Saya harus melakukan sesuatu, pikirku. Langsung saya tanya kondekturnya:

” Dimana nanti saya diturunkan? Saya tujuannya Probolinggo. Anda sudah tahu kan itu?”

„Probolinggo mana?“ Tanyanya kaget.

„Seharusnya di terminal, Mas”

Saya lihat roman mukanya berubah.

“Masnya mau kemana?”

“Saya mau ke Bromo.”

Kebetulan saya duduknya di dekat sopir. Dari awal saya buka bicara, sudah mulai kasak-kusuk. Tiba-tiba seorang penumpang berbisik. 50 meter lagi, ada pos polisi. Saya minta berhenti aja nanti. Katanya, langsung aja ke kantor polisi. Ha??? Ngapain? Saya ngga mau berurusan sama polisi. Mengeluhkan masalah ke polisi, maksudnya? Bah, malah bikin certa tambah panjang....

Belum sempat saya ngomong apa-apa, dia sudah minta sopir berhenti di depan kantor polisi. Saya bingung. “ Turun saja disini, Mas.” Saya menatap dia, lalu kondektur, terus ke penumpang lain. Aneh, seolah-olah semua wajah memerintah. Saya pun turun. Tak ada pilihan lain, saya masuk pekarangan kantor polisi. Dua polisi di ruangan itu. Saya menyalami mereka dan kata-kata pun meluncur keluar. Seorang bereaksi dengan bahasa lokal. Saya bisa menangkap sedikit maksudnya. Tapi ujarku kemudian:

Please, Pak. Pakai aja bahasa Sumpah Pemuda. Saya ngga tau bahasa Sumpah Palapa…”

Lalu kami sama-sama tertawa. Maksud saya ke polisi itu agar pakai bahasa Indonesia, jangan bahasa Jawa. Ternyata di sebelah kantor polisi ada pertigaan dimana angkutan umum biasanya mengangkut warga Tengger atau mereka yang mau ke Bromo. Beberapa menit kemudian saya sudah berada diantara penumpang menujuh Tengger. Plong……


Tiba di Ngadisari hampir jam 4 sore. Tapi saya ngga berhenti disana untuk bermalam tapi harus menujuh ke Cemara Lawang. Sebuah hotel, sesuai dengan rekomendasi teman, ada tepat di bibir lautan pasir menghadap langsung ke Bromo. Benar saja,menujuh ke penginapan itu saya langsung dibuat kagum dengan pemandangan di sebelah kanan saya. Anjo de Guarda! Yang saya inginkan sudah di depan mata !

Lava View Lodge, demikian penginapan yang saya maksud. Seakan hidangan utama di lodge itu adalah lava view Bromo. Penginapan ini menyediakan beragam tipe kamar, dari family room, bungalow, standard superior rooms dan standard junior rooms.

Arsitektur bangunan khas Indonesia (harga: http://www.globaladventureindonesia.com/lava%20view%20lodge.htm ). Punya restaurant sendiri yang kalau malamnya ada live band. Servisnya lumayan, selain breakfastnya pilih sendiri, juga ada free afternoon tea/coffee. Mmm…mm bayangkan, betapa asyiknya menyeruput secangkir kopi hangat sore-sore dengan view gunung Bromo di depan mata…Rasa penat karena perjalanan jauh sontak menguap bersama udara sore yang dingin. Kabut senja lumayan banyak di sekitar Bromo tapi untunglah saya bawa mini teropong, sehingga mata saya bisa meneruak bayangan anak-anak tangga di dinding luar kawah. Besok saya akan kesitu!



Pukul 04.30 pagi saya sudah bangun, beberapa menit kemudian bunyi mesin beberapa mobil hardtop terdengar di halaman Lava View Lodge. Kerumunan wisatawan sudah ada disana. Semalam saya sudah booking salah satu mobil via receptionist. Harganya sedikit mahal jika memesan lewat penginapan, tapi kita bisa memesan di beberapa pos di luar. Harganya bervariasi mulai Rp. 170.000-250.000. Bisa sharing dengan beberapa teman atau sesama tourist biar bayarnya lebih murah. Lantas setengah jam kemudian saya sudah terguncang-guncang di dalam hardtop, melintasi lautan pasir dalam gelap. Tapi pagi yang masih buta itu kami tak sendirian, di belakang dan di depan kami pun ada kendaraan yang punya tujuan sama, ke Penanjakan: disitulah tempat paling pas untuk melihat view Bromo secara utuh dalam balutan sunrise. Sesampainya di lokasi, banyak orang tumpah rua.



Dingin ternyata tak mampu mengalahkan semangat puluhan manusia untuk menaklukan imajinasi mereka akan Bromo. Kiri-kanan ada pedagang kaki lima: souvenir khas bromo dipajang disana dari t-shirt bergambar Bromo, topi, syal, hingga barang-barang imut lainnya. Tak mau ketinggalan pedagang minuman hangat, makanan ringan, hingga penjual baterai camera yang tetap aktif menawarkan dagangannya hingga di spot khusus untuk melihat view sunrise. Siapa tahu saking gilanya foto ada yang baterei cameranya kehabisan energi..hahaha.




Langit merah menyalah, oranye, garis-garis biru. Itulah warna pagi sebelum matahari terbit di belakang Bromo. Kiblatan blitz camera terus menerus berkelip. Hingga saat matahari mulai menyembul, semua orang berdecak kagum. Demikian pun saya. Tuhan Maha Kuasa!!! Di depan mata seperti lukisan. Berjejer Gunung Batok (2.470m) yang menonjol dengan garis-garis di tubuhnya, Bromo (2.392m) yang terus mengepulkan asap abadinya, Gunung Kursi (2,581m) Gunung Watangan (2.662m) dan Gunung Widodaren (2.650m) yang tampak malu-malu bercelana kabut. Lalu di belakang sana, yang menjulang dengan anggun serta bermahkotakan asap seumpama asap bom nuklir Hiroshima itu adalah Gunung Mahameru. Katanya gugusan gunung gemunung itulah penghantar menujuh nirwana. Dan Stairway to Heaven (tangga menujuh Nirwana) itu ada di antara salah satunya. Sepatutnya saya kesana. Harus. Lalu kendati dengan berat hati saya musti menyingkir turun dari Penanjakan. Demi menujuh Stairway to Heaven itu….

Tiang-tiang putih setengah meter berbaris rapi. Seperti pagar, pemberi arah biar tak sesat. Ringkik puluhan kuda disitu. Ada yang berdiri menunggu penumpang, ada yang berlari dengan naluri bagai mengejar matahari. Entah mereka yang mau atau tuannya yang ingin. Saya halus menampik tawaran tumpangan naik kuda. Alasan pertama karena saya anak kampung, bukan orang yang lahir di kota besar. Waktu kecil saya sering menghabiskan waktu di atas punggung kuda sepupuh-sepupuhku yang tinggal di gunung. Naik turun bukit hingga pantatku sakit bahkan memar lantaran tulang punggung binatang itu beradu dengan tulang pantatku. Alasan kedua karena hampir semua kuda-kuda yang ditawarkan rata-rata berbadan pendek. Satu juta persen ngga lucu, kakiku yang panjang tergantung dan tampar menampar dengan pasir berdebuh. Uhh…..kaki menerjang badai!!! Jagoan tolol.



Gunung Batok demikian dekatnya hingga alur-alurnya jelas tersusur. Eksotis.

Dan setelah mengarungi lautan pasir, saya (ngos-ngosan) berdiri di depan Stairway To Heaven. Ternyata tangga menujuh Nirwana itu adanya disini, di timur Pulau Jawa. Mungkinkah dongeng nenek saya tentang surga dan dunia yang dulunya hanya berjarak sekian meter itu ada hubungannya dengan gunung Bromo? Sayang, nenekku sudah keburu meninggal. Maunya kudengar lagi dongeng itu sepulang dari Bromo. Wajah nenekku kembali terbayang saat kukenal rangkain bunga Edelweiss-lah yang sedang di genggam dua perempuan di depan anak tangga. Mereka seperti dayang-dayang negeri anta beranta dari Mongolia. Nenekku punya liontin dengan bunga bunga Edelweiss di dalamnya. Bunga abadi, kata beliau. Bunga ini merupakan bunga yang populer dan disukai oleh orang-orang pegunungan Eropa. Nama edelweiss sendiri datang dari bahasa Jerman, Edel dan Weiss, si putih yang mulia. Sementara nama ilmiahnya Leontopodium.


Akhirnya saya merayapi anak tangga (spiderman?). Iseng mau hitung, tapi tanggung malas lagipula manusia hilir mudik naik turun. Kawah Gunung Bromo mengepul putih. Bau belerang tercium. Sampai disini saya diam.

Begitu banyak yang datang dan pergi. Di bawah sana bayangan pura Hindu berdiri sendiri dikepung angin lautan pasir. Nirwana ternyata tetaplah perasaan di relung jiwa. Sebagai salah satu masterpiece Tuhan, Bromo juga adalah sebagian keping nirwana.






















2 komentar:

Anonim mengatakan...

love indonesiaku.....
banyak penginapan murah ngga.Pingin banget kesana.Kalo yg harganya bisa buat mahasiswa kere kayak kita ini ada?

sandy.murtadi@yahoo.co.id

Ari mengatakan...

fotonya menarik juga ya.jadi pengen kesana

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...