Cerpen


Celana Dalam (Punya Siapa?)

Johor Baharu - Malaysia, Agustus 2006.

Merry menghela nafas. Cokelat, Krem, Putih, Putih lengan pendek, Biru tua, Biru muda, Hijau lumut, Putih lagi.
Baju-baju kantor milik majikan laki-lakinya sudah necis di hanger. Hari ini ia mengerjakan segalahnya dengan sukacita. Sempurnah. Merry tahu apa yang membuat perasaanya berbunga-bunga hari ini.
Baru saja colokan seterika dicabut, suara majikan perempuannya nyaring berkumandang dari arah halaman samping rumah, tempat dimana sehari-hari ia biasa mencuci dan menjemur pakaian.
“Liiiii!”
Merry menggulung kabel seterika dan meletakannya dibawah meja.
Suara yang lebih pantas disebut lolongan itu. Merry merungut. Seandainya majikannya ikut kontes nyanyi yang dibuat televisi-televisi di Indonesia sana, pasti sudah lama dieliminasi. Jelek sekali.
“Melliiiiiii! Melliiiiiii!”
“Ya, I am coming” Sulit bagi Merry mengganti kata “Ya” menjadi “Yes” kalau majikannya mencak-mencak seperti ini. Ia jadi gugup. Sesuatu yang luar biasa pasti tengah terjadi kalau namanya disebut selengkap itu. Merry telah paham tingkah pola kedua majikannya. Setengah tahun sebagai pembantu di rumah ini cukuplah buat dia untuk mengerti mereka. Ini kali yang kedua ia mendapatkan majikan orang Cina. Tidak seperti awal- awal kedatangannya di Malaysia ini dulu. Merry sempat kapok untuk bekerja sebagai pembantu karena merasa diperlakukan tidak adil. Ia lantas banting setir sebagai pemecah kakao di perkebunan selama dua tahun lebih. Ikut teman-teman dan kenalannya yang setanah air. Lima bulan lalu ia coba kembali lagi untuk bekerja di rumah, sebagai pembantu, memutuskan berhenti sebagai pemecah kakao, setelah menambah bekal pengetahuannya biar tidak bodoh dan ceroboh lagi, biar ia bisa berpanjang akal.

Mengenai kecerobohonnya itu ia punya koleksi ceritanya. Contohnya seperti ini; begitu berhasil mendapat kerja, ia diajari majikannya bagaimana mencuci pakaian yang sesuai dengan kehendaknya. Berapa takaran deterjen untuk lima baju, berapa takaran jika mencuci baju kain sutranya, bagaimana menguceknya, bagaimana menjemurnya, bagaimana ini, bagaimana itu….
Merry memasukan semuanya dalam otak. Lalu ia pun mencoba sehari sesudahnya tapi belum apa-apa, ”Liii..,Li..you stupid ya? Itu tepung untuk cake kamu kila deteljen ya? Tengoklah,bajuku tak ada busanya.” Majikannya tertawa terpingkal-pingkal. Merry cuma bisa tersenyum kecut,dongkol. Ia lupa mencermati perbedaan kedua serbuk itu lantaran sama-sama dibungkus plastik bening yang sama model dan ukuran.Kejadian menggelikan itu tak akan pernah dilupakannya.

Buru-buru Merry bergegas menemui majikannya.
“Tengok sini,” kata perempuan itu setibanya Merry di hadapannya. Dua bola mata Merry ikut saja.
“Tahu you..punya siapa nih?” tanyanya menunjuk pada sesuatu yang tergantung melambai sendirian di tempat jemuran. Merry tersenyum malu-malu.
“Li…punya siapa panty nih?” Muka Merry bersemu merah. Ah, nyonya, di rumah ini perempuan hanya kamu dan saya. Kalau bukan punyamu, terang saja punyaku, begitulah ujar Merry dalam hati.
“Punya saya,Mom”
Perempuan sipit itu menatapnya lurus tajam.
“Punya you??! Ini expensive,Li!
Merry masih tersenyum.
“Ini expensive. Mahal. You bilang gaji you nak kirim ke Indonesia.” Dia mencermati celana dalam warna merah muda itu. Tiba-tiba, “Tak mungkin punya you. Maling you ya?!”
Kress, kulit wajah Merry langsung tertarik. Mendengar itu senyum malu-malu Merry terbang semuanya. Ia tidak menduga majikannya akan berkata demikian.
“Tidak,Mom. Itu Merry beli.” Sergahnya. Ia tersinggung,sumpah!
“Tipu you.Maling...!You balik saja. Tak mau aku punya pembantu maling!” Lemaslah Merry. Celana dalam itu, merah muda, tadi pagi sungguh dengan berbinar-binar ia tatap sepulang dari kedai pakaian. Mahal sekali namun kainnya lembut selembut kepunyaaan majikan perempuannya. Berpita kecil di depannnya. Bermerek (Merry sulit mengejanya). Boros, mungkin, namun ini ia beli dari uang gaji. Paling tidak sebagai pernyataan bahagia, toh tidak ada salahnya (Biar ia punya kenangan sendiri, cerita sendiri bahwa ia, Merry, yang dari Kampung Kelapa, yang saban hari menghabiskan waktu berjam-jam di samping rumah berdinding bambu mengikat benang - menenun jadi kain – memasak - menenun lagi, bisa juga pada suatu saat menghabiskan beberapa pulu ringgit demi satu celana dalam).

Ah, celana dalam baru itu, sayang sekali tidak diterima oleh otak picik majikan perempuannya. Tidak percaya barangkali kalau seorang babu sanggup membeli kain sepotong nan mahal.

***

Orchard Road - Singapura,Agustus 2006.

Apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam, dicobanya mengingat-ingat. Ia yakin semuanya berjalan baik-baik saja. Oleh sebab apakah suara Mom begitu keras memanggilnya tadi, itu yang membuatnya bingung.
“Ikut ke kamarku,now.” Perempuan kepala empat yang jadi majikannnya itu muncul dan berdiri di pintu dapur. Padahal, ia tahu pembantu yang dipanggilnya pasti datang tanpa perlu disusul.

Anamia. Pembantu rumah, gadis berbadan tangguh seperti tak pernah kekurangan darah itu terkesiap, nervous. Ia melihatnya, wajah Mom memang terus-terusan musam muram sekembalinya dari menjenguk putranya di Hongkong. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu disana, jangan-jangan ia menemukan putranya dalam keadaan tidak karuan. Dan sekarang ia mau mencurahkan isi hatinya pada Anamia. Maklum, tuan sedang ada urusan bisnis ke Jakarta dan di rumah itu tak ada orang lain yang bisa diajak ngobrol oleh nyonya selain dua ekor anjing bulldog dan dirinya. Hampir selalu ia hanya jadi pendengar. Lagipula nyonya rumah sering mengeluarkan kata-kata yang sulit dimengerti, tiba-tiba Mandarin, tiba-tiba Inggris. Dengan bekal bahasa asing yang susunannya kepala di kaki-kaki di kepala, ia tak bisa berbicara banyak.

Sebuah laci lemari yang isinya hanya pakaian dalam terbuka menyambut keduanya di kamar utama.
Look at there closer!” jemari telunjuk Mom menunjuk kepada laci terbuka tersebut. Anamia mendekat, menelisik. Semuanya baik-baik saja, teratur. Untuk beberapa saat Anamia diam saja. Bahkan sampai ketika tangan majikannnya menjepit sepotong celana dalam yang terlipat diantara pakaian dalam itu memakai ujung pinset pun ia tetap belum paham apa masalahnya.
Seraya mengarahkan ‘temuan’itu, dipelototinya Anamia.
“Bukankah ini punyamu?” Seolah tersedak, Anamia menarik lehernya. Mungkin saja ia sanggup mengumpulkan uang yang cukup, tapi apa ia mau menghabiskan dollar Singapuranya untuk ‘sekedar’ celana dalam sementara tiga adiknya di Indonesia amat bergantung pada bantuannya demi sekolah? “I never seen it before,” lanjut Mom. Nah loh, apalagi saya? (Anamia membatin). Ia merasa geli tapi tak bisa menunjukkan ekspresi.
“Mungkin Mom lupa. New panty,perhaps.”
No
Membisu sejenak
“So?!”
“It’s not mine,Mom.”

“Lalu punya siapa?!!” Muka Mom memerah seperti gunung mau meletus. Matanya tak ubahnya anak panah yang melesat. Selang semenit saja sesenggukan lahir dari bibir perempuan blasteran Cina-Melayu itu. Pipinya berair, separuh bening separuh hitam karena eye linernya luntur. Mom menangis. Tangisnya semakin keras saja ketika ia ke kamar Anamia, membuka lemari plastik pembantunya, menggeledah semua isi dan mendapati beberapa celana dalam murahan tanpa label. Anamia tak tahu harus bagaimana.

Mom menolak lunch dan ia hanya di kamarnya setelah kejadian itu. Anamia melanjutkan pekerjaannya dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa barusan. Malamnya ia lega karena Mom mau makan malam. Hingga besok pagi ia melihat majikannnya itu mengeluarkan sebuah travel bag besar, ia menganggap masalah telah selesai. Ia tahu Mom seorang yang cemburuan. Habis, tuan kan masih seger. Enam tahun lebih mudah dan tampan lagi. Tuan itu suami kedua Mom setelah yang pertama meninggal, kecelakaan (katanya). Jadi yang dijenguknya di Hongkong itu adalah anak dari suami pertamanya.

“Kamu disini. Pekan depan saya kembali.” Begitu pesan Mom singkat sebelum mempersilahkan Anamia menarik bawaanya ke sedan, kemudian meluncur pergi dengan pelan. Anamia merasa tenang.

Mom benar-benar pulang pekan depannya tapi tidak sendirian, tidak dengan tuan tapi dengan…
“Mr. Chang?” Anamia mengenali lelaki itu. Sejurus ia heran dan bertanya- tanya sendiri. Ada keperluan apa? Bukankah urusannya dengan agen penyalur tenaga kerja ini sudah beres?

Tidak sampai sejam, Anamia tahu untuk apa lelaki itu datang, ia telah mengerti semuanya. Ia melangkah gontai ke kamarnya sesudah lelaki itu pergi. Diapitnya sehelai tiket penerbangan tujuan Jakarta. Lalu selanjutnya hanya pipi dan bantalnya saja yang basah air mata. Walaupun selama ini pertengkaran sering terjadi lantaran kecemburuan Mom terhadap tuan, ia tak menduga kejadiannnya berujung seperti ini.

***

Changi International Airport – Singapura, September 2006.

“Ternyata seminggu itu Mom pergi untuk mengajukan cerai. Sekalian menemui agenku, Mr Chang. Pria itu bilang kalau aku masih mau kerja, musti menunggu setahun lagi sebelum ia mendapatkan majikan baru. Sebaiknya aku pulang dulu.” Anamia mengakhiri kisahnya. Tangannnya membolak-balik tiket.

“Gara-gara celana dalam, ha?” Suara perempuan yang bersebelahan dengannya terdengar lebih sebagai sebuah kesimpulan, bukan tanya. Ia tersenyum tiba-tiba, getir. “Lucu,” desahnya. “Sebenarnya celana dalam itu punya siapa sih?”
Anamia memalingkan wajahnya ke perempuan itu.
“Mana kutahu? Lah, untuk sekedar bedak saja saya ngirit, apalagi untuk itu.”
“Kok bisa ya, kita sama-sama dipulangkan karena celana dalam?” suara tanya perempuan itu lagi, ia seolah berbicara sendiri.
“Maksud kamu?”
“Ya, kamu tahu saya penumpang transit, kan? Begini nih nasib pekerja kayak kita, hanya bisa pasrah. Entah kita benar, atau tak tersangkut paut sama satu hal sekali pun, mana majikan mau peduli. Saya terpaksa tak bisa lama-lama di Malaysia juga karena sehelai celana dalam.”

Anamia menutup mulutnya tak percaya, ia mau bertanya, hanya saja suara dari speaker entah diletakan dimana dalam ruang tunggu itu sekonyong-konyong memberitahu jika pesawat dengan flight number sekian tujuan Jakarta akan segera berangkat, penumpang dimohon menujuh ke gate sekian.
Seat kita bersebelahan, bukan? Nanti saja di dalam pesawat ceritanya”
Anamia mengangguk. Mereka bangkit.
Perempuan yang jadi teman ngobrolnya itu berdiri pada antrean terakhir. Tangan kirinya menarik sebuah travel bag biru dengan tiket terjepit disana, sedangkan yang sebelahnya lagi menenteng tas warna senada. Yang pasti dalam tas di antara pakaiannya, terselip sebuah celana dalam warna merah muda miliknya, kainnya selembut kepunyaan majikan perempuannnya, dengan sebuah pita kecil di depannnya.

Denpasar, awal September 2006
(Berdoalah kalian, para penyumbang devisa yang mengenaskan!)

Tidak ada komentar:

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...