Jalan - Jalan ke Seram/ Ora Beach

Seram
Yang Menenteramkan

DI UTARA AMBON, SEBUAH PULAU MENUNGGU UNTUK DICUMBU



I
ded Latuconsina menepuk pundak saya, “Oke, sobat. Saya hanya bisa antar sampai di sini. Nikmati perjalananmu ke Ora. Mudah-mudahan cuaca selalu cerah dan semua berlangsung lancar.” Kami pun berjabatan tangan serta berpelukan. “Terima kasih,” kata itu saya ucapkan berulang. 

Perkenalan saya dengan Ided baru terjadi beberapa jam lalu, namun seolah-olah kami telah menempuh perjalanan sekian hari bersama. Saya nyaris saja ketinggalan kapal dari Ambon ke Seram, bila saja seseorang tidak meneriaki nahkoda dan menjulurkan lagi kayu titian agar saya bisa melompat masuk. Sesaknya penumpang ‘Cantika Torpedo’ di akhir pekan menjelang Lebaran menguapkan harapan untuk mendapatkan tempat duduk, tapi keberuntungan berlanjut manakala seorang pria menawarkan dudukan lowong di sampingnya. Dialah Ided, dan selama dua jam di atas lautan, ayah muda yang bekerja di sebuah instasi pemerintah itu membeberkan keindahan Seram serta seluk beluk pulau di utara Ambon tersebut.

Ketika kapal merapat di dermaga Amahai, Ided bersedia mencarikan saya ojek, mengekori sampai ke pusat kota Masohi, hingga mendapatkan mobil sewaan untuk perjalanan lanjutan ke Saleman, Sawai. Saya bukan pejabat, bukan juga pesohor. Dan ini pun bukan rute ringkas sederhana. Bagaimana saya tak bersyukur dengan persahabatan yang terjalin cepat dan tulus ini?

Ided Latuconsina, orang baik yang saya jumpai. 

Salah satu fantasi tentang Pulau Seram.


Mobil sewaan saya ke Saleman, sebuah sedan, berkapasitas 5-6 orang, per orang dikenai tarif Rp.100.000. Selepas kota Masohi yang datar, saya dibawa meliuk-liuk pada lekukan jalan berundak. Kiri kanan dijejali hutan rimbun, teramat subur, sehingga hampir semua pohon yang tinggi dililit tanaman sulur menjuntai. Lembah dan ngarai sempit muncul silih berganti. Aroma tetumbuhan menebar dimana-mana. Sebentar-sebentar panorama terhidang, ditimpali bayang-bayang lapisan bukit nun jauh. Saya bisa mendengar jelas kicau aneka unggas hutan, juga lengkingan serangga Garengpung menyadarkan bahwa musim hujan sesungguhnya telah berlalu.

Diamati secara estetis, bagi mereka yang menyukai tur dengan sepeda motor, rute begini termasuk rute ideal. Hanya saja, harus membawa bekal bensin secukupnya serta sang pengendara patutlah yang mahir memperbaiki sepeda motor, sebab sepanjang perjalanan tak sekalipun kami berpapasan dengan pos tambal ban atau penjual bensin eceran. Tak ada kampung. Padahal dari Masohi ke Saleman butuh waktu empat jam. Mungkinkah penduduk masih dihantui keyakinan akan adanya Orang Bati, monster hutan setempat yang konon menyerupai Batman tapi doyan menculik anak-anak? Cerita tentang Orang Bati saya dengar dari sopir kami. Katanya pula, nama pulau Seram muncul karena sosok Orang Bati itu. Saya pikir ketakutan demikian tetap akan terpelihara selama kabel listrik cuma menjangkau beberapa wilayah Seram. Di jaman sekarang komunitas manusia akan tumbuh bila ada dukungan infrastuktur. Kasak-kusuk tentang hantu maupun monster biasanya langgeng di daerah yang tak terkena terang listrik dan ‘keajaiban’ perangkat elektronik. Siapa melihat hantu di bawah cahaya? Batman sekalipun baru muncul kala gelap.

Kapal dari Saleman ke Ora PP - teluknya menawan dengan udara yang sejuk dan damai

Gambar ideal sebuah loka bertetirah, bukan?


KURANG LEBIH 15 km menjelang Saleman, jalan beraspal digantikan oleh alur tanah berbatu. Mobil kami tergoncang berkali-kali. Anehnya, saya antusias sebab di depan mata terhidang view pegunungan kapur, persis seperti merambah satu sisi bukit barisan Dalmatian, di Kroasia. Kata sopir, di belakang gunung itulah Ora berada.

Tiba di Saleman, saya diturunkan di pintu rumah Pak Udin, warga yang tiap hari menyeberangkan pengunjung ke Ora. Alih-alih langsung dibawa ke sampan, keluarga Pak Udin malah menjamu saya dengan makanan, meski sudah saya tampik, mengingat mereka sedang berpuasa dan belum saatnya ‘berbuka’. Ketika kemudian sampan bergerak meninggalkan Saleman bersama lambaian tangan istri dan anak Pak Udin, saya bertanya-tanya sendiri: berkat macam apa yang sedang saya dapatkan di Seram ini? Orang- orang begitu baik.

Sore jam 5 adalah waktu yang adem untuk meluncur di atas laut bening tenang. Kawanan burung melesat dari lereng yang puncaknya tersaput kabut. “Itu burung Lusiala,” kata Pak Udin. “Mereka hanya muncul saat-saat menjelang magrib.”

Saya percaya pada kejelian mata saya. Pepatah ‘Love at the first sight’ berlaku untuk relasi antara saya dengan alam. Jadi, meski terdengar agak klise, tapi ini bukan ungkapan ‘exaggeration’ bila saya menyebut panorama teluk Saleman memang permai, saya seperti diajak berpelesir ke Eden. 

Tentu saja nyebur! Air sebening ini dgn ikan dan koral, siapa menolak?

Aksi seorang tetamu bermain-main dengan kawanan ikan yang jinak

Saking beningnya, koral di bawah lautnya keliatan jelas dari tepi pantai


Pantai Ora yang berpasir putih semakin jelas terlihat. Lambaian nyiur serta ikon pantai tersebut, yakni sebuah resort dengan deretan rumah-rumah inap terapung kian mendekat. Di sanalah saya menginap. Setelah menjejaki dermaga kayunya barulah saya tersadar, bahwa segala kepenatan, rasa jemu akibat perjalanan panjang telah hilang.


Ora jauh dari kesan mewah, namun istimewa. Ia lebih menawan dari resort-resort mahal karena struktur maupun topografi alamnya memukau, mendamaikan. Tak terlihat cacat celah di sini. Koral yang membentang di pinggir pantai seakan baru selesai diciptakan Tuhan, membebaskan mata untuk mengenal setiap biota yang hidup di dalam air. Menggoda untuk lekas-lekas mencelupkan diri.

Saat senja, rona merah menyelubungi cakrawala, dan bola api bulat turun pelan-pelan ke balik bukit sebelah barat. Penggantinya adalah konstelasi bintang yang bertahan hingga dini sebelum disingkirkan oleh semburat kemuning terbit Matahari. Tamu resort akan segera melupakan mall, kantor, kesibukan urban, atau ribut gaduh massa. Orang tua mengajak anak-anak kecil mereka bersnorkeling bersama, pasangan kekasih berasyik masyuk berdua di bawah tudung pepohonan, pejalan tunggal tidur bermalasan-malasan di beranda penginapan atau menuntaskan buku yang dibawa dari rumah.

Temperatur udara di sini sejuk, kamar tak butuh pendingin, tak juga perlu selimut hangat. Saya memaklumi masakan yang standar, racikan bumbu seadanya. Letak mereka toh jauh dari pasar, lagipula selama ikan melimpah, tak terlalu penting menggerutu. Obati saja dengan alunan gitar yang dimainkan para pemuda malam-malam sembari menyanyikan kidung asmara khas Indonesia Timur. Suara mereka tak ada yang sumbang. Hei, ini Maluku, daerah yang penduduknya teraliri darah musikalitas tinggi!

Hammock yang saya bawah menjadikan sore lebih santai di pantai


Di balik dedaunan, kedamaian vista

Hangat mentari tropis. Surga!


KARENA KEALAMIAN Seram belum banyak terjamah, pulau ini menarik dieksplor. Terdapat Taman Nasional Manusela yang telah menjaga belasan satwa endemik semenjak 1972. Di sekitar Suleman pun ada kesempatan lain untuk mengenal kekayaan hayati pulau. Trekking ke hutan, masuk ke gua-gua, hingga mendaki ke bahu pegunungan karst.

Medan basah Sungai Salawai juga salah satu jalur baik untuk mempelajari alam.    Melintasi ruas sungai ini, selain mengenal tetumbuhan dan kejutan bertemu buaya, aktifitas warga membuat sagu pun nyaris dapat dijumpai setiap hari. Penjelajahan macam begini menyuntikan kesadaran baru untuk menghargai bumi, pun memahami cara menyambung hidup sesuai apa yang dihasilkan tanah dimana penduduk setempat tinggal.  

Kunjungan ke Seram memberi saya manfaat ganda, tak hanya menikmati indahnya alam saja, tapi menyadarkan bahwa ‘perbedaan itu sesungguhnya merupakan surga yang ada di bumi’, dan  ‘orang asing sebetulnya adalah  kerabat yang belum kita kenal,’ seperti yang diwakilkan oleh Ided Latuconsina serta Pak Udin. 

Kelompok pejalan asal Jakarta yang kemudian jadi teman - hingga kini! "Strangers are friends you don't know yet"

Senja sempurna yang datang setiap hari 


Oh, tak hanya mereka berdua saja, saya juga berkenalan dengan sekelompok pejalan asal Jakarta. Awalnya agak canggung, namun suasana akrab terjalin dengan cepat setelah terisi candaan. Bahkan saya ditawari untuk mampir ke rumah keluarga salah satu dari mereka di kota Ambon sekembalinya dari Seram.

Jadi, pulau di utara Ambon ini, cuma namanya saja yang Seram, kenyataannya ia malah menenteramkan hati. 


*

Tulisan ini dipublikasikan di LIONMAG, Inflight Magazine Lion Air – edisi September

Klik untuk membaca versi PDF - LionMag

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Excellent post. I certainly love this website. Stick with it!

Anonim mengatakan...

Hiya very nice blog!! Man .. Beautiful .. Amazing ..

I will bookmark your site and take the feeds additionally?
I am happy to seek out so many helpful info here in the put up,
we'd like develop extra techniques on this regard,
thanks for sharing. . . . . .

Anonim mengatakan...

These are really fantastic ideas in on the topic of blogging.
You have touched some nice things here. Any way keep up wrinting.

Anonim mengatakan...

Great article, totally what I was looking for.

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...