Jalan - Jalan ke Ayutthaya (Thailand)

Alur Kaya
Ayutthaya
Menelisik sisa pusat sebuah kerajaan tua yang telah lenyap sembari berkontemplasi antara stupa-stupa kuil merah dan patung-patung Buddha. 

Di musim hujan, rerumputan di sekitar candi akan tergenang air karena daerah ini berada pinggiran sungai

KERETA API WARNA KREM LARIK UNGU berdesis panjang manakala hendak berhenti di stasiun. Bunyi mesinnya mulus, namun tidak bisa menyamarkan usia badan kereta yang saya tafsir sama dengan kereta api jalur Medan-Pematang Siantar. Tapi kendati telah berumur, kondisi keretanya terawat, bersih, serta nyaman. Para penjaja makanan melintas di lorong bangku penumpang tanpa terkesan mengibah  agar jualannya dibeli. Tak ada pengamen, tak ada peminta-minta, tak perlu ada tentara berlaras panjang saat pemeriksaan tiket lintas kota.

Tiba di stasiun Phra Nakhon saya melompat turun dari kereta, menyusul sekawanan Biksu berjubah oranye yang masing-masing menenteng kantung cokelat tua. Dua jam perjalanan dari Bangkok ke Ayutthaya tidak terlalu membuat badan penat. Barangkali karena rasa antusias, atau mungkin lantaran roman adem para Biksu yang mengisi separu dari ruang dimana saya menumpang tadi.

Kanal-kanal air yang masih berfungsi memantulkan bayangan kuil saat senja

Ayutthaya menjadi satu dari tempat paling penting dalam daftar perjalanan saya ke Thailand. Ketertarikan saya pada daerah yang berjarak 76 km dari Bangkok ini dipicuh oleh novel besutan Voicu Mihnea Simandan berjudul Buddha Head, bertutur tentang pencarian harta karun yang terpendam oleh puing-puing kuil suci, mimpi seorang pemuda akan sebuah kota masa lalu, dan perjuangan untuk melindungi warisan leluhur. Ketika saya mencoba mencari foto-foto Ayutthaya sebagai referensi, depiksi kepurbaan kota ini langsung menawan minatku. Apalagi setelah tahu bahwa Ayutthaya juga merupakan cikal bakal lahirnya film serial laga Mortal Kombat yang amat tersohor di era 90-an.

USAI MENDAPATKAN TEMPAT INAP, saya langsung menyewa sepeda motor, moda yang acapkali jadi andalan saat saya bertualang sendirian. Di Ayutthaya, tempat penyewaan sepeda motor langsung berada di samping stasiun kereta. Harganya 150 Bath per hari atau jika di-Rupiahkan kira-kira Rp. 55.000. Tanpa perluh SIM Internasional, cukuplah Paspor sebagai jaminan. Cara lain mengeksplor Ayutthaya yakni menyewa Tuk Tuk, kendaraan serupa Bajaj. Tuk Tuk di Ayutthaya mirip oplet empunya Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan.

Pengunjung Wat Chaiwatthanaram naik turun tangga demi mendapatkan pemandangan bagus

Wat Chaiwatthanaram yang berstupa tinggi menjulang dan super besar

Ayutthaya atau disebut juga Ayudhya berada di tepi Sungai Chao Phraya yang mengalir hingga ke Bangkok. Kanal-kanal aliran sungainya membawa kesuburan tanah sekitar. Menurut catatan sejarah, kota ini merupakan pusat Kerajaan Siam. Sebuah kerajaan besar yang namanya melambung hingga ke Eropa selama lebih dari empat abad, mulai dari tahun 1350 sampai 1767.  Bahkan pelautnya tersebar ke Aceh, Jawa, dan Bugis lalu menetap dari generasi ke generasi. Nama Ayutthaya berasal dari Bahasa Sansekerta, bermakna ‘Kota Tak Terkalahkan,’ dan dibangun oleh Raja Siam U-Thong setelah wabah penyakit mematikan menyerang pusat kerajaan terdahulu di Lobhuri.

Kebesaran Ayutthaya diperoleh antara lain lewat penaklukan sejumlah kerajaan terdekat kemudian menjalar ke wilayah nan jauh yang lebih dulu eksis, semisal Khmer (kini Kamboja), Lavo (sekarang Laos). Daerah-daerah taklukannya tetap diberi hak otonomi untuk mengatur tata kehidupan sendiri, sehingga lebih menyerupai sekutu dengan pola “Mandala” atau dikenal dengan istilah Circle of Power, sebagaimana yang diterapkan pula oleh Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pada permulaan abad ke-XV, perdagangan ke dunia luar menarik minat raja Ayutthaya sehingga masuklah pengaruh Portugis dalam kerajaan, menyebabkan perdagangan lewat jalur sungai dan laut diprioritaskan. Hal yang menguntungkan namun sekaligus menyulut perpecahan antar sekutu. Ujungnya, kerajaan ini babak belur ketika diserang oleh Burma (Myanmar). Pusat kerajaan luluh lantak dan kejayaan Ayutthaya memudar secara perlahan.

Siap eksplor dengan skuter ini. Kompleks candi yang sangat luas akan lebih efisien dikunjungi dengan kendaraan.

Kalau mau lebih berasa lokal, naik 'Oplet mandra' ini, boleh juga

MESKI KEBERAADAAN KERAJAAN SIAM tinggal sejarah, namun budaya maupun peninggalan-peninggalannya tetap lestari. Area pusat kerajaan yang terkitari kanal serta sungai tetap menyisahkan aura masa silam yang kentara lewat kompleks candi-candi yang luar biasa indah.

Terdapat puluhan kompleks candi kuno. Berukuran besar maupun kecil, terletak saling berdekatan. Butuh waktu dua sampai tiga hari agar benar-benar bisa menikmati dengan baik, kendati tidak semuanya. Karena sejumlah lahan kosong diisi oleh kantor dan pemukiman, berkendaraan dari satu kompleks ke kompleks lainnya bersifat mutlak. Sebagian pengunjung menikmati kunjungan mereka dengan mengowes sepeda, tapi cara ini agaknya hanya cocok dilakukan pagi dan sore. Setelah jam 10 pagi, suhu udara di Ayutthaya meningkat drastis dan baru agak sejuk setelah jam 5 sore.

Ayutthaya telah diterahkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 1991. Dari sekian banyak candi-candi yang bertebaran disana, terdapat setidaknya lima atau enam candi yang wajib didatangi karena keunikannya. Semua candi di Ayutthaya dibuat dari batu bata merah dan apabila disorot sinar lampu, situs-situs ini demikian fotogenik.

Patung kepala Buddha di pohon ini paling banyak diincar kamera

Salah satu puing kuil yang masih digunakan untuk berdoa

Dua wisatawan asing melintas dengan sepeda sewaan

Mula-mula saya ke Wat Mahathat yang berada paling depan.  Kompleksnya seluas Candi Prambanan belum termasuk taman di luar tembok. Jumlah candinya ada belasan dan rata-rata berposisi miring karena kondisi tanah lembek. Yang paling dicari di Wat Mahathat yaitu batung kepala Buddha di batang pohon beringan.

Di samping kompleks Wat Mahathat, berdiri kompleks Wat Burana yang terpisahkan oleh jalan beraspal. Saya melihat banyak patung-patung Buddha yang patah serta hancur. Kendati demikian stupa-stupa disini meruncing jangkung sempurna. Saya lantas beralih ke Wat Raha Si Sanphet yang punya tiga stupa raksasa berwarna putih pucat. Setelah itu dibuat terkagum-kagum oleh Wat Lokayasuttharam, dimana sebuh patung Buddha dalam posisi tidur berukuran gigantis membuat saya merasa sungguh kecil. Patung ini diakui sebagai patung Buddha tidur di tempat terbuka yang paling besar di dunia. Usianya sudah beratus-ratus tahun disana, bermandi hujan dan matahari.

Separuh dari tubuh patung Buddha yang melintang tidur. Bandingkan dengan badan saya.

Seorang ibu membawa anaknya menyentuh telapak kaki Sang Buddha

Menunggang gajah berkeliling kompleks candi yang luas, memberi sensasi tersendiri.

Sesudah melintasi jembatan, giliran kompleks Wat Chaiwatthanaram yang sungguh -sungguh menyihir saya lewat candi-candi nan besar, dengan anak tangga tinggi menjulang seumpama kuil bangsa Aztec. Lorong sempit bagaikan kubah katedral, dihiasi patung Buddha dalam rupa yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya terkenang Angkor Wat.

Selain candi-candi, Ayutthaya pun memiliki situs bersejarah berupa kampung tradisional Jepang, rentuhan biara para rahib serta gereja-gereja tua Portugis. Lebih afdol, lengkapi trip dengan menunggang gajah berkeliling Ayutthaya. Jangan tanya bagaimana rasanya duduk di punggung hewan raksasa ini sembari melintasi kanal yang dikitari puing-puing kuil yang syarat pesan. Kita seakan terserap masuk ke dalam kronik satu kerajaan yang hilang, menyusup alur-alur kekayaan Ayutthaya.


8 komentar:

Adi Bekasi mengatakan...

One day trip worth it gak,bang??

Fery Arif mengatakan...

Thanks sharingnya, Kak Valen. Kenalkan saya Fery.
Katanya ada banyak penginapan backpacker di samping stasiun Ayutthaya.
Baik nggak ya penginapannya? Kuatir kalau harganya murah, tapi susah tidur...hehe..

Unknown mengatakan...

Ga banget, kalo bs nginep. Ayutthaya besar. Dan worth to visit itu summer palace yang letaknya lumayan jauh dari pusat kota ayutthaya

Unknown mengatakan...

Thailand cocok buat backpacker dan saya dengar dr turis2 lain mrk puas. Saya ga pernah backpack jd ga bs saran mana tpt yg bagus.

valentino luis mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
valentino luis mengatakan...

Dear @Fery, kalau nginap di samping stasiun Ayutthaya memang bisa dan tidak jelek kok backpacker hostelnya. Pilihannya banyak (bayangkan saja seperti Sosrowijayan- Malioboro gitu). Cuman harus rental kendaraan kalau mau ke kuil-kuil Ayuthaya karena letaknya agak terpisah sekitar 8 km. Saya rental sepeda motor di hostel samping stasiun.

Kuswan mengatakan...

Aduh halus banget...njirrr anglenya pula!
Idola banget, Bang!

Zuli Bellezuli mengatakan...


Sering baca tulisan Valentino di Lion & Batik.
Kadang Lion Air sering delay, tapi kalau sudah di dalam pesawat, hati kembali adem kalau baca tulisannya Mas, haha...

Terima Kasih banyak tulisan dan foto-foto yang selalu menawan.

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...