Jalan-Jalan ke Lopus (Kalimantan Tengah)

Rimba Terakhir
Lopus

ALAM DAN MASYARAKAT ADAT YANG MENYELIPKAN ASA
DI TENGAH GEMPURAN PEMBALAKAN HUTAN
SERTA AGRESI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Pak Jelata, pendamping trekking kami ke Silikan Muhur, berdiri di bawah pohon Bengkirai.
Kayu jenis ini kualitasnya amat bagus, setingkat di bawah pohon Ulin 


LEPAS JAM SEMBILAN MALAM. Nan jauh di kampung Lopus, Kabupaten Lamandau, hujan belum usai ketika saya menaiki tangga rumah Betang. Irama gong serta kulinang bertalu  dari sisi kanan pintu, dimainkan oleh sepuluh lelaki, menyambut hadirnya saya bersama belasan teman seperjalanan. Para ibu duduk berselunjur dalam temaram lampu dekat dapur. Di tengah ruang, sebuah gentong besar telah ditempatkan, terselubung kain. Ada nampan keemasan mengkilap berisi daun Sengkuba kering dan berutas-utas tali serat kayu. Malam ini semua telah menunggu kami untuk menjalani ritual Ikat Tongang.

“Ini adalah ritual penyambutan adat. Kita diterima sebagai bagian suku, dan Ikat Tongang jadi lambang pengharapan keselamatan,” bisik Dwi Setijo, pemimpin perjalanan kami. Saya menatap satu-satu roman muka warga dalam ruangan itu. Tidak ada raut kaku, sebaliknya tatapan karib bagai menyambut sanak yang lama dirindu. Dua tetua adat hadir bersilah di hadapan gentong, lalu kami diminta maju berpasang-pasangan; ditaburi biji beras, diperciki air, lalu menggigit bongkah beliung. Tali serat yang melilit daun Sengkuba diikatkan pada pergelangan tangan kami. Ini seperti dinikahkan secara mendadak, tapi saya memahaminya sebagai penerimaan tulus para penduduk.


Gong terus bertalu selepas ritual, tarian kegembiraan tak terhentikan seiring tuak putih beredar gelas demi gelas. Suasana sakral beradu keakraban. Perlahan drama penerbangan yang tertunda disusul penat perjalanan panjang sehari semalam dari Pangkalan Bun ke Lamandau pun sirna. Lihatlah, keluarga ternyata ada kemanapun kita pergi!

Ritual Ikat Tongang. Kami maju berpasang-pasangan, duduk di hadapan para tetua.

Ikat Tongang, melingkar di pergelangan tangan. Simbol penerimaan juga doa perlindungan untuk tamu maupun kerabat yang datang bertandang.

Fatris MF, penulis, memamerkan gigi merahnya dari kunyahan siri pinang. Jalinan keakraban dengan penduduk Lopus.

LOPUS, DESA YANG PENDUDUKNYA tak seberapa banyak itu sedang menata diri, berniat mengenalkan budaya serta rimba yang terlindung. Dia hanyalah secuil tanah di Kalimantan Tengah yang belum tersentuh perkebunan kelapa sawit. “Mudah-mudahan tidak. Kami berjuang menolak kehadiran kelapa sawit disini. Tanaman itu menghasilkan uang dalam waktu singkat, tapi membawa malapetaka bagi keturunan kami kemudian hari nanti. Tidak semua bagian Kalimantan musti dipenuhi kelapa sawit,” kata Pak Kakap, salah satu tokoh masyarakat Lopus.


Pembicaraan yang bersinggungan dengan perkebunan kelapa sawit yang melenyapkan area hutan telah menjadi kegusaran banyak pihak, terlebih penduduk asli Kalimantan. Dibalik godaan devisa, masa depan Kalimantan sebagai kantong paru-paru dunia berada di ujung tanduk. “When people talk about world’s rainforest, they mention Kalimantan. But if they come to see this island, they will regret, as the forests are swiftly gone,” celetuk Tommy Schultz, penulis Amerika yang ikut dalam kelompok kami. Tommy sudah beberapa kali mengunjungi Kalimantan dan menurutnya tahun demi tahun lahan-lahan yang sebelumnya hutan terus diubah menjadi kebun kelapa sawit. “It is ridiculous,” keluh Tommy.

Penyambutan tamu di gerbang kampung, selalu disuguhi tuak putih yang ditaruh dalam wadah dari tanduk kerbau.

Sepasang remaja berpakaian tradisional Dayak.
Umumnya penduduk Lopus beragama Kristen Protestan,
dan pendidikan disini lumayan bagus meski daerahnya jauh dijangkau.

Senjata khas Dayak Tomun, pangkalnya berukir Lintah

Sebagai upaya membendung perombakan hutan, warga Lopus membuka pintu bagi sejumlah gagasan yang pro terhadap kelestarian hayati di wilayahnya. Salah satunya lewat wisata alam berpadu budaya Dayak. Kelompok wisata “Kokoran Botuah” pun dibentuk. Tapi mereka memilih program yang betul-betul sejalan dengan harapan mereka. “Kalau datang untuk belajar tentang isi hutan, datang untuk mengenal budaya Dayak, bersedia jalan kaki dan rela kehilangan koneksi internet, kami akan senang menerimanya,” ujar Pak Kakap.

Didukung oleh SwissContact, sebuah lembaga non-profit yang bergerak dibidang pengembangan dan manajemen wisata, serta beberapa pelaku wisata setempat yang bergabung dalam FTKP (Forum Tata Kelola Pariwisata), penduduk Lopus pelan-pelan membenah daerahnya. Pementasan budaya juga ajakan mengalami ritual-ritual adat seperti Ikat Tongang merupakan satu fitur di samping penjelajahan alam yang ditawarkan kelompok wisata desa Kokoran Botuah, namun mereka juga sadar bahwa banyak hal harus dipersiapkan demi menyenangkan tetamu di Lopus.


Sehari setelah kami tiba, misalnya, kelompok pejalan lain menjajal rafting menyusur sungai Delang yang kiri-kanannya berjejal pepohonan tinggi, sedangkan saya memutuskan untuk menonton latihan tari yang digelar di lapangan kampung. Saya membiarkan indra meresapi ‘kemewahan’ seperti ini: Berada di pedalaman, dimana gemericik sungai beradu musik etnik, dan rancak tarian terpentas di bawah langit berkabut, tanpa baliho atau spanduk perusahaan, tanpa tenda pejabat atau mimbar tokoh politik. Sesuatu yang mulai langka saat ini di Indonesia, bukan?

Rafting di sungai Lopus, kiri kanannya adalah hutan lebat yang masih terjaga

Anak-anak Lopus ceria bermain air. Tanpa polusi limbah apapun.
Di antara pondok-pondok kecil yang ternyata adalah lumbung panen.
Pemandangan seperti ini dapat dijumpai dalam perjalanan ke Lopus.

HAL YANG PALING saya tunggu-tunggu adalah masuk ke belantara. Sejak kecil, bayangan tentang Kalimantan adalah rimba rayanya, tentang pohon-pohon yang berbadan besar serta menjulang. Saya mengimpikan berjalan di bawah tudung pepohonan, menelipir batang-batang tua berlumur jamur.

Untunglah, di dekat Lopus terdapat hutan adat yang dikeramatkan. Status keramat inilah yang menyelamatkannya dari terjangan pembalak pohon maupun ketamakan perusahaan luar daerah.


Kami berangkat pagi-pagi ke tempat itu. Namanya Silikan Muhur. Pendamping masuk rimba ini adalah penduduk asli yang tahu betul seluk-beluk hutan. Titik awal trekking bermula di kampung Hulu Jojabo. “Kita akan berjalan kaki sekitar 3-4 jam, cepat lambatnya trekking disesuaikan dengan kemampuan kita,” terang Dwi Setijo. “Oya, kita juga bakalan  menyeberangi sungai, sebanyak lima kali. Selain dalam, arus sungainya pun lumayan deras. Jadi, bersiap-siaplah,” lanjutnya. Sebagai penyuka alam dan penggemar jalan kaki, saya jelas mendambah pengalaman ini.

Dwi Setijo beristirahat pada batu di sungai yang terakhir, di hadapannya terdapat air terjun

Setelah dua kali melewati sungai berair amat jernih, saya mulai dibuat terkagum-kagum oleh hadirnya pohon-pohon gigantis. Saya diperkenalkan nama-nama pohon beserta strata kualitasnya. Kayu Ulin menduduki kelas tertinggi karena terbaik, disusul kemudian kayu Bengkirai, lalu Meranti.

Di Silikan Muhur koleksi Bengkirai paling banyak. Tingginya melampaui 30 meter, yang telah berumur batangnya berdiameter lebih dari 3 meter. “Batang itu bisa dipeluk delapan orang,” ulas Pak Jelatah, pendamping saya. Beliau telah uzur, tapi hafal betul jalur jalan. Sepanjang trekking dia tidak memperhatikan langkah, malah matanya berkonsentrasi pada serat kayu yang asyik dianyamnya menjadi gelang. Padahal kami yang lain selalu hati-hati melangkah, kuatir terantuk kayu. Saya tak puas-puasnya memotret isi hutan, kepala saya terus mendongak setiap berpapasan dengan pohon yang menjulang.


Ujung dari trekking naik-turun sungai ini kami dihadiahi air terjun. Meskipun bukanlah air terjun besar, sebagian besar teman-teman girang mandi di air terjun tersebut.  Sedangkan saya memilih menepi, meloncat ke dalam kolam sungai. Segar serta dingin. Sembari berenang, tiada henti saya mengagumi isi hutan Silikan Muhur. Harta Kalimantan, pengayom subsistensi. Semoga ini bukanlah rimba terakhir.

Pepohonan tinggi dalam hutan. Ini bagian yang masih berumur muda.

Menyeberang sungai yang ke-3. Sungai-sungai di hutan ini tidak lebar,
tapi arusnya kencang dan beberapa bagian lumayan dalam serta berbatu licin.

Terima Kasih untuk FTKP (Forum Tata Kelola Pariwisata) Tanjung Puting yang telah mengundang dan mendampingi selama perjalanan ini.

Tips Jelajah Lopus:
§  Berangkat dari Pangkalan Bun ke Nanga Bulik, kemudian lanjut ke Lopus. Lebih baik dalam rombongan supaya biaya bisa sharing.
§  Kelompok wisata Lopus “Kokoran Botuah” siap membantu urusan homestay, rafting, maupun trekking. Silahkan kontak Ibu Laila (082352228848).
§  Untuk telefon, gunakan kartu Telkomsel. Jaringan internet tidak tersedia.
§  Bawa serta produk pelindung nyamuk maupun lintah. ATM tidak ada, jadi sediakan  uang tunai dari Pangkalan Bun bila mau belanja souvenir.

§  Perlakukan warga setempat seperti keluarga sendiri. Berbagi cerita, dan nikmati kesederhanaan hidup pedalaman.






4 komentar:

TIFANOOL mengatakan...

السلام عليكم

Hallo Bang,
Belum pernah dengar nih nama Lopus. Destinasi baru ya, Bang?
Asyik ya kalau jadi pejalanan yang lebih dahulu melihat destinasi baru, sebelum dikenal orang lain.

Tifanul

Sandi Iswahyudi mengatakan...

Halooo Mas Valentino. Namanya saya sering baca di majalah Batik. Salam kenal. Saya Sandi.
Selalu senang baca tulisan dan melihat foto-foto Mas Valentino. Beberapa kali saya minta majalahnya karena suka tulisan Mas. Semoga bisa menulis dengan 'rasa' seperti Mas.

Dispar Magelang mengatakan...

Mat malam, Mas Valen.
Saya dari Dinas Pariwisata Kab. Magelang.
Kita mau undang untuk buatkan seminar menulis. Kami sudah membaca tulisan-tulisan Mas Valen di National Geographic, Lion Air, dan Batik Air.
Mohon dicek inbok Facebooknya, Mas.
Terima Kasih.

Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang

Davit mengatakan...

Selalu buat saya merasa terbawa setiap lihat foto-fotonya.
Apalagi tulisannya juga, tidak alay..

Kagumlah Bang sama karyamu.

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...