Jalan - Jalan ke Toraja (NatGeo Traveler)

Nyawa Anyar
Toraja




“Dalam nama Yesus, bertahanlah Gonzales! Jangan lemah…jangan kalah. Bangun, Nak! Gonzales, bangunnn!!,” racau suara perempuan di samping saya mengibah histeris. Tangannya sebentar-sebentar terkatup, sebentar-sebentar dikepal. Matanya berkaca-kaca. Sementara di luar tenda panggung, suasana memanas, ratusan orang berkerumun dengan bermacam suara.

Yang disebut Gonzales itu bukanlah manusia, melainkan seekor Tedong Pudu, kerbau hitam tambun, petarung ternama dalam arena Ma’pasilaga di kampung Sesean, Toraja. Setelah bergumul lama, ia berhasil menghalau lawannya terbirit keluar dari lapangan dengan luka-luka tusukan tanduk. Orang-orang bersorak. Perempuan di samping saya terpekik senang, melompat berjingkrak. Saya hendak menjabat tangannya memberi selamat, pikir saya, Gonzales pastilah peliharaan kesayangan, aset kebanggaan keluarga mereka. Nyatanya, tiba-tiba ia berteriak lantang ke penonton lain, “Mana, bayar sini! Sudah saya bilang, Gonzales pasti menang! BAYARR!!” Pupuslah seketika simpati saya. Dia ternyata berjudi.

Saya meninggalkan arena Ma’pasilaga. Teman-teman dari Toraja DMO (Destination Management Organization) memberitahu bahwa adu kerbau bakal berlangsung hingga sore. Sehari sebelumnya kami sempat melewati tempat ini dan melihat banyak petak-petak tertutup didirikan khusus bagi tiap kerbau. “Di dalam petak itu, kerbau akan mendapatkan bermacam layanan prima seperti pijat, ramu-ramuan, dan nutrisi penambah stamina atau penghilang stress,” kata Bang Soba Palloan, pendamping kami. Di Toraja memang kerbau makluk yang amat berharga, bahkan ada kastanya. Kerbau petarung atau Tedong Pudu termasuk kelas menengah, sedangkan yang level tertinggi adalah jenis Tedong Saleko. Harga jualnya mencapai satu miliar. Mahal nian.

Senyum gadis Toraja di balik jendela rumah Tongkonan

Pertarungan alot para kerbau. Harga diri dan uang dipertaruhkan di ujung nafas hewan ini.

Gonzales, kerbau jawara hari itu, diarak keliling kampung usai menaklukkan kerbau lawan kampung sebelah.

TAPI ORANG TORAJA seolah tidak mengenal kata mahal. Angka puluhan dan ratusan juta dianggap biasa. Ritual adat disini, terutama kematian, sangat banyak menggerus isi dompet. Barangkali mereka adalah suku yang paling melek soal uang. Hampir sepekan diajak berkeliling, sangat jarang saya melihat rumah orang Toraja dalam kondisi darurat ataupun reyot. Padahal rumah mereka pun tidak dibangun sekenanya. Ada Tongkonan, rumah adat, dengan pakem-pakem menjelimet, sawah hijau membentang, dan tentu saja kerbau yang berlimpah. Jual beli kerbau tersebut jadi rantai ekonomi setempat. Berputar terus. Roda iktisad macam ini sebenarnya amat lazim di jaman pra sejarah ketika satu benda atau sejenis hewan ‘dipilih’ sebagai penentu nilai. Saya ingat tentang Moko, nekara di Alor yang dulu sangat berperan dalam perekonomian lokal hingga Belanda gusar lalu memerintahkan penduduk menguburnya dalam tanah.

Godaan khas pegunungan Toraja; sawah berundak, tanduk atap rumah, dan kabut yang lama lenyap.

Bebatuan megalith di Bori Kambuang, dibangun bagi para bangsawan masa lampau. Sekarang, sudah sulit dilakukan upacara pemasangan batu-batu besar seperti ini.

Sebenarnya Toraja bisa saja sombong dengan apa yang mereka miliki. Daerahnya subur dan bersuhu sejuk. Bukit-bukit kapur tumbuh di sela persawahan, menyenangkan untuk dilihat. Praktik dan bukti kebudayaanya sangat mudah dijumpai. Mereka tampak makmur dari hasil buminya sendiri. Sayangnya, pariwisata daerah ini bergerak lamban. Padahal nama Toraja sudah populer berpuluh tahun. “Promosi serta inovasi menjadi isu kami sekarang,” kata Bang Soba Palloan. “Toraja di tahun sembilan puluhan sama terkenalnya dengan Bali. Semoga geliatnya kembali hidup, bukan hanya nama.”

Kami mengunjungi sejumlah situs budaya memikat. Di Bori Kalimbuang, misalnya, pilar-pilar batu megalith berdiri menjulang, ada yang tiga kali lebih tinggi dari badan saya. Keberadaan mereka disini sudah melampaui seratus tahun dan dipasangkan untuk menghormati para bangsawan yang meninggal. Karena tidak mudah mengambil dan memindahkan bebatuan macam ini lagi, sudah sulit menemukan situs serupa. Di Tampang Allo malah peti-peti diletakkan dalam gua stalaktit, tengkorak manusia bertebaran, juga patung-patung leluhur dengan tangan terulur seolah hendak bersalaman dengan saya. Yang paling gampang dijumpai dimana-mana yakni Kubur batu. Orang Toraja memilih batu besar agar seluruh anggota keluarga bisa dimakamkan bersama. Lubang-lubang ini, disebut Liang Pa’, berbentuk kotak, mengoreknya butuh waktu hingga tiga bulan dengan alat pahat seadanya. Kendati mayoritas orang Toraja sekarang menganut Kristen, tradisi memakamkan keluarga dalam Liang Pa’ tetap terus dijalankan.

Minimal tiga bulan, waktu yang dibutuhkan untuk memahat batu menjadi kuburan warga. Pekerjaan seperti ini tidak sulit didapatkan di Toraja. Para pemahat membangun pondok di samping batu, yang umumnya berada di kepungan hutan sunyi.

Wenny Kohongia melepas penat di dekat kubur batu sebuah keluarga.

Serakan tengkorak yang beberapanya hancur oleh masa, mudah dijumpai di gua-gua di seantero Toraja

“Belakangan ini ada semacam gerakan untuk kembali kepada keyakinan asli,” Bang Soba Palloan berujar pelan manakala salah satu dari peserta tur menanyakan eksistensi kepercayaan asli Toraja. “Alu Todolo namanya, bersumber dari Hindu kuno. Salah satu ajarannya yakni bahwa segala yang di bumi memiliki nyawa, bahkan kematian yang dialami manusia tidak sungguh-sungguh menghilangkan nyawa. Itulah kenapa orang Toraja tetap memperlakukan mayat laiknya manusia yang masih hidup. Diberi makan, diajak bercakap, dikenakan pakaian.”


Tidak semua mayat dikuburkan di dalam batu atau gua. Untuk bayi yang meninggal sebelum tumbuh gigi, orang Toraja meletakkannya pada lubang pohon Tarra’. Kami melihatnya di kampung Pana’ setelah berjalan kaki cukup lama karena memilih jalur sawah. Lubang pada pohon ini dibuat seolah sama dengan rahim, begitupun getah putihnya dipandang sebagai pengganti air susu ibu. Mayat bayi kelak menyatuh dengan strukur pohon seiring tahun berlalu. Sangat menarik mengulik tiap ritus kematian di Toraja, seakan-akan kita dibawa menembusi lorong waktu yang begitu panjang, sembari belajar memahami satu per satu makna simboliknya. Bertalian dan tidak berkesudahan!

Rumah etnis khas Toraja di kampung yang penduduknya mempertahankan praktik agama asli Aluk Tadolo

Jejeran patung kayu perlambang leluhur yang ditempatkan pada tebing-tebing gua

JIKA ARSITEKTUR dan upacara kematian masih langgeng, beda halnya dengan nasib tenun ikat Toraja yang terluntah. Padahal tenun juga salah satu elemen penting dalam ritus adat Toraja. Untuk daerah dengan aura budaya yang amat kental, aneh rasanya mendapati kenyataan seperti ini. Tidak seperti di Flores atau Sumba yang tiap hari lumrah bersua penenun.

“Proses pengerjaanya yang lama membuat banyak perempuan enggan menenun. Rutinitas bersawah sudah cukup menyita waktu dan tenaga. Lagipula anak-anak perempuan sekarang tidak berminat untuk menekuninya. Sekolah-sekolah memperkenalkan kepada gadis kami pilihan karir lain, bukan kembali ke rumah dan jadi penenun,” kilah Ibu Lea, seorang penjual tenun di Sa’dan, daerah di Toraja yang sebagian warganya masih mau menenun.


Tawaran kain bikinan mesin dari luar pulau yang mengadopsi motif tradisional Toraja berharga murah telah menyeret penduduk memilih jalan praktis. Saya pernah mendengar desas-desus bahwa di pasar kota Rantepao sekalipun kebanyakan kain tenun bukanlah buatan tangan lokal, melainkan didatangkan dari pabrikan Jawa. Sayang sekali. Saya rasa, Toraja sungguh membutuhkan salah satu putri daerah yang mau mengembalikan posisi tenun ikat pada singgasana yang mulia, sebelum semua tinggal kenangan.

Nene' Panggau, pemintal benang terakhir yang diempunyai kampung Sa'dan

Tetua menggunakan Pa'karombi, alat musik tradisional dengan benang halus yang dihentakan di bibir.

Setali tiga uang dengan tenun, kopi Toraja yang melegenda pun bernasib hampir sama. Pembudidayaanya tidak sepopuler namanya. Ini agak menampar impresi awal saya tentang Toraja.

Syahdan, orang Toraja telah mengenal tanaman kopi sejak permulaan tahun 1600 lewat pedagang Arab yang tiba di Sulawesi. Pohon-pohon kopi yang berumur ratusan tahun pernah ditemukan oleh Belanda di daerah Sa’dan. Masyarakat masa lampau menyebut kopi dengan panggilan Kaa’ yang akar terminologinya berasal dari Bahasa Arab, ‘Qahwah.’ – (karena orang Toraja tidak mengenal huruf ‘Q’ dan ‘W.’). Pembukaan lahan untuk perkebunan kopi terjadi besar-besaran tahun 1800-an di Toraja. Kontrol perniagaan yang tidak adil menimbulkan persaingan antara dua sentra utama, yakni Kerajaan Kuwu di utara dengan Kerajaan Sindreng di selatan, berbuntut pada pecahnya Perang Kopi. Setelah perang usai, industri kopi memasyurkan Toraja hingga ke negeri-negeri asing.

Krisis moneter  yang menimpah Asia tahun 2007 berimbas pada mandeknya perdagangan kopi, harga terus jatuh, memaksa para petani mengubah kebun kopi mereka menjadi ladang bercocok tanam. Hanya segelintir yang kukuh bertahan, terutama perkebunan besar semisal PT. Sulotco Jaya Abadi di Se’seang. Kami bertandang ke kebun perusahaan ini yang ternyata memakai lahan bekas perkebunan kopi milik pengusaha Belanda, Stock van Dykk, seluas 1.199,364 Ha. Menerapkan sistem bagi hasil, selain untuk diekspor, hasil panen kopi disini juga dipakai memenuhi kebutuhan produksi kopi bubuk dalam negeri, semisal Kopi Kapal Api, Good Day, Excelso. Seharian kami menyusuri kebun kopi nan luas, mampir juga ke area  khusus bagi Luwak (paradoxurus hermaphroditus). Pemanfaatan pencernaan Luwak telah diakui menghasilkan citarasa kopi istimewa. Perusahaan ini tidak menangkar Luwak dalam kandang namun membiarkannya bebas dalam kebun besar berpagar tinggi.


Saya diperkenalkan juga pada sosok pecinta kopi lokal, Pak Sulaiman Miting. Bersama anaknya, pria baya ini berupaya agar berkah kopi Toraja bisa juga dinikmati petani setempat. Ia  membuka kedai dan membeli biji kopi dengan harga tinggi dari para petani. “Ini tidak seberapa dibandingkan dengan perjuangan mereka. Pengorbanan fisik selama bekerja, permainan harga, minimnya infrastruktur sebab letak yang jauh, masih belum memberi efek ekonomi sepadan pamor kopi Toraja yang mendunia,” terang Pak Sulaiman. Minat konsumsi kopi yang meningkat akhir-akhir ini diharapnya dapat memberi napas baru para petani. Saya pun berharap demikian. Butuh nyawa baru.
Pekerja kebun kopi membersihkan ranting-ranting pengganggu.

Secangkir kopi racikan dari kantor  PT. Sulotco Jaya Abadi


DI UJUNG LEKUK perbukitan kapur Buntu Burake, tangan Yesus Kristus memberkati kota Makale. Patung ini setinggi 40 meter, diklaim sebagai patung Yesus tertinggi di dunia. Untuk berdiri di kaki patung, pengunjung musti menapaki ratusan anak tangga. Saat kami tiba, proyek pengerjaannya hampir rampung. Saya ingin sekali berada di bukit ini di waktu pagi atau saat senja, vista panorama pastilah lebih permai ketimbang datang siang hari. Pernah saya menyaksikan binar terbit Matahari di  Batutumonga, dimana gumpalan awan membuat bukit dimana kami berada seakan terapung di atas kapas. Jadi, saya ingin kembali ke bukit ini kelak  untuk menyaksikan hal serupa.

Toraja tidak hanya ingin dikenal semata budaya maupun kopinya. Tidak sedikit orang punya ambisi lain. Setelah patung Yesus, beberapa rencana pembangunan obyek modern  dipandang akan sedikit mengurangi stigma Toraja sebagai spesialis  ‘wisata kuburan.’ Untuk menyenangkan pengunjung akan ada pusat belanja, hotel bertingkat, monumen besar. Tapi pengunjung dari mana yang disasar, saya tidak tahu, sebab saya yakin apapun fasilitas masa kini yang mau ditambahkan, tetaplah budaya jadi magnet utama di Toraja. Daerah ini mengingatkan saya akan kota-kota kecil elok di Provence - daerah pegunungan selatan Perancis. Disana, orang-orang tidak menginginkan menara baja atau gedung pencakar langit,  sebab bukit-bukit kapurnya dipandang lebih agung dan memiliki pesona natural ketimbang monumen buatan manusia. Mereka memelihara rumah tua, mendirikan bangunan minim biaya tapi dihias indah serta lebih memikirkan penempatan pada lokasi yang fotogenik sehingga indah dipotret siapapun. Toraja bisa begitu, sebab alamnya permai.

Bukit kapur dengan sawah di kakinya.

Patung Yesus berukuran gigantis di Bukit Buntu Burake. Diklaim sebagai patung Yesus tertinggi di dunia.

Pembicaraan tentang niat pengembangan bandar udara, rancangan sejumlah kalender festival, ide-ide kreatif selaras budaya maupun pendapat tentang obyek yang baru saja kami kunjungi menjadi topik yang terselip dalam setiap jeda perjalanan. Saya menyukai tukar pikiran semacam ini meskipun tetap menahan diri untuk tidak berbicara terlalu panjang. Saya baru menyadari saat hendak pulang, bahwa saya menyukai Toraja apa adanya. Sungguh.

Bang Soba Palloan berjanji akan membantu jika saya ingin datang lagi ke Toraja, begitupun teman-teman Toraja DMO lainnya. Saya percaya Toraja akan kembali pada kejayaannya. Wisata disini, juga hal-hal yang dikuatirkan akan menemukan arah  untuk bangkit bila ditangani dengan bijak, sebagaimana kematian bagi mereka yang tidak berarti akhir segalanya, sebagaimana Tedong Pudu di arena Ma’pasilaga yang bangun dari deteriorasi lalu menang. Tanpa perlu melucuti  citra, akan ada nafas baru, akan ada nyawa anyar.



 -------

 Seperti dimuat di majalah NATIONAL GEOGRAPHIC TRAVELER September 2016







***

HOW TO GO
Terbang ke Makassar, lalu dengan bus ke Rantepao. Perjalanan memakan waktu 8 jam, namun jangan kuatir sebab bus ke Toraja sangat bagus dan ekslusif, laiknya naik pesawat kelas bisnis. Pilihlah bus malam, sehingga waktu bisa terpakai untuk tidur dan tiba disana pagi. Katalog wisata Toraja bisa diuduh gratis di www.visittoraja.com

Logo wisata Toraja (www.visittoraja.com)

WHERE TO SLEEP
Hotel terbaik di Rantepao yakni Heritage Hotel (www.toraja-heritage.com) di atas bukit, dekat kampung tradisional Kete Kesu. Alternatif lain yakni hotel legendaris Misiliana (www.torajamisiliana.com) di jantung kota Rantepao. Di Makale bisa bermalam di Hotel Sahid Toraja serta Hotel Puri Artha.

WHERE TO EAT

Mambo Restaurant Rantepao (Jl. DR Sam Ratulangi) adalah tempat makan yang pas dengan menu-menu lokal maupun internasional. Soal mencicipi Kopi Toraja yang terkenal itu, dapatkan di Kopi Kaa (Jl. Pongtiku – Samping Misiliana Hotel). Kualitas ekspor dan terekomendasi.


Pa'Piong Manuk, kuliner dari daging ayam berbahan daun mayana dan bumbu halus ditambahi lombok Katokkon yang pedas gurih.

Para jurnalis dan penulis (Kompas, Metro TV, CNN, Agustinus Wibowo, Fatris MF, Valentino Luis)



BACA JUGA KISAH SEBELUMNYA :
Perjalanan ke PULAU LEMBATA 

(National Geographic Traveler)

10 komentar:

Baktiar77 mengatakan...

Weeee ngeri, para penulis level tinggi pada kumpul semua... Setiap tulisan Toraja selalu menggetarkan.. tanah-tanahnya yang subur, budayanya yang kenal mistisme, ritus yang berhubungan dengan orang mati menimbulkan decak.. Duh kapan sempat berkunjung kesana ya

Anonim mengatakan...


Bang, saya ngefans sama tulisan abang, juga foto-foto abang.
Pernah baca di Batik Air. Gaya tulisannya itu loh, istimewa.
Stock foto pasti banyak nih tentang Toraja yang belum dikeluarin. Semoga bisa terus membaca tulisan abang, dan suatu saat bisa bertemu idolaku.

Gatta (salam dari Makassar)

Max mengatakan...

Salut!! Ijinkan saya menyapa, Mas.

Saya bukan traveler, tapi senang juga jalan-jalan.
Ada beberapa travel writer yang sangat saya puja gaya tulisannya. Di Indonesia susah nemu travel writer yang cara tuturnya bagus, ada unsur sastranya, ada permenungannya. Mas adalah salah satu dari sedikit penulis itu.
saya kalau buka majalah NGT dan ketemu nama mas, pasti baca fokus dan sampai kelar, karena tulisannya berisi.

sampaikan salamku untuk Agustinus Wibowo dan Fatris MF! WOW, kalian bertiga adalah THE BEST TRAVEL WRITERS!!

Anonim mengatakan...


Agak beda ya dgn tulisan-tulisan mas untuk NatGeo Traveler sebelumnya. Yang ini sedikkit 'kurang' gimana....
Aku pembaca setia mas, untuk NatGeo biasanya dalem banget tulisannya mas (sebelumnya tentang Lembata, Rajasthan, Patagonia). Mungkin karena kali ini jalannya rombongan dan kurang waktu eksplore sendiri ya mas.Overall, selalu bagus fotonya.

Karina - Semarang

Achmad Hanenda mengatakan...

Kalau ke Toraja lagi, mas sekalian ikut ritual Manene, pasti ceritanya mas akan lebih dasyat.
tapi tulisan ini juga bikin kagum karena ternyata lanscape Toraja ternyata sangat indah. Baru tau kalau disana banyak pegunungan kapur. Bagusss. Aku sudah lama ngefans sama tulisan dan foto Mas.
sukses selalu.

PANCA mengatakan...

Mas kayaknya tipikal pemikir ya??? Aku kalau baca tulisan-tulisan Mas di Nat Geo berapa kalau Mas orangnya nyaman banget jalan/duduk sendirian. Beberapa bagian tulisan Mas itu kuat 'feeling'nya...dalem & mature..
Coba kalau di Indonesia travel writer kayak Mas ini banyak, kan kita dapat banyak 'sari' perjalanan. Gak cuma have fun, take pictures, and put the on IG to collect "likes". Eh aku kok curhat ya? Hehe...
Teruskan perjalanannya Mas, terus sisipkan waktu untuk berpikir.

Felicity mengatakan...

Kangen pulang Indonesia, rindu masuk ke daerah-daerah dan mengenal budaya bangsa yang luar biasa. Saat kita berada di dunia yang katanya maju tanpa bekal tentang 'siapa kita' rasanya bagai kapal hanyut.
Toraja, mau menyusuri peninggalan-peninggalan leluhur.

yang merindu dari Oslo (norway)

Anonim mengatakan...

Mau dong tulisan yang lebih panjang, Mas
Saya betah loh baca tulisan Mas, mau sepanjang apapun. Soalnya berisi.

Salam sukses dari Jogja
*eh kapan tulis tentang Jogja, kayaknya di FB pernah posting Jogja kan?

Yuni mengatakan...

Kerennyaaa.....closing selalu memukau!

GROSIR KAOS POLOS mengatakan...

Toraja memang sangat terkenal dengan kekayaan dan keindahan alam setempat. Orang-orang disana jga cukup baik pada saya waktu saya berlibur disana. Thx TORAJA

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...