Lelaki tua itu telah menghilang. Hanya ada cermin besar di sebelah sofa yang didudukinya.
Tadi si tua itu duduk tak jauh di sebelahnya. Diam saja mulanya, lalu mulai terkekeh ketika ia menekan tombol on di remote yang menyalakan televisi di hadapannya.
“Mau numpang nonton, orang tua? Boleh.. boleh..”
Televisi besar berukuran 29 inchi itu mulai menampakkan gambar-gambar hewan ganjil bertubuh besar.
"Ah, ini acara tentang Dinosaurus.."
Lelaki itu menekan tombol pembesar volume. Terdengar nama-nama yang asing setiap visualisasi rekaan mahluk-mahluk ajaib itu. “Brachiosaurus yang hidup di akhir Jaman Jurassic dan masa awal jaman Cretaceous, berleher panjang seperti jerapah, dengan tubuh bulat dan kaki-kaki yang besar. Walaupun panjang tubuhnya mencapai 25 hingga 30 meter, tetapi monster besar ini termasuk jenis herbivor yang memakan tumbuh-tumbuhan.”
Hewan di depannya berganti dengan gambaran yang lebih akrab di benaknya. Ia ingat hewan satu ini sempat begitu terkenal, ketika difilmkan oleh sutradara Holywood yang terkenal itu. Sulih suara di televisi mengingatkan ia akan nama hewan itu. “Tyranosaurus, Dinosaurus pemakan daging yang paling fenomenal dari monster jaman Cretaceous. Diperkirakan hidup…”
Lelaki tua di sebelahnya terkekeh. Mungkin merasa lucu mendengar nama-nama asing itu.
“Lucu? Hh.., bagaimana dengan yang ini.” Gambar di televisi berganti lagi. “Albertosaurus, adalah versi yang lebih kecil dari Tyranosaurus. Bila T-rex bisa mencapai panjang 12 hingga 14 meter, maka Albertosaurus ini hanya sekitar 8 meter panjangnya. Diperkirakan hidup di masa akhir jaman Cretaceous.”
“Alberto.. seperti nama salah seorang temanmu? Hh…, Coba kau dengar ini..”
Suara di televisi terdengar lagi, “Chinshakiangosaurus chuhghoensis, ditemukan dalam bentuk rangka yang tidak lengkap di Provinsi Dianzhong Bazin, Cina, pada tahun 1975.”
“He-he-he…,” kekehan tawanya semakin keras.
“Seperti nama pemain bulu tangkis hah?”, tangannya membesarkan lagi volume suara satu tingkat. Kamar itu jadi seperti dipenuhi suara dari speaker televisinya. "Zigongosaurus fuxiensis, adalah hewan lain yang ditemukan di provinsi
“
Seperti menjawab pertanyaannya, suara tawa lelaki tua itu terdengar semakin keras, sehingga ia merasa sebal sendiri. Lebih menyebalkan lagi melihat tubuhnya yang berguncang-guncang karena geli. Ia mengumpat kesal, “Brachio, Tyrano, Alberto, Chinshah King Kong atau apalah tadi. Pokoknya semua yang nggak keurus - nggak keurus lainnya. Ah, pokoke aku ora urus.”
Ia memindahkan channel dengan remote di tangannya. Lelaki tua itu terdiam. Tapi seringai senyum yang menjijikkan kembali terlihat ketika layar televisi menayangkan gambar tubuh-tubuh kerdil botak dalam sinetron komedi. “Gagal maning.., gagal maning Son.. “ dua tokoh di tayangan itu terlihat gosong sekujur tubuhnya seperti adegan di film kartun.
“Hehehe… ini lucu.. ini lucu..”
Merasa sebal melihat lelaki tua itu terkekeh lagi, tangannya cepat memindahkan chanel ke saluran sebelumnya. Kali ini sebuah nenek moyang cucakrawa yang besarnya tak kepalang memenuhi tabung kaca. Suara di televisi kembali terdengar, “Pteranodon, adalah…” Jarinya menekan tombol lain di remotenya, ia bergumam sendiri dalam rasa kesalnya, “Pteranodon… ora urus juga Son!”
Lelaki tua itu terdiam sejenak. Sinar matanya meredup, mungkin malu juga ia dengan tingkahnya sendiri. tapi tak lama sinar matanya kembali bergairah..
“Ah.. ini saja, Universitas Fantasi. Nyanyi…, nyanyi… ”
Ia mendengus, “Penyanyi-penyanyi karbitan dengan suara pas-pasan begini jadi tontonan..? Nyanyi…? Hh..., ini sih jualan cerita fantasi basi.” Jarinya bergerak cepat, televisinya berkedip menghapus tayangan itu dan berganti ke chanel lain.
“Ah.. ini Idola
Kata-kata itu membuatnya melotot, suaranya semakin terdengar jengkel, “Apanya yang nggak basi? Karuan cuman njiplak orang punya kok nggak basi.. Aku nggak mau nonton yang nggak ada manfaatnya kayak gini! Idola-idola.. cuma bikin silau remaja-remaja saja!” Ia mengomel sambil --lagi-lagi-- memindah acara dengan kotak kecil di tangan kanannya.
“Hii… buaya! Itu… ! Wah, ada ular juga…! Asyik ini…, ini saja ya..?”
Ia menjamah tabloid di pangkuannya, menunjukkan lembaran dalam tabloid itu yang memuat daftar acara televisi dalam seminggu. “Nih lihat ! Nggak bosen seminggu nonton beginian terus? Seminggu bersama ularrr dan buayaa… luarrr biasa…bosennya!” Ia kini terkekeh sendiri. Lucu juga ia merasakan rima dalam kata-katanya.
Lelaki tua itu terdiam lagi. Agak cemberut, karena ketertarikannya pada setiap acara tampaknya tidak disetujui siempunya kotak ajaib itu. Sebuah tombol lain ditekan, dan acara berganti pada tayangan berita kriminal.
“Haa… Kriminal. Berita orang jahat dan nakal. Ini perlu.. perlu.. “
“Perlu apa?” suaranya kini terdengar mengejek. Lalu ia menirukan jargon yang seing terdengar “Waspadalah…, waspadalah…! Kejahatan bukan hanya terjadi karena adanya NIAT! Tapi karena ada CONTOH! Tontonlah.. tontonlah.. “ Ia kembali terkekeh merasa lucu dengan jargon gubahannya. Tapi lalu ia melotot dan berkata gusar, “ Goblok..! Yang begini ngga bisa bikin penjahat jadi nggak kerasan muncul di tengah masyarakat, tapi malah bikin anak-anak jadi biasa melihat darah dan kekerasan! Makin banyak bibit kriminal dengan tontonan model begini. Sontoloyo!“
Lelaki tua itu mulai sebal juga melihat si pemilik tv begitu ngotot menolak setiap acara. Tangan kirinya merebut pengontrol dari tangan kanannya, dan menekan sembarang tombol, “Ya, sudah…, ini saja. Coba apa ini..? Weleh… Bincang-bincang Pulitik. Hehe…, ayo kita lihat apa kata ibu calon presiden kita..”
Ia mencoba merebut kembali remote itu. “Nggak bisa! Nggak mau aku kau paksa menelan omong-omong kosong. Sudah cukup aku lihat begitu banyak kebohongan. Presiden, menteri, ketua itu, ketua ini.. semua sama saja.. cuma pedagang SAPI!!”, ia membentak keras. Tapi usahanya merebut remote itu gagal, karena lelaki tua itu menjauhkan tangan kirinya.
“Ya sudah…, tenang… tenang. Nah ini saja, mau? Acara dakwah Kyai terkenal. Kata-katanya sueeejuk tenan…Bagus ini buat hatimu yang penuh amarah itu”
Ia memperhatikan sejenak gambar di televisinya. Suara kyai itu terdengar lembut dan mengalun bersahaja, “Hanya orang-orang yang bersih hatinya, yang sanggup membersihkan dirinya sendiri dan lingkungannya. Wabillahi taufik wal hidayah, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…”
“Lhaa.. habis. Wah telat kita ya… ? Nah ini ada lagi.” Saluran di televisi berganti lagi, dan kali ini menayangkan gambar orang-orang yang tengah terisak. Lantunan zikir terdengar di latar belakang.
“Ini bagus juga…, Zikir bersama ustad anu…, Bisa membawa teduh hatimu dengan menyebut asma Allah. Lihat itu orang-orang pada menangis menyesali…”
Ia berlagak memperhatikan tayangan itu, lalu tiba-tiba tangannya dengan cepat meraih remote yang dipegang si lelaki tua. “Ha! kena sekarang!” katanya puas. Ia melihat tayangan itu sebentar lalu menekan tombol off dengan raut wajah senang.
“ Hehehe… Kau katakan mereka menangis karena menyesali? Satu-satunya yang mereka sesali, adalah sesudah acara ini, mereka kembali bergelimang dosa-dosa mereka. Hah! Itulah! Mestinya mereka gantung diri saja, kalau benar-benar menyesal. Sudah ! Bosan aku menonton acara-acara yang nggak mutu begini. Aku mau berhenti nonton, dan terpaksa kau juga orang tua.. hehehe… karena tivi ini milikku!” Ia tertawa puas hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Mata lelaki tua itu kini menyipit. Menunjukkan raut wajah yang berubah menjadi geram. Suaranya terdengar lebih berat dan lebih serius dari sebelumnya.
“Kau..! Kau adalah si bodoh…! Kau tak mau menonton acara tivi karena semua acara bercerita tentang dirimu. Ya! Tentang kebodohan dirimu! Dan kau ingin orang lain tidak menonton acara-acara itu hanya agar tidak melihat kebodohan dirimu” Napas lelaki tua itu tersengal-sengal menahan amarahnya.
“Heh!? Berani-beraninya kau katakan aku begitu? Ini tivi milikku! Adalah hakku mematikan atau menghidupkannya. Aku bisa berbuat apa saja terhadap barang milikku. Kau atau orang lain tidak bisa protes, karena tivi ini milikku! Kalau aku mau aku bisa menghancurkan tivi ini.” Ia bangkit berdiri, lalu menumpangkan sebelah kakinya di atas televisinya. Sambil menoleh pada lelaki tua itu berkat dengan keras, “Seperti Ini!” Televisi itu terguling ke belakang, membentur sisi meja kecil tempat televisi itu diletakkan, berguling lagi jatuh dengan tabung kacanya menghadap ke lantai, dan kontan jadi pecah berantakan.
Ia duduk kembali di sofanya, dan memandangi lelaki tua itu dengan sinis, menunggu komentarnya atas apa yang baru saja dilakukannya.
Tapi lelaki itu tidak bereaksi seperti yang diharapkannya. Ia malah berkata renyah, dan melagukan kata-katanya hingga mirip bersenandung.
“Hai.. tua bangka yang picik. Hewan purba menunjukkan kebesaran Allah dan keagungan ciptaanNya. Namun bagimu hanya terasa seperti hewan buruk rupa, usang dan terlupakan, seperti terjadi pada tubuh rentamu. Ditinggal anak dan istri, saudara dan saudari. Mereka yang meneliti sejarah masa lalu, bersusah payah mencari bukti keagungan Illahi. Tapi bagi benak picikmu, masa lalumu lebih buruk dari rupa hewan itu, hingga melupakan adalah satu-satunya keinginanmu.”
“Hai.. tua bangka renta. Berlomba adalah semangat muda. Berusaha membuktikan yang terbaik yang mampu dilakukan, karena hidup ini adalah ujian. Saat muda kau tak mau menantang dunia, lebih memilih berdiam dalam temaram gelap gubukmu. Menyongsong tantangan kau anggap bualan, seakan surga bisa dicapai tanpa perjuangan”
“Hai.. kau lelaki jahanam. Segala kekerasan dunia tak lebih keras dari hatimu yang membatu. Hingga lantunan asma Allah pun tak membuatmu berniat melunakkan itu. Kebohongan dunia tak lebih busuk dari setiap nafas yang kau hembuskan. Karena kebesaran-Nyapun selalu kau ingkarkan..”
“Tengoklah semua acara…Hai kau yang melihat tapi buta. Dalam setiap detik hidupmua ada hikmah di dalamnya. Melihat yang najis, adalah berkah. Melihat yang zahir adalah anugrah. Dalam najis ada kesempatanmu untuk mengucap ampun pada Yang Kuasa. Dalam zahir terbuka peluang bersyukur atas Rahmat-Nya”
“Lihatlah kau.. lelaki tua. Buruk mukamu… tivi dibelah”
Lelaki tua itu kini benar-benar menghilang. Hanya ada cermin besar di sebelah sofa yang didudukinya.
“Dasar lelaki tua bodoh! Berperibahasa pun salah. Buruk muka cermin dibelah !”
Dilemparkannya remote ditangannya sekuat tenaga.
Prang !
Catatan:
Ora urus = Tidak perduli
Karuan cuman = Jelas-jelas hanya
Nggak kerasan = tidak betah
Pulitik = Politik ; dialek daerah
Gagal maning = Gagal lagi
Rima = Bunyi yang senada, seperti bunyi akhiran kata dalam pantun
Najis = Kotor
Zahir = Lahir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar