SIAPA SURUH DATANG KE
JAKARTA

Transjakarta (yang disebut Busway) berwarna gradasi merah kuning merapat ke halte. Dan alamak, nasib kami tak mampu dibedakan lagi dengan kuda-kuda liar, dierek keluar dari satu kandang kecil serta pengap menujuh ke kandang lain yang sialanya juga ternyata sempit dan pengap. Jam 18 sore, artinya ‘rush hour’ di Jakarta.
Ya, suka atau tak suka. Setelah penerbangan berjam-jam dari Flores ke Jakarta, saya harus menyisahkan energi pula untuk berebutan tempat, berdiri berpegangan erat pada pole di dalamnya, dan berupaya mempertahankan ‘wilayahku’ setiap kali Transjakarta berhenti dan diserobot terus-menerus oleh penumpang baru. Jumlah manusia yang keluar sama banyaknya dengan yang masuk. Semenjak beroperasi tahun 2004, armada Transjakarta tak pernah sepih. Betapapun jumlahnya terus bertambah, tetap kalah dari jumlah manusia yang memanfaatkannya.

“Apa yang kau lihat?” Ia membuyarkan lamunanku. “Beginilah saya sekarang. Dan seperti inilah kira-kira kehidupanku, dari kos ke sekolah menumpang busway atau ganti-ganti metromini.” Saya menarik sedikit sudut bibirku keatas. Jalan hidup kita memang berbeda, kawan. Tapi saya pun pernah menempuh hidup yang sulit, lebih sulit mungkin darimu selama di Bali: datang dari daerah, tak punya apa-apa selain nekad dan semangat, bekerja paru waktu menguras tenaga selain kuliah, demi tetap survive dan berupaya meraih cita-cita - membuat diri sedikitnya merasa bangga dan berarti. Kini bertemu Sanjo, mendengarkan kisah hidupnya di Jakarta, serta melihat harapan pada matanya. “Nah, siapa suruh datang ke Jakarta? Sendiri mau, sendiri rasa,” kataku bergurau. Kami pun tertawa.
Kos Sanjo terletak bersebelahan dengan Thamrin City, tak jauh dari Bundaran HI, tak jauh juga dari Kedutaan Jerman tempat saya meng-apply visa. Bisa dibilang Sanjo memilih lokasi strategis, pintar dia. Inilah kali pertama saya ke Kedutaan Jerman. Selama ini setiap mau ke Jerman permohonan visaku selalu melalui konsulat di Sanur Bali. Jelas, lewat konsulat lebih hemat karena biaya transportasi masih mendingan sedikit. Bayangkan, harga return flight Flores-Jakarta itu sama dengan harga return flight Bali-Darwin! Biaya visa kan tak sampai sejuta, mahalan ticket pesawat domestik! Yang datang dari luar Jawa siap kesal, tapi mau bagaimana lagi? Sudah itu, saya paling tak suka dengan formalitas yang berlebihan. Terus terang, datang ke konsulat jauh lebih ‘ramah dan hommy’ ketimbang ke kedutaan. Sistem keamanan terkesan ‘terorismphobia,’ antrean yang lama, dan petugas yang pelit senyum. Padahal di Jerman tidak seperti itu. Seolah kita mau diwanti-wanti: Pass auf; zeig nicht dein mittelfinger obwohl du verdammt sehr böse bist, oder …du kriegst gar kein Visum, Schatz! - na ja, darĂĽber wird man später nur kaputt lachen. Garantiert.
Sedikit tips buat yang mau apply visa Jerman:
1. Datanglah pagi-pagi. Sebelum jam 8 sebaiknya sudah di depan pagar, 2. Bawa buku bacaan biar tak bosan menunggu – soalnya laptop, camera, hp, mp3, dan benda elektronik lainnya disita petugas, meski kita antrenya masih di halaman doang alias belum masuk ke gedungnya, 3. Bawa makanan/minuman ringan, bakalan kering tunggu giliran wawancara. 4. Turuti semua persyaratan dengan benar (pas photo harus benar-benar sesuai standar, dokumen harus lengkap. Baca baik-baik syarat di website kedutaan biar tak disuruh pulang.. hiks ). 5. Jangan pakai celana pendek atau baju tanpa lengan –“sangat tidak sopan,” begitu kata satpamnya sebelum kamu diusir. Aufwiedersehen.
RENCANA saya yang sebelumnya hanya mau sepekan di Jakarta akhirnya diperpanjang jadi dua minggu. Hitung-hitung bernostalgia dengan Sanjo. Saya pun merencanakan tur bersamanya.

Kali terakhir saya ke Jakarta sekitar empat tahun silam, waktu itu saya ikutan wawancara untuk beasiswa program budaya ke Italia dan nginap di jalan Jaksa, sempat jalan-jalan sebentar walau waktunya kepepet. Jakarta masuk dalam daftar ibu kota negara yang paling tidak diminati wisatawan.” There is nothing spectacular but traffic jam, crowded, business, malls. It has no fresh air, no green zone,” demikian petikan suara backpacker asing yang saya baca opininya tentang Jakarta. Jika saya yang ditanya, barangkali saya menjawab, “Jakarta, ya seperti ibu kota negara-negara berkembang lainnya. Dia menampilkan realita Indonesia, sebuah disparitas, ibarat menikmati musik dengan disonansi kontras.” Jakarta dihidupkan oleh madu impian dan empedu kenyataan - glamorous dan keterluntaan - ambisi dan keterpurukan - kemapanan dan ketidakberdayaan. Dalam satu kedipan, kau bisa melihat rumah mewah bak istana dikerubuti pondok reot gelandangan, kau bisa melihat orang makan di restoran dengan menu berharga jutaan sementara pengemis mengorek sisa makanan dari tong sampah restoran itu. Kau bisa melihat bahwa karyawan yang berdasi, necis, memakai gadget tercanggih dan bekerja di hotel seelit Mandarin Oriental maupun gerai termahal semisal Plaza Indonesia ternyata makan kipas-kipasan berpeluh di warung kaki lima. Pada akhirnya, kau bisa membuat summary bahwa di negeri kaya ini, ketimpangan dan ketakeseimbangan adalah fakta sekaligus mimpi siang malam yang teramat jauh dari garis finish.
Saya tidak punya alasan untuk menyepelehkan Jakarta. Saya justruh melihatnya sebagai medan untuk menemukan potret manusiawi. Jakarta sama dengan New Delhi-Mexico City-SĂŁo Paulo, mereka menghadirkan banyak karakter dari penghuninya, satu panggung dengan banyak permainan watak. Disini semua orang bisa mengaburkan otentistasnya dan melakonkan multirole.


Salah satu bangunan yang ‘selamat’ misalnya Museum Wayang. Penampilan bangunan bekas gereja buatan tahun 1912 ini segar dan terlihat ‘baru’ dari luar. Bangunan lain seperti Museum Fatahillah, kantor pos, museum Bank Indonesia, juga mampu melemparkan saya ke bayangan kota-kota bekas koloni Belanda seperti Paramaribo (Suriname) atau Stellenbosch (Afrika Selatan). Senang menyaksikan banyaknya anak-anak muda nongkrong di alun-alun, bersenda gurau, naik onthel, membaca buku, tawar menawar jasa tattoo maupun memilah milih perhiasan. Lebih asyik rasanya menemukan mereka disana, di area terbuka, ketimbang berseliweran di mall-mall.

Saya terus memikirkan nasib kota tua ini. Pemkot Jakarta perluh berbuka diri lagi, menerima pihak yang mau memanfaatkan bangunan-bangunan lainnya sebelum benar-benar lapuk lalu ambruk. Saya ingat seorang seniman tanah air, Ronggowarsito, pernah berujar,”If a building ages more than a half century, we should not destroy it.” Merusakkan bukan harus berarti merobohkannya dengan alat berat, membiarkan begitu saja sampai jatuh sendiri pun termasuk merusakkannya.


LAIN HARI setelah luntang-lantung keliling Jakarta hingga ke Puncak, kami mendatangi Monas lagi. Planningnya, setelah Monas akan ke Mesjid Istiglal lalu ke Katedral Jakarta. Langit penuh awan tapi matahari bersinar dan angin bertiup sepoi, hari yang bagus sebetulnya untuk menyisir ketiga tempat, apalagi berjalan kaki. Tiba di Monas, kami hendak memotret diri ala strobist. Mulailah beberapa photo seperti menendang kearah kamera, jari telunjuk menyentuh lensa, dan lain-lain.

Tak urung lagi Sanjo terbahak. “Wah, bagaimana sekarang?” Saya buru-buru duduk di rumput, malu bukan main, banyak orang lalu-lalang pula.”Tak ada pilihan, saya pulang mengambil celana ganti, Kamu harus disini menunggu,” ujar Sanjo sambil terus saja terkekeh. Saya mengangguk saja, Sanjo pun beranjak pergi. Jarak Monas ke HI kan tidak dekat, harus ke kos, tunggu kendaraan. Semua tentu bisa berjam-jam. Apes….apes…
****
(Kesialan datang berulang setelah itu. Terjadi miscommunication antara saya dan petugas di Kedutaan, membuat saya harus balik lagi ke Jakarta seminggu setelah meninggalkannya)
=========================================================

MENGUNJUNGI IBU KOTA

When To Go: Kapan saja, kecuali musim mudik lebaran.
Where To Sleep: Menginap di beberapa hotel murah di Jakarta Pusat? Mungkin bisa ke Hotel Bintang Baru: Jl. Dr. Sutomo - mulai Rp 150,000-Tel.(021)3515533, Dzire Kost & Hotel: Jl. Dwiwarna 2 No.48- mulai Rp.150.000-Tel.(021) 6254839/08788-333-5692, Hotel Oasis Amir: Jl. Senen Raya Kav.135-137-mulai Rp.160.000-Tel. (021)3863060-62-63 atau ke Hotel Prima Indah: Jl. Gunung Sahari No.19-mulai Rp. 125.000-Tel.(021)62203606
Where To Eat: Ke kota tua Jakarta sempatkan ke Café Batavia, selain makanannya yang enak juga bisa menikmati atmosfer dari bangunannya. Pilihan lain adalah makan malam sambil menikmati view terbuka Jakarta dari ketinggian di Solaria Sky Dining - Plaza Semanggi atau di Pawon Solo-Kemang. Pizza mungkin bisa didapatkan dimana-mana, tapi coba dulu di Pisa Cafe - Jl. Gereja Teresia,Menteng. Citarasa pizza dan masakan khas Italia lainnya plus suasana yang asyik.
Diposting @Agustus 2011