Menghirup sisa aroma tubuh Snow White,
Sleeping Beauty, hingga Leonardo da Vinci
Pada mulanya saya terpancing untuk jalan-jalan ke sana ketika menonton program wisata di TV, lalu diperparah lagi waktu bertandang ke rumah keluarga di Belanda. Ketika mereka menyodorkan album foto perjalanan liburan, serasa saat itu pula mereka menarik pelatuk ke kepalaku, dan.. Dorr…!! Otakku langsung terisi lima butir peluru dengan watermark: L.O.I.R.E.
Begitulah saya, kalau sesuatu sudah meracuni otak, maka itu bisa jadi candu. Apalagi soal jalan-jalan. Rasa gatal pun datang dari otak turun ke kaki.
Saudaraku, judul tulisan kali ini boleh kedengaran kekanak-kanakan. Lah , mau apa lagi? Bicara soal Loire artinya menyerempet ke dongeng Putri Salju , Putri Tidur atau dongeng lain sejenis itu. Mengerti sajalah. Datang dari negeri yang cuma bisa liat reruntuhan benteng kolonial, ketertarikan akan bangunan bangsawan Eropa jaman dulu mengambil perhatian besarku. Entahlah, saya selalu merasa takjub menemukan istana atau kastil di lereng-lereng bukit, di antara kepungan hutan,jauh dari hingar bingar. Bangunan-bangunan di lokasi tersembunyi seperti ini, saudaraku, jika kita menemukannya, serasa seperti memperoleh harta karun. Tak ayal waktu saya kebanyakan habis karena takjub dengan kenyataan demikian.
Kok ke Loire? Well, Loire dijuluki sebagai "Taman Perancis," predikat ini menjadikannya masuk dalam situs warisan dunia UNESCO. Selain itu Loire dianggap sebagai tempat lahirnya bahasa Perancis. Karena itu, buat saudara yang tergila-gila dengan bahasa Perancis, patut jalan-jalan ke Loire dan menguji kecakapan lidah saudara disini. Sudah pasti dapat “ sertifikat rasa bangga” pabila kawan ber-cas-cis-cus ala Mbak Anggun C. Sasmi di daerah yang konon penduduknya menggunakan bahasa Perancis murni.
Antusiasmeku kandas di Nantes.
Saya memulai penyusuranku ke Loire di kota Nantes. Kenapa Nantes? Karena kota ini merupakan ujung pintu lembah Loire. Nantes-lah kota muara sungai Loire sebelum berujung ke pesisir laut Atlantik yang berjarak kira-kira 50 km. Sehingga katakanlah, ia berperan untuk membuka tangkup, menunjukan keajaiban masa Renaisans wilayah Loire Valley.
Tapi saudaraku, maksud hati mengawali perjalanan dengan indah di kota Nantes ini justruh menjadi pilihan pertama yang mengkandaskan antusiasme, menyurutkan semangat tualang. Begini kejadiannya, saat mampir di Château des ducs de Bretagne (Castle of the Dukes of Brittany) sebuah petaka menimpaku. Padahal seringai gerombolan serigala peliharaan di kastil hunian Dukes of Brittany antara abad 13 hingga 16 itu telah menyemangati nadi. Saya menenteng tripod ke lorong pagar benteng sebelah utara. Rasa-rasanya saya bisa dapat bidikan foto yang bagus. Cerobohnya saya tak memperhatikan lagi apakah kamera benar terjepit pada tatakan tripod. Maka ketika melihat seorang anak kecil berlari melewati tempatku berdiri, kugeser tripodku tuk memberi jalan. Naas, kamera terlepas..!! malangnya lagi saya berada pada ketinggian dan tepat di bawahku adalah pintu masuk utara yang tanahnya dilapisi bebatuan. Begitu singkatnya kejadian itu hingga saya hanya mendengar suara pecahan kamera. Tubuhku jadi kaku, kutau pengunjung lain memperhatikan petaka itu, dan kami sama-sama diam. Silentium memelukku dan memelodikan Requem.
Tak mungkin peristiwa itu pertanda Château des ducs de Bretagne menolak hadirku. Meski saya rakyat jelata, borjuisme telah lenyap,saudara! Lagipula bangunan lapang seumpama benteng itu telah berubah fungsi menjadi museum: Nantes History Museum, sesudah menjalani restorasi selama 15 tahun. Maka saya, walaupun patah arang, dengan berat hati memungut serpihan kameraku. Yang ada waktu itu hanyalah sebuah rasa. Rasa kehilangan. Betapa saya telah menganggap kamera itu sebagai anak kecilku nan ajaib: membawanya serta kemana aku pergi…., berbicara padanya…, tidur memeluknya…. !! Oh mio bambino…
selanjutnya.....