Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa 

Kawa

 MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES




P

ada celah antara dua pohon besar yang dijuntai alga fruktikos Usnea longissima nan lebat, pemimpin adat Don Bosco Doko berdiri menyambut. “Petu Keta, Zaza Ja - yang panas jadilah dingin,” sabda lelaki tua itu sembari memercikan air ke tiap orang yang baru tiba. Saya menghitung setidaknya lima kali ia mengirap-ngirapkan tangannya ke badan saya, bagaikan proses pemindaian oleh petugas keamaan kepada tetamu di hotel-hotel. Esensinya mirip; demi menghalau kemungkinan-kemungkinan buruk yang datang dari luar. Bedanya, petugas keamanan hotel memakai alat modern pendeteksi logam, sedangkan Don Bosco Doko hanya menggunakan air dalam Kula- sebuah wadah dari buah labu kering. Tanpa energi listrik, tanpa alarm, tanpa kedipan lampu, namun air dalam Kula punya daya nekromansi. 

Kami lantas diperkenankan memasuki pekarangan kampung yang lapang namun amat senyap. Maklum, musim hujan telah menyibahi tanah, sehingga kampung-kampung di pegunungan cenderung sunyi di siang hari lantaran penduduk kebanyakan menghabiskan waktu di ladang mereka, menggarap dan menanam. Yang tinggal di rumah-rumah biasanya kaum lanjut usia dan anak-anak kecil.

Saya berhati-hati melangkah, sebab di halaman kampung berserakan beberapa batu megalith yang disakralkan. Sebelum tiba tadi, kami sudah diwanti-wanti agar tidak sembarangan menginjak atau duduk di kumpulan-kumpulan batu dalam kampung. “Bisa kena sial dan musti dibuatkan ritual segera,” begitu kata Yohanes Niku, pemandu kami.     

Kawa, nama kampung yang kami datangi ini adalah sebuah kampung tradisional di Nagekeo, daerah wilayah tengah Flores, Nusa Tenggara Timur. Letaknya menyelimat di balik halimun Gunung Amegelu. Sudah lama saya mendengar namanya, tapi belum punya kesempatan untuk mendatangi. Kendati saya telah menyambangi sejumlah kampung tradisional di Nagekeo, namun Kawa jadi dambaan sendiri, justru karena posisinya yang terisolir itu. 


Don Bosco Doko, pemimpin adat kampung Kawa. Di rumahnya tersimpan sebuah kain kuno peninggalan Portugis yang dikeramatkan.

Usnea longissima, alga yang bergelayutan pada pohon besar yang menjadi gerbang masuk kampung

Susunan bebatuan megalith yang tersebar acak di pekarangan kampung. Patut diperhatikan agar jangan terinjak saat jalan

UNTUK MENCAPAI KAWA, kami berjalan kaki selama dua jam lebih, hiking melewati hutan, mendaki dan menuruni bukit berulang-ulang hingga otot betis berasa liat. Pendakian bermula dari kantor desa Labolewa setelah tiga puluh menit dari Mbay, ibukota Nagekeo. Dari kantor desa Labolewa, rute menuju ke kampung ini kasar berbatu, meskipun lebar jalan cukup untuk dilalui mobil namun hanya nyaman bila ditempuh dengan mobil sejenis 4WD atau lebih gagah dengan menunggang kuda. Di musim hujan, jalan menjadi lembek licin, membuat langkah kaki terasa berat karena direkati lumpur.

Yohanes Niku, pemandu kami, mengisi waktu pendakian dengan cerita yang tiada habisnya sehingga kami lupa menghitung peluh. Misalnya legenda setempat mengenai Jinga Beli, sosok makluk raksasa yang menakutkan serta cacat moral. Kata Yohanes, Jinga Beli meninggalkan jejak kakinya pada bebatuan dalam hutan yang kami lalui. Di sebuah titik, Yohanes mengarahkan kami untuk mencari batu jejak kaki raksasa itu, sayangnya, kami tidak menemukannya. Di titik yang lain dia menunjukkan Batu Gong, bebatuan ceper lebar yang apabila diketoki dengan batu kecil langsung berbunyi nyaring dan jika diselaraskan dengan ketokan-ketokan lain akan menghasilkan irama musik.

Setelah melewati hutan, rute pendakian menyisir sisi barat Gunung Amegelu di mana ladang-ladang warga mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau jagung dan palawija. Sebuah bukit kecil yang dinamai Bukit Terlarang mencuat di lereng dan menjadi penanda bahwa letak kampung Kawa tak lagi jauh. Sepanjang jalur ini panorama ke lembah Aesesa dengan ngarai dan lapisan-lapisan perbukitan di seberang memanjakan mata. “Setibanya di kampung, jangan langsung masuk ke pekarangannya. Kita musti menunggu di gerbang kampung yang ditandai oleh dua pohon besar. Nanti setelah diperciki air dan diizinkan, barulah kita masuk,” pesan Yohanes begitu sayup gonggongan anjing-anjing penjaga kampung mulai terdengar.


Jalur pendakian dari Desa Labolewa menuju kampung Kawa melewati jalan berbatu
diapit hutan belukar. Sepanjang jalan terisi oleh kicauan aneka burung.

Pemimpin perjalanan kami, Yohanes Niku, membunyikan Batu Gong sembari juga mengisahkan legenda Jinga Beli.

SIAPA YANG TIBA di kampung Kawa, akan langsung menyukai tempat ini. Lokasinya estetik. Kampung Kawa memanjang dari barat ke timur membentuk formasi huruf ‘U’. Di baratnya langsung bersemuka dengan puncak Gunung Amegelu dengan kuda-kuda merumput pada lerengnya yang bagai permadani berkabut. Di sisi timur, Gunung Ebulobo menaungi, walau jaraknya amat jauh berpuluh kilometer tapi seperti disematkan tepat bagai mahkota untuk kampung Kawa.  Bagian utara selatan dikitari pepohonan kemiri. Kampung ini sungguh-sungguh terpisah dari kampung lain, terpental sendirian, dengan hawa sejuk. 

Bak dianjur magnet, saya mengikuti langkah pemimpin adat Don Bosco Doko ke rumahnya. Arsitektur kampung Kawa mengikuti gaya perkampungan tradisional di Nagekeo umumnya, dalam versi yang lebih bersahaja. Rumah-rumah berpanggung rendah dari bambu dan atap alang-alang serta ijuk. “Di sini kami tidak memiliki banyak ornamen sebagaimana di kampung tradisional lainnya karena nenek moyang kami senantiasa berpindah-pindah kampung dulunya, sehingga kampung tidak dibentuk dengan permanen. Tidak ada simbol adat seperti Peo dan Lado, antena di bubungan rumah,” urai Don Bosco. 

“Terdapat lima belas rumah adat, namun yang utuh tiga belas rumah. Ini milik lima suku. Rumah yang berada paling depan bagian utara adalah milik suku Nakazale, mereka punya dua rumah, namanya Sa’o Aja Ola dan Sa’o Radawona,” Don Bosko menerangkan. Ternyata kendati sederhana, namun tiap rumah punya nama sendiri. 

Di samping suku Nakazale, ada pula suku Riburato yang juga punya dua rumah adat bernama Sa’o Laluola dan Sa’o Natanghedu. Lalu suku Wala dengan rumah Sa’o Nagonata dan Sa’o Keliwala. Menyusul suku Geganeja punya empat rumah yakni Sa’o Nitubata, Sa’o Radonio, Sa’o Watutaga, Sa’o Radonio, dan Sa’o Radomengi. Dua rumah yang terakhir disebutkan telah dibongkar dan butuh dibangun kembali. “Saya sendiri dari suku Nakabhega. Kami punya lima rumah yakni Sa’o Rajamengi, Sa’o Kadamanu, Sa’o Batalabo, Sa’o Pu’uwaru, dan yang sekarang kami tinggal adalah Sa’o Batanitu,” tambahnya dengan ramah. Don Bosco menunjukkan satu demi satu rumah yang ia maksud. 

Aktifitas warga Kawa tidak cuma berladang namun juga berburu. Menurut Don Bosco, kampung mereka masih sering didatangi rusa dan kerbau liar. “Sekitar bulan September digelar ritual berburu rusa, masuk hutan dan bergelayang ke padang sabana. Kami menyebutnya ritual Dai Nara,” katanya dengan mimik sukacita seakan momen tersebut amat ditunggu-tunggunya.


Deretan rumah-rumah bagian selatan. Tampak berjejer Sa'o Batanitu, Sa'o Pu'uwaru,
dan Sa'o Natangedhu

Seorang warga baru pulang dari berburu kerbau liar di hutan,
membawa daging buruan segar yang sudah dibagi-bagi

Jelang senja, ia mengantar kami ke padang sabana di sisi barat kampung, menuruni lembah, menghadap Gunung Ebulobo. Saya terkesima lantaran mendapati lansekapnya paling menawan dari padang sabana manapun yang pernah saya lihat di Flores. Kawa boleh saja sebuah kampung bersajaha, namun ia dibingkai oleh alam yang transenden, dicucuri hawa yang membuat hati legawa. Sejuk, sebagaimana takrif yang diucapkan Don Bosco saat menyambut siapa saja di gerbang kampungnya; ”Petu Keta, Zaza Ja.”


Lembah padang rumput Kawa menghadap ke Gunung Ebulobo (2.124 mdpl)

Sisi utara kampung dengan panorama ke ngarai Aesesa


***

GLOSARIUM:

  • Usnea longissima: Sejenis lumut yang menggantung seperti rumbai pada pepohonan. Disebut juga “Methuselah's Beard”. Lumut ini biasanya hidup di pohon-pohon tua yang tumbuh di pegunungan atau di tempat yang udaranya sangat bersih. Seringkali menjadi penanda bagi para ilmuwan bahwa tempat itu bebas polusi. Lumut ini berbeda dari Lumut Janggut, meskipun mirip.
  • Nekromansi: penghubung manusia dengan arwah leluhur/ kemampuan meramalkan masa depan dengan mengadakan hubungan dengan arwah orang yang telah meninggal.
  • Dianjur: dari  kata ‘anjur’, berarti disentak/ ditarik/dierek/diseret
  • Takrif: pernyataan, maklumat. 

#kampungkawa #kampungadatkawa #kampungadatflores #penulisntt #penulisflores #traveljournalist #travelwriter #travelphotographer #penulisperjalanan #valentinoluis #lionmag #inflightmagazine #majalahpesawat #visitnagekeo #kawanagekeo #kawatraditionalvillage          

Tulisan ini diterbitkan di LionMag, inflight magazine Lion Air, edisi Februari-Maret 2021. Klik di sini untuk membaca versi PDF majalahnya.  




Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...