Silir Sulur Soneta
Solor
MELAWAT PULAU SUNYI DENGAN BABAD SEJARAH YANG DINAMIS
P |
erjalanan ke tempat historis itu ibarat membuka
komunikasi dengan roh manusia-dari abad yang berbeda. Persis seperti yang disabdakan
filsuf Perancis, René Descartes, persis juga sebagaimana saya rasakan sekarang;
menjejakkan kaki di antara puing benteng Lohayong, tercengut mendapati betapa
masih rekatnya sisa-sisa kapur pada struktur bikinan Portugis ini.
Ada semacam bayang-bayang kehidupan masa silam berkelebat dalam kebisuan purna; ilusi tubuh-tubuh kaum Eropa berinteraksi dengan wajah-wajah bumiputra. Laiknya berada dalam sepotong adegan serial tivi ‘Once Upon A Time’ yang menghadirkan kilas hikayat lampau di situasi kini, saya mengancar-ancar kembali suasana tahun 1566 ketika para padri Dominikan, sebuah ordo Katolik, membangun benteng ini di lereng bukit menghadap ke perairan yang kala itu mulai sibuk oleh lintas perdagangan yang dimabuki wangi Cendana.
Menurut laman Fortificações na Indonésia, nama asli benteng ini adalah Forte de Nossa Senhora da Piedade de Solor yang disederhanakan penyebutannya dengan Forteleza de Solor. Lantas ketika ditaklukkan Belanda tahun 1613, ia dinamai Fort Henricus XVII. Meskipun sekarang terkonversi menjadi komplek rumah warga, toh saya masih dapat dengan jelas memastikan bahwa benteng ini memang hasil gubahan Portugis. Saya pernah ke negara itu, telah melihat kesamaan rancang bangun antara benteng ini dengan sejumlah benteng-benteng di sana. Dan bila menilik pada sketsa tua Fort Henricus XVII, di mana dilukiskan bahwa ada empat bastion di sudut benteng beratap kerucut, maka saya bisa mendapati ekuivalensinya dengan Castelo de Porto de Mos di Leiria, sekitar satu setengah jam ke arah utara Lisbon, ibukota Portugal. Tentu saja dimensi benteng Lohayong lebih kecil juga pendek.
Memandangi kota Larantuka dari dalam kapal motor yang menuju Solor |
Para ibu berkain tenun warna merah |
Sampan dengan nelayan yang sedang menebarkan jala saat senja memerah |
SOLOR, sebuah pulau kering berwujud
paha ayam, tercelat selat berarus kencang antara Flores, Adonara, dan Lembata.
Hijau tetumbuhan menyaput 217 km2 wilayahnya dari Januari hingga
Mei, setelahnya kekeringan merambati tanah berbatu merapak pohon lontar dan
gajus yang tak seberapa teduh. Namun ada tanaman lain sanggup mekar subur
walaupun musiman, yakni sorgum (sorghum
spp.) dan kelor (moringa oleifera), yang
kini acapkali jadi label bagi pulau ini. “Solor itu akronim dari SOrgum dan
keLOR,” begitu canda seorang warga.
Jauh sebelum wilayah lain di Flores mendapat pengaruh Eropa, pulau ini adalah persinggahan paling awal Portugis. Dikatakan, mula-mula mereka menempati Lamakera, wilayah timur Solor yang strategis untuk pelintasan kapal, kemudian membangun benteng dan komunitas yang dihuni para pedagang dan imam Katolik di Lohayong. Orang-orang Solor dapat dipastikan sebagai penganut agama Katolik paling pertama di gugus kepulauan Flores. Sayangnya, pertikaian dan persaingan setempat, yang kemudian diperparah lagi dengan masuknya Belanda, akhirnya membuat pulau ini lantak dan ditinggalkan.
Anyaman dari daun lontar adalah kriya yang lihai dikerjakan ibu-ibu di Solor |
Rumah-rumah tradisional di kampung tua Karawatung |
BERANJAK dari puing-puing peninggalan Portugis, saya menuju ke wilayah barat Solor yang masih kental dengan budaya lokal. Wilayah ini tidak diperebutkan pada masa silam sehingga adat istiadat asli masih mudah untuk ditemukan. Sejumlah kampung-kampung tradisional sisa dari jaman prehistoris tetap terpelihara.
Di Karawatung, misalnya, tak sampai 10 km jaraknya dari benteng Lohayong, saya bersemuka dengan 15 rumah tradisional di tengah ladang yang sunyi. Arsitekturnya sederhana, menyerupai rumah-rumah tradisional di Lembata, pulau seberang timur Solor. Rumah berbentuk panggung yang rendah dinaungi atap lapang dari daun alang-alang, dinding bambu separuh. Tidak ada ukiran atau hiasan yang riwet.
“Arsitekturnya memang sangat polos, lebih mengutamakan fungsi, terutama untuk upacara-upacara adat, tapi kampung ini adalah yang tertua di Solor,” kata Petrus Moron, sang kepala desa yang menemani saya. “Sekarang tidak lagi dihuni, karena penduduk sudah berpindah tinggal di rumah permanen serta berpencar-pencar membentuk desa baru, tapi nyaris setiap hari ada saja warga yang datang menjenguk dan menjaga,” lanjut Petrus lagi.
Momen penting yang menghadirkan seluruh keturunan
suku-suku di kampung Karawatung terjadi pada pertengahan tahun, sekitar bulan
Juni, saat ritual Berauk digelar.”Berauk adalah pesta syukuran panen. Pulau ini
kelihatan kering, namun sejak jaman dahulu kami tidak mengalami kelaparan,
sebab ada sorgum, jagung, jewawut, dan umbi-umbian yang tumbuh. Makanan ini
menguatkan kami. Dengan menggelar Berauk, kami mensyukuri berkat, dan
mengharapkan kecukupan pangan hari-hari setelahnya,” Petrus bertutur
sungguh-sungguh. Ketika Berauk digelar sorgum dan pangan lokal dihadirkan juga
dimuliakan sebagai persembahan. Mendengar penjelasan ini membuat saya kagum
bagaimana Tuhan membentuk negeri ini dengan unik, sejumlah daerah diberikanNya
sumber makanan pokok yang berbeda. Maluku dan Papua dengan sagu, Nusa Tenggara
Timur dengan jagung serta sorgum.
Selain Karawatung, kampung tradisional lain seperti Lewolo serta Lamagohang juga melakukan ritual serupa. Lewolo yang berada di atas ketinggian lereng gunung, amat memikat karena menebarkan pemandangan ke dua sisi laut yang berlekuk. Kampung-kampung tradisional ini tampak senyap namun memiliki roh, atma peradaban Solor. “Kampung tradisional terlahir oleh darah para leluhur, roh mereka tinggal tetap saat raganya melebur dalam debu,” kata-kata Petrus terpatri dalam ingatan saya.
Pemuda dari Lewotana Ole dengan hiasan kepala menutupi mata |
Seorang pria dari Balaweling |
LAZIMNYA daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur, perihal tari-tarian daerah Solor juga menganut langgam yang sama, yakni tarian yang dipentaskan secara massal bukan ditampilkan orang per orang, lebih mengutamakan ketangkasan kaki dan menuntut durabilitas. Variasi gerakannya tidak banyak tapi tidak akan membosankan, semua akan menari dengan semangat selama berjam-jam. Ini mengindikasikan kuatnya ikatan komunal dan solidnya kebersamaan dalam suku.
Saya beruntung menyaksikan sejumlah tariannya. Dari Ritaebang, desa pesisir barat Solor yang ditaburi pasir putih, orang-orang menari dengan kedua tangan dikaitkan di belakang badan. Tarian Perik Merik, namanya, hanya diiringi oleh pukulan satu gendang kecil mereka menari sekaligus menyanyi dengan pekikan-pekikan energik. Sedangkan di Nuhalolon, desa tetangga Ritaebang, tarian Belun Bele menampilkan gerakan rancak sekumpulan ibu-ibu berbalut kain tenun merah jambu-hitam dan mahkota bulu-bulu ayam. Tidak ketinggalan, tarian Beku dari desa Lewotana Ole, yang dihadirkan oleh para pria tangguh dengan hiasan kepala bagai elang berjambul merah panjang, bergandengan tangan membentuk lingkaran. Melihat para penari yang berapi-api sekaligus penuh peluh penghayatan, seolah menatap orang-orang berdoa dalam gerakan, antara silir sulur soneta.
Alat tradisional yang bila ditekan akan mengeluarkan bunyi yang bergaung |
Pegelaran tarian adat hingga larut malam |
Saya tidak menduga, sungguh, hal-hal menyangkut energi durabilitas manusia dalam menjalani hidup justru terpancar di daerah-daerah yang sepintas terkesan tak mampu menyokong penghidupan. Oh, saya lupa, mungkin bangsa Portugis menyadari ini, sebab Solor pernah dirancang untuk menjadi pengganti Melaka, rencana yang muncul setelah pusat kekuasaan mereka tersebut jatuh ke tangan Belanda. Mereka memberangkatkan orang-orang Melayu Melaka dalam kelompok-kelompok untuk kelak menghuni Solor. Namun apa hendak dikata, VOC mengendus niat tersebut.
Dalam artikel Avarice & Inquity at The Solor Fort, R.H Barnes menulis, "VOC kuatir akan rencana itu, lalu pada tanggal 1 Februari 1646 mengirim Mayor Willem van der Beek bersama 25 tentara dan 35 pelaut membombardir Loyahong dan pesisir Solor." Orang-orang Melayu Melaka terpaksa menyelamatkan diri, mencari tempat-tempat aman untuk berlindung. Mereka ke Tanjung Bunga, Adonara, Larantuka, Konga, dan wilayah barat Solor yang tenang. Rencana Portugis menjadikan Solor sebagai Melaka Kedua gagal, dan orang-orang Melayu itu melebur diri menjadi warga setempat, yang kini mewariskan kisah napak tilas mereka lewat cerita lisan hingga tradisi dan seni.
Bagai ilusi optik, Solor menutupi babad-babad dinamika sejarahnya dalam tanah yang nampak kering dan berbatu. Lewat penampilannya yang boyak banal, ia memalang komunikasi kita terhadap roh manusia-dari abad yang berbeda. Saya perlu terus belajar , menggali, dan bepergian, untuk mengumpulkan saripati tempat-tempat bersejarah dan manusianya.