Dalam Mantra
TANAH MARAPU
DIMANAKAH padang rumput savanna itu? Kemanakah larinya kuda-kuda Sandelwood tanpa tali kekang itu?
Bus bergerak mengitari bukit. Kiri kanan rimbun hijau dengan pohon-pohon besar. Mata saya tetap melongok keluar, menerobos kaca jendela bus yang di dekatnya duduk seorang ibu muda. Tak seperti saya yang gelisah, ibu itu tampak sabar menepuk lembut bokong bayinya biar lelap tidur. Ia dan hampir semua penumpang dewasa lainnya memiliki bibir yang bersimbah cairan merah pekaat, bukan luka berdarah, tapi dari hasil mengunyah siri pinang.
“Kok begini ya Sumba?” tiba-tiba saya menggumam sendiri. Ibu itu menatap saya. “Di Sumba ada hutan seperti ini? Saya pikir hanya padang rumput semata,” lanjutku, kutujukan tanya padanya.
Jawab ibu itu: “Tidak semua bagian Sumba berisi padang rumput. Disini, di Sumba bagian barat, alam lebih rimbun dan subur ketimbang Sumba Timur.” Pemandangan dan penjelasannya tentu saja melumerkan asumsiku akan Sumba selama ini.
HAMPIR tiga jam berkendaraan sejak mendarat di bandara Tambolaka, sampailah kami di Waikabubak, ibukota kabupaten Sumba Barat. Hari sudah sore, mendung di langit, dan dingin menyentuh kulit. Saya memilih melabuhkan diri di Hotel Aloha, lantaran dibilang berharga ekonomis dan letaknya strategis. Lagipula beberapa meter dari hotel itu, mata saya berhasil mencuri pandang ke sebuah bukit yang dihiasi rumah-rumah tradisional beratap alang. Saya langsung menyukainya.
Berada di Waikabubak, dimana-mana yang tampak adalah kubur batu megalith. Menemukan barisan onggokannya di hampir sepanjang jalan kota ini membuatku seolah digiring untuk bersua roh-roh lampau. Inikah yang bakal menjadi kisah jalan-jalan saya ke Sumba Barat? Ah, pertanyaan bodoh! Keunikan dan otentintas seperti inilah yang senantiasa saya cari. Bahkan tak sampai 24 jam saya menemukan bahwa globalisasi hanya beriak di kuku kaki Waikabubak. Modernisasi kota kecil ini berjarak cuma sekian jengkal saja dari aspal jalan, selebihnya tranquility sarat budaya memeluk erat nyaris seluruh wilayah yang terletak pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut tersebut. Bukit-bukit menyembulkan perkampungan tradisional. Diam, larut dalam hening dunianya sendiri sembari menonton hiruk pertokoan, pasar, kantor, yang tepat di bawahnya.
Para pria dengan ikat kepala serta sarung yang ujungnya dilipat melewati selangkangan berlalu lalang sejak subuh hingga petang. Dalam langkah yang tenang penuh bungkam. Pada umumnya mereka jarang berkelompok dan, entahlah, saya merasa mungkin isi benak mereka tak jauh beda dari isi benak suku-suku pedalaman lainnya. Barangkali pertanyaan tentang eksistensi? Intensifikasi religi? Atau eksaminasi masalah pokok biasa?
Beku. Jawabannya larut dalam matra Marapu, ‘agama’ asli Sumba.
“Kenapa pindah keyakinan jika Marapu toh punya ajaran yang bagus? Jika ditilik, dalam penghayatan dan pengamalannya Marapu tak jauh beda dengan agama modern lain,” keluh Linda, turis remaja asal Amerika yang saya temui di Hotel Aloha. Saya mendengarkannya sambil pura-pura berkonsentrasi pada buku bacaanku.
“Harus dilihat periode kapan dimulai dan alasan proses konversi itu. Dibandingkan pulau lain di NTT, mungkin Sumba paling lamban terpengaruh oleh penyebaran agama. Di akhir abad 20, dilaporkan pengurbanan nyawa manusia di Sumba dalam ritual agama Marapu adalah masalah biasa. Hingga saat ini pun, meski sudah tidak sebrutral dulu, jika ada peserta ritual yang terluka, berdarah, atau tewas, masih dianggap sebagai sebuah wujud penyerahan diri bagi Sang Pencipta,” bantah Jeniffer, teman seperjalanan Linda. Kedua gadis beda negara itu mengikuti program pertukaran budaya di Flores, dan selama sebulan ini mereka melakukan trip ke banyak tempat di sekitar NTT.
“ Itu bukan alasan bagus. Lihatlah, bagaimana orang Budha dan Hindu bersimpuh tak pedulikan luka dan darah ratusan kilometer menujuh Kailash. Atau orang Filipina merelakan tangan dan kakinya dipaku nyata dalam peringatan Jum’at Agung Kristus, dan para biarawan Katolik yang melakukan disiplin dengan menyakiti diri sendiri agar bisa mengalami penderitaan Yesus.”
“Pemeluk Marapu menyembah batu-batu…”
“Menurutmu agama-agama Monotheis atau Samawi tidak melakukannya juga? Bagaimana dengan Muslim yang mengelilingi Kabah? Katolik yang berdoa di depan patung Maria? Yahudi yang dalam tangisan menciumi Tembok Ratapan?”
“Terus?”
“Setiap cara tadi digunakan sebagai bentuk pengakuan akan adanya Yang Maha. Benda-benda digunakan sebagai sarana, perantara. Sikap dan perilaku pemujaan mengandung makna, simbolisasi. Bisa berdasarkan pengalaman spiritual yang kemudian terkultuskan. Sah-sah semuanya”
Hening sejenak.
“Well, saya, pada intinya, berharap agama Marapu tidak punah dari Sumba. Indonesia ini negara yang sesungguhnya punya peradaban hebat tapi orang-orangnya rapuh mempertahankannya. Jika jaman lampau leluhur Indonesia berekspansi menyebarkan agama aslinya, siapa tahu dunia kini mengenal agama seperti Kewajen, Marapu, dan lain sebagainya. Lima atau enam agama yang diakui resmi di Indonesia sekarang, semuanya agama impor, agama bangsa asing.”
Pembicaraan itu kemudian pelan hilang oleh desir hujan yang jatuh.
ATAS ALASAN perlindungan terhadap serangan antar suku yang lumrah terjadi di masa lalu, leluhur orang Sumba membangun perkampungan di atas bukit. Jadi, bila mau menemukannya, cukup perhatikan perbukitan. Namun begitu, harus bermata jeli juga karena rerimbunan pepohonan besar kerapkali menghalangi pandangan. Selain itu tak adanya marka petunjuk keberadaan mereka pun agak merepotkan, terutama bagi solo traveler seperti saya. (Kenapa tidak ada inisiatif dari Dinas Pariwisata setempat untuk memasang papan nama situs-situs kampung adatnya di pinggir jalan raya?)
Kampung adat pertama yang saya datangi bernama Tambela. Letaknya bertetanggaan dengan hotel saya menginap. Kalau berdiri di stadion olahraga pusat kota, depan gereja besar, kampung Tambela berada di sebelah kanan, di atas bukit yang lebih mirip kue mangkok. Pagi-pagi sekali saya kesana, penasaran bagaimana sih suasana pagi di sebuah kampung adat Sumba.
Dan seperti yang saya idamkan, pagi di Tambela adalah asap dapur yang menerobos atap alang-alang, anak-anak yang bersiap diri ke sekolah, dan perempuan dewasa yang menampih beras. Tak lupa, kawanan anjing peliharaan menggonggongi saya, seolah saya alien.
Rumah tradisional Sumba, kalau saja tanpa panggung, dari luar sama tampaknya dengan rumah Joglo. Atapnya tinggi. Falsafahnya, menurut ajaran Marapu, atap rumah yang tinggi bermaksud mendekatkan penghuninya dengan dunia langit, dimana berdiam Sang Pencipta. Alasan ini pula melengkapi dasar kenapa perkampungan adat dibangun di atas bukit, selain menghindari perang suku. Berjajar rumahnya, mengeliling kuburan batu megalith.
Baru beberapa menit melihat-lihat, Ira, seorang gadis penghuni salah satu rumah itu, menyapa dan mengundang saya ke rumahnya. Saya merasa tersanjung atas keramahan keluarga Ira. Komunikasi antara kami dan cerita hidup mereka pun mengalir begitu saja. Bahkan, saya diajak masuk ke dalam rumah. Di kampung adat Sumba Barat, dilarang memasukkan orang asing ke dalam rumah sebelum ada upacara terlebih dahulu. Tapi keluarga Ira memperbolehkan saya, “Kami bukan penganut Marapu,” kata Ira.
Saya bertanya tentang upacara Pasola, sebuah tradisi perang adat dimana dua kelompok pria berkuda saling kejar-kejaran melempari lawan dengan lembing. Dihelat bulan Februari dan Maret. Terkesan sadis. “Makna Pasola justruh demi mempererat relasi, menjalin perdamaian,” urai Mamanya Ira yang saya taksir berusia 40-an tahun. “Legenda Pasola juga bukan dilatari oleh pertikaian, sebalikya oleh romantika cinta manusia dan kebesaran jiwa.” Mama Ira lantas menuturkan ikhwal Pasola, tentang kisah kasih antara Umbu Dulla dan Rambu Kabba.
Baru saja ceritanya dimulai, Ira bersungut, tak setujuh jika Rambu Kabba dibilang perempuan sangat cantik. “Bagaimana bisa cantik? Dulu seorang gadis Sumba harus dicukur separuh rambutnya. Bayangkan, separuh botak separuhnya lagi panjang terurai..” Gelak tawa kami pun membahana. Saya melirik ke kepala Ira, dan ia cepat mendelikan matanya, “Idih, amit-amit!! muka saya sudah pas-pasan, kalau separuh kepala saya diplontosi rambutnya……”
Kakak serta adik lelaki Ira kemudian meninggalkan senda gurau kami. Pagi ini sebagian atap rumah harus diganti. Musim penghujan sudah diambang. “Anak-anak maunya dibongkar semua alang-alang, ganti pakai seng karena harga seng lebih murah dibanding harga alang-alang,” Mama Ira berkisah. “Tapi almarhum suami saya, sebelum meninggal, berpesan agar rumah ini dijaga baik-baik, dipertahankan sesuai aslinya.”
Ira, yang bekerja sebagai guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), memiliki lima saudara. “Dilematis. Satu sisi kami ingin menunaikan petuah ayah, tapi disisi lain kami musti berjuang untuk hidup. Atap alang-alang susah didapatkan di sekitar sini, harganya mahal. Saudara laki-laki saya hanya mengolah sawah kecil peninggalan ayah. Pemerintah mengatakan agar rumah-rumah tradisional seperti ini jangan diubah, anehnya tak ada dukungan sama sekali untuk perbaikannya. Kalau kayu-kayu lapuk, mau menebang dimana? Sudah ada larangan menebang pohon. Selama ini dibilang, pembangunan rumah tradisional salah satu penyebab menyusutnya isi hutan, padahal kita tahu penebangan kebanyakan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Penduduk hanya mengambil pohon yang dibutuhkan seperluhnya saja” Ira berkata lirih sembari melap debu yang melekat di kaca pelindung foto mendiang ayahnya. Seperti berkata pada foto itu, bukan kepada saya. Diletakkannya kembali foto ayahnya di pojok dekat pintu rumah. Kami kemudian ke dapur.
Di ruangan inilah saya mengetahui lebih detail tentang rumah tradisional Sumba. Ira menjelaskan, “orang disini menyebut rumah Tiga alam karena terbagi atas tiga tingkatan. Bagian atas atau menara, Toko Uma, diperuntukan bagi para roh baik. Bagian ini sekaligus berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil panen dan harta. Hunian manusia ada di level dua, dimana sekarang kita berada, namanya Bei Uma. Level dasar yakni kolong rumah, Kali Kabunga, menjadi hunian roh-roh jahat dan binatang ternak seperti babi atau ayam.”
Yang membuat saya tertarik adalah empat tiang utama yang berperan sebagai penopang berat rumah. Sangat besar, dari kayu khusus, dilingkari cincin batu pipih seperti cakram. Cincin batu tersebut (bisa juga dari kayu) merupakan lambang kesuburan. Empat tiang dimanifestasikan empat arah mata angin. Uniknya lagi, tungku api berada di tengah, inilah simbol matahari sumber pemberi kehidupan.
Ketika kami keluar menujuh bale-bale, Ira menambah penjelasan bahwa umumnya rumah tradisional mempunyai dua pintu, satu untuk pria (kanan), lainnya untuk perempuan (kiri). Bagian dalam rumah juga ikut dibagi secara emblematis maupun fungsional, bagian pria lebih formal dan religius daripada bagian perempuan. Namun pemanfaatan pembagian interior itu tidak berlaku lagi di rumah Ira serta penghuni-penghuni rumah tradisional yang beragama Kristen Protestan. “Siapa pun boleh keluar masuk di kedua pintu,” pungkas Ira.
SETELAH TAMBELA, saya kemudian mengunjungi kampung tradisional lainnya, seperti; Waitabar, Tarung, Dassa Elu, Praiijing, dan Paleti Lolu. Letaknya masih di kota Waikabubak, dan ukuran kampungnya lebih besar dari Tambela. Saya terpana dengan koleksi tanduk kerbau yang memenuhi dinding depan rumah-rumah. Ini juga menambah prestisius. Lucunya, pemilik rumah yang hanya punya satu-dua tanduk kerbau, menutupi kekosongan dinding rumah mereka dengan puluhan poster selebriti, dari Agnes Monica hingga Uut Permatasari, dari Avril Lavigne hingga U2.
Pengetahuan tentang sistem kampung tradisional dan agama Marapu pun bertambah seiring antusiasme saya mengunjungi tempat-tempat bernuansa megalithikum itu. Di Waitabar, saya mengenal perbedaan serta jenis-jenis batu kubur. Pak Umbu, penghuni kampung Waitabar, mengatakan, strata sosial pemilik kubur dapat diketahui dari ada tidaknya penopang pada kubur serta rumit tidaknya ukiran. Lebih daripada itu, sebuah fakta yang menghenyakkan yakni batu-batu berat untuk kuburan itu ditarik oleh tenaga manusia menujuh bukit.
Upacaranya dikenal dengan Tarik Batu atau Pinggi Watu. Di Praiijing, saya bersua dengan seorang Rato tua. Rato berperan sebagai mediator, pemimpin ritual, perapal matra dan doa. Ya, tak jauh dengan seorang Pemangku di Bali, ‘jabatan’ ini bersifat turunan. Bedanya agama Marapu tidak mengenal sistem kasta, semua Rato sama posisinya, tak ada Rato kasta tinggi atau rendah. Rato Marapu jumlahnya banyak sebab setiap mereka punya peran sendiri-sendiri. “Dalam satu ritual, contoh saja Pasola, sekitar 8 sampai 9 Rato terlibat di dalamnya. Masing-masing punya tugas sendiri. Disini setiap bulan selalu ada ritual,” kata sang Rato.
Satu kampung tradisional lagi yang saya datangi adalah Bondo Moroto di desa Kalumbu Kuni. Ini sebuah ‘penemuan’ sebenarnya karena niat saya ke Kalumbu Kuni adalah menyaksikan acara kematian. Ketika tiba, acaranya belum digelar, maka saya pun memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar mengikuti gang kecil menujuh bukit. Dan sampailah saya ke sebuah komplek perumahan tradisional yang bagi saya amat sangat otentik. Ini komplek tradisional paling imut yang saya datangi tapi baru di tempat ini saya merasakan aura-aura magis. Saya tidak tahu nama tempat ini tapi dibilang bagian dari Bondo Moroto. Saya menamakannya Bondo Moroto Bawah, karena yang dimaksud Bondo Moroto yang sesungguhnya berada seratus meter di atasnya. Saking asyiknya menyusuri dua komplek tradisional ini, acara kematian yang ingin saya tonton itu pun terlewatkan. Saya tidak menyesal karena katanya itu hanya acara kumpul keluarga duka, bukan acara penguburan.
Di Bondo Moroto, untuk pertama kalinya saya melihat pria menenun sarung. Dan anak-anak kecilnya banyak sekali. Lucu-lucu, sampai kewalahan melayani permintaan foto-foto. Saya bertemu seorang pemuda seusiaku yang pernah kuliah di Bandung, sekembalinya menuntut ilmu ia mendiami rumah warisan keluarga dan menjadi PNS. Katanya, bulan November akan digelar upacara Wulla Poddu. “ Wulla Poddu adalah bulan pantangan. Penduduk dilarang melakukan pesta, membangun rumah, membunyikan gong serta musik. Selama bulan pantangan ini, berlangsung perburuan babi hutan, sunatan anak remaja, dan ritual-ritual keramat.” Kelihatannya amat menarik, tapi sayang, saya tidak bisa memperpanjang jalan-jalan saya ke Sumba sampai acaranya digelar.
CUKUP PUAS dengan kampung tradisional dan koleksi kubur batu bejibunnya, saya melirik wisata alam sekitar Waikabubak. Dari informasi, saya tergoda untuk mendatangi sebuah danau, Moranni Lake di desa Praibakul, air terjun Lai Popu di desa Katikuloku, dan Pantai Nihiwatu yang terkenal sebagai surga para peselancar. Niat sudah bulat, naasnya cuaca tak bekerja sama. Dari ketiga obyek yang saya rencanakan, hanya satu yang berhasil saya nikmati yakni air terjun Lai Popu.
Menikmati Lai Popu ternyata tak gampang. Mulai dari perburuan kendaraan, trekking nan lama, hingga kecelakaan lalu lintas yang membuat kaki saya luka.
Jarak ternyata lebih jauh dari yang digambarkan orang. Satu jam lebih setibanya di Katikuloku, pas di ujung jalan beraspal, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Untuk melakukannya saya dan teman saya, Cabralles, ditemani Yohanes Lapoda, remaja 13 tahun yang duduk di kelas dua SMP. Lapoda sangat cekatan. Sambil berjalan, untuk memecah sunyi, saya bercakap-cakap dengannya. Ia amat pemalu namun dengan berbinar-binar mengatakan bahwa ia menyukai pelajaran ilmu pasti seperti Matematika dan Fisika. Bagi Lapoda, bolak-balik berjalan kaki 20-an km setiap hari menuntut ilmu adalah hal biasa. Itu membuat saya terharu.
Kami menyusuri sungai Watungonu (yang warna turquoisenya mengingatkan saya pada sungai-sungai di pegunungan selatan Perancis), melewati beberapa jembatan bambu, menyeruak hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Hingga akhirnya bertatapan muka dengan tumpahan air terjun yang luar biasa indahnya, wuihhhh…..segeer dan legahnya!!!!!
Hari sudah petang saat kami kembali ke Waikabubak. Apes, lampu sepeda motor sewaanku tak berfungsi. Alamak, kami beringsut laiknya baru belajar mengemudi, naik-turun bukit nan sepih. Sehati-hatinya melaju, hasilnya toh terkapar juga di aspal karena sepeda motor tiba-tiba terjerembab masuk ke liang besar. Atas saran seorang bapak yang baik hati, saya memutar balik sepeda motor, mencari warung guna membeli senter. Baru mulai menderuh, gerimis turun. Sungguh sengasara. Diam-diam, dalam hati saya bergidik. Terngiang pesan Ira, gadis dari kampung Tambela,
“Hati-hati ke danau Lai Popu. Itu tempat keramat yang berada dalam mantra Marapu. Biasanya ada saja kesialan bila kesana….”
*****
Next episode: Bagian 2 dari Jalan-Jalan ke Sumba. Bagaimana ekspetasiku akan sabana dan kuda-kuda terpenuhi di Waingapu…
MAU KE WAIKABUBAK?
Facts: Waikabubak adalah ibukota Kabupaten Sumba Barat. Pulau Sumba kini terbagi menjadi 4 Kabupaten (yang sebelumnya hanya 2). Untuk menelfon, kode awal 0387. Waktu menurut WITA. Luas wilayah kabupaten 737,59km2. Menurut data sensus terbaru, jumlah penduduk mencapai 112.015 jiwa. How To Go: Penerbangan domestik dilayani oleh WingsAir dan Transnusa. Bisa tujuan Tambolaka (Sumba Barat Daya, 115 km) atau Mauhau (Sumba Timur-137 km). Dengan kapal laut, PELNI (www.pelni.co.id) tujuan Waikelo atau Waingapu. Catatan khusus: Jangan lupa, sediakan pecahan uang Rp.5000-10.000 setiap kali mendatangi kampung adat sebagai uang donasi. Setiap pengunjung diminta untuk mengisi buku tamu. When To Go: Bulan Februari-Maret, perhelatan Pasola. Dilaksanakan di Kodi, Lamboya, dan Wanokaka. Ini adalah ritual yang paling banyak memancing wisatawan. Bulan November, ritual Wulla Poddu. Where To Sleep: Pusat Kota: Hotel Manandang- Jl. Pemuda No.14 (0387-21197), Hotel Artha-Jl. Veteran (0387-21112), Hotel Aloha-Jl.Sudirman (0387-21245), Hotel Ronita-Jl. Basuki Rahmat (0387-21460). Luar Kota: Monalisa Cottages-Jl.Adhiyaksa, 2 km dari pusat kota (0387-21364), Nihiwatu Resort-Desa Rua/ Wanokaka (www.nihiwatu.com), Sumba Nautil Resort-Patiala Bawah/Lamboya (www. http://www.sumbanautilresort.com ( 0387-21806). Where To Eat: Restoran dan rumah makan terdapat di pusat pertokoan. Tak banyak pilihan selain warung Jawa-Padang-Sate. Tak ada restoran masakan lokal. More Info: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kab. Sumba Barat-Jl.Teratai No.1 (0387-21880). Agak jauh dari pusat kota tapi saya memperoleh dua buah buku dari kantor ini, langsung diberikan oleh Ibu Anissa Umar Bumualim, penulis buku tentang Sumba Barat. Contact Person: Ira, kenalan saya dari desa Tambela, bersedia memberi tumpangan di rumah keluarganya bagi Anda yang berminat merasakan kehidupan yang rustic. Mobile: +62 85 33949361. Cara paling bebas utk berkeliling adalah menyewa sepeda motor, tanyalah ke hotel, atau seperti yang saya lakukan, sewalah pada pegawai DLLAJR di Terminal kota. Harga 75.000-100.000/hari. Ingat, cek keadaan sepeda motor sebelum memakainya.
Map:
KLIK KE SALAH SATU FOTO UTK LIHAT DLM GALLERY UKURAN BESAR. THANKS.
Diposting @Ocktober 2011