Harta Karun
Bumi Alor
Teronggok di
ujung tenggara Nusantara, ia seakan terlupakan. Namun siapa sangkah, dalam
kebersahajaannya ia ternyata menyimpan selaksa pesona terpendam. Bukit berderet
melintang indah, kampung tradisional dengan budaya yang purba, peninggalan
sejarah tak ternilai, dan bawah laut memukau adalah seberkas harta Bumi Kenari.
Mari berkemas, sebab Alor telah memanggil.
Tugu pahlawan dan nameplate kota Kalabahi |
Gerak kaki rancak
menghentak bumi. Tangan-tangan ulet berpelukan membentuk lingkaran. Para pria
menantang sangar, para wanita menatap tegas dengan rambut lepas tergerai. Tari
Lego-Lego pun dipertontonkan. Itulah despiksi awal tentang Alor yang saya saksikan
lewat layar kaca televisi. Lucunya, program dokumenter itu ditayangan di negara
asing, bukan di Tanah Air. Sebegitu jauhkah Alor untuk digapai oleh warga bangsanya
sendiri sehingga kemolekannya tidak jua kondang?
Pertanyaan itu tersimpan di
otakku dan saya tahu suatu saat tentu menuntut realisasi. Negeri sebesar
Indonesia ini sayang untuk dilewati jengkal demi jengkalnya. Maka ketika
mendapatkan kesempatan, saya pun memutuskan untuk ke Alor, ingin menatapnya
langsung, merasakan denyutnya.
Dari Denpasar, saya
menumpang pesawat Merpati tujuan Kupang. Kemudian lanjut ke Kalabahi, ibukota
Alor. Saya memang sengaja memilih Merpati karena maskapai ini satu-satunya yang
melayani rute tembusan Denpasar sampai Kalabahi sehingga tidak repot, cukup
mencari jadwal hari yang tepat. Oya, Merpati juga terbang dari Jakarta. Jadi
Anda yang datang dari ibukota, bisa langsung mencapai Alor dalam sehari
penerbangan tanpa harus pindah-pindah maskapai. Namun seandainya tidak bisa
memperoleh tiket Merpati, dari Kupang wisatawan dapat menggunakan Trans Nusa.
Maskapai ini terbang 6 kali seminggu, sedangkan Merpati cuma 3 kali. Rata-rata
penerbangan dari Kupang ke Kalabahi dilaksanakan siang hari dengan durasi waktu
satu jam. Saya memanfaatkannya untuk tidur karena bangun pagi-pagi di Denpasar
dan selama dalam pesawat dari sana ke Kupang, saya terus ngobrol dengan seorang
turis asing.
Begitu mendengar pengumuman
dari pengeras suara bahwa beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di bandara Mali,
saya terjaga dan spontan terbelalak melihat pemandangan elok dari udara.
Pulau-pulau kecil berceceran membentuk gunungan. Bayangan tentang Alor yang
saya kira tandus mendapat pukulan telak. Ternyata ia dijejali hutan yang rimbun
menghijau!
Nelayan muda di laut Alor |
Anak perempuan dari suku Abui yang mencuri perhatian saya |
Secara geografis, Alor
merupakan salah satu kabupaten di propinsi Nusa Tenggara Timur. Terdiri atas 2
pulau besar yakni Alor dan Pantar serta 12 pulau kecil. Tidak semua pulau
dihuni manusia. Dari kumpulan pulau-pulau ini menjadikan luas wilayah Alor
mencapai 2.864,60 Km2
. Mali adalah bandaranya Alor, berukuran sangat kecil dan
sederhana. Letaknya di bibir laut dengan pemandangan Saya langsung menumpang
taksi seharga Rp. 25.000 per orang menujuh pusat kota. Seperti pengalaman bepergian
ke sejumlah kota kecil lainya di Indonesia, yang dimaksud taksi disini yaitu
mobil sedan seperti avanza atau innova. Penumpangnya bisa perorangan, bisa juga
keroyokan. Sopir taksi saya, Om Patris Sasi (kontak +6285238405311) berstatus
sebagai sopir resmi taksi bandara dan dia tahu semua hotel di Kalabahi yang
saya sebutkan. Dengan baik hati, ia bersedia mengantarkan ke hotel-hotel tersebut
untuk saya pilih mana yang cocok. Oh, hati
saya pun lega.
Kurang lebih 30 menit
berkendaraan, sampailah kami ke jantung Kalabahi. Suasana kota ini mirip sekali
dengan kota Ende di Flores. Sama-sama menghadap selatan, dibayangi perbukitan
sebelah utara. Setelah singgah ke beberapa hotel, akhirnya terpililah Hotel
Melati (kontak +6238621073) sebagai penginapan saya. Alasannya, selain tampak
bersih, penginapan ini berdampingan dengan pelabuhan dan taman kota. Harga inap
hotel di Kalabahi rata-rata mulai Rp.100.000 dan kondisi semuanya masih
standar.
Untuk mengeksplorasi Alor
saya berencana menggunakan sepeda motor. Beruntung, karyawan hotel mau
meminjamkan sepeda motornya dengan kesepakatan harga Rp.60.000 per hari. Dari
dia pula saya mendapat bocoran tempat makan malam yang enak, yaitu di Pantai
Reklamasi. Andalan disana adalah ikan bakar. Saya penggila seafood, mana bisa berpikir dua kali? Maka seusai berkeliling kota
sejenak, saya langsung merayakan malam pertama di Alor dengan menikmati ikan
kakap merah segar.
MOKO, SI PENAKAR HARGA DIRI
Saya punya satu kebiasaan
setiap kali berpelesir ke tempat baru, yakni mendatangi kantor Dinas
Pariwisata. Bisa dibilang itulah satu-satunya instansi pemerintah kesukaan
saya. Walau sudah melengkapi diri dengan sejumlah catatan yang saya kumpulkan
dari internet, tapi datang ke kantor Dinas Pariwisata saya memperoleh informasi
up to date dan detail. Pernah sewaktu
ke Sumba Barat, saya dikasih sejumlah buku tentang sejarah dan budaya Sumba
yang bagus sekali. Begitupun saat ke Belitung, brosurnya super lengkap juga
peta eksklusif. Nah, di Alor ini saya ditunjukkan letak masing-masing destinasi
karena pulau ini belum dilengkapi dengan papan petunjuk obyek wisata. Kebayang
kan galaunya seorang solo traveler di daerah minim fasilitas
pendukung dan penduduknya belum sadar wisata?
Panorama Kalabahi dari bukit sebelah utara, beberapa ratus meter sebelah atas Kantor Pariwisata |
Setelah mendapatkan peta
dari kantor, saya pun melajuhkan sepeda motor ke bukit sebelahnya. Dari
ketinggian inilah terpapar indahnya teluk Kalabahi. Pagi masih menyisahkan
kabut di antara sela-sela lereng perbukitan sebelah selatan teluk. Jika diamati
dari ketinggian, persis seperti berada di tepi Danau Toba sebab teluk Kalabahi
ini melintang panjang dan tersisi air laut tanpa ombak.
Saya turun lagi ke kota dan
melanjutkan eksplorasi. Tujuan saya yakni ke Museum 1000 Moko. Ini merupakan
satu-satunya museum di Alor, mengkoleksi benda-benda pra historical, dan sangat
terkenal di kalangan arkeolog juga pencinta sejarah. Barang-barang yang dimiliki
di museum yang berlokasi di Jalan Diponegoro ini awalnya adalah koleksi pribadi
seorang kolektor seni lokal bernama Toby Retika. Ketika ia memutuskan untuk
pindah ke lain daerah, benda-benda simpanannya dihibahkan kepada pemerintah
Alor, termasuk koleksi Moko berjumlah puluhan buah. Dari sanalah asal
didirikannya museum.
Benda purbakala Kapal Dongson di Museum 1000 Moko Kalabahi |
Deretan Moko berumur ratusan tahun |
Alor tak bisa dipisahkan
dari Moko. Ibarat petunjuk identitas, ia memainkan peranan penting dalam
pembabakan sejarah serta alur mata rantai budaya masyarakat di wilayah
kepulauan berjuluk Negeri Seribu Moko tersebut. Tapi apa sebenarnya Moko?
Menurut penelitian, benda perunggu berbentuk mirip lesung atau cawan raksasa
ini adalah produk budaya Dongson dari Vietnam Utara. Lebih umum dikenal dengan
sebutan Nekara, Moko diperkirakan tiba di Alor melalui jalur pelayaran kuno
ribuan tahun silam.
Moko ibarat harta. Masyarakat
Alor menggunakan Moko sebagai mas kawin karena dipercaya dapat mengikat
pasangan dan keluarga kedua pihak. Ibarat kata, ia menjadi penakar harga diri
seseorang. Selain itu, ia juga digunakan sebagai gendang untuk mengiringi
tarian adat. Konon, pada masa penjajahan Belanda, Moko sempat diberantas karena
peredarannya menimbulkan inflasi. Kini keberadaannya mulai langkah, belum lagi
diuber-uber kolektor asing. Saya sempat merunut pasar antik dunia maya dan
menemukan bahwa Moko telah dikonversi menjadi pajangan kelas eksklusif di
Eropa, Amerika, dan Australia. Di situs www.easternserenity.com
harga Moko dilabel 10 hingga 40 juta berdasarkan ukuran serta ornamennya.
Selain Moko, museum 1000
Moko menyajikan banyak benda purbakala lain. Sebut saja relik kapal Vietnam,
samurai Jepang, pakaian perang dari kulit kerbau, tambur gendang, kotak
penyimpan harta, kain tenun, dan banyak lagi lainnya.
ADA ‘THE FLINGSTONE’ DI KOPIDIL
Hari ketiga di Kalabahi,
saya mulai akrab dengan seluk-beluk kota. Pagi-pagi saya mengunjungi pasar yang
terletak di sebelah Taman Kota dan di pinggir Jalan Diponegoro. Sudah bukan
rahasia lagi jika pasar tradisional adalah tempat terbaik untuk mengenal
karakter penduduk lokal serta hasil bumi setempat. Sudah lama Alor terkenal
dengan kacang Kenari, sampai-sampai dijuluki ‘Bumi Kenari.’ Di kedua pasar ini
saya menemukan gundukan Kenari yang dijual dalam jumlah banyak. Selain itu ada
pula ‘Jagung Titi’, yakni jagung yang dipipihkan tipis seperti Corn flakes. Gurih jika dicampur sedikit
kacang tanah.
Buah Kenari masih dengan kulitnya yang sudah tua |
Selanjutnya saya beralih
keluar dari kota menujuh desa Kopidil. Desa ini terletak di punggung bukit.,
sekitar 10km mendaki. Tidak lupa, saya membawa bekal makanan sebelum berangkat.
Kondisi jalan beraspal baik. Sesampainya di sana, saya menemui Pak Telo. Beliau
adalah pemimpin sanggar seni Kopidil yang terbilang unik. Pak Telo telah
bertahun-tahun menggagas pelestarian budaya dengan mengembalikan eksistensi
pakaian asli Alor jaman purba dari kulit kayu. Bayangkan, di tengah kegilaan
orang pada hal-hal modern sekarang, ada orang yang berniat kembali ke Jaman
Neolithikum.
Pakaian serba kulit kayu gaya The Flingstones di Kopidil |
Pulang dari Kopidil, saya
sengaja melajuhkan sepeda dengan lamban, berharap mendapatkan panorama sunset
Kalabahi dari ketinggian. Syukurlah alam lagi bersahabat, di satu tikungan
kecil setelah keluar dari rimbunan pepohonan, mata saya menangkap bentangan
landskap menawan, lengkap dengan warna langit yang memerah lembayung. Saya
berhenti di sebuah huma reot, duduk santai memandangi pesona senja. Termos
kecil seukuran gelas yang selalu saya bawa kemana-mana saya ceduki dengan kopi
instant. Hhmm…nikmatnya ujung hari terasa mencapai kesempurnaan.
Duduk di pondok menikmati view Tanjung Kalabahi |
Tanjung Kalabahi sekitar jam 6.20 petang |
TAKPALA, KAMPUNG ADAT BERSAHAJA
“Ke atas terus, Kak..,”
seru anak kecil muncul dari balik pagar rumah, belakang papan putih bertulis Welcome to Takpala. Saya tersenyum lalu
merogoh beberapa butir permen dari kantung ransel. Ia menerimanya dengan
sukacita. Hari ini saya ingin ke Takpala, sebuah kampung tradisional penduduk
asli Alor, Suku Abui. Untuk menggapainya, saya bersepeda ke arah bandara Mali
kemudian berbelok ke kanan. Selang enam kilomenter sepanjang garis pantai, saya
bersua papan putih tadi. Sekarang saya harus mendaki dengan konsentrasi penuh
sebab pemandangan ke arah lautan cukup menggoda, padahal jalanannya berkerikil
dan tebing di sisinya tanpa pembatas.
Tiba di tempat parkir, saya
menarik napas lega. Kini saya tak usah was-was, tempat ini pun menawarkan
panorama bebas ke laut. Angin sepoi berembus, menerbangkan wangi ikan panggang
dari kampung Takpala. Sebuah lorong berbatu diteduhi deretan pohon Angsana
menjadi pengantar selanjutnya ke lokasi pemukiman tradisional tersebut.
Kedatangan saya disambut dengan sapaan ramah sekelompok pria yang sedang
memperbaiki bangku bambu. Oh, kampung ini sangat otentik dan bersahaja.
Ibu dan anak dari Takpala yang saling bercanda |
Lantai pertama rumah tradisional Takpala untuk memasak dan menerima tamu |
Pak Martinus, petugas penerima tamu, mempersilahkan saya melihat-lihat konstruksi tempat tinggal mereka. Semua rumah di Takpala berpanggung rendah, satu sama lain berdiri berdampingan. Bahan utamanya dari bambu dan alang-alang kering terpakai untuk atap dibentuk bak piramida. Saya menyukai model rumahnya yang imut, lantai pertama dimanfaatkan sebagai dapur dan tempat berkumpul, lalu lantai kedua untuk tidur.
Kampung Takpala sudah
menjadi kampung wisata umum. Tidak heran, penduduknya mengembangkan seni
kerajinan tangan untuk diperdagangan. Ada kain tenun, kalung manic-manik,
gelang kaki dari perak, perlengkapan makan dari kelapa dan kayu. Mereka juga
menyewakan pakaian tradisional bagi pengunjung yang ingin berfoto. Saya lebih
tertarik untuk memotret mereka dalam balutan busana itu. Lebih natural, lebih
etnik, lebih matching. Ketika hendak
pamit, seorang ibu memberikan sebatok jagung muda rebus tanpa mau dibayar.
“Ambil saja, Nak. Buat makan di jalan,” ujarnya.
Gereja putih di Pulau Pura |
Dua nenek bercerita sambil menganyam bakul |
MENYENTUH ALQURAN TERTUA SE-ASIA
Jauh sebelum agama Kristen Protestan
masuk dan dianut mayoritas masyarakatnya, Islam ternyata merupakan agama Samawi
pertama yang menyentuh Bumi Kenari. Hubungan perdagangan laut antara
kerajaan-kerajaan Islam di selatan Sulawesi dan Maluku dengan kerajaan-kerajaan
lokal yang terjalin pada awal abad Pertengahan menjadi awal kontak Alor dengan
Islam. Puncaknya saat Kesultanan Ternate di Maluku mencapai kejayaan dibawah
kepemimpinan Babullah pada abad ke-16.
Saya sangat tertarik
mengulik riwayat Islam disini karena terdapat sebuah peninggalan sejarah yang
tidak didapatkan di tempat lain di Indonesia yang notabene lebih bergaung kehidupan iman Islamnya dibanding Alor nun
jauh di NTT. Peninggalan sejarah itu adalah sebuah Alquran tua terbuat dari
kulit kayu berusia melampaui delapan abad di desa Alor Besar. Kendati
non-muslim, sebagai pejalan, saya telah terbiasa bergaul dengan masyarakat dari
segala macam perbedaan latar belakang. Hikmah dari perjalanan telah banyak
mengajarkan tentang toleransi, penerimaan akan perbedaan, keluar dari kerdilnya
pemikiran, dan fanatisme sempit.
Alkisah, syiar Islam di Alor dilakukan
oleh Iang Gogo, pelaut ulama Ternate. Bersama lima saudaranya, Iang Gogo meluaskan ajaran Islam
di Alor juga pulau-pulau sekitarnya berbekal pisau khitan dan Alquran. Uniknya,
Alquran yang dibawa keenam bersaudara ini telah uzur dan terbuat dari kulit
kayu. Ketika sepakat untuk berpencar, Iang Gogo memilih menetap di kampung Alor
Besar, di barat laut Alor, sedangkan lima saudaranya berlayar dan menetap
masing-masing di satu pulau. Keturunan Iang Gogo di Alor Besar hingga kini
telah mencapai generasi ke-15.
Alquran
kulit kayu yang dibawa Iang Gogo masih awet terjaga higga kini.
Lembaran-lembarannya masih bisa dibuka, dan ayat-ayat yang ditulis dengan tinta
hitam merahnya juga masih dapat terbaca jelas. Setelah ratusan tahun tersimpan,
Alquran yang beberapa kali selamat dari musibah kebakaran ini, sempat diboyong
keluar dari Alor ke Ternate untuk dipajang saat perhelatan Festival Legu Gam
Kesultanan Ternate bulan Maret 2011.
Menurut
para sejarawan, Alquran kulit kayu tersebut telah melampaui usia 800 tahun dan
diakui tak hanya sebagai Alquran tertua di Indonesia namun juga se-Asia. Saya
yakin, jika saya yang bukan penganut Islam saja bisa takjub, tidakkah mereka
yang Muslim tergerak hati untuk melihatnya juga?
Mesjid cantik di Alor Besar |
Alquran tua dari kulit kayu |
TAMAN KUNANG-KUNANG BERNAMA PULAU KEPA
Kala membuka mata,
sepenuhnya saya sadar tengah berada di Pulau Kepa. Saya terjaga jam 5 subuh
seiring kumandang syahdu adzan dari surau-surau pesisir barat Alor. Selimut
kembali saya rapatkan ke tubuh sebab hawa sedikit dingin. Sepanjang malam saya
lelap berayun di atas hammock.
Pulau Kepa hanya
terpisahkan oleh selat tak lebih dari 200 meter lebarnya dari Pulau Alor. Dekat
sekali memang, hanya saja beningnya air dengan gradasi pirus beserta hilir
mudik ikannya sekedar jadi penggoda mata sebab deras arus laut memaksa siapapun
untuk hati-hati saat menyeberang. Gaya berlayar kesana pun meniru gaya landing pesawat: bergerak melengkung,
tak bisa ‘tembak’ lurus ke dermaga. Saya mengemudi selama 40 menit dari
Kalabahi ke Alor Kecil untuk menyeberang kesana. Sepeda motor saya titipkan ke
salah satu rumah yang terletak di dekat dermaga, kemudian menumpang sampan
kecil berlayar menujuh Pulau Kepa.
Penginapan saya, Le Petite
Kepa (kontak +6281339102403), adalah satu-satunya akomodasi di pulau mungil
selebar tak lebih dari 500 meter ini. Diempunyai satu keluarga penyelam asal
Perancis yang sungguh ramah. Penginapannya berupa jejeran bungalow bergaya
lokal, bangunan panggung seperti rumah-rumah adat di Takpala. Sebenarnya
tersedia pembaringan berkelambu di lantai dua. Tapi saya memutuskan untuk tidur
di bawah saja, panggung terbuka. Alasannya bukan tak mau naik turun tangga
tengah malam jika kebelet ke toilet, bukan pula karena tergila-gila pada hammock baruku yang berukuran jumbo.
Sebuah keajaiban vista malamlah yang menawanku hingga tertidur disana.
Le Petite Kepa dinaungi
semampai pohon-pohon bidara. Yang rimbun seberingin. Seusai hujan menyusul
perginya matahari kemarin, Kunang-Kunang pun bermunculan. Kedap kedip cahaya
mereka mengitari pohon-pohon itu, mendadak membawa nuansa negeri dongeng yang
ajaib. Jumlahnya tak terhitung. Sekawanan Kunang-Kunang terbang mendekati
ayunan. Tanpa kusentuh, dua diantaranya hinggap tepat pada lembaran majalah di
atas dadaku. Nah, bagaimana bisa mangkir dari sana? Jadi kuputuskan tidur dan
‘menonton’ mereka sepanjang malam.
Kapal kayu di selat sempit ke Pulau Kepa |
Teras samping restoran di La Petite Kepa Bungalow |
Ternyata bukan saya saja yang kena sihir. Cerita soal Kunang-Kunang menjadi tema sarapan pagi segenap tetamu. “Saya terkenang kisah Pohon Juniper” begitu kesan Rosie McFarland pejalan asal Nottingham, Inggris. Sedangkan pasangan muda Guy dan Anne Legrand dari Belgia yang baru seminggu menikah, memamerkan rona sukacita mereka. ”Ini menjadi momen bulan madu yang memikat,” kata mereka. Masing-masing punya alasan kenapa memilih Alor sebagai tempat berlibur. Satu yang acapkali saya dengar adalah “datang ke Alor, ibarat mendarat di tanah impian kapten Jack Sparow. Tempat ini masih murni, jauh dari jangkauan, tapi memiliki segudang harta karun terpendam.”
Tamu pulau ini umumnya
penyelam. Kesamaan minat menciptakan atmosfer menyerupai reuni keluarga. Apalagi
penginapan menerapkan sistem makan bersama, tiga kali sehari semua tamu
berkumpul di restoran, duduk mengelilingi meja kemudian saling berbagi hidangan
dan cerita. Sungguh menyenangkan, suasana tidak kaku karena keadaan memotivasi
siapapun untuk berkomunikasi satu sama lain. Luangnya waktu saya manfaatkan
dengan menyusuri pantai berpasir putih halus di sisi barat pulau. Seraya memboyong
hammock, saya tidur berayun di antara
pepohonan rindang seharian. Menit-menit sunsetnya menakjubkan. Begitu pasang
surut, nelayan datang berduyung berburu kerang dengan senter juga obor. Sepertinya tak mau kalah dengan Kunang-Kunang,
bersaing mencoba menerangi pulau.
Kepiting merah di pantai Kepa |
Pemuda memancing ikan di bebatuan karang putih |
SURGA BAWAH LAUT SESUNGGUHNYA
Dari Pulau Kepa saya
menjajal wisata bawah laut Alor yang menjadi ‘hidden paradise’ bagi kalangan
penyelam. Untuk telingah lokal, pamor Alor sebagai tempat menyelam tidak
setenar beberapa tempat lain di Indonesia. Padahal, oleh banyak media asing,
pesona taman laut Alor malah disebut yang terbaik se-Nusantara. Majalah ‘Tauchen,’
yang spesial membahas soal penyelaman menempatkan nama Alor di posisi pertama sebagai
lokasi alami dasar laut paling fotogenik di Asia untuk underwater photography.
Cedric, pemilik bungalow,
memimpin trip penyelaman. Terdapat dive shop untuk menyewa perlengkapan
menyelam di tempatnya. Bagi yang hanya sekedar ikut untuk bersnorkeling, cukup
menyewa satu set alat dan biaya join trip
seharga total Rp. 100.000 saja. Seperti yang telah berlaku secara umum, biaya
penyelaman terbagi berdasarkan durasi,
lokasi dan waktu selam (apakah siang hari ataukah malam).
Alih-alih ke tengah lautan,
kapal justruh berhenti tepat di kaki Pulau Pura. Rasanya tidak percaya jika
tempat penyelaman kami hanya berjarak selangkah dari pantai. Mula-mula kami
menceburkan diri di Shark Galore. Sesuai namanya, tempat ini memacu andrenalin
saya manakala tiga hiu kami temukan bersembunyi di bawah tebing. Dengan bantuan
senter, saya bisa melihat gerigi tajamnya. Lokasi kedua yakni Paradise Point. Tapi
saya memutuskan untuk bersnorkeling saja disini gara-gara Andrea, tamu asal
Italia, menyebutkan bahwa terumbu di pesisir sangat memukau dan mempunyai
karakter sarang ikan badut yang unik. Dan benar saja, karang-karangnya tumbuh
seperti pohon besar dan ujungnya membentuk bak kelopak bunga berdiameter lebar
dimana ikan warna-warni berkumpul di tengahnya. Ada pula terowongan karang
panjang yang menciptakan kesan mistis saat saya menyusup ke dalam. Saya telah
bersnorkeling di banyak tempat, tapi disini memberi sensasi tak terkira. Pantas
saja, Riyani Djangkaru, presenter sekaligus penyelam Indonesia menjadikan Alor
sebagai destinasi teratasnya.
Hari berikutnya saya
bergabung dengan 5 penyelam untuk full
day dive ke Pulau Ternate. Sebenarnya niat kami ke bagian selatan Alor
yakni ke ‘The Catedral’ yang disebut memaparkan karang-karang terjal namun
batal karena arus terlalu deras. Level kami belum sanggup untuk menghadapinya.
BERSUA ‘PACAR SYAHRINI’ NAN RAMAH
Ada yang unik dari isi
bawah laut Alor. Selain terumbuh karang penuh ikan, sebuah benda lain yang
telah menjadi ‘trade mark’ adalah Bubu.
Ini merupakan perangkap ikan yang dipasangkan para nelayan di dasar
laut. Bubu dibuat dari anyaman bambu, membentuk keranjang, panjangnya kira-kira
satu meter.
Tradisi berburu ikan dengan
Bubu ini telah diwariskan secara turun temurun. Para nelayan cukup menyelam
kemudian meletakkannnya di sela-sela karang tempat banyak ikan berkumpul. Dalam
jeda waktu sehari atau dua hari mereka akan memeriksa, jika sudah ada ikan yang
terperangkap maka Bubu akan ditarik keluar. Sistem ini sangat dipuji para
pencinta alam sebab dianggap sebagai cara yang ramah terhadap kelangsungan
ekosistem bahari. Meski tidak meraup banyak ikan, tapi warga telah peduli bahwa
kelestarian bawah laut akan menunjang hidup generasi mendatang.
Keranjang artistik inilah dinamakan Bubu |
Hadirnya Bubu di dalam laut Alor pun rupanya menarik perhatian para penggila fotografi. Di pandang dari sisi estetika, Bubu yang diletakkan di titik strategis memang memberi figuran ciamik untuk foto-foto underwater. Saya bertemu Wolfang Pƶlzer, seorang fotografer khusus bawah air yang jauh-jauh datang dari Jerman hanya untuk mengeksplor kekayaan laut Alor yang disandingkan dengan Bubu. Wolfgang bekerja sama dengan sejumlah nelayan tradisional menciptakan foto-foto sensasional. Saya sangat menyukai jepretannya yang menunjukkan seorang nelayan sedang menyelam membawa tombak dikerubuti ikan dengan pose seperti meluncur ke arah Bubu yang telah dipenuhi ikan. Luar biasa indahnya.
Kala pulang ke rumah dan mengisahkan pengalaman menyelam dan bertemu Bubu kepada keluarga, ibuku berkelakar, ”Pacar Syahrini keren juga, ya?” Kami semua bingung, namun kemudian terbahak setelah tahu maksud ucapannya. Oh, saya tidak akan melupakan ‘Mas Bubu’, dan berjanji akan kembali lagi ke Alor kelak.
(seperti dimuat dalam Majalah TRAVELXPOSE edisi Juli 2013)
Mari Menyibak Alor
Penerbangan komersil dari Jakarta, Surabaya, Denpasar, Kupang, dan Makassar menujuh Kupang dilanjutkan dengan maskapai Merpati Nusantara dan TransNusa ke Kalabahi setiap hari. Alternatif jalur laut yakni dengan kapal PELNI KM Sirimau dari Tanjung Priok, Semarang, Makassar, Kupang, dan Larantuka, atau PELNI KM Awu dari Surabaya, Denpasar, Waingapu, Kupang, Larantuka, atau ASDP Fery dari Larantuka. Taksi berizin dari bandara Mali ke Kalabahi hingga ke dermaga Alor Kecil, hubungi Patris Sasi (T.+6285238405311). Akomodasi sekaligus layanan Diving seperti La Petite Kepa (kontak Anne Cedric, T.+6281339102403), atau Jawa Toda Dive Bungallow (T.+6281317804133). Penginapan sederhana di Kalabahi, Hotel Nusa Kenari (T.+62386212018), Hotel Melati (+6238621073), dan Pelangi Indah (T.+6238621073). Kampung adat Takpala (kontak Martinus, T.+6285338961723) dan Kopidil (kontak Moses Telo, T.+6281338619737). Makan malam dengan menu ikan bakar temukan di Sentra ikan bakar Pantai Reklamasi, dekat Pelabuhan Kalabahi. Oleh-oleh Jagung Titi atau Kacang Kenari dijual per kilo bisa ditemukan di pasar kota Kalabahi. Bank dan ATM hanya terdapat di pusat kota.