Alun Tepian
Waibalun
Di kaki Gunung Ile Mandiri,
warisan sejarah terjaga
berapit nusa mungil dan bening lautan
Flores Timur.
T
|
ersisih beberapa kilometer dari pusat
kota Larantuka, pintu sebuah kapela di Waibalun terbuka menyambut kedatangan
saya. Nama kapela ini Nuestra Senhora de Esperansa, berdinding putih agak kusam
berukuran rawit dan tampak sudah sangat uzur. Seorang pria paru baya datang
menyalami saya, dan menerangkan ikhwal kapela. “Usianya sudah empat abad
lebih,” katanya seraya menunjukkan angka 1599 pada dinding kapela yang nyaris tersembunyi
di balik kotak patung kuno.
Kapela adalah versi mini dari gereja, bisa untuk
umum bisa juga milik pribadi atau kelompok. Di Flores Timur, kapela-kapela
seperti Nuestra Senhora de Esperansa ini lebih dikenal dengan sebutan Tori. “Ada belasan jumlahnya. Hampir
semua berusia sama, didirikan pada abad Pertengahan seiring meluasnya pengaruh
agama Katolik ke Kerajaan Larantuka waktu itu. Tori-tori ini adalah milik
suku-suku lokal. Nuestra Senhora de Esperansa ini empunya kami dari suku
Lamakera,” lanjutnya lagi.
Saya menemukan sejumlah relik berupa patung para
santo-santa Katolik warisan leluhur Lamakera. Terbuat dari kayu, sangat khas
peninggalan berabad-abad lampau. Pernah saya melihat patung-patung dengan langgam
seperti ini di Noemuti, sebuah kampung koloni Portugis di dekat
Kefamenanu-Timor, yang juga dijaga oleh suku-suku setempat sebagai benda suci. Sudah
menjadi catatan sendiri bahwa agama Katolik masuk ke Flores Timur kemudian ke
Timor oleh bangsa Portugis dan keturunan mereka dari Malaka. Kelompok yang
dalam buku-buku sejarah acapkali diidentifikasi sebagai orang-orang Mestizos atau kaum Mardikas tersebut membawa
serta patung-patung kayu bermacam ukuran.
Waibalun dapat disebut
sebagai gerbang masuk kota Larantuka dari arah barat, jika kita datang dari
Maumere atau Ende. Berada di tumit gunung Ile Mandiri langsung mencium laut
Sawu. Pesisirnya tenang lantaran berbentuk seperti teluk yang cukup lebar dan
panjang.
Selain mendatangi
tori-tori historis, saya juga menyenangi cengkerama dengan warga yang begitu
mudah menjalin persahabatan. Sore hari banyak penduduk memancing di perairan
mereka yang teduh. “Saya pakai bulu ayam sebagai umpannya,” kata John Kleden,
warga yang gemar memancing. “Tapi saya paling senang saat Hetont, yakni
berburu ikan malam hari ketika bulan purnama. Lautnya surut sehingga kami bisa
berjalan jauh dengan senter untuk mencari gurita atau cumi-cumi. Seruh!,”
katanya antusias di sela kicau burung-burung laut yang memecah kesyahduan Waibalun
jelang terbenam matahari.
Tampak depan tori Nuestra Senhora de la Esperansa, kapela milik suku Lamakera yang menyimpan patung-patung tua abad Pertengahan. |
Potret senja pelabuhan Waibalun. Para penggemar foto lansekap akan menyukai tempat ini. |
Remaja Waibalun yang saban hari gemar bermain loncat-loncatan di sekitar dermaga |
TAK ADA yang bisa memalingkan wajahnya dari sebuah pulau mungil yang tersedak
di tepian Waibalun. Kendati sangat kecil namun letak pulau ini seolah nyaris
menyentuh bibir pantai, berwujud bukit, dan sama sekali tidak tersembunyi. Ia
marka identik bagi Waibalun, apalagi dihiasi oleh patung Yesus berukuran
gigantis yang berdiri menggenggam tongkat seolah mengawasi semua aktifitas yang
terjadi di kampung, dermaga, dan jalan raya.
Setiap kali
memandanginya, saya bertanya-tanya sendiri, apakah pulau itu bisa dikunjungi? Adakah
pemiliknya? Bagaimana rasanya berdiri di kaki patung Yesus lalu menatap seantero
Waibalun dari sana?
“Ya, tentu, kamu bisa
kesana. Pulau Waibalun secara adat merupakan milik suku kami. Jika kamu mau,
hari ini kita kesana bersama. Itu tempat bermain saya semasa kecil,” Antonius
Hadjon menanggapi sukacita pertanyaan saya yang muncul tiba-tiba. Oh! Hati saya
bersorak senang! Hari yang cerah dan ini seperti satu skenario sempurna yang
telah diatur Tuhan,
Menumpang kapal motor,
kami mencapai Pulau Waibalun dalam hitungan kurang dari sepuluh menit. Diiring
desau angin, Antonius, yang saya tafsir masih berumur di bawah lima puluh tahun
itu, mengisahkan kenangan masa kecilnya. “Dulu sepulang sekolah, saya dan
teman-teman berenang menggunakan batang pisang untuk mencapai pulau ini,”
katanya menerawang.
Kapal mendekati pulau, tampak air laut yang bening mengajak untuk menceburkan badan. |
Dermaga kayu di pulau Waibalun yang dibangun dengan formasi yang artistik, menambah kesan fotogenik pulau ini. |
KAMI LANTAS mendaki tangga-tangga menuju ke puncak pulau. Saya takjub manakala
mendapati fakta bahwa pulau imut ini ternyata memiliki hutan yang rimbun teduh,
pohonnya tinggi dan kokoh. Padahal bila dipandang dari daratan seberang sana tampak
kering kerontang. Barangkali ini termasuk ilusi optik atau sight trick.
Teduhnya puncak bukit Pulau Waibalun dengan pohon hijau, tak disangka kalau dilihat dari jalan raya. |
Aerial view patung Yesus Gembala Baik dengan domba-domba putih. Memotret pagi atau sore jelang terbenam matahari mungkin lebih menawan warnanya. |
Jika dilihat dari bawah, cukup jangkung patungnya. |
Dari kaki patung Yesus pengunjung bisa menyaksikan aktifitas nelayan |
Syahdan, menurut
Antonius, pulau ini dulunya lazim disebut Nuha, dan leluhur mereka suku
Hadjon sempat ‘menumpang’ tinggal di sini sebelum beralih ke daratan. Sejatinya
pulau ini dihuni oleh koloni ular laut yang mereka sebut Harin. Bagi
suku Hadjon ular laut atau Harin tersebut
telah dianggap makluk totem. “Acapkali Harin datang ke rumah keturunan Hadjon
bila ada kejadian-kejadian penting. Biasanya diantar pulang lagi kesini,”
terang Antonius. Saya agak bergidik, tapi ditimpalinya dengan kalem, “Tenang
saja, yang penting pengunjung pulau ini tidak melakukan hal-hal yang buruk,
merusak karang, atau menebang hutan sembarangan.”
Kami berada di pulau ini
cukup lama, nahkoda kapal membakar ikan tangkapan mereka untuk dinikmati
bersama. Saya asyik memotret pulau ini dari udara yang hasilnya sepintas
menyerupai gambar pulau di Danau Bled nan jauh di Slovenia sana.
Sementara itu, Antonius
meminjam sampan kayu seukuran kano, mengayuhnya sendirian ke ujung pulau, dan
tampak larut dalam kenangan masa kecilnya.
Beberapa nelayan yang melaju, mengenali Antonius lalu menyalaminya,
membuat saya tersadar hari ini saya ternyata menghabiskan waktu bersama seorang
bupati!
Antonius Hadjon di sela rimbun pepohonan Pulau Waibalun. "Kayu dari pohon-pohon ini kualitasnya bagus untuk komponen kapal," ujarnya. |
Sampan kecil yang kerap digunakan anak-anak Waibalun untuk memancing atau menyelam. Tampak belakang adalah gunung Ile Mandiri. |
Ikan yang ditangkap nahkoda kapal kami, jenis coral reef fish yang menandakan formasi pulau dari karang. |
------
*Glosarium:
Rawit :
Kecil, imut, mungil
*Tulisan
ini dipublikasikan di inflight magazine LIONMAG (Lion Air) edisi April
2019 dengan perubahan seperlunya. Bisa dibaca versi PDF online majalahnya - klik di sini
PANDUAN PEJALAN
Karena langsung
berapitan dengan pusat kota Larantuka, Waibalun dapat didatangi kapan pun.
Penginapan atau hotel bisa didapatkan di pusat kota, tapi jika mau
benar-benar mengalami suasana Waibalun,
bisa bermalam di penginapan sederhana tapi cukup bersih dekat pelabuan, yakni Penginapan Budi Luhur atau Homestay
milik penduduk seperti Homestay Pak
Stafanus Kromen (082237590856).
Untuk mengunjungi Pulau
Waibalun dengan praktis, tumpangi sampan atau kapal motor kecil di dermaga
mungil di sisi timur pelabuhan Waibalun. Ongkos menyebrang dengan sampan Rp.
20.000 PP (maksimal 2 penumpang), dengan kapal Rp. 40.000 PP (harga bukan per
orang tapi per kapal, jadi bisa menumpang sekitar 4-6 orang tergantung
kesediaan daya muat. Jaga keselamatan ya).
Jangan buang sampah
apapun di pulau! Jika temui sampah, kumpulkan dan bakar di tempat sampah
(pastikan apinya padam sebelum meninggalkan pulau). Bawa bekal makanan/minuman
sendiri.
FESTIVAL BALE NAGI yang
dihelat bulan April bisa menjadi momen untuk menikmati Waibalun serta
destinasi-destinasi menarik lainnya di Flores Timur. Berlangsung selama
sebulan, Festival Bale Nagi bisa juga memberi kesempatan untuk mengenal budaya
Lamaholot (budaya asli Flores Timur). Ayo, ke Larantuka.
#festivalbalenagi #balenagi #larantuka #waibalun #pulauwaibalun