Jalan - Jalan ke Bali (Part 1)

Lambai Pantai
Padangbai
PESISIR TENGGARA PULAU DEWATA 
YANG MASIH MENGGENGGAM PAMORNYA SEBAGAI DESTINASI BAHARI



D
ari ketinggian restoran Helix 64 yang berbentuk sirkel, terbentang luas pemandangan Teluk Manggis hingga Candidasa. Saya, seperti seekor burung yang hinggap di sarang tinggi, menatap tanpa terhalang ke segala penjuru; laut berkilau mengayun-ayunkan jukung nelayan, kendaraan bergerak dinamis dari dua arah bagai semut, dan punuk-punuk perbukitan Karangasem begitu syahdu menyimpan kesenyapan. 

“SEBENTAR MALAM kita akan menyelam di bawah sini. Namanya Tanjung Jepun. Apakah kamu siap?” tanya Wayan Darta sembari menunjuk ke arah rusuk kanan restoran. Tepat di bawah tebing. “Tentu, sudah tidak sabar, Bli,” jawab saya sumringah bersamaan dengan tuntasnya hidangan Pan sauteéd mahi mahi di atas meja kami.

Saya telah mengontak Wayan seminggu silam agar diajak ikut menyelam. Ia pemilik dive shop di Padangbai yang sudah saya kenal lama. Dulu, ketika masih bermukim di Bali, saya kerapkali datang ke Padangbai, sekadar untuk bersnorkeling atau menumpang kapal ke Lombok. Perkenalan dengan Wayan terjadi saat seorang teman kantor bernazar ingin belajar menyelam. Kami mencari instruktur dan akhirnya bertemu Wayan.

“Syukurlah, tamu masih lancar datang menyelam bersama saya, walau sekarang banyak lokasi penyelaman di luar Bali bermunculan, khususnya di daerah kalian, Indonesia timur,” kata Wayan. Tidak dimungkiri, soal bawah laut, kawasan timur negeri punya segudang tempat penyelaman yang kaya dan alami. Namun, Bali yang telah puluhan tahun makan garam soal pariwisata masih mampu menarik peminat aktivitas bahari. Kemudahan  akses, ketersediaan fasilitas,  dan profesionalisme layanan menjadi kunci menahan orang supaya tak berpaling dari Pulau Dewata ini.

Wayan memiliki beberapa kapal penyelaman. Sebagian dipakai untuk melayani tamunya, sebagian disewakan ke operator lain. “Walau kita punya aset, punya perusahaan sendiri, tapi tidak bisa menutup diri, musti berkolaborasi dengan pengusaha lain yang bergerak di bidang yang sama. Situasi saling membutuhkan itu menimbulkan rasa senasib sepenanggungan. Bersama menetapkan harga agar adil, membuat kebijakan operasional sehingga tidak ada konflik, dan kalau ada masalah kita punya pendukung untuk menghadapi situasi,” urainya bijak.

Jelang sore, saya menelusuri daerah Padangbai guna mengamati perubahannya. Kawasan penginapan masih berkonsentrasi di sisi timur pelabuhan, di mana pantainya berlabuh banyak sampan nelayan berbaur kapal penyelaman. Pengunjung dari berbagai negeri bermalam di penginapan sepanjang Jalan Silayukti dan lorong-lorong cabangnya. Daerah Padangbai tidak rata, topografinya berapit bukit lapis demi lapis sehingga ada banyak teluk dan tanjung kecil di pesisirnya. 

Bentang panorama ketinggian tersaji di Resto Helix 

Hidangan Mediterania pesanan saya di Resto Helix 64

SESUAI KESEPAKATAN, saya bergabung dengan Wayan malam hari untuk menyelam di Tanjung Jepun. Selain saya, ada juga empat wisatawan asing asal Swiss yang ikut. “Negara kami tak punya pantai, tak punya laut. Hanya gunung bersalju. Saya suka mendaki gunung tapi menyelam masuk ke dasar laut selalu memberi sensasi yang berbeda, sesuatu yang surreal,” ujar Marlon, salah satu dari mereka.

Cuaca malam itu cerah meski agak berangin. Wayan mewanti-wanti salah satu dive master bahwa kemungkinan arus laut agak kencang nanti. Semua peserta harus dijaga dan ditandemi. Kapal kemudian meluncur di bawah pijar gemintang, lantas berputar ke timur setelah mencapai ujung tanjung. Samar-samar saya menangkap bayangan atap bertingkat Pura Tanjung Sari.

Di perairan di sekitar Padangbai terdapat enam lokasi penyelaman. “Ada yang namanya Tanjung Bungsil, Blue Lagoon, Tanjung Jepun, Mimpang, Tepekong, dan Biaha,” urai Wayan. Tiga nama yang disebutkan pertama letaknya dekat dan tidak begitu dalam. Itu menjadi tujuan penyelaman kami. Sedangkan Mimpang, Tepekong, dan Biaha berada pada pulau karang berhadapan dengan Candidasa. “Arus di situ kencang dan sering muncul tiba-tiba. Tidak cocok untuk penyelam pemula,” tambahnya. Kami melewati Blue Lagoon dan langsung ke Jepun sebagai titik pertama, keduanya bersisian terpisahkan oleh sebuah tanjung mungil. Lokasi Jepun berada di kaki tebing. 

Kapal penyelam dan kapal penumpang di hadapan Blue Lagoon, sebelah kiri adalah Tanjung Jepun

Pengunjung bersnorkeling di laut Blue Lagoon. Visibilitas airnya cukup bagus.

Wayan dan para dive master mempersiapkan dan memakaikan perlengkapan penyelaman kepada kami. Seperti biasa, kami mengikuti setiap aba-aba yang diberikan Wayan, lalu melompat masuk ke dalam laut. Ini adalah pengalaman pertama saya menyelam malam hari, rasanya sangat berbeda begitu senter menyalah dalam air, sekelilingnya gelap misterius, seolah kami sedang melakukan sebuah misi rahasia.

Tanjung Jepun dikenal bagi mereka yang suka mengamati hewan-hewan laut berukuran super kecil (macro) seperti Nudibranch, Frogfish, Pygmy Seahorse, Amphipod, Box fish, Jawfish. Dua teman Marlon begitu khusuk memotret makluk-makluk renit berwujud aneh-aneh itu, sedangkan saya hanya memandang dengan takjub sambil berharap ada Hiu bersirip putih muncul, katanya mudah dijumpai.

Setelah cukup lama di situ, kami naik kapal lagi lalu pindah ke Blue Lagoon di sebelahnya. Di Blue Lagoon ada tebaran koral, dan ikan-ikan lebih aktif. Saya belum juga bertemu Hiu sirip putih namun sangat senang manakala melihat Pipefish dan Octopus di sela karang. Tidak hanya kapal kami yang menyelam di situ, ada tiga kapal lain juga. Sinar senter para penyelam yang benderang hilang muncul sili berganti dalam air menciptakan efek seperti iluminasi atau atraksi cahaya. Tak ada hal lain yang saya pikirkan saat berada dalam laut, perhatian tercurah pada makluk yang dicari dan diamati.

BLUE LAGOON tidak cuma untuk menyelam. Pantai di tepiannya pun menarik lantaran berpasir putih. Saban hari selalu ada wisatawan datang mandi serta berjemur. Ukurannya yang tak seberapa luas memberi kesan privat.

Selain Blue Lagoon, pantai lain di Padangbai yang juga memiliki pasir putih yakni Pantai Bias Tugel. Tidak sampai 1 kilometer dari pelabuhan ke arah barat, melewati bukit. Dulu, akses ke pantai ini cukup menyulitkan karena harus menerobos semak. Sekarang sudah berubah, bahkan ada petugas penjaga khusus yang menyambut dan memberikan karcis sebelum masuk. 

Pura Tanjung Sari yang berada di tanjung sebelah timur pelabuhan Padangbai

Sisi barat Pantai Bias Tugel

Keesokannya, saya kembali menyambangi Wayan. Hendak pamit. Ia berdiri di pantai, menunjukkan kapalnya yang baru direnovasi. Hari ini cuaca mendung dan berangin. Tapi kata Wayan ia ingin mencoba kapalnya segera. “Tunggu saja mungkin sore atau besok. Kapalmu akan selalu aman di dermaga ini,” kata saya.

“Kapal memang aman kalau berada di dermaga, tapi bukan untuk itu kapal dibuat, melainkan untuk membelah lautan, berhadapan dengan arus dan gelombang, lalu pulang dengan cerita baru,” kata Wayan mantap sebelum melompat naik ke atas kapalnya. 

Saya menatapnya hingga lambaian tangannya hilang di ujung tanjung, kemudian giliran saya menghidupkan motor, meninggalkan Padangbai menuju tempat berikutnya di sudut Bali yang lain. Seperti kapal yang dibuat untuk berlayar, demikian kiranya saya, terlahir bukan untuk aman di satu tempat, tapi untuk terus bepergian, supaya pulang membawa cerita. 
Termasuk cerita ini. 

Fajar menyingsing dari ufuk timur perbukitan Karangasem

Jukung yang dipakai untuk mengangkut perlengkapan dive

**
Follow Instagram saya DI SINI
#valentinoluis #travelwriterindonesia #trippadangbai #traveljournalist #travelphotographyindonesia

Tulisan ini dipublikasikan di majalah pesawat LIONMAG (Lion Air) edisi bulan September 2019. Foto saya dipilih sebagai foto cover majalah. Untuk membaca versi PDF online, silahkan klik foto berikut ini. TERIMA KASIH.

Artikel LIONMAG tentang Padangbai

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...