Mekko
ASILUM BAGI HIU
PADA NUSA-NUSA KIRANA DI TIMUR ADONARA
D
|
ermaga Tobilota di sisi barat Adonara sangat lengang tatkala
kapal motor yang kami tumpangi merapat pelan. Mungkin lantaran pagi itu penumpang
kapal hanya segelintiran saja. Lagipula dermaganya amat kecil, bukan dermaga
utama. Dengan sigap saya melompat keluar, menyusuli Berrye, Sutikno Bolang, dan
Rizal Agustin, para tandem yang sudah menurunkan sepeda motor dari kapal. Kami
berempat membawa sepeda motor dari Larantuka, agar lebih leluasa mengitari
pulau ini.
Adonara
adalah pulau yang berada di rusuk kota Larantuka, bagian timur Flores.
Aktifitas penduduk di pulau ini bisa ditilik dengan jelas lantaran hanya
terpisahkan oleh sebuah selat sempit. Jadi tak butuh waktu lama untuk menggapai
tepian baratnya dengan kapal motor.
“Kita
akan menyisir bagian barat ini kemudian memutar lewat utara. Cukup jauh, tapi jalan beraspal bagus,” kata
Berrye, pegawai di kantor Dinas Pariwisata Flores Timur, yang sudah seminggu
ini menemani kami menjejelajahi daerahnya. Saya masih ingat jalur ini karena
enam tahun lalu pernah menjelajahi Adonara, namun saat itu kondisi jalan masih
darurat. Mendengar penjelasan Berrye bahwa infrastruktur sudah bagus, rasanya
plong.
Kami
lantas beriringan menyusuri jalan, melewati beberapa desa yang menghadap ke
selat Gonzalu, seperti Wailebe, Wure, dan Waiwadan. Jalanan kemudian
berkelok-kelok naik turun saat kami membelah wilayah tengah pulau yang berbukit
dan penuh pepohonan kelapa, hingga mencapai desa Hinga dan Witihama yang
menampakkan Gunung Ile Boleng dengan begitu gagahnya.
Tujuan
perjalanan panjang ini yakni ke Mekko, sebuah loka bestari paling masyur di
Adonara. Ibarat maskot wisata, kawasan ini tengah naik pamor dan
digadang-gadang akan dikembangkan secara khusus. Saya ingin merekam memori
tentang Mekko sebelum perubahan itu terjadi.
Sebenarnya
untuk mencapai Mekko ada jalur yang lebih singkat ketimbang dari Tabilota,
yakni lewat dermaga Waiwerang di sisi selatan. Namun kapal-kapal
Waiwerang-Larantuka telah memiliki jadwal yang tak bisa diubah, sedangkan kami
menginginkan waktu yang fleksibel. “Kalau lewat Tabilota, kita bisa dapat kapal
kapan pun,” begitu kata Berrye.
Pemandangan
bukit yang disaput tetumbuhan berwarna asfar tampak kontras dengan belau pada
lautan saat sepeda motor kami merebas jalan tanah memasuki kampung Mekko.
Samar-samar terendus aroma garam berbaur wangi daun-daun xerofil.
Jalur di tepian barat Adonara melalui jalan yang diapit pepohonan nyiur yang padat menjulang |
Pantai Watotena dapat disinggahi bila perjalanan diarahkan ke pelabuhan Waiwerang dari Larantuka. Tidak seberapa jauh letaknya dari jalan raya. |
Pantai Ina Burak, sebelah timur Pantai Watotena ini menurut saya amat elok dengan taburan batuan magma dan bentang pasir putih nan lapang |
Sebagian kecil jalan yang masih kasar namun hanya 300-an meter menjelang kampung Mekko |
KAMPUNG
MEKKO tidaklah
besar. Warganya adalah orang-orang Bajo yang bermigrasi lalu menetap di sini. Meskipun
tetap menggantungkan hidupnya pada kebaikan samudra, mereka nampaknya telah
meninggalkan salah satu habit khas Bajo karena rumah-rumahnya tak lagi
berbentuk panggung. Hanya dua balai di dekat dermaga kecilnya berwujud sasana,
tapi amat kentara masih anyar. “Ya, itu bangunan baru, dibuat tahun lalu untuk
kebutuhan wisata serta perlindungan laut di Mekko,” terang Hen Rizal, lelaki
40-an tahun yang kami temui.
Agaknya
kedua bangunan ini menjadi signal perubahan Mekko nanti. Yang satu digunakan
untuk tempat inap bagi para tetamu, sedangkan lainnya untuk pusat konservasi. “Kita
diajak pemerintah dan didukung oleh World
Wide Fund for Natur (WWF). Perairan di Mekko ini adalah sarangnya hiu.
Sudah lama juga sering terjadi penangkapan hiu liar dengan bom. Kadang kalau
lagi musimnya, ledakan bom beruntun terjadi mirip seperti lagi perang,” Hen
Rizal mengurai kisah kelam Mekko. “Tapi sekarang sudah tak ada. Warga sudah
dibimbing dan diberitahu soal perlindungan alam serta hiu,” lanjutnya lagi
berbinar.
Yang
menggembirakan lagi, yakni munculnya gerakan kaum muda setempat bernama Bangkit
Muda Mudi Mekko (BMMM) yang mengaktifkan remaja serta orang muda lokal untuk
bersama-sama menjaga dan peduli pada ekosistem sekitarnya. Pelatihan,
bimbingan, dan dukungan dikerahkan agar Mekko tak rusak. “Kalau mau menginap,
kami siapkan rumah singgah itu. Pengunjung juga bisa berpartisipasi dengan
membawakan buku bacaan bagi anak-anak, di sini ada taman baca,” timpal Palindo,
pemuda Mekko yang kerap mengantarkan wisatawan berkeliling pulau.
Rumah singgah di kampung Mekko yang baru kelar dibangun, diperuntukkan bagi pengunjung yang berniat menginap. |
Gurita ( Octopus vulgaris) yang banyak dipanen di bulan April, dan akan hilang di bulan Mei-Juni karena dihalau kawanan hiu |
MEMILIKI
KAPAL, Hen
Rizal kemudian membawa kami mengunjungi kawasan laut yang diidamkan. Palindo
turut serta jadi awaknya. Setelah kapal beringsut menjauhi mangrove, air laut
berubah warnanya menjadi biru kelam, dan dengan segera pula terumbu-terumbu
karang jelas kelihatan bertebaran tanpa cacat.
Kurang
dari lima belas menit, tampaklah gundukan pasir putih menyembul di tengah
samudra, dan warna laut berubah lagi menjadi biru muda, lalu benderang amat
menawan bak kristal pirus Swarovski. Begitu bening!
“Pulau
pasir Mekko ini selalu berubah bentuknya, tergantung pasang surutnya laut.
Kadang lumayan memanjang, kadang hanya timbunan kecil. Di bulan Mei sampai Juni
acapkali hiu-hiu mengitari pulau pasir ini karena musimnya mereka untuk kawin, ikan-ikan
lain lari semua,” cerita Palindo menanggapi saya yang terus menerus memuji
bening lautnya.
Berrye,
Sutikno Bolang, dan Rizal Agustin lagi-lagi melompat duluan dari kapal. “Fotoin
kami, ya?” teriak mereka kegirangan begitu menjejaki pasir putih. Uh,
tempat-tempat molek acapkali sangat cepat mengubah perangi lelaki dewasa
menjadi anak kecil kembali.
Menilik
vista dari atas pulau pasir ini, Mekko bagaikan sekerat Taman Nasional Komodo
yang terlempar ke timur Flores. Bukit-bukit savana yang kering di bagian barat,
serta gugus pulau-pulau kecil yang juga didominasi oleh rumput ilalang.
Keunggulan
Mekko yakni ia dikitari oleh tiga gunung berapi; Ile Boleng menyembul di barat,
Ile Ape menatap congkak dari selatan, dan Batutara nun di timur jauh melirik.
Meskipun pulau pasir putihnya kecil, tapi kehadiran tiga gunung yang
mengitarinya itu menghasilkan foto-foto berlatar variatif.
Yacht milik pengunjung asing pun mampir di perairan Mekko yang tenang |
Tebaran karang meja (Acropora latistella) dalam laut Mekko yang aman subur lantaran berada di arus yang deras |
Nelayan setempat mengayuh sampannya mendekati pulau pasir, berlatar Gunung Ile Boleng |
Saat surut di waktu senja, bayangan gagah Gunung Ile Boleng nampak memukau |
HEN RIZAL dan Palindo juga
mengajak kami mendatangi pulau-pulau kecil terdekat. Di utara pulau pasir, dua
pulau berdempetan; Keroko dan Watanpeni. Kata Palindo, jika lautnya surut kedua
pulau tersebut akan tersambung. Ketika kapal kami mendekat, burung-burung liar
aneka rupa bertengger di pohon-pohon. Lautnya juga terisi oleh terumbu karang
yang subur.
Aura
kedua pulau ini amat syahdu bagaikan asilum yang tidak pernah diganggu sama
sekali. Konon, pulau Watanpeni punya legenda sendiri tentang seorang bayi yang
dibuang keluarganya. Orang-orang di sekitar masih mewarisi legenda itu sehingga
Watanpeni dipandang angker dan tidak boleh diusik.
Saya
sebenarnya penasaran dengan isi pulau ini. Saya yakin alamnya masih sangat
terjaga, sebab secara tak langsung legenda itu telah berperan menghindarkan
Watanpeni dari tangan-tangan usil. Begitu juga tentang dua pulau kecil di
selatan; Konawe dan Ipet, yang kabarnya jadi rumah kelelawar serta dihuni
hantu.
Saya
anggap upaya konservasi sebenarnya telah dimengerti oleh para leluhur Mekko
ratusan tahun silam, lewat legenda dan mitos angker yang diciptakan mereka.
Tanpa itu, barangkali laut Mekko sudah lama kehilangan hiu, dan warna airnya mungkin
tak lagi sepirus kristal Swarovski. Perjalanan ini, telah memberi permenungan.
Melintasi selat kecil yang memisahkan Pulau Watanpeni dengan Pulau Keroko. |
Konawe dan Ipet, dua pulau di sebelah selatan pulau pasir Mekko |
**
PANDUAN PEJALAN
Bisa melalui beberapa dermaga di Adonara. Ke Waiwerang, dermaga
utama, bisa kunjungi beberapa pantai seperti Pantai Watotena dan Ina Burak
sebelum lanjut ke Mekko. Jadwal kapal ke Waiwerang dari Larantuka umumnya pagi
hari berangkat jam 07.00 Wita. Tau dermaga lain yang lebih kecil seperti
Tobilota, dll dengan durasi perjalanan lebih lama mengitari Adonara
Belum ada warung makan tersedia di sekitar Mekko, jadi bila
berangkat dari Larantuka, silahkan membawa serta bekal makanan. Atau bila ke
Adonara melalui dermaga Waiwerang, bisa beli makanan di warung-warung Waiwerang
sebelum lanjut ke Mekko.
Bisa menginap di kampung Mekko karena sudah tersedia rumah singgah bagi pejalan. Listrik belum masuk kampung ini, pastikan membawa senter atau powerbank yang telah dicharged full.
Bisa menginap di kampung Mekko karena sudah tersedia rumah singgah bagi pejalan. Listrik belum masuk kampung ini, pastikan membawa senter atau powerbank yang telah dicharged full.
#adonara #mekko #pulaupasirmekko #ileboleng #larantuka #festivalbalenagi
**
Tulisan ini dimuat di LIONMAG, inflight magazine Lion
Air, edisi Juni 2019. Klik di foto berikut untuk membaca versi PDF
majalahnya. TERIMA KASIH
Klik untuk membaca tulisan versi PDF sebagaimana dipublikasikan majalah LIONMAG |