Cerpen

Sesapi Putih Tak Ada di Langit Rote

ADA TUBUH KECIL MENYEMBUL dari balik rimbunan ilalang. Lalu seperti matahari yang terbit, tubuh itu perlahan-lahan menampakkan dirinya utuh. Ia tak menyekah peluh yang menyembul bagai embun di dahi. Peluh yang bagaikan darah dari luka akibat tusukan mahkota duri seperti pada gambar Yesus di dinding setiap rumah penduduk. Ditariknya biji-bijian dari sejenis semak yang hinggap melekat dan sulit terlepas di rambutnya yang keriting kecil-kecil. Ada goresan pada lengan kirinya seperti baru usai dicambuk. Disitu, beberapa titik darah menyatuh bersama duri-duri tanaman Putri malu.

Ia memijakan kakinya di atas batu cadas hitam. Pandangan matanya tersebar ke tiap ujung batang lontar yang memenuhi bukit itu. Seseorang dicarinya. Tak tampak.
“Kakak…..!” Ia akhirnya berteriak.
“Kakak……..!” Sekali lagi lebih keras. Teriakannya mendengung terpantul di antara dinding bukit yang berhadap-hadapan. Ia seolah melihat sesuatu tergolek di akar pohon asam tua di ujung bukit itu. Maka ia pun menuju ke sana.

“Gabriel…! Saya disini…” Tiba-tiba ada suara lain membalas. Suara yang dicarinya. Gemanya datang dari sebelah kiri. Ia memacuh langkahnya mengikuti arah suara itu, melompati satu demi satu kumpulan semak berduri setinggih betis, sambil sesekali matanya tetap awas ke tiap ujung batang lontar.

Sekarang ia pelankan gerak, membiarkan angin melaju mendahului. Tidak digubrisnya tingkah seekor belalang padang yang tadi ikut berpacuh. Orang yang dicari telah ia dapatkan.

Ada apa,Gabriel..?” Suara itu jatuh dari atas pohon lontar. Wajah orang tersebut belum tampak karena sama sekali ia tak berpaling kepada Gabriel. Lagipula tinggi pohon itu kira-kira hampir mencapai tiga puluh meter. Gabriel mendongakan kepalanya.

Ada orang,mencari Kakak…”
“Siapa..?!”
“Turunlah dulu…”

Orang yang disebut kakak oleh Gabriel itu pun cepat merayap turun bak cecak di dinding lagi berjalan mundur, hanya saja ia menaruh kakinya pada tumpuan-tumpuan di sekujur batang pohon secara bergantian, yang membawanya semakin rendah, semakin jelas kelihatan.

Begitu menjejaki tanah,dikebas-kebaskannya kotoran serta debu dari kaos usang tipis penuh bolong-bolong kecil sana-sini itu. Sesaat diperhatikanya bayangan pepohonan. Belumlah setengah hari tapi panas begitu menyengat. Ia memicingkan mata, kemudian membawa dirinya ke bawah naungan pohon reo yang teduh. Gabriel mengikuti kakaknya dari belakang.

Tonio, nama pemuda itu. Kakak Gabriel. Tampan wajahnya. Tubuhnya tegap gagah. Meski agak dekil tapi warna kulitnya jauh lebih terang dari Gabriel. Ia seolah pernah melewati sebuah masa yang cukup lama, dimana dalam masa itu tak ada pohon lontar yang perluh ditaklukkan, tak ada bukit gersang dengan bebatuan cadas yang perluh didaki, tak da situasai yang membuatnya berdekil terpanggang mentari.

Gabriel memperhatikan kakaknya. Ada rasa sungkan dari balik tatapannya. Tali haik koneuk, wadah setengah lingkaran dari daun lontar sebagai tempat menyimpan air nirah, belum lepas dikalungi Tonio. Pada batas pinggangnya gantungan haik koneuk dari tanduk kerbau bergayut mantap.

“Siapa yang mencariku ?” Suaranya memecah bisu. Beberapa daun Reo yang tak sanggup lagi bertahan di rantingnya, meluncur di hadapan mereka.
Ada orang, kata Ine, datang dari Denpasar” 
Tonio agak tersentak mendengar kata Denpasar. Ditelannya air liur. Sekonyong-konyong ia seperti diisi tenaga baru.
“Siapa namanya?”
“Tidak tahu”
Tonio bangkit, membetulkan letak haik koneuk dan parang kecil di pinggangnya. Tak ada tanya apa-apa lagi bagi Gabriel.

“Saya lebih dulu. Kamu, ambilah haik koneuk besar berisi air nirah yang saya taruh di pondok sana.” Ia menunjuk kearah kiri, memutar sekitar dua ratus meter lebih. 
Di tempat itu memang berdiri satu pondik kecil berpanggung, tempat orang biasa beristirahat. “Hati-hati, kemarin telah kau tumpahkan separuh,” diingatkannya pada Gabriel saat anak itu memutar langkah. “Sebentar…..,” Ia membuat langkah Gabriel terhenti lagi. “Ada banyak telur puyuh yang tadi saya dapatkan di semak. Itu buatmu.” 
Gabriel sumringah mendengarnya. Umpama kuda balapan, ia langsung berjingkit meninggalkan sang kakak. Tonio menuruni bukit, ringan langkahnya. Tapi dalam hati penuh tebakan dan tanya.

“Cepatlah, Nak.” Ibunya menyongsong dari pintu dapur. Dilepaskanya tali haik koneuk yang melingkari tubuh anak sulungnya. Sementara Tonio menyelipkan parangnya pada bila kayu yang melintang sepanjang dinding dapur.
“Handukmu sudah Ine gantung di kamar mandi.”
“Siapa yang datang, Ine?”
“Temanmu dari Denpasar”
“Terus, siapa yang temani di depan?”
Ama. Cepatlah, Amamu harus ke rumah Ba’i Samuel.”
“Memangnya ada apa dengan Ba’i Samuel? Ada yang mengamuk lagi tidak kebagian dana kompensasi BBM?”
“Tidak ada apa-apa, sekedar mematangkan rencana mereka. Ada pesanan tuak nasu, air gula, dari Kupang. Pemesannya minta banyak dan ingin diambil secepatnya. Sudah sana, mandi.”

Tonio pun melangkah ke tempat yang diarahkan ibunya. Sedang si ibu sendiri menyimpan haik koneuk ke tempatnya seperti biasa. Ia bangga pada putranya, walau sarjana dan sebentar lagi mengisi lowongan pada sebuah kantor di kota, ia tetap mau melakukan aktifitas seperti lelaki di kampungnya.

“BLI GEDE?!!”
Tonio terperanjat saat tahu siapa yang datang.

“Tonio?!” Sang tamu juga berlaku sama. Ia spontan mengulurkan tangan. Sekejab tangan mereka menyatuh.
 “Pasti gerah ya, Bli. Cukup melelahkan perjalanannya kan?” Tonio menemukan butiran keringat di wajah Gede Prastika, tamunya. Mereka sudah akrab selama Tonio di Denpasar. Semenjak ia magang di Kantor Pos Denpasar, tempat Gede Prastika bekerja hingga diwisuda. Tak ada yang tahu jika Tonio hampir saja jadi ipar Gede Prastika. Sikapnya yang luwes, sopan, dan tidak pura-pura itulah yang membuat Gede Prastika simpatik lantas menjodohkannya dengan Saraswati, adik perempuannya.

“Bli tahu darimana alamatku?”
“Alamat? Itu teramat gampang dilacak, apalagi buat orang yang bepekerjaan seperti kami.” Ia tersenyum, tapi Tonio sendiri bertanya-tanya apa tujuan Gede Prastika menemuinya.
“Jadi kau sudah lupa, kan dulu pernah kuceritakan kalau aku mau diangkat jadi kepala Kantor Pos pada salah satu kabupaten di NTT ? Maaf, tidak memberi kabar sebelumnya. Kamu sendiri tidak meninggalkan alamat buat kami. Ayah dan Ibu titip salam buatmu. Ada kiriman, tapi kau ambilah sendiri di kota. Kenapa kau tak pernah memberi kabar? Kau juga pergi diam-diam hanya pamit lewat surat.

Tonio tertunduk. Sejujurnya ia senang dikunjungi Gede Prastika tapi di lain pihak kedatangan orang itu juga membuka kain perkabungannya. Padahal, ia sudah ingin melupakannya, ia sudah iklas kehilangan. Tapi kenapa bayangan masa lalunya itu datang lagi, mengejarnya sampai ke pulau terselatan di Indonesia ini?

GEDE PRASTIKA menghabiskan harinya hingga sore di rumah Tonio. Dikisahkan segalah yang terjadi di Denpasar selama ini. Tentu saja sembari menikmati segarnya air nirah sadapan. Ternyata, banyak potensi yang ia temukan di daerah ini. Dikirannya tempat seperti ini tak menjanjikan.

“Air nira bisa sembuhkan mag. Bli bisa buktikan sendiri, kami orang Rote tak kenal penyakit yang menyerang lambung itu,” seloroh Tonio. Diuraikannya pula tentang berbagai hal seputar lontar dan proses pemanfatannya, mulai dari pembuatan gula air, gula lempeng, sopie, Ti’i langga, topi khas Rote, sampai Sasando. Tak lupa diselipkan janjinya untuk mengajak Gede Prastika mampir ke Pantai Nembrala yang ombaknya menggoda untuk berselancar.

Ketika ayam-ayam jantan kampungnya menandai kedatangan malam dengan kokokan mereka, ia mengantar Gede Prastika kembali ke kota. Di perjalanan, tiba-tiba Gede Prastika menanyakan suatu hal yang menggelitik hatinya,
“Sesuatu di rumahmu membuatku berpikir sepanjang perjalanan.”
“Tentang apa?”
“Tulisan di ruang tamu”
“Tulisan?”
TIMOR : Tanah Ini Milik Orang Rote. Itu maksudnya apa? Apa semacam klaim terhadap pulau Timor?”
“Ah, itu sekedar lelucon orang Rote di Kupang sana, biar mereka merasa seperti bumi sendiri.”
Malamnya, di rumah dinas Gede Prastika, Tonio tidak bisa memejamkan mata secepat malam-malam kemarin. Bayangan seorang perempuan Bali menari-nari dalam otaknya.

Terpaksa dikenangnya kembali kemesraanya dengan Saraswati. Gede Prastikalah mempertemukan mereka di rumahnya. Lalu kunjungan Tonio terus berlanjut. Lagi-lagi peran Gede Prastika amat besar.

Hanya sayang, dikala segalahnya mulai terajut indah, ketika orang tua Saraswati memberi lampu hijau bagi cinta mereka, bahkan mulai membicarakan perkawinan mereka, kekasihnya itu harus pergi tanpa mengatakan satu kata pun. Pergi tak untuk kembali. Ledakan di Kuta Square tidak hanya mengabil raga, tapi juga roh Saraswati.
Yang tersisa cuma kenangan. Ya, kenangan yang paling berbekas adalah ketika mereka menghabiskan sore di Taman Niti Mandala Renon. Sembari menatap megahnya bangunan di depan mereka, tempat sejarah masa lampau di salin ulang demi generasi muda. Waktu itu sore menjadi tambah indah dengan alunan lagu Widi Widiana, penyanyi pop Bali, tentang Sesapi Putih, walet putih yang terbang dan menjadi saksi pertemuan seorang pria dengan seorang dara,

Rasa tan sidi, ragan Beli pacang ngengsapang
Dugas Beli ketemu sareng Adi ring taman sari
Sesapi Putih mekeber ring taman sari
Ento pinaka saksi tresna Beline ken Adi.

“KAKAK…!!”
Tonio mendengar terang suara itu, Gabriel, adiknya. Dikucak-kucak matanya. Gabriel telah berdiri di hadapanya dengan nafas masih tersenggal.

“Kak,bangun. Ama ngamuk! Air nira yang semalam diminum kakak bersama pemuda dari kampung Oehandi ternyata pesanan dari Kupang!”

“Ha?! Aduh..!!” Ia terhenyak. Bentangan koran tentang kisah pilu para saksi korban Bom Kuta-Jimbaran yang ia gunakan sebagai alas tidur terlepas dari punggungnya. 

Semua yang baru saja dialaminya, tentang hidupnya di Denpasar, tentang Gede Prastika, tentang Saraswati dan Sesapi Putih, ternyata……

“Tonio..!,Tonio….!, Awas kau. Kerjamu hanya minum, kurang ajar!”
-->
“Kak, itu suara Ama. Lari Kak, lari……”



Cerpen 1

Semut

(I)

Rambutnya ikal. Kulitnya hitam. Roman mukanya benar-benar khas timur. Sebenarnya dia itu temanku. Hanya saja telah saking dekatnya, maka dia kuanggap sebagai pengganti saudaraku. Makanya aku tahu banyak tentang dia. Ia pernah bertutur padaku, pertama kali di sini bila hendak berkenalan, teman-temannya yang Bali mencoba menebak dari mana asalnya.
”Ambon?”
”Bukan”
”Papua?”
”Bukan (masa dari Papua badannya seceking ini). Saya dari Flores”
”Flores? Mana itu Flores?”
Mendengar itu ia kaget bukan kepalang. Memaki dalam hati,”Setan, Flores saja tidak tahu. Berapa jauhnya dari Bali? Belajar apa mereka di Geografi, sudah sampai mahasiswa tapi sama sekali tak kenal daerahku.” Namun ia menahan kalimat-kalimat itu dalam hati dan memilih menjelaskan pada mereka. Itu cara paling damai. Hasilnya, mereka bukan cuma manggut-manggut tapi kagum. Untung kalau kemana-mana, dalam tasnya selalu terselip gambar danau Kelimutu dan biawak Komodo. Terkadang, tetap saja ia dibuat kaget, selain mahasiswa ternyata masih banyak orang belum tahu dimana letak Flores. Mereka kerap mengaitkannya dengan Kupang, yang butuh semalam untuk digapai dengan kapal laut. Ya, sudahlah tak apa-apa, apabila kelak Flores jadi propinsi defenitif baru akan bisa dibedakan.

Peristiwa lain terjadi di semester pertama kuliah. Dosen-dosennya mengira dia dari Timor Leste. Itu karena namanya: Godrico Luis Pareira. Dosenya heran. Lagi-lagi ia menjelaskan bahwa kampung Sikka tanah kelahirannya, dulu cukup lama didiami Portugis. Pengaruh bangsa itu menyebabkan namanya jadi demikian indah. Bila sudah begitu dosen-dosennya menyimpulkan,”Jadi kalian pernah dijajah Portugis” atau ”Imperialisme Portugis sampai juga di daerahmu,” atau ”Kalian budak Portugis, toh.” Segera ia membantah. Kata para tetua, orang Portugis yang datang ke daerahnya teramat beda bila dibandingkan dengan Belanda atau Jepang. Mereka tidak memerintah, tidak menjajah, tidak memperbudak. Mereka cuma menyebarkan agama Nasrani sembari mengajari nenek-moyangnya bertani, menenun, dan melaut dengan lebih baik. Nama pulau itu sendiri diberikan oleh Portugis. Katanya, sewaktu kapal mereka merapati daratan, yang dilihat oleh mata mereka adalah mekarnya berbagai bunga dipermukaan pulau. Dinamailah Cobo da Flores, pulau bunga.

(II)
Cerita itu dikisahkannya sepuluh tahun lalu.

Saya? Saya sendiri dulunya calon biarawan.  Itu bukan cita-cita masa kecilku. Bisa dibilang ’panggilan’ ke situ datang tiba-tiba. Semasa SD hingga SMU justruh saya tertarik menjelajahi dunia, kupikir saya terlahir sebagai petualang. Tapi seperti sudah saya katakan, ’panggilan’ itu tiba-tiba datangnya. Saya turuti saja kata hati, masuk biara sebuah ordo. Sulit memang menyesuaikan diri, seperti terlempar ke dunia lain. Keterbiasaan akan hingar-bingar harus ditransformasikan menjadi ’man of the desert’ manusia padang gurun, penyepi, silentium, meditatif, klausura dan hal lain lagi yang dirasa diri sebagai keterpasungan. Lama kelamaan seiring berjalanya waktu, saya jadi terbiasa dan mulai mencintai kehidupan demikian. 

Namun disaat keyakinan saya untuk melangkah mantap tumbuh, ada belati datang menebasnya, ”problem sanitas tak bisa membuatmu mengikrarkan kaul,” begitu ujar pastor pembina. Masalah kesehatan adalah salah satu momok menakutkan untuk calon gembala umat disamping sapienta dan sanctitas. Terpaksa saya mundur dengan air mata. Sejak itu saya merasa seperti prajurit yang terpukul gada. Dunia dengan hari-harinya menjadi penonton, menertawakan lakon heroik yang berubah jadi lelucon.

Tapi bukanlah saya jika ingin terus ditertawai. Kututup layar, keluar dari panggung itu, dan memutuskan pindah ke gedung teater lain, terdampar di pulau Dewata, bertemu Godrico, temanku itu.

Saya kisahkan tentang Godrico.
Tentang kuliahnya. Ah, sungguh sayang, tidak dituntaskan. Padahal tinggal menyusun dan mengajuhkan -lagi- proposal penelitian. Sebagai teman saya sudah berusaha mendorong, tapi tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain tutup mulut saat ia sampai mengumpat, ”Saya sudah bosan! Lagi pula ini hidupku, kau mau apa?!” Memang proposal penelitiannya ditolak. Tiga kali, bayangkan. Tentu membuat stress. Secara pribadi saya tidak menduga bisa begitu (maksudku, kenapa bisa proposal ditolak tiga kali). Menurut saya otaknya tidak bebal, pengetahuannya luas, diajak diskusi apa saja klop. Uh.., kenyataan hidup seringkali mencengangkan kita.

Berhenti kuliah, bagi Godrico, bukan berarti menganggur. Kebetulan ada orang Sikka yang sukses jadi eksportir perhiasan perak. Punya beberapa kantung perusahaan yang berpusat di Sanur. Sebagian besar karyawanya adalah orang-orang sesuku juga. Godrico diterima kerja bagian pengawas. Saya ketiban rejeki pula, diberi orderan merangkai butiran permata dan perak jadi anting. Pokoknya, tak ada lagi istilah tanggal tua, orderan selalu lancar, kantong celana tak cuma berisi udara. Belum sampai setengah tahun dia ganti motor, kredit dengan uang muka separuh juta. Flat televisi terisi di kamarnya.
Bagaimana urusan rohani? Jangan tanya. Di tempat misa dia termasuk the ants, semut gereja. Bukanya bermaksud membusungkan dada, tapi mulai dari uskup, pastor paroki, dewan gereja hingga umatnya hampir delapan puluh lima persen milik wajah khas timur. Sebagai perantau, ikatan relasi dijaga baik. Saling bantu, saling kunjung dan berbagai hajatan disesaki banyak orang. Mereka juga selalu menjaga nama baik daerah.

(III)
Con Brio, dengan semangat semut temanku menjalani hidup. Apalagi setelah ia menjumpai seorang perempuan, Arwini, Ni Ketut Arwini yang kini jadi mamanya Armando dan Claudia.

Tentu saya  harus menceritakan pertemuan mereka.

Walau ia sudah diwanti-wanti saudaranya yang sudah lebih dahulu jadi doktorandus,”kalau cocok, bawa pulang saja perempuannya,” sungguh, dia tidak menduga kalau akhirnya ia benar-benar mengawini perempuan Bali.

Mulanya ketika Arwini diterima kerja. Sudah baku dalam semua perusahaan jika karyawan baru wajib menjalani masa training, dan temankulah ditugaskan membimbing dan mengawasi. Arwini itu perempuan manis, masih pure lagi. Belum dicukuri alisnya, belum didempul bibirnya pakai lipstick. Temanku itu senang memandangi wajah Arwini.

Satu insiden kecil mempererat hubungan mereka. Senja hari temanku pulang kerja, sampai di tikungan masuk by pass Ngurah Rai, didapati Arwini berdiri mematung sendirian di pinggir jalan. Ban motornya gembos kena paku. Temanku tahu kalau dua ratus meter dari situ ada penambalan ban. Ditawarkannya bantuan, Arwini tentu welcome. Nyatanya ban motor membandel sehingga belum dapat dipakai senja itu juga. Arwini, kali ini yang meminta bantuan,”Lunas tulung,Bli.* Setopkan taksi.” Temanku menjawab, ” Biar saja saya antar pulang.” Berbelit-belit sebentar tapi hasil ujungnya Arwini duduk juga diboncengan motor temanku.

Tak tahu kenapa, semenjak kejadian itu, motor Arwini sering bermasalah. Tak tahu kenapa juga Arwini selalu minta diantar temanku. Selang seminggu, dari pulang semotor berdua, kemudian jadi makan siang semeja berdua. Kalau sempat mampir ke kos kami, kudengar suara Arwini kian hari kian mendayu pada temanku laksana buluh perindu. Aku senang saja menyaksikan hal itu, temanku dapat perempuan, sementara orderan pekerjaan dari perusahaan perak buatku pun semakin lancar.

Suatu waktu mereka minta pendapatku,”bagaimana kalau kami menikah?”

Apa yang salah? Kalau cocok, ya menikalah.

Suatu waktu lagi saya menguping pembicaraan mereka di teras,
”mari…”
”mau…,” lanjut Arwini
”Bisa. Kalau mau sekarang juga bisa.”
”Ayo”
”Tapi musti cium dulu”
”Mau”
”Tapi ciumannya musti di hadapan pastor, di depan altar,” kata temanku
”Ya, kita ke gerejamu sekarang.”
Ampun.., saya tertawa pelan. Arwini belum tahu amat pelik dan memakan waktunya jika ingin berciuman di depan altar, di hadapan pastor.

”Saya siap turuti agamamu,” Arwini berkata.
Arwini..,Arwini.., jadi Katolik itu tidak sekedar belajar sebentar lantas mengucapkan syahadat. Harus meyakinkan dulu, diteliti dulu, diajari dulu, dinilai apa sudah pantas apa belum.

Tapi tekad Arwini sudah bulat, ia siap menjalaninya. Tidak sulit bagi Arwini, toh banyak orang Bali yang Katolik. Kami mengenalkannya dengan basis-basis umat Katolik di seputar Denpasar, seperti Tuke, Jimbaran, Kuta.

Arwini dibabtis dengan nama permandian Veronika. Ia dan temanku kemudian bisa berciuman di hadapan pastor diiringi alunan Bridall Chorus.

(IV)
Kelender di dinding kamar kos beberapa kali berganti setelah pernikahan temanku. Mereka sudah menempati rumah sendiri pemberian ayah Arwini. Temanku yang dulu berbadan tipis itu kini ibarat tengah berbadan dua, gemuk sehat dan memutih kulitnya.
”Hokimu memang harus menikahi perempuan Bali,”godaku. ”Sekarang orang tak akan menduga-duga kamu itu Ambon, Papua atau bahkan Flores.”
”Makanya kamu menikalah. Kelamaan, daya tarikmu bisa hilang. Jangan gonta-ganti terus,bisa bosan juga perempuan melihatmu.”
”Ini hidupku,kau mau apa?”
”Sialan, kau ambil makianku. Semestinya kupatenkan.”





Puisi

Maaf (bila aku jujur) Kau biarkan aku mengendap-ngendap dalam hening
Kau biarkan aku melenggang dalam ramai
Tapi kau tak tahu apa yang kucari
Kau sunggingkan senyum pujian

Kau acungkan jempol
Tapi kau tak tahu siapa yang kucari
Kau kira kita searah
Kau duga kita sama
Tidak
Aku bukan seperti kalian
Bila bulu-bulu badanku rontok
kalian kan tahu kalau aku anjing
kalau aku mencari kotoran sepanjang jalan
siang dan malam






Tidak ada komentar:

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...