Sesapi Putih Tak Ada
di Langit Rote
Ia memijakan kakinya di atas batu cadas
hitam. Pandangan matanya tersebar ke tiap ujung batang lontar yang memenuhi
bukit itu. Seseorang dicarinya. Tak tampak.
“Kakak…..!” Ia akhirnya berteriak.
“Kakak…..!” Ia akhirnya berteriak.
“Kakak……..!” Sekali lagi lebih keras.
Teriakannya mendengung terpantul di antara dinding bukit yang berhadap-hadapan.
Ia seolah melihat sesuatu tergolek di akar pohon asam tua di ujung bukit itu.
Maka ia pun menuju ke sana .
“Gabriel…! Saya disini…” Tiba-tiba ada
suara lain membalas. Suara yang dicarinya. Gemanya datang dari sebelah kiri. Ia
memacuh langkahnya mengikuti arah suara itu, melompati satu demi satu kumpulan
semak berduri setinggih betis, sambil sesekali matanya tetap awas ke tiap ujung
batang lontar.
Sekarang ia pelankan gerak, membiarkan
angin melaju mendahului. Tidak digubrisnya tingkah seekor belalang padang yang
tadi ikut berpacuh. Orang yang dicari telah ia dapatkan.
“Ada apa,Gabriel..?”
Suara itu jatuh dari atas pohon lontar. Wajah orang tersebut belum tampak
karena sama sekali ia tak berpaling kepada Gabriel. Lagipula tinggi pohon itu
kira-kira hampir mencapai tiga puluh meter. Gabriel mendongakan kepalanya.
“Ada orang,mencari
Kakak…”
“Siapa..?!”
“Turunlah dulu…”
Orang yang disebut kakak oleh Gabriel
itu pun cepat merayap turun bak cecak di dinding lagi berjalan mundur, hanya
saja ia menaruh kakinya pada tumpuan-tumpuan di sekujur batang pohon secara
bergantian, yang membawanya semakin rendah, semakin jelas kelihatan.
Begitu menjejaki
tanah,dikebas-kebaskannya kotoran serta debu dari kaos usang tipis penuh
bolong-bolong kecil sana-sini itu. Sesaat diperhatikanya bayangan pepohonan.
Belumlah setengah hari tapi panas begitu menyengat. Ia memicingkan mata,
kemudian membawa dirinya ke bawah naungan pohon reo yang teduh. Gabriel
mengikuti kakaknya dari belakang.
Tonio, nama pemuda itu. Kakak Gabriel. Tampan
wajahnya. Tubuhnya tegap gagah. Meski agak dekil tapi warna kulitnya jauh lebih
terang dari Gabriel. Ia seolah pernah melewati sebuah masa yang cukup lama,
dimana dalam masa itu tak ada pohon lontar yang perluh ditaklukkan, tak ada
bukit gersang dengan bebatuan cadas yang perluh didaki, tak da situasai yang
membuatnya berdekil terpanggang mentari.
Gabriel memperhatikan kakaknya. Ada rasa
sungkan dari balik tatapannya. Tali haik
koneuk, wadah setengah lingkaran dari daun lontar sebagai tempat menyimpan
air nirah, belum lepas dikalungi Tonio. Pada batas pinggangnya gantungan haik koneuk dari tanduk kerbau bergayut mantap.
“Siapa yang mencariku ?” Suaranya
memecah bisu. Beberapa daun Reo yang tak sanggup lagi bertahan di rantingnya,
meluncur di hadapan mereka.
“Ada orang,
kata Ine, datang dari
Denpasar”
Tonio agak tersentak mendengar kata Denpasar.
Ditelannya air liur. Sekonyong-konyong ia seperti diisi tenaga baru.
“Siapa namanya?”
“Tidak tahu”
Tonio bangkit, membetulkan letak haik koneuk dan parang kecil di pinggangnya. Tak
ada tanya apa-apa lagi bagi Gabriel.
“Saya lebih dulu. Kamu, ambilah haik koneuk besar berisi air nirah yang saya taruh
di pondok sana .” Ia menunjuk kearah kiri, memutar
sekitar dua ratus meter lebih.
Di tempat itu memang berdiri satu
pondik kecil berpanggung, tempat orang biasa beristirahat. “Hati-hati, kemarin telah kau
tumpahkan separuh,” diingatkannya pada Gabriel saat anak itu memutar langkah. “Sebentar…..,” Ia membuat langkah Gabriel terhenti lagi. “Ada banyak
telur puyuh yang tadi saya dapatkan di semak. Itu buatmu.”
Gabriel sumringah mendengarnya. Umpama
kuda balapan, ia langsung berjingkit meninggalkan sang kakak. Tonio menuruni
bukit, ringan langkahnya. Tapi dalam hati penuh tebakan dan tanya.
“Cepatlah, Nak.” Ibunya menyongsong
dari pintu dapur. Dilepaskanya tali haik
koneuk yang melingkari tubuh
anak sulungnya. Sementara Tonio menyelipkan parangnya pada bila kayu yang
melintang sepanjang dinding dapur.
“Handukmu sudah Ine gantung di kamar mandi.”
“Siapa yang datang, Ine?”
“Temanmu dari Denpasar”
“Terus, siapa yang temani di depan?”
“Ama. Cepatlah, Amamu harus ke rumah Ba’i Samuel.”
“Memangnya ada apa dengan Ba’i Samuel? Ada yang
mengamuk lagi tidak kebagian dana kompensasi BBM?”
“Tidak ada apa-apa, sekedar mematangkan
rencana mereka. Ada pesanan tuak nasu, air gula, dari
Kupang. Pemesannya minta banyak dan ingin diambil secepatnya. Sudah sana ,
mandi.”
Tonio pun melangkah ke tempat yang
diarahkan ibunya. Sedang si ibu sendiri menyimpan haik koneuk ke tempatnya seperti biasa. Ia bangga
pada putranya, walau sarjana dan sebentar lagi mengisi lowongan pada sebuah
kantor di kota ,
ia tetap mau melakukan aktifitas seperti lelaki di kampungnya.
Tonio terperanjat saat tahu siapa yang
datang.
“Tonio?!” Sang tamu juga berlaku sama.
Ia spontan mengulurkan tangan. Sekejab tangan mereka menyatuh.
“Pasti
gerah ya, Bli. Cukup melelahkan perjalanannya kan ?”
Tonio menemukan butiran keringat di wajah Gede Prastika, tamunya. Mereka sudah
akrab selama Tonio di Denpasar. Semenjak ia magang di Kantor Pos Denpasar,
tempat Gede Prastika bekerja hingga diwisuda. Tak ada yang tahu jika Tonio
hampir saja jadi ipar Gede Prastika. Sikapnya yang luwes, sopan, dan tidak
pura-pura itulah yang membuat Gede Prastika simpatik lantas menjodohkannya
dengan Saraswati, adik perempuannya.
“Bli tahu darimana alamatku?”
“Alamat? Itu teramat gampang dilacak,
apalagi buat orang yang bepekerjaan seperti kami.” Ia tersenyum, tapi Tonio
sendiri bertanya-tanya apa tujuan Gede Prastika menemuinya.
“Jadi kau sudah lupa, kan dulu
pernah kuceritakan kalau aku mau diangkat jadi kepala Kantor Pos pada salah
satu kabupaten di NTT ? Maaf, tidak memberi kabar sebelumnya. Kamu sendiri
tidak meninggalkan alamat buat kami. Ayah dan Ibu titip salam buatmu. Ada kiriman,
tapi kau ambilah sendiri di kota .
Kenapa kau tak pernah memberi kabar? Kau juga
pergi diam-diam hanya pamit lewat
surat.
Tonio tertunduk.
Sejujurnya ia senang dikunjungi Gede Prastika tapi di lain pihak kedatangan
orang itu juga membuka kain perkabungannya. Padahal, ia sudah ingin melupakannya,
ia sudah iklas kehilangan. Tapi kenapa bayangan masa lalunya itu datang lagi, mengejarnya
sampai ke pulau terselatan di Indonesia ini?
GEDE
PRASTIKA menghabiskan
harinya hingga sore di rumah Tonio. Dikisahkan segalah yang terjadi di Denpasar
selama ini. Tentu saja sembari menikmati segarnya air nirah sadapan. Ternyata,
banyak potensi yang ia temukan di daerah ini. Dikirannya tempat seperti ini tak
menjanjikan.
“Air nira bisa sembuhkan mag. Bli bisa
buktikan sendiri, kami orang Rote tak kenal penyakit yang menyerang lambung
itu,” seloroh Tonio. Diuraikannya pula tentang berbagai hal seputar lontar dan
proses pemanfatannya, mulai dari pembuatan gula air, gula lempeng, sopie, Ti’i langga, topi khas Rote,
sampai Sasando. Tak lupa diselipkan janjinya untuk mengajak Gede Prastika
mampir ke Pantai Nembrala yang ombaknya menggoda untuk berselancar.
Ketika ayam-ayam
jantan kampungnya menandai kedatangan malam dengan kokokan mereka, ia mengantar
Gede Prastika kembali ke kota. Di perjalanan, tiba-tiba Gede Prastika
menanyakan suatu hal yang menggelitik hatinya,
“Sesuatu di rumahmu membuatku berpikir
sepanjang perjalanan.”
“Tentang apa?”
“Tulisan di ruang tamu”
“Tulisan?”
“TIMOR :
Tanah Ini Milik Orang Rote. Itu maksudnya apa? Apa semacam klaim terhadap pulau Timor ?”
“Ah, itu sekedar
lelucon orang Rote di Kupang sana, biar mereka merasa seperti bumi sendiri.”
Malamnya, di rumah
dinas Gede Prastika, Tonio tidak bisa memejamkan mata secepat malam-malam
kemarin. Bayangan seorang perempuan Bali menari-nari dalam otaknya.
Terpaksa dikenangnya kembali
kemesraanya dengan Saraswati. Gede
Prastikalah mempertemukan mereka di rumahnya. Lalu kunjungan Tonio terus berlanjut.
Lagi-lagi peran Gede Prastika amat besar.
Hanya sayang, dikala segalahnya mulai
terajut indah, ketika orang tua Saraswati memberi lampu hijau bagi cinta
mereka, bahkan mulai membicarakan perkawinan mereka, kekasihnya itu harus pergi
tanpa mengatakan satu kata pun. Pergi tak untuk kembali. Ledakan di Kuta Square tidak hanya
mengabil raga, tapi juga roh Saraswati.
Yang tersisa cuma kenangan. Ya, kenangan yang paling berbekas
adalah ketika mereka menghabiskan sore di Taman Niti Mandala Renon. Sembari
menatap megahnya bangunan di depan mereka, tempat sejarah masa lampau di salin
ulang demi generasi muda. Waktu itu sore menjadi tambah indah
dengan alunan lagu Widi Widiana, penyanyi pop Bali, tentang Sesapi Putih, walet putih yang
terbang dan menjadi saksi pertemuan seorang pria dengan seorang dara,
Rasa tan
sidi, ragan Beli pacang ngengsapang
Dugas Beli
ketemu sareng Adi ring taman sari
Sesapi Putih mekeber ring taman sari
Ento pinaka saksi tresna Beline ken
Adi.
Tonio mendengar terang suara itu,
Gabriel, adiknya. Dikucak-kucak matanya. Gabriel telah berdiri di hadapanya
dengan nafas masih tersenggal.
“Kak,bangun. Ama ngamuk! Air nira yang semalam diminum
kakak bersama pemuda dari kampung Oehandi ternyata pesanan dari Kupang!”
“Ha?! Aduh..!!” Ia terhenyak. Bentangan koran tentang kisah pilu
para saksi korban Bom Kuta-Jimbaran yang ia gunakan sebagai alas tidur terlepas
dari punggungnya.
Semua yang baru saja dialaminya,
tentang hidupnya di Denpasar, tentang Gede Prastika, tentang Saraswati dan
Sesapi Putih, ternyata……
“Tonio..!,Tonio….!, Awas kau. Kerjamu
hanya minum, kurang ajar!”
“Kak, itu suara Ama. Lari Kak, lari……”
Cerpen 1
Semut
(I)
Rambutnya
ikal. Kulitnya hitam. Roman mukanya benar-benar khas timur. Sebenarnya dia itu
temanku. Hanya saja telah saking dekatnya, maka dia kuanggap sebagai pengganti
saudaraku. Makanya aku tahu banyak tentang dia. Ia pernah bertutur padaku,
pertama kali di sini bila hendak berkenalan, teman-temannya yang Bali mencoba
menebak dari mana asalnya.
”Ambon?”
”Bukan”
”Papua?”
”Bukan
(masa dari Papua badannya seceking ini). Saya dari Flores”
”Flores?
Mana itu Flores?”
Mendengar
itu ia kaget bukan kepalang. Memaki dalam hati,”Setan, Flores saja tidak
tahu. Berapa jauhnya dari Bali? Belajar apa mereka di Geografi, sudah sampai
mahasiswa tapi sama sekali tak kenal daerahku.” Namun ia menahan kalimat-kalimat itu
dalam hati dan memilih menjelaskan pada mereka. Itu cara paling damai. Hasilnya,
mereka bukan cuma manggut-manggut tapi kagum. Untung kalau kemana-mana, dalam
tasnya selalu terselip gambar danau Kelimutu dan biawak Komodo. Terkadang, tetap saja ia dibuat
kaget, selain mahasiswa ternyata masih banyak orang belum tahu dimana letak
Flores. Mereka kerap mengaitkannya dengan Kupang, yang butuh semalam untuk
digapai dengan kapal laut. Ya, sudahlah tak apa-apa, apabila kelak Flores jadi
propinsi defenitif baru akan bisa dibedakan.
Peristiwa
lain terjadi di semester pertama kuliah. Dosen-dosennya mengira dia dari Timor
Leste. Itu karena namanya: Godrico Luis Pareira. Dosenya heran. Lagi-lagi ia
menjelaskan bahwa kampung Sikka tanah kelahirannya, dulu cukup lama didiami
Portugis. Pengaruh bangsa itu menyebabkan namanya jadi demikian indah. Bila
sudah begitu dosen-dosennya menyimpulkan,”Jadi kalian pernah dijajah Portugis”
atau ”Imperialisme Portugis sampai juga di daerahmu,” atau ”Kalian budak
Portugis, toh.” Segera ia membantah. Kata para tetua, orang Portugis yang
datang ke daerahnya teramat beda bila dibandingkan dengan Belanda atau Jepang.
Mereka tidak memerintah, tidak menjajah, tidak memperbudak. Mereka cuma
menyebarkan agama Nasrani sembari mengajari nenek-moyangnya bertani, menenun,
dan melaut dengan lebih baik. Nama pulau itu sendiri diberikan oleh Portugis.
Katanya, sewaktu kapal mereka merapati daratan, yang dilihat oleh mata mereka
adalah mekarnya berbagai bunga dipermukaan pulau. Dinamailah Cobo da Flores,
pulau bunga.
Cerita itu
dikisahkannya sepuluh tahun lalu.
Saya? Saya sendiri dulunya calon biarawan. Itu bukan cita-cita masa kecilku. Bisa dibilang ’panggilan’ ke situ datang tiba-tiba. Semasa SD hingga SMU justruh saya tertarik menjelajahi dunia, kupikir saya terlahir sebagai petualang. Tapi seperti sudah saya katakan, ’panggilan’ itu tiba-tiba datangnya. Saya turuti saja kata hati, masuk biara sebuah ordo. Sulit memang menyesuaikan diri, seperti terlempar ke dunia lain. Keterbiasaan akan hingar-bingar harus ditransformasikan menjadi ’man of the desert’ manusia padang gurun, penyepi, silentium, meditatif, klausura dan hal lain lagi yang dirasa diri sebagai keterpasungan. Lama kelamaan seiring berjalanya waktu, saya jadi terbiasa dan mulai mencintai kehidupan demikian.
Namun
disaat keyakinan saya untuk melangkah mantap tumbuh, ada belati datang
menebasnya, ”problem sanitas tak bisa membuatmu mengikrarkan kaul,” begitu ujar
pastor pembina. Masalah kesehatan adalah salah satu momok menakutkan untuk
calon gembala umat disamping sapienta dan sanctitas. Terpaksa saya mundur
dengan air mata. Sejak itu saya merasa seperti prajurit yang terpukul gada.
Dunia dengan hari-harinya menjadi penonton, menertawakan lakon heroik yang
berubah jadi lelucon.
Tapi bukanlah
saya jika ingin terus ditertawai. Kututup layar, keluar dari panggung itu, dan
memutuskan pindah ke gedung teater lain, terdampar di pulau Dewata, bertemu
Godrico, temanku itu.
Saya
kisahkan tentang Godrico.
Tentang
kuliahnya. Ah, sungguh sayang, tidak dituntaskan. Padahal tinggal menyusun dan
mengajuhkan -lagi- proposal penelitian. Sebagai teman saya sudah berusaha
mendorong, tapi tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain tutup mulut saat ia
sampai mengumpat, ”Saya sudah bosan! Lagi pula ini hidupku, kau mau apa?!”
Memang proposal penelitiannya ditolak. Tiga kali, bayangkan. Tentu membuat
stress. Secara pribadi saya tidak menduga bisa begitu (maksudku, kenapa bisa
proposal ditolak tiga kali). Menurut saya otaknya tidak bebal, pengetahuannya
luas, diajak diskusi apa saja klop. Uh.., kenyataan hidup seringkali
mencengangkan kita.
Berhenti
kuliah, bagi Godrico, bukan berarti menganggur. Kebetulan ada orang Sikka yang
sukses jadi eksportir perhiasan perak. Punya beberapa kantung perusahaan yang
berpusat di Sanur. Sebagian besar karyawanya adalah orang-orang sesuku juga. Godrico
diterima kerja bagian pengawas. Saya ketiban rejeki pula, diberi orderan
merangkai butiran permata dan perak jadi anting. Pokoknya, tak ada lagi istilah
tanggal tua, orderan selalu lancar, kantong celana tak cuma berisi udara. Belum
sampai setengah tahun dia ganti motor, kredit dengan uang muka separuh juta.
Flat televisi terisi di kamarnya.
Bagaimana
urusan rohani? Jangan tanya. Di tempat misa dia termasuk the ants, semut gereja. Bukanya bermaksud membusungkan
dada, tapi mulai dari uskup, pastor paroki, dewan gereja hingga umatnya hampir
delapan puluh lima persen milik wajah khas timur. Sebagai perantau, ikatan
relasi dijaga baik. Saling bantu, saling kunjung dan berbagai hajatan disesaki
banyak orang. Mereka juga selalu menjaga nama baik daerah.
Con Brio,
dengan semangat semut temanku menjalani hidup. Apalagi setelah ia menjumpai
seorang perempuan, Arwini, Ni Ketut Arwini yang kini jadi mamanya Armando dan
Claudia.
Tentu saya
harus menceritakan pertemuan mereka.
Walau ia
sudah diwanti-wanti saudaranya yang sudah lebih dahulu jadi doktorandus,”kalau
cocok, bawa pulang saja perempuannya,” sungguh, dia tidak menduga kalau
akhirnya ia benar-benar mengawini perempuan Bali.
Mulanya
ketika Arwini diterima kerja. Sudah baku dalam semua perusahaan jika karyawan
baru wajib menjalani masa training, dan temankulah ditugaskan membimbing dan
mengawasi. Arwini itu perempuan manis, masih pure lagi. Belum dicukuri alisnya, belum
didempul bibirnya pakai lipstick. Temanku itu senang memandangi wajah Arwini.
Satu
insiden kecil mempererat hubungan mereka. Senja hari temanku pulang kerja,
sampai di tikungan masuk by pass Ngurah Rai, didapati Arwini berdiri mematung
sendirian di pinggir jalan. Ban motornya gembos kena paku. Temanku tahu kalau
dua ratus meter dari situ ada penambalan ban. Ditawarkannya bantuan, Arwini
tentu welcome. Nyatanya
ban motor membandel sehingga belum dapat dipakai senja itu juga. Arwini, kali
ini yang meminta bantuan,”Lunas tulung,Bli.* Setopkan taksi.” Temanku menjawab,
” Biar saja saya antar pulang.” Berbelit-belit sebentar tapi hasil ujungnya
Arwini duduk juga diboncengan motor temanku.
Tak tahu
kenapa, semenjak kejadian itu, motor Arwini sering bermasalah. Tak tahu kenapa
juga Arwini selalu minta diantar temanku. Selang seminggu, dari pulang semotor
berdua, kemudian jadi makan siang semeja berdua. Kalau sempat mampir ke kos
kami, kudengar suara Arwini kian hari kian mendayu pada temanku laksana buluh
perindu. Aku senang saja menyaksikan hal itu, temanku dapat perempuan,
sementara orderan pekerjaan dari perusahaan perak buatku pun semakin lancar.
Suatu
waktu mereka minta pendapatku,”bagaimana kalau kami menikah?”
Apa yang
salah? Kalau cocok, ya menikalah.
Suatu
waktu lagi saya menguping pembicaraan mereka di teras,
”mari…”
”mau…,”
lanjut Arwini
”Bisa.
Kalau mau sekarang juga bisa.”
”Ayo”
”Tapi
musti cium dulu”
”Mau”
”Tapi
ciumannya musti di hadapan pastor, di depan altar,” kata temanku
”Ya, kita
ke gerejamu sekarang.”
Ampun.., saya
tertawa pelan. Arwini belum tahu amat pelik dan memakan waktunya jika ingin
berciuman di depan altar, di hadapan pastor.
”Saya siap
turuti agamamu,” Arwini berkata.
Arwini..,Arwini..,
jadi Katolik itu tidak sekedar belajar sebentar lantas mengucapkan syahadat.
Harus meyakinkan dulu, diteliti dulu, diajari dulu, dinilai apa sudah pantas
apa belum.
Tapi tekad
Arwini sudah bulat, ia siap menjalaninya. Tidak sulit bagi Arwini, toh banyak
orang Bali yang Katolik. Kami mengenalkannya dengan basis-basis umat Katolik di
seputar Denpasar, seperti Tuke, Jimbaran, Kuta.
Arwini
dibabtis dengan nama permandian Veronika. Ia dan temanku kemudian bisa
berciuman di hadapan pastor diiringi alunan Bridall Chorus.
(IV)
Kelender
di dinding kamar kos beberapa kali berganti setelah pernikahan temanku. Mereka
sudah menempati rumah sendiri pemberian ayah Arwini. Temanku yang dulu berbadan
tipis itu kini ibarat tengah berbadan dua, gemuk sehat dan memutih kulitnya.
”Hokimu memang harus menikahi perempuan Bali,”godaku. ”Sekarang orang tak akan menduga-duga kamu itu Ambon, Papua atau bahkan Flores.”
”Hokimu memang harus menikahi perempuan Bali,”godaku. ”Sekarang orang tak akan menduga-duga kamu itu Ambon, Papua atau bahkan Flores.”
”Makanya
kamu menikalah. Kelamaan, daya tarikmu bisa hilang. Jangan gonta-ganti
terus,bisa bosan juga perempuan melihatmu.”
”Ini
hidupku,kau mau apa?”
”Sialan,
kau ambil makianku. Semestinya kupatenkan.”
Maaf (bila aku jujur) Kau biarkan aku mengendap-ngendap dalam hening
Kau biarkan aku melenggang dalam ramai
Tapi kau tak tahu apa yang kucari
Kau sunggingkan senyum pujian
Kau acungkan jempol
Tapi kau tak tahu siapa yang kucari
Kau kira kita searah
Kau duga kita sama
Tidak
Aku bukan seperti kalian
Bila bulu-bulu badanku rontok
kalian kan tahu kalau aku anjing
kalau aku mencari kotoran sepanjang jalan
siang dan malam
Kau biarkan aku melenggang dalam ramai
Tapi kau tak tahu apa yang kucari
Kau sunggingkan senyum pujian
Kau acungkan jempol
Tapi kau tak tahu siapa yang kucari
Kau kira kita searah
Kau duga kita sama
Tidak
Aku bukan seperti kalian
Bila bulu-bulu badanku rontok
kalian kan tahu kalau aku anjing
kalau aku mencari kotoran sepanjang jalan
siang dan malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar