KANAWA,
Bidadari & Seraya
ROMANSA TIGA PULAU SUNYI
Sejenak lupakanlah Komodo. Sejenak biarkanlah hewan purba itu lega bernafas di taman Jura-nya. Kita memang masih di kawasan wisata Taman Nasional Komodo, antara Labuan Bajo hingga pulau Banta, tapi marilah kita mengunjungi tiga pulau kecil yang tercecer di antaranya yakni: Kanawa, Bidadari, dan Seraya. Tempat dimana hati bisa menepi dalam sepi.
Pulau Kanawa
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja satu persatu temanku mengisahkan asyiknya menghabiskan satu dua hari di sebuah pulau kecil, kira-kira 15 km ke barat Labuan Bajo. Kanawa namanya. Saya diam-diam memendam hasrat kesana. Sepertinya bisa jadi alternatif setelah bertemu si gagah Varanus Komodensis nan tersohor itu.
Ketika Lulu, teman dari negeri Panzer, meminta saya mencarikan sebuah pulau kecil di sekitar Flores-Komodo yang bisa dipakai bermalam sambil bercengkerama dengan satwa laut, saya pun segera mengusulkan nama Kanawa. Lulu tak banyak menimbang, dia mempercayakan sepenuhnya pada pilihanku. Ini kali pertama dia ke Indonesia dan saya sudah menuntunnya dari mencari flight antar negara, flight antar pulau, menjelaskan proses VOA, Do and Don’t selama di tanah air, mengurus akomodasi sewaktu transit, hingga menyusun itinerary trip. “Jadilah tandemku. Kamu pasti tahu daerahmu lebih baik dari orang lain, bukan?,” begitu katanya.
SESUDAH mengeksplor timur Flores, kami terbang dari Maumere dengan Merpati Airline ke Labuan bajo. Terbilang murah tiketnya Rp.350.000, mengabiskan waktu kurang dari sejam dan mengambang melintasi langit danau tiga warna Kelimutu di pagi hari yang cerah. Pemandangan kampung-kampung tradisional Bajawa sempat terekam mata, begitupun pola persawahan gaya spider web a la Manggarai. Nyaris semua penumpang terpesona akan lekuk-lekuk pegunungan Flores yang pada ujung barat pulaunya ditaburi lagi dengan gugusan nusa-nusa kecil dilingkari pasir putih.
Kami tiba di Labuan bajo dan langsung menyewa ojek yang mangkal di pintu keluar bandara. Dengan menawar harga masingnya Rp.5000, sampailah kami di sales office Kanawa Beach Bungallow tepatnya di Jl. Soekarno Hatta (www.kanawaislandresort.com Tel. 038542089/ 08585704 3197). Tiba di sales office, kami dilayani petugas reservasi. Beruntung kami tiba jam 11.00 pagi sehingga hanya butuh sejam lagi menanti untuk diberangkatkan ke pulau Kanawa. Waktu menunggu itu kami gunakan untuk lunch di Restaurant Philemon milik Pak Udin yang menyajikan beraneka seafood enak tapi ekonomis (Tel. 038541066, samping pelabuhan Pelni).
Keberangkatan dari Labuan Bajo ke Pulau Kanawa hanya sekali dalam sehari yakni jam 12.00 siang itu dan memakai kapal motor milik mereka. Minimun length of stay di Kanawa adalah dua malam. Harga dibandrol Rp. 275.000/ malam belum termasuk pajak sehingga katakanlah Rp. 600.000 untuk dua malam. Ketika kami hendak membayar biaya akomodasinya, petugas mengatakan pembayaran dilakukan di pulau, bukan di sales office. Bagi yang niatnya hanya sekedar day trip tanpa nginap, tak apa, tinggal menyewa kapal nelayan seharga Rp.250.000, sudah boleh singgah di Kanawa.
Seluas kira-kira 28 hektar, pulau ini terbagi dalam dua sisi, dipisahkan oleh sebuah bukit. Bagian selatan dibangun bungallow sedangkan bagian utara dibiarkan alami. “Ini sengaja demi perlindungan terhadap habitasi pulau. Banyak burung, seperti elang dan bangau menghuni di sisi utara. Kami pun tak membuat akses kesana. Biarlah, jika ada tamu yang berminat, mereka bisa melakukan private hiking atau trekking,” jelas salah satu staff seraya menggiring saya dan Lulu ke bungallow paling timur, langsung di bibir pantai.
Bungallow di Kanawa berjumlah 14 buah terbagi dalam dua kategori. Bagi saya bangunan-bangunannya masih basic ya..tapi okelah, tak tahu kenapa saya suka kamar mandinya yang sederhana tapi natural sekali, berdinding bambu, pancuran bambu,dan biji-biji batu pengalas lantai. Bisa disimpulkan pula bahwa nuansa Kanawa adalah biru. Ini jelas terlihat dari berbagai aksesorisnya. Seragam staff biru, seprei biru. Bean beg yang diletakkan di berbagai tempat teduh di pantai pun berwarna biru. Air tawar didatangkan dari Flores, termasuk untuk mandi. Tiap jam 3 sore air tawar ini dialirkan ke setiap bungallow. Sementara jika hendak berbasuh setelah berenang, tamu dapat menggunakan pancuran air tawar di samping restoran yang aktif 24 jam. Pada teras setiap bungallow ada ayunan tidur, juga antara tiap dua pohon ikut digantung ayunan tidur. Wah, menggoda untuk bermalas-malasan nih. Untung, saya bawa buku bacaan. Cocok lah.
TAK PAKAI LAMA, saya langsung menceburkan diri ke laut. Tapi apes, mask snorkel saya karetnya tidak rekat lagi, setiap kali nyemplung, air langsung ikut masuk. Kami memutuskan untuk menyewa gear di Dive center. Tak sangka, dive center Kanawa punya semua yang dibutuhkan, termasuk instruktur dive asing dan penyewaan kamera bawah air. Dari sana pula saya mendapatkan peta lokasi snorkeling.
Pertama-tama kami bersnorkeling di sisi utara dermaga karena ingin melihat ikan pari. Perairan di sekitar sini terbilang lumayan dalam dan tidak begitu banyak koral melainkan lereng-lereng karang. Selain ikan, yang paling banyak ditemui adalah teripang alias timun laut. Jenis seperti teripang putih (Holothuria scabra) dan teripang Koro (Microthele nobelis) yang punya nilai ekonomis lumayan tinggi tersebut bergerombol dimana-mana. Saya terus bergerak hingga ke bagian laut yang permukaannya mulai terasa dingin, dan dua ekor pari berpunggung legam tiba-tiba menggerakan layarnya. Ukuran tubuh mereka tak seberapa besar, saya menduga mereka masih pari belia. Lulu yakin bahwa itu bayi pari manta, yang kalau dewasa akan sangat besar badannya. Lelah berjam-jam di laut, kami memutuskan untuk rehat dulu. Sebelum naik ke darat kami ‘dihadang’ sekelompok ikan Lepu alias Lion Fish tipe Pterois miles berwarna belang merah-putih, tepat di sekitar tangga dermaga. Terpaksa harus menunggu mereka pergi sebab meski ikan ini cantik jelita, mereka punya sengatan beracun mematikan.
Malamnya kami makan di restoran pulau ini, namanya keren ‘Starfish’. Tentu yang kita makan bukan bintang laut tapi kebanyakan masakan Italia, maklum bungallow dikelola oleh pengusaha negeri Azzuri. Harga makanannya agak mahal, membuat saya bersyukur telah membeli banyak bekal makanan di Labuan bajo sebelum kemari. Biar irit, cukuplah memesan nasi goreng.
SAYA BANGUN subuh keesokkan harinya. Ini sudah saya rencanakan semalam. Pasalnya, saya mau menikmati sunrise di atas bukit Kanawa. Lulu punya habit susah bangun pagi, tapi anehnya dia ikut bangkit pula dari tempat tidur. “Setelah sunrise di danau Kelimutu yang luar biasa, mana mungkin saya biarkan kamu menikmati sendirian sunrise kali ini di Kanawa?,” ujarnya mengikuti langkahku meninggalkan bungallow. Saya teringat bagaimana susahnya membangunkan dia sewaktu kami menginap di Moni, desa di kaki gunung Kelimutu. Lulu berat hati melepaskan selimut, namun setelah melihat rona merah terbitnya matahari di punggung danau, ia berulang kali berterima kasih telah diajak kesana pagi-pagi buta.
Pemandangan di bukit memang amat indah. Satu dua gumpalan batu keras bisa jadi tempat duduk. Ke timur, mata memandang mentari menyembul dari bukit-bukit. Ke selatan, pasir putih pulau dengan jejeran bungallow dan laut hijau pirus. Ke barat, mengeker pulau Komodo. Duh, romantis. Tapi saya agak protes dengan pengelola bungallow, mereka sepertinya terlalu fokus pada dunia penyelaman hingga tidak melihat potensi lebih dari pulau ini. Kami harus menebak sendiri darimana harus memulai pendakian, yang ternyata jalurnya terdapat di belakang rumah inap para staff. Apa susahnya membuat petunjuk arah agar lebih jelas? Trek ke bukit masih dalam kondisi ‘sangat apa adanya’. Untuk berpijak harus hati-hati lantaran kondisi tanah licin dan rapuh.
Sesudah sampai di dataran atas barulah baik. Jadi menurut saya, cukuplah trek lereng bawah dibenahi, mungkin dengan menancapkan kayu sebagai pegangan. Itu saja sudah bagus. “Kalau saya managernya, sudah pasti saya buat begitu. Tamu yang berminat mendaki ada, tapi itu terbatas pada golongan umur tertentu, anak-anak dan lanjut usia tak bisa, padahal bukit itu sama sekali tidak tinggi atau terjal,” kata saya kepada Lulu. Kami turun dari bukit sekitar jam 8, dan langsung sarapan di ‘Starfish’.
Hari kedua kami menjajal lokasi snorkeling di depan kamar kami. Awalnya tidak begitu beda karena tampaknya hampir sama dengan lokasi kemarin. Tapi ketika Lulu mengajak saya untuk bergerak agak ke timur segaris dengan tanjung, barulah saya antusias tak kepalang. Jumlah ikan sangat banyak dan beraneka rupa. Koral-koralnya subur, berwarna warni. Singkat kata, inilah taman bunga musim semi.
Bergeser lebih ke selatan, gua-gua karang kaya biota tak segan menampakan ikan-ikan dalam ukuran besar. Saya menemukan sensasi petualangan manakala mengejar gerombolan ikan melewati lereng-lereng karang, masuk ke kubangan besar, bercanda dengan keluarga besar Si Nemo. Wah, Clownfish itu, menemukan surganya disini, sampai tak mampu saya mengitung sarangnya.
Akhirnya, saya merasakan kesempurnaan ketika Lulu menarik tangan saya, mengisyaratkan supaya saya berhenti bergerak kesana kemari. Ia meletakan telunjuk pada bibirnya dan menunjuk ke sebuah titik hitam yang bergerak amat lambat. Samar-samar kami mendekat. “Penyu!!!!!!!” Seumur hidup saya belum pernah melihat penyu berenang di laut bebas. Kali ini ya, dan penyu ini agaknya lama berdiam di tempat tersembunyi sebab tempurungnya ditempeli kerang dan lumut. Tua, besar, dan ramah. Dia seolah tak terganggu dengan kehadiran kami. Mata sayunya menyeret saya untuk ikut kemana ia bergerak.
Bergeser lebih ke selatan, gua-gua karang kaya biota tak segan menampakan ikan-ikan dalam ukuran besar. Saya menemukan sensasi petualangan manakala mengejar gerombolan ikan melewati lereng-lereng karang, masuk ke kubangan besar, bercanda dengan keluarga besar Si Nemo. Wah, Clownfish itu, menemukan surganya disini, sampai tak mampu saya mengitung sarangnya.
Akhirnya, saya merasakan kesempurnaan ketika Lulu menarik tangan saya, mengisyaratkan supaya saya berhenti bergerak kesana kemari. Ia meletakan telunjuk pada bibirnya dan menunjuk ke sebuah titik hitam yang bergerak amat lambat. Samar-samar kami mendekat. “Penyu!!!!!!!” Seumur hidup saya belum pernah melihat penyu berenang di laut bebas. Kali ini ya, dan penyu ini agaknya lama berdiam di tempat tersembunyi sebab tempurungnya ditempeli kerang dan lumut. Tua, besar, dan ramah. Dia seolah tak terganggu dengan kehadiran kami. Mata sayunya menyeret saya untuk ikut kemana ia bergerak.
“Ternyata si penyu menarik kita lumayan jauh juga ya?,” kekeh Lulu saat kami menyembul ke permukaan air, menyadari bahwa kami sudah berada di sisi timur laut pulau. Setibanya di darat, alamak, sudah nyaris jam 3 sore, artinya 6 jam kami snorkeling. Pantas saja kulit jari-jari saya mengkerut. Tapi saya bahagia. Yakin, bahwa suatu saat nanti saya akan kembali kesini. Setujuh dengan namanya yang menurut WikiTravel telah masuk nominasi Best Snorkeling Spot in All South East Asia.
Pulau Bidadari
Burhan menyeruput kopinya. “Sudah tentram. Dulu sempat jadi berita heboh. Masalahnya terpicu oleh larangan pihak pengelola kepada nelayan yang menebar pukat harimau di bibir pulau. Dari sanalah berkembang isu pulau itu dimiliki orang asing, nelayan merasa tak puas.” Saya mendengar uraian Burhan tentang Pulau Bidadari. Kami duduk beramai di warung kopi Mama Bella. “Syukurlah, orang disini kini mengerti bahwa terumbu karang patut dilindungi dan bermanfaat bagi pengembangan pariwisata. Dengan sikap saling pengertian antara investor, pemerintah, dan nelayan, sudah tak ada lagi sengketa soal demikian. Pengambilan hasil laut dengan pukat harimau telah jadi hal tabu,” tambahnya.
Sekitar pertengahan tahun 2000 memang sempat tersiar kabar Pulau Bidadari berpindah kepemilikan ke tangan warga kulit putih. Gaung beritanya sampai mengundang campur tangan pemerintah. Kini, seperti yang dikatakan Burhan, situasi telah meredah tentram. “Sebentar lagi saya mau memancing di sekitar sana. Kalau mau ikut, silahkan. Kamu bisa turun ke pulaunya,” Burhan berujar lagi. Kali ini ucapannya menyebabkan mataku mendelik. “Asal ada sumber asap di bibir, beres. Dua belas batang cukuplah,” timpalnya lagi seraya menggapit jari telunjuk dan jari tengah. Saya tersenyum paham. Yang dimaksud Burhan adalah sebungkus rokok Dji Sam Soe favoritnya.
Dengan sampan kami ke pulau Bidadari. Kakak Burhan beserta anak laki-laki kecilnya turut serta dengan sampan lainnya. Saya menyukai kekompakan ayah anak tersebut. Berbagi umpan pancing, bercerita, saling menjaga. Ya, ibarat kegiatan piknik saja.
Letak Pulau Bidadari dekat, kira-kira 4 km dari Labuan Bajo. Dengan sampan kecil terkesan lebih native dan rustic. Sampan bergerak pelan, kami mendayung, menghirup udara bebas, menekur dinding pulau Monyet dan satu pulau kecil lainnya di sebelah kiri yang fotonya selalu tampil dimana-mana. Saya menyukai momen ketika sampan membela air yang baru saja pasang naik antara dua pulau itu. Gerombolan ikan jelas kelihatan punggungnya, setengah berenang setengah menggeliat pada ruang antara permukaan laut dan pasir nan putih.
Sampan kakaknya Burhan berbelok ke kanan, sedangkan kami terus lurus ke depan menujuh tepian pulau yang versi Inggrisnya bernama Angel Island itu. Saya melompat turun segera bersamaan dengan bagian bawah sampan menyentuh pasir. Membantu mendorong kembali ke timur dan menyepakati usulan Burhan untuk menjemput saya dua jam lagi. Saya sudah sampai!
Pulau Bidadari lebih kecil dari Kanawa. Pepohonan rimbun menutupi sebagian besar pulau, termasuk resort yang diempunyai penyelam Skotlandia, Ernst dan Kath Mitchinson. Resort asri yang tak jauh dari bibir pantai dan terlindungi oleh pohon-pohon rindang menciptakan nuansa romantis laiknya taman Firdaus. Karena saya bukan tamu resort, jadi eksplorasi saya pun hanya sebatas area luar. Meski demikian bisa ditangkap bagaimana bagusnya pengelolaan akomodasi ini. Bagi pasangan atau mereka yang mendamba privasi juga liburan berdua yang memorable, cocoklah kemari. Pantainya berpasir putih, hanya beberapa meter sudah bisa bersnorkeling bebas. Dengan ketenangan, kesejukan, kicauan burung, dan bayang-bayang kembang sepatu, pulau ini seperti bagian dari negeri Skotlandia yang terletak di Flores. Eksotis tapi tentram khas pesisir utara benua Eropa.
Meski harga inap terbilang mahal bagi backpacker yakni Rp 1 juta/ malam, namun jika ada yang berminat silahkan datangi sales officenya di Labuan bajo tepatnya Reefseeker Dive center atau klik websitenya di www.angelisleflores.com
Pulau Seraya
Kunjungan saya ke Pulau Seraya terjadi empat bulan sebelum saya ke Kanawa dan Bidadari. Waktu musim kering. Walau saya lebih tertarik untuk datang kesana saat rerumputannya lagi hijau, namun saya langsung mengangguk ketika kenalanku, Pak Frans Oan Semewa, pemilik bungallow disana sekaligus pemilik Hotel Gardena Labuan Bajo mengajak saya dan temanku untuk ikut serta. Nasib backpacker jenis ‘shy cat’ seperti saya memang acapkali dapat yang gratis- gratis. Haha:)
Pak Frans mengatakan, untuk ke Pulau Seraya dan menginap, tamu cukup datang dan mereservasi di Hotel Gardena. Tiap hari kapal motor dua kali berangkat ke Seraya, jam 7 pagi dan jam 12 siang. Dan seperti yang sudah-sudah, kami bertolak dari pelabuhan Labuan bajo. Guna mencapainya, kapal motor bergerak ke arah utara. Pulau Seraya sebenarnya ada dua, dibedakan berdasarkan ukuran. Nah, lokasi bungallow Pak Frans ada di Seraya Kecil, sebelah kanan. Saya senang saja menatap tebaran tepi pantai yang kadang-kadang hanya karang, kadang-kadang disela oleh pantai berpasir putih. Hampir semuanya belum terjamah. Ingin rasanya menyewa kayak atau sampan, lalu sendirian mengayuhnya kesana.
Posisi bungallow menghadap utara, jadi sekali lagi kami harus berputar. Nah, saat berputar inilah terasa asyik, seolah akan mendatangi tanah impian. Pulau Seraya tidak punya dermaga, berhubung menjelang pasang surut maka kapal harus berhenti beberapa meter dari pantai. Kami berpindah ke sampan lalu diantar ke pantai. Waktu itu ikut juga beberapa pasang wisatawan asing. Jadilah proses angkut mengangkut dari kapal ke sampan sebuah tontonan yang menghibur.
Ada 10 bungallow berdinding gedek (www.serayaisland.com). Sederhana tapi tidak buruk, malah kalau dilihat lagi, agaknya sedikit lebih baik dari yang di pulau Kanawa. Bermalam disini harus minimal dua malam juga, tapi harganya masih murah, Rp. 250.000/malam sudah termasuk kapal bolak balik dan sarapan pagi.
Saya memutuskan untuk mendaki bukit. Ingin melempar pandangan lebih luas. Jika musim hujan, lokasinya mirip pulau-pulau di Greendland. Hijau dan padang rumput semata. Saya bisa bayangkan indahnya pagi di atas bukit ini seperti di Kanawa. Sementara di musim kemarau seperti ini, ingatan saya terbang ke pulau-pulau di Yunani. Dan sunset tentu elok saat begini. (Untuk melihat foto-foto versi hijau dari Pulau Seraya, silahkan kunjungi website berikut ini: www.randomrambler.com/travel/seraya-island-indonesia).
Sehabis mengitari bukit, saya kembali ke pantai dan segera menjamah laut beningnya. Pak Frans meminjamkan kami mask. Isi laut Seraya tidaklah sekaya di Kanawa, namun boleh dikatakan cukup menghibur karena ikan-ikan besar bisa ditemukan disini. Jam tiga sore kami kembali ke Labuan bajo. Dalam hati saya belum puas, pulau ini pun ingin saya datangi lagi, yang jelas saat musim hujan atau sekitar bulan Januari hingga awal Mei. Tunggu saja.
SELESAI
Untuk melihat foto dalam ukuran besar, klik ke salah satu foto. Selain yang berbingkai pink, semua foto adalah karya pribadi, penulis memegang original file dan berkuasa penuh atas hak cipta. Pemakaian foto untuk tujuan apapun DILARANG tanpa izin. Terima Kasih.
Baca postingan saya sebelumnya tentang Labuan Bajo & Komodo
Diposting @Februari 2012
Diposting @Februari 2012