Singgah di
Laguna
Oelangga
PADA CELAH TEBING KARANG TEPIAN PULAU ROTE,
TELAGA BIRU BERBINAR CEMERLANG DALAM LENGANG
A
|
da keraguan muncul
manakala mengekori langkah Deni Ndolu memanjati batu karang hitam besar
bergerigi. Rasanya ada yang salah. Begitu kami menjejaki bagian batu yang agak
rata, keraguan saya benar-benar jadi kenyataan. “Ini bukan lokasi seperti dalam
foto yang kita lihat,” kata saya akhirnya, tak mampu menahan rasa kecewa. “Tapi
di sinilah Oelangga,” balas Deni beradu suara ombak. Celakanya, saya tidak
menyimpan foto-foto Oelangga untuk membandingkannya, dan kawasan ini pun tidak terjangkau
signal ponsel. Apakah Deni sedang menjebak atau menipu saya?
Tapi
tidak mungkin pria Rote itu berniat buruk. Beberapa hari lalu dialah yang
menjemput saya dari Bandar udara D. C. Saundale kemudian mengantarkan ke
Nemberala. Hari ini dia pula bersedia membawa saya dari Nemberala ke Oelangga.
Bukan jarak yang dekat, rute yang kami tempuh dengan sepeda motornya melewati beberapa
bukit serta lembah yang belum diaspal. Deni telah menjadi teman ngobrol yang
santai. Jadi, saya tidak yakin dia punya niat buruk. Hanya saja tempat ini, jelas bukan seperti tempat
yang ingin saya tuju.
KAMI MELOMPATI batu
demi batu mencari jalur trekking yang
tepat. Deni mengakui bahwa ia belum pernah sampai ke laguna yang saya maksud
tapi menegaskan bahwa kawasan ini adalah benar Oelangga. “Tidak ada tempat lain
di Rote bernama Oelangga, selain tempat ini,” katanya, seolah memberi
pemahaman.
Rote
merupakan pulau terselatan Indonesia. Kampung halaman musisi lawas Obbie
Messakh dan sastrawan legendaris Gerson Poyk. Daratannya seluas 1,200 km2
didominasi oleh tanah berkapur, tak ada gunung vulkanik, hanya bukit-bukit
bersabana ditingkahi pohon lontar. Perjalanan mengitari pulau ini di puncak
musim kemarau seperti sekarang menempatkan saya pada bertala-tala sengat
matahari, tempelan debu, dan terpaan angin.
Terakhir
kali saya mengunjungi Rote sekitar enam tahun lalu. Hanya mengetahui
segelintiran tempat, selain karena akses yang belum terbuka, pariwisata pun
belum jadi tema yang menarik diperbincangkan waktu itu. Loka seperti Nemberala
bertumbuh dengan sendirinya lantaran memiliki peminat khusus yakni para
peselancar. Kini, dengan terbukanya informasi, satu demi satu bagian
tersembunyi pulau ini pun bermunculan. Salah satunya Oelangga, yang saya
idamkan
Setelah
menemukan jalur trekking, Deni dan
saya bergegas menapaki bukit karang. Siang itu sangat sunyi, hanya kami berdua.
Kendati matahari amat terik dan bercucur peluh, hembusan angin membuat kulit
terasa sejuk. Di sisi bukit, tebing terjal membentang sepanjang bibir laut,
seakan-akan kami sedang berada di ujung dunia.
Jalur trekking menuju laguna |
SETELAH SEKITAR 45
menit berjalan kaki, mata saya menangkap bayangan pasir putih di sudut tebing.
Tidak salah lagi, itulah lokasinya! Saya yang sebelumnya berjalan di belakang
Deni, spontan bergerak mendahului. Antusias ingin lekas sampai.
Berderet
kepalan bebatuan besar menjadi bingkai pemandangan. Kami melompati satu demi
satu batu untuk menemukan titik paling ideal guna memandangi laguna dari
ketinggian. Beginilah panorama Oelangga yang saya idamkan itu: teluk-teluk
kecil dan sempit saling bersisian, terisi oleh air laut bening yang tenang
berwarna bak zamrud, pasir putih bersih membuatnya tambah cemerlang, dibumbui
gelondong gigantis batuan. Sungguh, ini nirwana. Kalau ada film romantis atau
petulangan yang membutuhkan lokasi syuting, maka Oelangga adalah lokasi tepat.
Melalui cela-cela tebing yang bergua |
Sisi pantai berpasir putih dengan apitan laut biru |
Laguna
Oelangga sungguh-sungguh bening. Mata saya bisa menakar hingga ke dasarnya,
karena dangkal. Tidak ada hentakan pada permukaan air, sangat tenang bagai
telaga, padahal di luar bebatuan yang memagarinya, ombak berdebur cukup keras.
Saat mencecap airnya, terasa kadar garam yang tinggi. Itu artinya jika
berenang, badan akan gampang terapung.
Mendekati laguna berwarna zamrud yang tenang |
Menjelang sore kami meninggalkan Oelangga. Dalam perjalananan ke pusat kota Ba’a, kami berpapasan dengan pria-pria yang mengenakan Ti’i Langga, topi khas Rote yang lebar bagai sombrero berantena. Katanya, mereka baru menyelesaikan lomba pacuan kuda. Kami juga singgah di tempat pembuatan gula lontar, mencicipi manis gula yang diproduksi secara tradisional.
Sebelum
mengantar saya ke penginapan, Deni membawa saya menatap senja di Batu Termanu
yang tersohor. Saya menyampaikan permintaan maaf karena sempat berpraduga buruk
saat pertama tiba di Oelangga. Pria itu tersenyum, dia juga meminta maaf untuk
alasan yang sama. “Tapi semuanya berakhir manis, bukan?” katanya tergelak.
Bulat Matahari sebentar lagi menyusup ke kaki langit |
Deni Ndolu duduk di kaki Batu Termanu |
**
Tulisan
ini dipublikasikan di inflight magazine BATIK AIR edisi September 2019. Bisa
dibaca versi PDF online majalahnya DI SINI.
PANDUAN
PEJALAN
Tidak ada warung makan di sekitar Oelangga, jadi bawa bekal makanan
sendiri dari pusat kota Ba’a sebelum kemari. Pastikan air minum yang cukup
untuk trekking di bukit sabana. Ingat, bawa pulang sampahmu atau jika terlalu
banyak barang bungkusan yang dibawa, sebaiknya dibakar (dan dimatikan apinya)
sebelum meninggalkan lokasi. Tempat ini sangat menawan tapi juga sangat
berisiko hancur jika sampah dibuang sembarangan. CINTAILAH ALAM. #pantaioelangga #valentinoluis #traveljournalistindonesia #roteisland #pulaurote
Video Oelangga |
2 komentar:
Waaah indahnya tempat itu, airnya jernih jadi pengen berenang disana hihi
Alamnya, indah banget, apalagi terwakili dengan pengambilan foto dan deskripsi yang benar-benar tepat. Terima kasih
Posting Komentar