Jalan - Jalan ke Larantuka (Flores Timur) Part 3


Mekko
ASILUM BAGI HIU
PADA NUSA-NUSA KIRANA DI TIMUR ADONARA



D
ermaga Tobilota di sisi barat Adonara sangat lengang tatkala kapal motor yang kami tumpangi merapat pelan. Mungkin lantaran pagi itu penumpang kapal hanya segelintiran saja. Lagipula dermaganya amat kecil, bukan dermaga utama. Dengan sigap saya melompat keluar, menyusuli Berrye, Sutikno Bolang, dan Rizal Agustin, para tandem yang sudah menurunkan sepeda motor dari kapal. Kami berempat membawa sepeda motor dari Larantuka, agar lebih leluasa mengitari pulau ini.

Adonara adalah pulau yang berada di rusuk kota Larantuka, bagian timur Flores. Aktifitas penduduk di pulau ini bisa ditilik dengan jelas lantaran hanya terpisahkan oleh sebuah selat sempit. Jadi tak butuh waktu lama untuk menggapai tepian baratnya dengan kapal motor.

“Kita akan menyisir bagian barat ini kemudian memutar lewat utara.  Cukup jauh, tapi jalan beraspal bagus,” kata Berrye, pegawai di kantor Dinas Pariwisata Flores Timur, yang sudah seminggu ini menemani kami menjejelajahi daerahnya. Saya masih ingat jalur ini karena enam tahun lalu pernah menjelajahi Adonara, namun saat itu kondisi jalan masih darurat. Mendengar penjelasan Berrye bahwa infrastruktur sudah bagus, rasanya plong.

Kami lantas beriringan menyusuri jalan, melewati beberapa desa yang menghadap ke selat Gonzalu, seperti Wailebe, Wure, dan Waiwadan. Jalanan kemudian berkelok-kelok naik turun saat kami membelah wilayah tengah pulau yang berbukit dan penuh pepohonan kelapa, hingga mencapai desa Hinga dan Witihama yang menampakkan Gunung Ile Boleng dengan begitu gagahnya.

Tujuan perjalanan panjang ini yakni ke Mekko, sebuah loka bestari paling masyur di Adonara. Ibarat maskot wisata, kawasan ini tengah naik pamor dan digadang-gadang akan dikembangkan secara khusus. Saya ingin merekam memori tentang Mekko sebelum perubahan itu terjadi.

Sebenarnya untuk mencapai Mekko ada jalur yang lebih singkat ketimbang dari Tabilota, yakni lewat dermaga Waiwerang di sisi selatan. Namun kapal-kapal Waiwerang-Larantuka telah memiliki jadwal yang tak bisa diubah, sedangkan kami menginginkan waktu yang fleksibel. “Kalau lewat Tabilota, kita bisa dapat kapal kapan pun,” begitu kata Berrye.

Pemandangan bukit yang disaput tetumbuhan berwarna asfar tampak kontras dengan belau pada lautan saat sepeda motor kami merebas jalan tanah memasuki kampung Mekko. Samar-samar terendus aroma garam berbaur wangi daun-daun xerofil. 

Jalur di tepian barat Adonara melalui jalan yang diapit pepohonan nyiur yang padat menjulang

Pantai Watotena dapat disinggahi bila perjalanan diarahkan ke pelabuhan Waiwerang dari Larantuka. Tidak seberapa jauh letaknya dari jalan raya.

Pantai Ina Burak, sebelah timur Pantai Watotena ini menurut saya amat elok dengan taburan batuan magma
dan bentang pasir putih nan lapang

Sebagian kecil jalan yang masih kasar namun hanya 300-an meter menjelang kampung Mekko

KAMPUNG MEKKO tidaklah besar. Warganya adalah orang-orang Bajo yang bermigrasi lalu menetap di sini. Meskipun tetap menggantungkan hidupnya pada kebaikan samudra, mereka nampaknya telah meninggalkan salah satu habit khas Bajo karena rumah-rumahnya tak lagi berbentuk panggung. Hanya dua balai di dekat dermaga kecilnya berwujud sasana, tapi amat kentara masih anyar. “Ya, itu bangunan baru, dibuat tahun lalu untuk kebutuhan wisata serta perlindungan laut di Mekko,” terang Hen Rizal, lelaki 40-an tahun yang kami temui.

Agaknya kedua bangunan ini menjadi signal perubahan Mekko nanti. Yang satu digunakan untuk tempat inap bagi para tetamu, sedangkan lainnya untuk pusat konservasi. “Kita diajak pemerintah dan didukung oleh World Wide Fund for Natur (WWF). Perairan di Mekko ini adalah sarangnya hiu. Sudah lama juga sering terjadi penangkapan hiu liar dengan bom. Kadang kalau lagi musimnya, ledakan bom beruntun terjadi mirip seperti lagi perang,” Hen Rizal mengurai kisah kelam Mekko. “Tapi sekarang sudah tak ada. Warga sudah dibimbing dan diberitahu soal perlindungan alam serta hiu,” lanjutnya lagi berbinar.

Yang menggembirakan lagi, yakni munculnya gerakan kaum muda setempat bernama Bangkit Muda Mudi Mekko (BMMM) yang mengaktifkan remaja serta orang muda lokal untuk bersama-sama menjaga dan peduli pada ekosistem sekitarnya. Pelatihan, bimbingan, dan dukungan dikerahkan agar Mekko tak rusak. “Kalau mau menginap, kami siapkan rumah singgah itu. Pengunjung juga bisa berpartisipasi dengan membawakan buku bacaan bagi anak-anak, di sini ada taman baca,” timpal Palindo, pemuda Mekko yang kerap mengantarkan wisatawan berkeliling pulau.

Rumah singgah di kampung Mekko yang baru kelar dibangun, diperuntukkan bagi pengunjung yang berniat menginap.

Palindo, pemuda kampung Mekko yang menemani kami mengitari lautan dan pulau. "Saya tidak punya kapal, jadi saya ikut saja kapal orang sebagai ABK. Jika tidak, lebih sering saya melaut sendirian dengan sampan" katanya.

Gurita ( Octopus vulgaris) yang banyak dipanen di bulan April,
dan akan hilang di bulan Mei-Juni karena dihalau kawanan hiu

MEMILIKI KAPAL, Hen Rizal kemudian membawa kami mengunjungi kawasan laut yang diidamkan. Palindo turut serta jadi awaknya. Setelah kapal beringsut menjauhi mangrove, air laut berubah warnanya menjadi biru kelam, dan dengan segera pula terumbu-terumbu karang jelas kelihatan bertebaran tanpa cacat.

Kurang dari lima belas menit, tampaklah gundukan pasir putih menyembul di tengah samudra, dan warna laut berubah lagi menjadi biru muda, lalu benderang amat menawan bak kristal pirus Swarovski. Begitu bening!

“Pulau pasir Mekko ini selalu berubah bentuknya, tergantung pasang surutnya laut. Kadang lumayan memanjang, kadang hanya timbunan kecil. Di bulan Mei sampai Juni acapkali hiu-hiu mengitari pulau pasir ini karena musimnya mereka untuk kawin, ikan-ikan lain lari semua,” cerita Palindo menanggapi saya yang terus menerus memuji bening lautnya.

Berrye, Sutikno Bolang, dan Rizal Agustin lagi-lagi melompat duluan dari kapal. “Fotoin kami, ya?” teriak mereka kegirangan begitu menjejaki pasir putih. Uh, tempat-tempat molek acapkali sangat cepat mengubah perangi lelaki dewasa menjadi anak kecil kembali.

Menilik vista dari atas pulau pasir ini, Mekko bagaikan sekerat Taman Nasional Komodo yang terlempar ke timur Flores. Bukit-bukit savana yang kering di bagian barat, serta gugus pulau-pulau kecil yang juga didominasi oleh rumput ilalang.

Keunggulan Mekko yakni ia dikitari oleh tiga gunung berapi; Ile Boleng menyembul di barat, Ile Ape menatap congkak dari selatan, dan Batutara nun di timur jauh melirik. Meskipun pulau pasir putihnya kecil, tapi kehadiran tiga gunung yang mengitarinya itu menghasilkan foto-foto berlatar variatif.  

Yacht milik pengunjung asing pun mampir di perairan Mekko yang tenang

Tebaran karang meja (Acropora latistella) dalam laut Mekko yang aman subur lantaran berada di arus yang deras

Nelayan setempat mengayuh sampannya mendekati pulau pasir, berlatar Gunung Ile Boleng

Saat surut di waktu senja, bayangan gagah Gunung Ile Boleng nampak memukau

HEN RIZAL dan Palindo juga mengajak kami mendatangi pulau-pulau kecil terdekat. Di utara pulau pasir, dua pulau berdempetan; Keroko dan Watanpeni. Kata Palindo, jika lautnya surut kedua pulau tersebut akan tersambung. Ketika kapal kami mendekat, burung-burung liar aneka rupa bertengger di pohon-pohon. Lautnya juga terisi oleh terumbu karang yang subur.

Aura kedua pulau ini amat syahdu bagaikan asilum yang tidak pernah diganggu sama sekali. Konon, pulau Watanpeni punya legenda sendiri tentang seorang bayi yang dibuang keluarganya. Orang-orang di sekitar masih mewarisi legenda itu sehingga Watanpeni dipandang angker dan tidak boleh diusik.

Saya sebenarnya penasaran dengan isi pulau ini. Saya yakin alamnya masih sangat terjaga, sebab secara tak langsung legenda itu telah berperan menghindarkan Watanpeni dari tangan-tangan usil. Begitu juga tentang dua pulau kecil di selatan; Konawe dan Ipet, yang kabarnya jadi rumah kelelawar serta dihuni hantu.

Saya anggap upaya konservasi sebenarnya telah dimengerti oleh para leluhur Mekko ratusan tahun silam, lewat legenda dan mitos angker yang diciptakan mereka. Tanpa itu, barangkali laut Mekko sudah lama kehilangan hiu, dan warna airnya mungkin tak lagi sepirus kristal Swarovski. Perjalanan ini, telah memberi permenungan. 

Melintasi selat kecil yang memisahkan Pulau Watanpeni dengan Pulau Keroko.


Konawe dan Ipet, dua pulau di sebelah selatan pulau pasir Mekko


**
PANDUAN PEJALAN
Bisa melalui beberapa dermaga di Adonara. Ke Waiwerang, dermaga utama, bisa kunjungi beberapa pantai seperti Pantai Watotena dan Ina Burak sebelum lanjut ke Mekko. Jadwal kapal ke Waiwerang dari Larantuka umumnya pagi hari berangkat jam 07.00 Wita. Tau dermaga lain yang lebih kecil seperti Tobilota, dll dengan durasi perjalanan lebih lama mengitari Adonara

Belum ada warung makan tersedia di sekitar Mekko, jadi bila berangkat dari Larantuka, silahkan membawa serta bekal makanan. Atau bila ke Adonara melalui dermaga Waiwerang, bisa beli makanan di warung-warung Waiwerang sebelum lanjut ke Mekko.

Bisa menginap di kampung Mekko karena sudah tersedia rumah singgah bagi pejalan. Listrik belum masuk kampung ini, pastikan membawa senter atau powerbank yang telah dicharged full.

#adonara #mekko #pulaupasirmekko #ileboleng #larantuka #festivalbalenagi
           
 **         

Tulisan ini dimuat di LIONMAG, inflight magazine Lion Air, edisi Juni 2019. Klik di foto berikut untuk membaca versi PDF majalahnya. TERIMA KASIH

Klik untuk membaca tulisan versi PDF sebagaimana dipublikasikan majalah LIONMAG

1 komentar:

Reynold Atagoran mengatakan...

Suka sekali saya. Membaca tulisan2 Bang Valentino Luis.

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...