|
Stand here, dude, before you die. |
Aktifitas
pasar kecil di tenggara Waisai telah bubar. Pada jam 7 malam seperti ini,
hanyalah aroma sayuran, bawang, siri pinang, amis ikan-ikan yang tersisa. Tali
perahu nelayan ditambatkan di pepohonan dimana serangga Tonggeret bergerit
memecah sunyi.
Ini ronde ketiga saya mampir ke pasar yang sama, sejak tadi
setelah tiba dari Sorong. Kegelisahan saya sekarang beradu dengan harapan yang terpelihara, untuk
satu misi penting: dapatkan kapal join
trip island hopping hari ini,
atau saya akan terlunta keesokannya.
|
Beberapa saat menjelang tiba dari Sorong ke Waisai. |
Seorang
perempuan berkerudung muncul dari gelapnya pasar, dan saya tidak ragu
memberitahukan kegelisahan saya. “Oh, kakak saya biasa membawa grup ke pulau.
Ayo, Dik, kita ke rumah saja. Di depan gerbang pantai WTC itu,” tunjuknya ke
arah barat. “Siapa tahu ada tamu besok, kamu bisa ikut,” katanya. Santai sekali,
seolah itu hal teramat biasa. Dia tak tahu betapa beruntungnya saya
mendengarkan ajakan ramahnya.
Bertualang
sendirian atas keputusan spontan dengan tujuan ke Raja Ampat yang digadang
sebagai destinasi super mahal, sama halnya perjuangan seorang Ninja amatir.
Jika tak sukses, berujung Harajuku, seperti bunuh diri. Tapi saya telanjur menganggap
diri bagai Despereaux, si tikus kecil
yang memelihara kenaifan, khilaf, dan tidak punya apa-apa tapi dicengkeram
hasrat berkelana begitu kuat sehingga hidup dalam zona nyaman terasa dipasung, terasa
hambar datar. Saya tak akan mengelak karena memang, berada dalam sebuah
perjalanan di tempat asing sebagai pejalan tunggal selalu membuat kita
betul-betul ‘hidup’. Beda dengan bertualang dalam kelompok atau didampingi
seseorang. Kita akan merasakan bagaimana indra-indra aktif berjaga; mata merekam apapun yang terlihat, hidung antusias
mengendus mengenali semua bau khas, telinga menangkap segala bunyi asing, tangan
dan kaki menuntun badan ke tempat yang sekiranya aman. Otak akan terus dipenuhi
pertanyaan, tebakan, ekspetasi, spekulasi, membuat konklusi, hingga meralat rangkaian
stereotipe yang didengar sebelumnya. Kita
akan menghafal roman muka warga setempat, gang-gang kecil, nama-nama restoran,
bangunan unik atau pemandangan elok yang ditemukan secara tak terduga. Seperti
bayi baru lahir dan langsung mawas, semua hal yang terjadi di sekeliling
menjadi amat berarti, sebab asyik tidaknya perjalanan dan kelangsungan
perjalanan itu -juga tentunya nyawa kita-
tergantung pada bagaimana kita mengenali lingkungan dimana kita berada, bagaimana
intuisi kita bekerja. Sepanjang perjalanan kita akan terus mengobarkan
keyakinan; bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan akan bertemu orang-orang
baik pula. Senyuman dan sapaan hangat, menjadi sangat bernilai, seolah
diberikan signal “tenanglah, kamu aman.”
|
Senja di Waisai |
|
Mini Eiffel Tower?? Tidak begitu yakin...hehe |
|
Pohon kelapa yang menjulang tinggi-tinggi |
Pak Umar
kakak dari perempuan berkerudung yang baik hati itu, menyambut saya dengan
bermacam kisah yang ia kumpulkan selama mengantar orang ke pulau-pulau karst
Raja Ampat. Tapi perihal mungkin tidaknya saya bergabung dalam trip ternyata
belum jelas, lantaran ia masih menunggu kabar dari grup yang kemarin
mengontaknya. Anehnya, saya tidak merasa gagal. Saat pulang ke penginapan yang
bersebelahan dengan masjid hijau bermenara
kue tart, saya justruh membeli bermacam penganan, namun tidak ingin
mengicip satu pun hingga malam mengundang mimpi. Sekitar jam 12 malam ponsel bordering,
“Dik, besok bangun jam 5 ya? Kita jadi berangkat. Nanti dijemput di penginapan,”
suara Pak…dari seberang. Oh, saya
melonjak girang dan tidak lagi tenang melanjutkan tidur setelahnya!
|
Air bersih bening bagai kristal. Segeerrrrr....!! |
|
Pulau Pasir Timbul |
MELAMPAUI PULAU DEMI PULAU
Laut
bergelombang menyambut kami di dermaga. Langit pun tak secerah kemarin.
“Jangan kuatir. Paling juga sejam lagi semua akan normal. Bulan-bulan begini
memang laut biasa berombak pagi hari,” Pak Umar menghalau risau. Grup kami
adalah saya beserta sekelompok mahasiswa yang menjalani masa praktek sebagai
guru wilayah Raja Ampat. Anak-anak muda ini merasa penempatan tugas di Raja Ampat
adalah salah satu hal menakjubkan.
Kami mampir
sejenak di Pulau Saunek yang berada tepat di depan Waisai. Pulau berpasir putih
ini dulunya adalah pusat Raja Ampat yang sebenarnya sebelum beralih ke Waisai
begitu Raja Ampat dijadikan sebuah kabupaten otonom tahun 2004.
|
Pulau Saunek |
Dari Pulau
Saunek, kapal lantas membela lautan di selatan Pulau Waigeo yang sebagian besar
tanahnya masih belum terjamah manusia sehingga tampaklah bagai taman Firdaus
yang lebat menghijau. Lautan yang tak tercemar limbah menampilkan refleksi
warna nan rupawan.
|
Whatever you name it. It's paradise. |
|
Siapa yang tidak terpukau lihat beginian cuma dengan snorkeling di dermaga saja??? |
|
Menari bersama jutaan ikan |
Kapal melaju
lagi, kendati kami belum rela pergi dari kerumunan ikan-ikan di Arborek.
Bayang-bayang pulau hilir mudik mengisi pandangan. Saya tak mungkin menghitung
nusa-nusa kecil yang kami lalui. Mengetahui bahwa wilayah Raja Ampat mencakup
lebih dari 1500 pulau sudah cukup menjadikan saya tertegun, benar bahwasanya
Indonesia itu Raya, Indonesia itu Gadang.
Para mahasiswa menembangkan rapsodi
lagu-lagu nasional yang bertalu di tengah desau gelombang laut, membuat darah
saya berdesir.
MAJESTIC HIKING PIANEMO
Velositas
kapal berkurang, tereduksi oleh pemandangan baru yang telah kami tunggu-tunggu.
Gugusan karst Raja Ampat yang adiwarna itu nyata-nyata hadir di depan mata.
Tapi ini bukan Wayag. Ini adik kembarnya, bernama Pianemo.
|
Karst - karst dengan formasi runcing dan tinggi |
|
Trekking santai dari pulau ke pulau.... |
Agaknya saya
butuh pemanasan sebelum Wayag. Lagipula Pianemo tak kalah indah, walau belum
begitu popular. Pak Umar bilang, lusa ada grup baru ke Wayag, saya bisa ikut.
Jadi, saya punya kemungkinan besar untuk menikmati keduanya sekaligus.
Arah
perjalanan ke Pianemo berbeda dengan ke Wayang, dia di barat Pulau Gam
sedangkan Wayag nun jauh di utara. Waktu tempuhnya pun berlainan, Pianemo hanya
butuh dua jam dari Waisai.
|
Star Lagoon, sebuah laguna berbentuk bintang. Warga menyebutnya Tanjung Bintang |
|
View gahar macam ini, dilihat dengan mata langsung-bukan pakai Drone! |
Masuk
dalam celah-celah tebaran pulau karang Pianemo, mata saya tak ingin terpejam.
Bila umumnya saya menyukai pagi dan senja, di Pianemo saya memuja pancaran penuh
Sang Surya yang menebar tinta pirus pada laut, menampilkan benderang warna
hijau dan biru. Sebelum singgah ke pulau-pulau yang menyediakan jalur hiking, kami terlebih dahulu melaporkan
diri ke pos jaga, dimana pengunjung bisa juga menyewa Kano dan menginap.
|
How beautiful our country!!! |
|
Terserah,Om. Mau pakai boat, mau kayaking, mau sekalian berenang saja pun boleh, silahkan kelilingi pulau-pulaunya. |
Hari itu
kami melakukan tiga kali hiking di
tiga pulau berlainan. Saya tak bisa
bilang mana yang paling bagus. Masing-masing memberikan persepsi visual yang
berbeda. Begitu para mahasiswa berdendang lagi, saya memilih untuk ikut serta
dalam rapsodi mereka, menyerukan lirik baru…Lahir
di negeri sebesar Indonesia, kenapa takut bertualang…
|
(few) fans to meet up after the journey : ) at Domine Osok Airport-Sorong |
2 komentar:
Setiap tulisan pasti membuat aku tambah dosa karena timbul IRI... hadeh, tempat ini kayaknya mau diputerin satu tahun loncat2 pulau juga gak bosan-bosan.. atas bawah viewnya gila semua
Raja Ampat memang luar biasa...
Posting Komentar