Fantasi
Fatumnasi
Bocah bermain di batu granit raksasa Fatukolen |
Ruangan bundar selebar enam meter dengan bumbungan mengerucut itu berwarna
kelam. Perabot-perabot dari kayu bertumpuk sana sini tapi sulit dikenali satu
per satu. Asap dari tungku apilah penyebabnya. Sudah puluhan tahun bubuk
hitamnya menempeli semua benda. Maklum, hanya ada satu pintu dan satu jendela
yang memungkinkan udara keluar masuk, itupun berukuran kecil. Namun alih-alih
sendu, ruangan ini justru memancarkan aura perenial, ruh penghidupan nan mistis.
Lihat saja, bagaimana kekuatan melodi seruling yang ditiupkan Mateos Anin
menggiring lusinan burung Merpati terbang mengebaskan sayap melintasi cahaya
matahari yang remang, kemudian kawanan anjing melangkah pelan seraya
mengebaskan ekornya riang. Hewan-hewan ini datang berkerumun di kaki Mateos.
Dalam
sekejab saya merasakan daya magnetis, menghubungkan apa yang saya lihat
sekarang dengan legenda Der Rattenfänger, Sang Peniup Seruling dari Hameln,
Jerman. Tapi tidak, yang ini bukan legenda. Ini nyata.
Seruling Bapak Mateos...dan hewan-hewan pun berkumpul di kakinya. Sooo... Magnetic and give me goosebumps. |
“Suku kami, Anin Fuka, bersahabat dengan binatang. Malah jika
memungkinkan, rumah ini menjadi tempat naung bagi segala jenis hewan,” pria tua
bersorban merah itu bertutur khidmat. Mateos adalah generasi ke sebelas dari
suku Anin Fuka, klan asli kampung Fatumnasi, sekaligus juru kunci Gunung Mutis,
Timor. Ia menyambut kedatangan saya dan teman perjalananku Dicky Senda, senja
kemarin seusai kami membenamkan diri di kolam Oehala, air terjun bertingkat
enam.
Air terjun Oehala. Bertingkat enam, foto diambil di tengah-tengah, masih ada tingkatan di bawahnya |
Menjelang sunset di Bukit Tunua |
Fatumnasi berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl, tepat di
pintu masuk menuju Gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor. Saya sudah lama
mendengar tentang gunung ini tapi tidak menduga bahwa di kakinya terbentang
alam seindah yang pernah saya lihat di Swiss ataupun Austria. Dalam buku panduan
para pelancong Lonely Planet Faumnasi
dideskripsikan memiliki ‘spectacular
alpine scenery.’
Dengan suhu sejuk dan tanah basah sepanjang tahun, rerumputan di
lereng-lereng bukit Fatumnasi tidak pernah setinggi mata kaki serta selalu
hijau bak taman golf. Berlekuk-lekuk molek diisi pohon Cemara, Kayu Putih, Ampupu,
juga kelompok pohon yang hanya ada di kawasan itu saja. Setiap satu kelokan
baru bakal menghidangkan pemandangan baru juga.
Panen murbei! Bikin betah di kebun |
Kembang Gladiol dimana-mana, tumbuh dengan liar |
Kuda kembar yang masih belia |
Kawanan sapi serta kuda merumput dan berlarian tanpa tali kekang,
bebas lepas. Kembang-kembang Gladiol liar bermekaran dimana-mana. Batas antar
ladang petani dipagari lintangan kayu-kayu tersusun apik. Saya tak bisa
menghitung berapa kali sudah saya berhenti untuk memotret, hingga akhirnya diam
tersihir oleh terbenamnya Matahari nan gemilang di bukit Tunoa.
Siapa sangka, Timor yang kerap diidentikkan dengan kering tandus
itu menyimpan tempat gema ripa laiknya Eden, taman perdana manusia. Dalam
bertualang, acapkali kita mengikuti pola yang telah tergeneralisir, manut pada
pedoman perjalanan yang direpetisi terus menerus sehingga kemudian menjadi semacam
citra klise mengenai sebuah daerah. Timor, sebagaimana kepulauan lain di Nusa
Tenggara Timur (NTT) memang cenderung kering dan mendapat timpaan matahari yang
lebih lama. Tapi, bagaimana wajah Timor ketika musim basah, ya seperti tampilan
Fatumnasi di bulan Februari hingga Mei ini. Bersiaplah tercengang!
Gerombolan Sapi melintasi jalan |
Kuda-kuda merumput dengan bebas |
Warga menyusuri jalan nan rindang |
Surga Yang Nyaris Dihancurkan
Yang amat kentara terlihat di Fatumnasi adalah terjaganya alam
serta budaya mereka. Warga memanfaatkan sumber daya alam secara seimbang,
apalagi mereka terikat oleh peraturan adat yang mengutamakan keselarasan dengan
alam. Meskipun sederhana, tapi mereka dapat dibilang tidak mengalami kekurangan
kebutuhan hidup. Tanaman serta ternak berkembang dengan baik.
Sebagai bagian dari kawasan Gunung Mutis, Fatumnasi kaya akan
flora khas dataran tinggi, tapi uniknya pepohonan disini tumbuh dengan bentuk
yang aneh. Contohnya, terdapat area bonsai dimana pohon-pohon Ampupu mengerdil
dan dibaluti oleh lumut serta tanaman paku mini. Formasi batang-batangnya amat
memikat. Jika datang saat kabut, serasa berada di dunia fantasi. Sedangkan
hewan-hewan disini merupakan hewan endemik, misalnya Rusa Timor (Cervus
timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus
jonguilaceus), dan Pergam Timor (Ducula cineracea.
Hutan Bonsai dengan pohon-pohon nan surealis |
Terlepas dari panorama serta flora fauna, tanah di Fatumnasi
ternyata juga menyimpan kandungan marmer berlimpah, bahkan termasuk yang
terbaik di dunia. Orang awam mungkin mengira bukit-bukit batu yang bertebaran di
Fatumnasi tiada bedanya dengan gelondongan batu granit, padahal mereka adalah
batu marmer. Hanya saja formasi batunya terlihat seperti batuan granit raksasa.
Fakta tentang marmer ini kemudian mengundang investor untuk mengeksploitasi
bukit-bukit Fatumnasi, termasuk perusahaan Korea. Penambangan dibuka, dan
penghancuran alam terjadi. Efek dari ekploitasi ini akhirnya dirasakan warga
beberapa tahun kemudian, ditandai oleh keringnya sejumlah sumber air.
Penduduk yang cepat sadar lantas melakukan serangkaian aksi
penolakan tambang tersebut. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Mama Aleta
Baun (2013 Goldman Environmental Prize Winner), perempuan lokal yang gigih
berjuang menyuarakan keadaan alam mereka. Syukurlah, awal tahun 2000-an suara
warga didengar dan tambang-tambang pun enyah dari surga Fatumnasi.
Mendatangi Benteng & Danau
Saya dan Dicky bermalam di rumah kakek Mateos Anin. Ini
satu-satunya penginapan di Fatumnasi, direkomendasikan semua orang, dan
tempatnya sangat menyenangkan. Ada tiga rumah tradisional disebut Ume Khubu, seperti
butiran telur, dibuat di halaman belakang untuk inap tamu. Lopo-lopo macam ini
menjadi ciri khas kampung Fatumnasi. Karena ukurannya yang kecil, suhu ruangnya
jadi hangat, cocok sekali dengan iklim pegunungan yang senantiasa dingin.
Ume Khubu |
Kami mendapat banyak cerita tentang sejarah leluhur suku Anin Fuka
beserta ritual-ritual adat. Makanan tersaji dengan keramahan yang tulus, lalu
dihibur oleh permainan gambus (yang lucunya, mereka sebut itu Biola). Saya
selalu terkesima oleh suasana yang magis lantaran burung-burung Merpati yang
terus terbang keluar masuk rumah menembus pancaran matahari.
Gunung Mutis |
Keesokannya, kami disarankan untuk masuk ke hutan lindung Gunung
Mutis. Dua cucu kakek Mateos menemani.
Yang kecil, Justin, masih berumur empat tahun, tapi memaksa untuk ikut, padahal
kami akan mendaki ke bukit batu yang terjal. Bukit batu tersebut dinamai
Benteng, dan dipercaya menjadi tempat mula-mula leluhur suku Anin Fuka
bermukim. Justin yang kecil itu akhirnya minta digendong saat tiba di kaki
bukit batu.
Cuaca yang cerah memberi kami kesempatan untuk menatap puncak
Gunung Mutis dan panorama sekitarnya dengan jelas. Menurut cucu kakek Mateos,
kami beruntung, sebab jarang sekali orang bisa memperoleh pemandangan sempurna
bila naik ke Benteng. Saya dan Dicky memahaminya sebagai restu alam.
Fatumnasi memang bagaikan potongan alam pegunungan Eropa yang
terlempar di Timor. Kami juga mendatangi danau kecil Fatukoto dan saya tak bisa
berhenti memuji manakala warna-warna senja mengambang di atas danau tersebut.
Seandainya boleh menarik waktu, ingin rasanya tinggal lebih lama di Fatumnasi
dan hanyut dalam fantasi alamnya.
Rembang senja di Danau Fatukoto |
Tenun Timor Berwarna Cerah |
GETTING THERE
Penerbangan
dari kota-kota besar Indonesia ke Kupang dilayani oleh Garuda Indonesia, Lion
Air, Batik Air, Sriwijaya Air, Susi Air, Nam Air, dan TransNusa.
Kemudian
lanjut berkendaraan ke Fatumnasi, dengan transit di kota Soe. Lebih hemat dan
lebih asyik menyewa sepeda motor lalu mengemudikan sendiri, dengan harga
Rp.70.000 – 100.000/hari. Kondisi jalan dari Kupang ke Soe sangat baik dan
tidak ramai, namun jalan dari Soe ke Fatumnasi masih darurat - tapi ini adalah
petualangan, bukan?
SOUVENIR
Kain tenun
dari Timor terkenal memiliki warna-warna mencolok dengan motif etnik
kotak-kotak. Orang menyebutnya Tenun Buna. Membelinya langsung dari tangan
penenun lebih memberi cerita personal ketimbang di pasar. Harga tenun berkisar
Rp.50.000 hingga Rp. 1 juta tergantung ukuran kain dan kerumitan motif.
Tulisan ini dipublikasikan di Majalah LIONMAG. Foto jadi cover majalah tersebut.
5 komentar:
Nah ini dia lokasi yang sampai sekarang belum bisa aku jamah, coba pake vario berdua sama temen hadih nyerah dipertengahan karena kondisi medan jalan yang asli masih jelek banget.. siap-siap kesana April/Mei tahun ini moga2 dapet view yang sama seperti om Valentino
@ Om Baktiar: Betul, Om. Bagusan April-Mei, jalan tidak terlalu becek.
@ Frater HY Ferdy: Ke air terjun bumi, terus pulangnya diguyur air terjun dari langit?? haha
Eja bro sangat powerful
kemarin baru aja kesini, ke fatumnasi
sekarang jalannya udah aspal mulus
Posting Komentar