Jalan - Jalan ke Portugal (Obidos)


Mabuk Ginja di
ÓBIDOS


“T
urunlah kemari, di situ bahaya,” teriak Marina. Gadis mungil enam tahun itu melambaikan tangannya dari tangga depan kastil Pousada do Castelo. Saya dan Antonio, paman Marina, sudah lebih dari dua jam berbincang santai seraya memandang gereja kecil Nossa Senhora do Carmo yang sendirian di tengah ladang terkerubuti rumput liar, lansekap luar benteng yang tampak keemasan tertimpah matahari pagi. Kami bergayut, seperti menunggang kuda, pada pundak lempengan pagar benteng sebelah kiri paling ujung yang membatasi antara bagian pekarangan kastil dengan bagian rumah-rumah penduduk Óbidos.

Tembok benteng tersebut tingginya lima meter, melingkari Óbidos, dan agak berbahaya sebenarnya bila tak hati-hati berada di atasnya. Namun saya dan Antonio bukan anak ingusan, keselamatan tak perlu dirisaukan, meski saya paham, ketidakacuan kami pastilah berbeda bila mengikuti pola pikir anak sepolos Marina.

“Ayo, lekaslah, avô menunggu kalian.” Beberapa menit kemudian Marina berteriak lagi. Kali ini ia sudah sewot. Pita merah pemberian Antonio kemarin sebagai hadiah untuk penghias ekor kudanya menambah rona kekesalannya. Antonio menatap keponakannya lantas menyahut, “Ya, ratu kecilku, bilang ke avô-mu kami segera datang..” Avô adalah kata dalam bahasa Portugis yang berarti kakek. Marina mendowerkan kedua bibirnya dan bercekak pinggang, tak puas, tapi segera pula ia menuruti kata Antonio, berbalik ke arah yang sama seperti arah sebelum ia datang. Sejurus saya melihat seorang pria memperhatikan gerak-gerik Marina dari kastil Pousada do Castelo, sedikit misterius.

“Dia tentu salah satu turis yang menginap di kastil,” ujar Antonio yang rupanya menyadari kehadiran pria itu pula. “Kita bisa melihat isi kastil nanti," tambahnya. Saya mendelik, seolah bola mataku terisi tanya ‘memangnya boleh masuk ke dalam kastil yang kau bilang usianya telah melampaui 1290 tahun itu, huh?’  Antonio bergerak menuruni tembok, saya menyusulnya. “Oh, memang Pousada do Castelo tak boleh dikunjungi orang sesuka hati sejak resmi jadi hotel tahun 1950an. Tapi jangan kuatir, saya kenal baik hampir semua pegawai di sana.”

Bagian Obidos yang dikepung tembok benteng

Pousada do Castelo yang dulunya dihuni keluarga raja kini beralih menjadi hotel

SAYA BARU
semalam di Óbidos, datang bersama Antonio sehari sebelumnya dari Lisbon. Antonio de Abreu, nama lengkap bujangan asli Óbidos ini, bekerja di Lisbon sebagai staf Welcome Center de Lisboa, yang kalau di Indonesia kita menyebutnya pusat informasi pariwisata. Jadi perkara seluk beluk tempat wisata sekitar Lisbon, sahabat saya ini bolehlah dibilang masternya. Jarak ibukota negara Portugal tersebut dengan Óbidos 80 km. Dengan mobil hanya menghabiskan waktu sejam, jalanannya pun jarang berkelok-kelok.

Toh, Antonio tak tiap akhir pekan mudik ke kampung halamannya. Sekali sebulan, jadwalnya. Bukan karena ia lebih suka pada gemerlap yang ditawarkan Lisbon, melainkan ia punya kelompok musik yang manggung tiga kali seminggu di Alfama, bagian dari pusat kota Lisbon yang identik dengan permainan Fado, musik khas Portugis nan melankolis. Selain memenuhi panggilan jiwa untuk melestarikan musik tanah airnya, Antonio bercita-cita, kelak tabungan dari gaji kantor serta bayaran manggung, ditambah jaringan pertemanannya bisa dipakai merealisasikan mimpinya.

Menjadi penyuplai Ginja besar, setidaknya di negaranya. Begitu impian Antonio. Ia sudah merintis jalan ke arah perwujudan cita-cita tersebut. Bermula kejadian kehabisan pasokan Ginja pada salah satu restoran terkenal di Lisbon tempat grup musik Fado-nya manggung perdana. Ia lalu spontan menawarkan jalan keluar dengan mendatangkan Ginja dari daerahnya. Lambat laun, dari satu restoran menjadi beberapa restoran, mempercayakan urusan Ginja mereka kepada Antonio. Suatu peristiwa di luar dugaan yang dari situlah terbaca kesempatan untuk menjadi distributor Ginja.  

Manalagi Ginja dari Óbidos terkenal sebagai satu dari sedikit daerah penghasil Ginja tradisional terbaik. Keluarga Antonio, terkhusus sang ayah, pandai meramunya. “Sederhana sekali resepnya, anakku. Sekarang banyak orang menambahkan satu dua bahan atau sekedar mempercantik kemasan luarnya lalu berkata mereka menemukan ramuan baru. Tak apa, setidaknya minuman kaum jelatah ini sampai juga ke negeri-negeri seberang. Pada ujungnya toh kebesaran nama bangsa kamilah (Portugis) yang disebut,” gelak ayah Antonio menyingkapi pertanyaan saya tentang klaim Ginja terbaik dari beberapa produsen.

Ayah Antonio melangkah menyusuri lorong rumah

Gang-gang sempit yang diisi para pengunjung Obidos

ÓBIDOS tak cuma mencakup area di dalam benteng tapi juga perkampungan yang mengitarinya. Rumah keluarga Antonio berada di dalam benteng, tepatnya di sudut kanan bawah bersebelahan dengan kastil sekaligus hotel Pousada do Castelo. Masuk akal pabila Antonio mengenal baik para pegawainya. Saya yakin sekali sewaktu kecil ia pasti suka bermain di alun-alun dekat pintu gerbang kastil, di mana terdapat menara tua Torre Albarǎ dan pos polisi. Lalu jika pegawai-pegawai hotel lewat, mereka akan menyapanya dan tak pelak ada yang ‘menyeludupkannya’ masuk ke dalam kastil.

“Kami, saya dan kakakku, bebas keluar masuk kastil karena ibu bekerja disitu dulunya. Ya, tidak sama sekali bebas sesuka hati sih, lebih sering di dapur. Hanya kalau lagi ada pesta seperti Natal, Paskah, dan perayaan besar lainnya baru kami bisa melihat ruang makan kerajaan. Pernah sekali saya dan kakakku menyelinap ke sebuah kamar yang kasurnya begitu empuk. Saya berguling-guling di atasnya. Sementara kakak saya takjub pada satu benda berbentuk daun yang ada lubang di tengahnya. Belakangan kami tahu kalau itu kamar Ratu Urraca dan benda berbentuk daun yang dia kagumi lubangnya itu ternyata sebuah kloset. Hahaha…gila kan, untuk buang hajat saja klosetnya terbuat dari emas mengkilap,” cerita Antonio mengenang masa kecilnya.

Pousada do Castelo sesungguhnya kastil yang dibangun orang-orang Moor, kelompok Muslim dari wilayah utara Afrika, yang berjaya serta hidup menyebar hingga ke semenanjung Iberia, mencakup Portugal dan Spanyol. Diperkirakan kastil ini didirikan mereka tahun 714 di dalam areal yang merupakan rongsokan kota tua  Romawi bernama Eburobrittium.

“Nama Óbidos berasal dari kata Oppidum, dalam bahasa Latin Romawi artinya benteng. Nah, saat Reconquista berkobar dan kekristenan di semenanjung Iberia kembali dominan, kejayaan orang Moor turut runtuh. Kastil pun diambil oleh Afonso Henriques, raja pertama Portugal. Seratus tahun kemudian, raja kedua memberikan kastil kepada permaisurinya sebagai hadiah pernikahan mereka. Perlakuan terhadap kastil ini sebagai hadiah pernikahan raja bagi permaisurinya terus berulang, semacam tradisi hingga abad ke-19. Bisa dibilang, Óbidos adalah kota kecil yang paling sering dikunjungi ratu. Ujung-ujungnya menjadi masyur dan dijuluki sebagai Vila das Rainhas, Kota Para Ratu,” urai Antonio.

Saya melihat pohon bugenfil memekarkan bunganya di mana-mana. Ada juga kembang geranium. Kedua bunga ini mengisi Óbidos, menghias lorong-lorong sempitnya. Tetapi yang paling saya sukai dari Óbidos adalah rumah-rumahnya yang khas. Atap genteng natural, dinding berlabur cat putih dengan ornamen garis biru, merah, atau kuning. Satu rumah memakai dua warna. Putih sebagai warna dasar lalu salah satu dari tiga warna tadi menjadi warna sekunder. Pada abad Pertengahan penggunaan warna sekunder merupakan sebuah simbol. Warna kuning berarti kemakmuran, biru lambang sukacita, merah maknanya pengusir roh jahat. Terus terang, daya tarik Óbidos di mata saya lebih dikarenakan pemandangan santun bersahaja rumah-rumah penduduknya, bukan pada kastil. Menemukan kastil Pousada do Castelo sekedar kejutan tambahan dari Óbidos. 

Seorang oma merajut taplak meja sebagai souvenir Obidos. 

Genteng alamiah berlumut sebagai atap rumah menambah kesan teduh dan rustik

Jejeran kartu pos yang dipajang di depan kios cenderamata Obidos

SORE HARI kami duduk mengelilingi meja makan. Rencananya saya akan diajarkan bagaimana membuat Ginja sederhana. Selain orang tuanya, hadir pula kakak perempuan Antonio, Isabel, beserta putrinya Marina. Mereka datang dua hari sebelumnya dari rumah mereka di Nazare. “Papa sedang di Braga, jadi Mama dan saya kemari,” celoteh Marina sambil mengunyah potongan kecil Lombinho, variasi sandwich berisi daging babi. Saya mengamati isi rumah sambil terus meneguk Ginja.

Ginja, meski bernama mirip, tapi tak punya keterkaitan dengan Ganja. Baik ditinjau dari asal-usul ataupun bentuk. Kecuali satu hal, keduanya sama-sama bisa membuat kita mabuk kepayang! Ketika pertama kali datang ke Portugal dan mendengar kata Ginja, pikiran saya langsung mengarah kepada ganja atau minuman olahan opium. Manalagi ada satu merek terkenal yang namanya ‘menyerempet’ ke arah sana, Oppidum. Nyatanya Ginja tak lain tak bukan hanyalah minuman sekelas liqueur. Rasa manis serta kadar alkoholnya beragam, membuat saya yang tidak terbiasa minum alkohol pun tak menampik. Bahan dasar buah cerry asamnya kurang lebih sama dengan Griottes, liqueur yang dikonsumsi di sekitar Dordogne, Perancis.  

Di hadapan saya tersedia semangkuk besar buah cherry, bulat-bulat sekecil kelereng. Yang terbaik adalah buah yang merah cerah, masih keras, tidak terlalu ranum. Kemudian bahan berikutnya yakni gula berwarna kekuningan, kayu manis, dan cairan berbau alkohol yang disebut aguardente. Isabel meletakan satu gentong kecil terbuat dari tanah liat. Proses pembuatannya singkat.

Mula-mula saya menuangkan cherry ke dalam gentong, Menyusul taburan gula. Kayu manis dibagi beberapa potong, ditanam di atas taburan gula tersebut. Aguardente dituangkan hingga mendekati bibir gentong. Selesai. “Jangan diaduk…!!,” Isabel tiba-tiba menyelah seraya melepaskan tawanya saat melihat saya mengambil senduk kayu panjang. Niat saya memang ingin mengaduk isi gentong. Saya ikutan tertawa menyadari ketidaktahuanku. “Cherry harus selalu berada di lapisan terbawa.” Isabel lalu mengambil secarik kertas, menulis sejenak di atasnya lantas merekatkannya pada gentong dengan isolasi bening, “GINJA VALENTINO,” demikian tulisannya. Hah, saya tersenyum senang, ini Ginja buatan saya.

Sayangnya, untuk memperoleh rasa terbaik, Ginja saya harus didiamkan paling singkat selama setahun. Begitu mendengar bahwa saya masih lama di Portugal, Ibu Antonio, dengan penuh cinta, memboyong gentong Ginjaku ke gudang penyimpanan mereka. Ia mengangkat kedua tangannya begitu keluar dari gudang, kemudian mengatupkan telapaknya, gaya khas ibu-ibu ketika baru saja menyelesaikan sebuah pekerjaan. “Beres. Anakku, kamu hanya perlu sedikit bersabar hingga umurmu bertambah satu angka lagi. Ginjamu aman di sini.” 

Buah cherry-bahan utama Ginja

Karyawati hotel Pousada de Castelo bercanda sembari menikmati Ginja dalam wadah cokelat

Manisnya Ginja dalam wadah mungil berbahan cokelat

SEBELUM makan malam, saya dan Antonio mengunjungi kastil Pousada do Castelo untuk melihat isinya. Kami terlebih dahulu menyinggahi dapur, di mana perempuan-perempuannya bergegas serempak menciumi Antonio begitu mereka melihatnya muncul. Yang tua-tua mengusap wajahnya, yang muda menepuk legannya. Ia bak pangeran saja di sini. Kami memasuki kamar tidur yang katanya cocok untuk satu keluarga tapi bagiku rasanya terlalu sempit. Ruang-ruang kastil dekorasinya sederhana namun kental dengan nuansa abad Pertengahan. Mungkin bagian terbaik adalah berdiri di jendela-jendelanya dan memandang matahari terbit atau terbenam.

Makan malam kami lakukan beramai-ramai di restorante Zina, kira-kira dua kilometer di luar benteng Óbidos. Makanannya enak, masing-masing gelas kami tertuang Ginja, kecuali gelas milik Marina. Ia tampaknya cukup senang memperoleh setengah lusin mangkok kecil yang terbuat dari cokelat. Mangkok-mangkok tersebut seukuran tutupan jerigen dan sebenaranya berfungsi sebagai wadah Ginja.

Ide menjadikan cokelat sebagai wadah Ginja diperkenalkan oleh Dário Albano Pimpão, pendiri perusahaan Ginja Oppidum pada permulaan tahun 2000an. Óbidos adalah tempat pertama Dário memperkenalkan cara barunya itu. Kini gaya menyajikan Ginja dalam wadah cokelat sudah menyebar ke seantero Portugal. Antusias konsumen sangat tinggi, terpanas-panasi lagi dengan desas-desus bahwa minum Ginja bercampur cokelat mampu meningkatkan vitalitas seksual. Saya pikir, bukan pada vitalitas tapi lebih tepatnya sensasi seksual. Bayangkan, asyiknya bercinta diselingi manisnya liqueur dan aroma cokelat!

Malam itu, saking banyaknya meneguk Ginja, langkah saya terhuyung-huyung keluar dari restoran. Saya mabuk Ginja. Rupanya yang kami minum tadi memiliki kadar alkohol tinggi. Anehnya, saya bersuka cita, sungguh-sungguh gembira oleh kehangatan keluarga dari Óbidos ini. 

Mencicipi Ginja murah di sekitar rumah-rumah penduduk Obidos


**
*Tulisan ini pernah dimuat di majalah National Geographic Travel Indonesia. Versi lain dengan perubahan seperlunya dimuat di majalah Batik Air – inflight magazine.

#inflightmagazine #majalahpesawat #valentinoluis #penulisperjalanan #traveljournalist #penulisntt #penulisflores

3 komentar:

Heri Kasturi mengatakan...

Bagian lucu:

"2 anak kecil menyelinap masuk kamar raja.
Salah satu dari mereka terkagum akan kemewaha sebuah benda
Ketika dewasa mereka baru sadar apa yang dahulu mereka kagumi.
Ternyata itu adalah:
KLOSET
(tempat membuang hajat)"
yg terbuat dari emas

www.travelerien.com mengatakan...

Aku selalu suka membaca ceritamu Valen 😊

michelle mengatakan...

test

Jalan-Jalan ke Nagekeo (Part 1)

Hawa Legawa  Kawa   MERESAPI KEBERSAHAJAAN HIDUP  SEBUAH KAMPUNG TRADISIONAL  DI PUNDAK GUNUNG AMEGELU, NAGEKEO-FLORES P ...