Tambo Janabijana
Mollo
R
|
umput-rumput desa Taiftob di pegunungan Mollo masih kuyup berembun
ketika saya mengekori langkah Fun Oematan menuruni lereng bukit di belakang
rumahnya. Bocah itu berjalan tanpa banyak bicara, sedangkan ayahnya, Willi
Oematan, asyik berkisah tentang mendiang kakek-neneknya yang legendaris. Selain
kami bertiga, Dicky Senda, yang juga warga desa Taiftob pun turut serta. Kami
sedang mencari ‘harta karun.’
“Saya dapat!!,” tiba-tiba Fun berteriak
sembari menunjuk ke bawah belukar. Mata kami terarah dengan segera. Oh! Harta
pertama kami, Favolus tenuiculus, sekumpulan
jamur putih dengan topi melebar yang termasuk dalam jenis Polypores tak
beracun. Diserahkannya jamur itu ke tangan saya. “Dalam bahasa Dawan jamur
disebut Pu’u. Yang ini namanya Pu’u Paku,” urai Willi Oematan.
Kami memang sedang berburu jamur,
inilah harta karun pegunungan Mollo yang menyembul di musim penghujan.
Favolus tenuiculus hampir sama dengan jamur tiram ini cepat sekali berubah warna dari merah mudah menjadi putih pucat |
Fun Oematan bersukacita memamerkan jamur temuannya |
Perkenalan saya dengan jamur di
pegunungan Mollo terjadi sehari sebelumnya, saat Dicky membawa saya ke hutan
pinus Fatukoto. Di dekat telaga yang bermandi kabut, kami bersua pria-pria
penggembala yang menelusuri hutan itu mencari jamur. “Pu’u Ajaob,” kata mereka
menerangkan nama jamur yang muncul di hutan pinus tersebut, satu varian
Tricholoma dengan tongkol pendek - mungkin sama jenisnya dengan Jamur Matsutake
yang tersohor di Jepang karena sama-sama tumbuh di hutan pinus yang sejuk.
Setelah pertemuan itu, saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang jamur-jamur di
daerah ini. Selain Pu’u Paku dan Pu’u Ajaob, ada pula Pu’u Maon Ana yang tumbuh
di sekitar pohon kemiri dan Pu’u Atef yang muncul di padang pohon kayu putih.
Membersihkan jamur yang kami dapatkan: Pu'u paku, Pu'u Ajaob, Pu'u Maon Ana |
Rasa jamur hasil buruan kami tak kalah dengan di restoran, diolah Mama Fun tanpa perlu banyak bumbu |
TIDAK ADA yang
jauh berubah di Mollo. Akses jalan masih sederhana dan suasana hening masih
menyelimuti hari, sebagaimana kunjungan pertama saya lima tahun lalu. Jika kedatangan sebelumnya saya banyak
menghabiskan waktu di Fatumnasi, kali ini saya lebih betah di kampung Dicky,
Taiftob. Dicky mendirikan ‘Lakoat Kujawas,’ sebuah komunitas sosial pendidikan yang
salah satu misinya yakni menggali ulang cerita-cerita rakyat setempat. Mollo tak
ubahnya janabijana ideal bagi kisah-kisah mitologi, sebuah negeri di balik
kabut yang menyimpan babad-babad keramat.
Suatu hari yang dibayangi gerimis, saya
pergi ke kaki Fatu Nausus, gunung marmer yang kelihatan jelas dari penjuru Mollo.
Hutan pohon Ampupu dan pinus saling bersisian di sela-selanya memberi panorama
segar yang tidak butuh didandani monumen apa-apa. Di musim penghujan seperti
sekarang ini, tiap dimensi alamnya tampak sentimentil.
Sebuah komplek penginapan etnik membuka
gerbangnya untuk saya masuki. Rumah-rumah bundar beratap alang-alang berjejer
dengan kebun sayuran dan murbei liar di buritan. Tidak ada suara ingar-bingar,
hanya anjing penjaga yang menyalaki burung-burung Ara Timor (Timor Figbird) yang nakal.
Entah kenapa saya menyukai kesan ugahari dan agak telantar dari tempat
ini.
Di depan mata saya gunung marmer Fatu
Nausus terpapar nyata. Tampuknya lancip
cadas, badannya putih pucat dan sebagian
dikerubuni tumbuhan hijau bak gundukan sarang raksasa tawon hijau Agapostemon. Fatu
Nausus melambangkan payudara, pemberi kehidupan. Itulah sebabnya batu ini
dipandang keramat, tempat dilaksanakan ritual-ritual adat. Dicky pernah berujar
bahwa bagi orang-orang Dawan di Mollo, setiap unsur-unsur alam menggambarkan
anggota tubuh manusia; hutan serta pepohonan adalah rambut, sungai dan air
adalah darah, tanah adalah daging, bebatuan adalah tulang. Oleh karenanya
pemanfataan sumber daya alam musti dibarengi dengan kesadaran kosmologis.
“Perhatikan Bukit Anjaf yang berada di
tengah-tengah ini. Jika mujur, matamu bisa menangkap kelebat sosok kera putih,
hewan sakral Fatu Nausus,” bisik pelan Nando, lelaki paru baya yang menemani
saya hari itu. Gerimis membuat saya tertegun di bawah atap pondok, tapi mata
saya terus menatap ke arah yang ditunjuk Nando. Setahu saya, pulau Timor
identik dengan buaya sebagai totem etnik, kita bisa menemukan gambar buaya
dimana saja dengan beragam kisahnya. Barulah di Fatu Nausus ini saya dikenalkan
kera putih sebagai makluk sakral lainnya.
“Kera putih itu jelmaan leluhur,
penjaga pegunungan Mollo. Bila alam tempat tinggalnya diusik, kemelaratan akan
muncul,” ujar Nando lagi. Dia menunjuk sisi bukit yang terpotong, bekas penambangan
marmer bertahun-tahun lampau. “Itu contohnya. Bukit-bukit di Mollo adalah bukit
marmer, katanya salah satu marmer terbaik di dunia. Investor asing datang, lalu
bukit-bukit dibela, marmer diangkut. Bencana kekeringan melanda pegunungan Mollo,
karena mata air mengering. Beruntunglah kemudian warga sadar dan melakukan aksi
penolakan tambang tanpa mempedulikan intimidasi,” lanjutnya. Salah satu tokoh
yang terkenal adalah Mama Aleta Baun (2013
Goldman Environmental Prize Winner), perempuan lokal yang gigih berjuang
menyuarakan keadaan alam mereka. Saya melihat potongan-potongan batu marmer
tersisa di kaki Fatu Nausus, jadi saksi tentang eksploitasi alam juga
perlawanan orang Mollo.
Hingga gerimis usai berganti pelangi,
sosok kera putih itu tidak jua nampak. Namun mitologinya yang berkesinambungan
dengan peristiwa nyata di pegunungan ini merupakan narasi pembelajaran
berhikmah.
Rumah-rumah bundar beratap ilalang di dekat Fatu Nausus tampak sederhana namun selaras alam |
Anjaf, bukit marmer yang berada di tengah-tengah ini pernah mengalami ekploitasi perusahan asing, kini kembali senyap |
KETERIKATAN orang
Mollo dengan batu-batu sangat kuat. Tiap klan-klan keluarga memiliki batu
sakral. Untuk memulai hal-hal penting dalam hidup keluarga, batu-batu tersebut
dikunjungi dan diupacarai.
Batu-batu juga menjadi penjuru sebuah
kampung, tengara persekutuan. Di Taiftob sendiri ada Fatu Napi, batu yang
tebingnya berwarna merah, dijadikan sebagai penanda desa. “Dulu banyak kijang
yang muncul secara ajaib di kaki bukit batu itu,” begitu Dicky dan Willi
Oematan mengamini kisah yang sama tentang Fatu Napi. Saya mengenang kalimat
Andy Goldsworthy, environmentalis asal Inggris, katanya, “Sebongkah batu mendarah
daging dengan kenangan-kenangan geologis dan historis.” Di pegunungan Mollo
ungkapan itu sangat kentara dihidupi oleh penduduknya. Pernah ketika saya di
Fatumnasi sebelumnya, Mateos Anin, juru kunci Gunung Mutis, sempat pula berucap,
“Batu adalah identitas kami. Jika batu-batu lenyap, kami tak tahu menyebut diri
kami siapa.”
Dicky dengan kain tenun khas Mollo. "Merah adalah warna khas senantiasa ada di kain tenun kami," katanya. |
--------------------------------------------------------------------
* Glossarium:
Janabijana : negeri, tanah air.
**
Tulisan ini pernah dimuat di inflight magazine BATIK AIR
edisi Februari 2019, dengan perubahan seperluhnya. Silahkan baca versi PDF
majalahnya DI SINI.
Video Mollo |
5 komentar:
Tulisanmu memang keren, dalam dan terus masuk ke benak pembaca. Tidak sekedar tulisan yang menarik namun juga mengulik rasa penasaran.. sukses terus dengan tulisan2 dan tas tenun-nya
thanks ka val, kita bisa dapat ilmu baru dan perbendaharaan kosa katanya.
salam kenal mas, aku kagum dengan pilihan diksi dan gaya tulisannya. Walaupun pendek, tapi ada nyawa dalam tulisan. Tambah lagi mas juga jeli dalam memotret, anglenya bagus-bagus. Idolaaaaa...aku pingin kayak mas.
Kok aku jadi tersentuh banget bacanya. Kisah tentang alam dan kesederhanaan tapi diuraikan dengan pilihan bahasa yang bikin tersentuh. Indonesia kurang banget travel blogger/ writer yang nulis begini. Ada beberapa nama sih, mas ini salah satunya yang sangat kuat rasanya kalau menulis.
teman gw cerita soal Mollo, keren eui budaya dan alamnya. Jadi terobsesi nih..Tulisannya sangat menyentuh, ada sastra-sastranya gitu, gak biasa travel blogger nulis gayanya kayak gini. SUPERB!
Posting Komentar