Rimba Terakhir
Lopus
ALAM DAN MASYARAKAT ADAT YANG MENYELIPKAN ASA
DI TENGAH GEMPURAN PEMBALAKAN HUTAN
SERTA AGRESI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Pak Jelata, pendamping trekking kami ke Silikan Muhur, berdiri di bawah pohon Bengkirai. Kayu jenis ini kualitasnya amat bagus, setingkat di bawah pohon Ulin |
“Ini
adalah ritual penyambutan adat. Kita diterima sebagai bagian suku, dan Ikat
Tongang jadi lambang pengharapan keselamatan,” bisik Dwi Setijo, pemimpin
perjalanan kami. Saya menatap satu-satu roman muka warga dalam ruangan itu.
Tidak ada raut kaku, sebaliknya tatapan karib bagai menyambut sanak yang lama
dirindu. Dua tetua adat hadir bersilah di hadapan gentong, lalu kami diminta
maju berpasang-pasangan; ditaburi biji beras, diperciki air, lalu menggigit
bongkah beliung. Tali serat yang melilit daun Sengkuba diikatkan pada
pergelangan tangan kami. Ini seperti dinikahkan secara mendadak, tapi saya
memahaminya sebagai penerimaan tulus para penduduk.
Gong
terus bertalu selepas ritual, tarian kegembiraan tak terhentikan seiring tuak
putih beredar gelas demi gelas. Suasana sakral beradu keakraban. Perlahan drama
penerbangan yang tertunda disusul penat perjalanan panjang sehari semalam dari
Pangkalan Bun ke Lamandau pun sirna. Lihatlah, keluarga ternyata ada kemanapun
kita pergi!
Ritual Ikat Tongang. Kami maju berpasang-pasangan, duduk di hadapan para tetua. |
Ikat Tongang, melingkar di pergelangan tangan. Simbol penerimaan juga doa perlindungan untuk tamu maupun kerabat yang datang bertandang. |
Fatris MF, penulis, memamerkan gigi merahnya dari kunyahan siri pinang. Jalinan keakraban dengan penduduk Lopus. |
LOPUS, DESA YANG PENDUDUKNYA tak seberapa banyak itu sedang menata diri, berniat mengenalkan budaya serta rimba yang terlindung. Dia hanyalah secuil tanah di Kalimantan Tengah yang belum tersentuh perkebunan kelapa sawit. “Mudah-mudahan tidak. Kami berjuang menolak kehadiran kelapa sawit disini. Tanaman itu menghasilkan uang dalam waktu singkat, tapi membawa malapetaka bagi keturunan kami kemudian hari nanti. Tidak semua bagian Kalimantan musti dipenuhi kelapa sawit,” kata Pak Kakap, salah satu tokoh masyarakat Lopus.
Pembicaraan
yang bersinggungan dengan perkebunan kelapa sawit yang melenyapkan area hutan
telah menjadi kegusaran banyak pihak, terlebih penduduk asli Kalimantan.
Dibalik godaan devisa, masa depan Kalimantan sebagai kantong paru-paru dunia
berada di ujung tanduk. “When people talk about world’s rainforest, they
mention Kalimantan. But if they come to see this island, they will regret, as
the forests are swiftly gone,” celetuk
Tommy Schultz, penulis Amerika yang ikut dalam kelompok kami. Tommy sudah
beberapa kali mengunjungi Kalimantan dan menurutnya tahun demi tahun
lahan-lahan yang sebelumnya hutan terus diubah menjadi kebun kelapa sawit. “It
is ridiculous,” keluh Tommy.
Penyambutan tamu di gerbang kampung, selalu disuguhi tuak putih yang ditaruh dalam wadah dari tanduk kerbau. |
Sepasang remaja berpakaian tradisional Dayak. Umumnya penduduk Lopus beragama Kristen Protestan, dan pendidikan disini lumayan bagus meski daerahnya jauh dijangkau. |
Senjata khas Dayak Tomun, pangkalnya berukir Lintah |
Sebagai upaya membendung perombakan hutan, warga Lopus membuka pintu bagi sejumlah gagasan yang pro terhadap kelestarian hayati di wilayahnya. Salah satunya lewat wisata alam berpadu budaya Dayak. Kelompok wisata “Kokoran Botuah” pun dibentuk. Tapi mereka memilih program yang betul-betul sejalan dengan harapan mereka. “Kalau datang untuk belajar tentang isi hutan, datang untuk mengenal budaya Dayak, bersedia jalan kaki dan rela kehilangan koneksi internet, kami akan senang menerimanya,” ujar Pak Kakap.
Didukung
oleh SwissContact, sebuah lembaga non-profit yang bergerak dibidang
pengembangan dan manajemen wisata, serta beberapa pelaku wisata setempat yang
bergabung dalam FTKP (Forum Tata Kelola Pariwisata), penduduk Lopus pelan-pelan
membenah daerahnya. Pementasan budaya juga ajakan mengalami ritual-ritual adat seperti
Ikat Tongang merupakan satu fitur di samping penjelajahan alam yang ditawarkan
kelompok wisata desa Kokoran Botuah, namun mereka juga sadar bahwa banyak hal
harus dipersiapkan demi menyenangkan tetamu di Lopus.
Sehari
setelah kami tiba, misalnya, kelompok pejalan lain menjajal rafting menyusur
sungai Delang yang kiri-kanannya berjejal pepohonan tinggi, sedangkan saya
memutuskan untuk menonton latihan tari yang digelar di lapangan kampung. Saya
membiarkan indra meresapi ‘kemewahan’ seperti ini: Berada di pedalaman, dimana
gemericik sungai beradu musik etnik, dan rancak tarian terpentas di bawah
langit berkabut, tanpa baliho atau spanduk perusahaan, tanpa tenda pejabat atau
mimbar tokoh politik. Sesuatu yang mulai langka saat ini di Indonesia, bukan?
Rafting di sungai Lopus, kiri kanannya adalah hutan lebat yang masih terjaga |
Anak-anak Lopus ceria bermain air. Tanpa polusi limbah apapun. |
Di antara pondok-pondok kecil yang ternyata adalah lumbung panen. Pemandangan seperti ini dapat dijumpai dalam perjalanan ke Lopus. |
HAL YANG PALING saya tunggu-tunggu adalah masuk ke belantara. Sejak kecil, bayangan tentang Kalimantan adalah rimba rayanya, tentang pohon-pohon yang berbadan besar serta menjulang. Saya mengimpikan berjalan di bawah tudung pepohonan, menelipir batang-batang tua berlumur jamur.
Untunglah,
di dekat Lopus terdapat hutan adat yang dikeramatkan. Status keramat inilah
yang menyelamatkannya dari terjangan pembalak pohon maupun ketamakan perusahaan
luar daerah.
Kami
berangkat pagi-pagi ke tempat itu. Namanya Silikan Muhur. Pendamping masuk
rimba ini adalah penduduk asli yang tahu betul seluk-beluk hutan. Titik awal
trekking bermula di kampung Hulu Jojabo. “Kita akan berjalan kaki sekitar 3-4
jam, cepat lambatnya trekking disesuaikan dengan kemampuan kita,” terang Dwi
Setijo. “Oya, kita juga bakalan
menyeberangi sungai, sebanyak lima kali. Selain dalam, arus sungainya pun
lumayan deras. Jadi, bersiap-siaplah,” lanjutnya. Sebagai penyuka alam dan
penggemar jalan kaki, saya jelas mendambah pengalaman ini.
Dwi Setijo beristirahat pada batu di sungai yang terakhir, di hadapannya terdapat air terjun |
Setelah dua kali melewati sungai berair amat jernih, saya mulai dibuat terkagum-kagum oleh hadirnya pohon-pohon gigantis. Saya diperkenalkan nama-nama pohon beserta strata kualitasnya. Kayu Ulin menduduki kelas tertinggi karena terbaik, disusul kemudian kayu Bengkirai, lalu Meranti.
Di
Silikan Muhur koleksi Bengkirai paling banyak. Tingginya melampaui 30 meter,
yang telah berumur batangnya berdiameter lebih dari 3 meter. “Batang itu bisa
dipeluk delapan orang,” ulas Pak Jelatah, pendamping saya. Beliau telah uzur,
tapi hafal betul jalur jalan. Sepanjang trekking dia tidak memperhatikan
langkah, malah matanya berkonsentrasi pada serat kayu yang asyik dianyamnya
menjadi gelang. Padahal kami yang lain selalu hati-hati melangkah, kuatir
terantuk kayu. Saya tak puas-puasnya memotret isi hutan, kepala saya terus
mendongak setiap berpapasan dengan pohon yang menjulang.
Ujung
dari trekking naik-turun sungai ini kami dihadiahi air terjun. Meskipun
bukanlah air terjun besar, sebagian besar teman-teman girang mandi di air
terjun tersebut. Sedangkan saya memilih
menepi, meloncat ke dalam kolam sungai. Segar serta dingin. Sembari berenang,
tiada henti saya mengagumi isi hutan Silikan Muhur. Harta Kalimantan, pengayom subsistensi.
Semoga ini bukanlah rimba terakhir.
Pepohonan tinggi dalam hutan. Ini bagian yang masih berumur muda. |
Menyeberang sungai yang ke-3. Sungai-sungai di hutan ini tidak lebar, tapi arusnya kencang dan beberapa bagian lumayan dalam serta berbatu licin. |
Terima Kasih untuk FTKP (Forum Tata Kelola Pariwisata) Tanjung Puting yang telah mengundang dan mendampingi selama perjalanan ini.
Tips Jelajah Lopus:
§
Berangkat
dari Pangkalan Bun ke Nanga Bulik, kemudian lanjut ke Lopus. Lebih baik dalam
rombongan supaya biaya bisa sharing.
§
Kelompok
wisata Lopus “Kokoran Botuah” siap membantu urusan homestay, rafting, maupun
trekking. Silahkan kontak Ibu Laila (082352228848).
§
Untuk
telefon, gunakan kartu Telkomsel. Jaringan internet tidak tersedia.
§
Bawa
serta produk pelindung nyamuk maupun lintah. ATM tidak ada, jadi sediakan uang tunai dari Pangkalan Bun bila mau belanja
souvenir.
§
Perlakukan
warga setempat seperti keluarga sendiri. Berbagi cerita, dan nikmati kesederhanaan
hidup pedalaman.
4 komentar:
السلام عليكم
Hallo Bang,
Belum pernah dengar nih nama Lopus. Destinasi baru ya, Bang?
Asyik ya kalau jadi pejalanan yang lebih dahulu melihat destinasi baru, sebelum dikenal orang lain.
Tifanul
Halooo Mas Valentino. Namanya saya sering baca di majalah Batik. Salam kenal. Saya Sandi.
Selalu senang baca tulisan dan melihat foto-foto Mas Valentino. Beberapa kali saya minta majalahnya karena suka tulisan Mas. Semoga bisa menulis dengan 'rasa' seperti Mas.
Mat malam, Mas Valen.
Saya dari Dinas Pariwisata Kab. Magelang.
Kita mau undang untuk buatkan seminar menulis. Kami sudah membaca tulisan-tulisan Mas Valen di National Geographic, Lion Air, dan Batik Air.
Mohon dicek inbok Facebooknya, Mas.
Terima Kasih.
Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang
Selalu buat saya merasa terbawa setiap lihat foto-fotonya.
Apalagi tulisannya juga, tidak alay..
Kagumlah Bang sama karyamu.
Posting Komentar