Galur Pitarah
Semesta Lembata
D
|
i kaki bukit
sabana Waijarang, kira-kira sepuluh kilometer arah barat kota Lewoleba, Vincent
Halimaking memandu saya menyibak tangkai-tangkai ilalang kering yang tingginya
melampaui pangkal paha. Matahari musim kemarau memaparkan bias kemuning sore
pada punuk bukit, lalu perlahan merambat turun memercikan sinar silau di tiap
pucuk ilalang. Tempat ini sepertinya dilingkupi kesenyapan perenial sehingga satu
lengkingan burung Nazar yang melintasi lazuardi langsung serta merta membangkitkan
aura enigmatik.
Padang dan bukit sabana Waijarang, versi panorama. Di sebelah kanannya masih berbaris bukit pula. |
Padang sabana Wairang, close up. |
“Dulu, di
sekitar perbukitan ada banyak rusa, Bang,” kata Vincent ketika kami menemukan
titik yang pas untuk berpijak. “Leluhur kami, klan Paji adalah empunya sebagian
besar lahan ulayat disini. Kelihaian mereka yakni berburu hewan liar, termasuk
rusa. Biasanya di musim kering seperti sekarang.” Sejurus kemudian pria muda
yang berprofesi sebagai guru itu bergumam lirih, “Sayang sekali, populasi rusa
menghilang di akhir tahun sembilan puluhan, seiring datangnya kelompok polisi
yang menembaki rusa sebagai luapan hobi. Mereka menggasak semuanya tanpa
pandang usia, tanpa sisa.”
Sembari
menunggui saya memotret, Vincent mengisahkan hikayat leluhurnya. Sampai kami
berpindah lokasi ke tanjung berpanorama lautan yang dinamai Bukit Cinta pun ia
tetap semangat bercerita.
Sudah
seminggu saya di Lembata, dan hampir tiap hari ada saja kisah-kisah menarik
mengenai sejarah leluhur atau cikal bakal progeni yang dituturkan penduduk.
Sering itu membuat saya tercengang, karena koleksi hikayat mereka tak hanya
rapi tersimpan dalam memori, tapi mudah sekali dinarasikan ulang. Di dunia masa
kini, dengan berkali-kali migrasi yang dialami manusia, kehilangan jejak
kampung asal - akibat bencana, perang, maupun pencarian penghidupan - acapkali
menerbitkan rasa hampa pada generasi sesudahnya, ketiadaan jawaban untuk pertanyaan
‘dari mana dan dari siapa kita berasal’, juga ketidaktahuan akan alur-alur
Pohon Keluarga.
Tapi
orang-orang Lembata, sungguh, berbanggalah mereka karena mengenal akarnya
dengan baik.
Tebaran koral di perairan dangkal Lewo Lein |
Pemancing di Kuma Resort |
Saya
menjumpai Bapak Mikael di kampung adat Lewohala, dalam kunjungan untuk menghadiri
Pesta Kacang, sebuah tradisi tahunan untuk merayakan panen dari dua suku utama
yang berdiam bersama di sisi selatan lereng Gunung Ile Ape. Ritual ini, kendati
prosesnya sama, namun tidak dilakukan serentak untuk satu kampung, melainkan
bergantian dari satu kelompok suku kemudian kelompok suku yang lain, dengan
ritme serupa dan berulang.
Puluhan
rumah suku di Lewohala beratap pelapah, berapitan menempati lereng, menghadap
ke Teluk Jontona. Pagi-pagi atmosfer memikat hadir manakala fajar menerobos
kisi rumah. Namun lebih sinematik pada jam empat hingga enam sore, saat tarian
perang digelar di pekarangan kampung. Terpentaskan semata untuk ritual, bukan
pameran bagi pejabat atau turis. Dua pasukan anak-anak menari berlawan-lawanan.
Diiringi rancak gong, mereka mengekpresikan diri penuh penghayatan. Hentakan
kaki yang lincah menerbangkan debu. Begitu Matahari menebar sorot keemasan dari
balik pohon besar, semua elemen dalam tarian tak ubahnya pertunjukan kolosal.
Tarian Perang yang dipertontonkan anak-anak saat matahari sore menyorot dari barat |
Di rumah sukunya, keluarga Bapak Mikael menyimpan pusaka berupa gading Gajah yang panjangnya dua meter. Saking panjangnya, pikiran saya langsung terhubung pada sosok Manfred, Mamut berbulu dalam film Ice Age.
Di samping
itu ada pula peti kayu lapuk, berukir kembang delapan arah mata angin yang ditempeli
butiran kristal kecil. Dalam peti tersimpan piring-piring lebar serta mangkuk porselen,
juga bermotif bunga, warna marun. Beberapa rumah suku di kampung Lewohala ini memiliki
pusaka yang sama. Saya pernah ke India, dan corak pada peti maupun porselen ini
amat kental dengan India. Adakah penjelasan sehubungan dengan migrasi etnis
atau ekskursi niaga masa lampau, sehingga benda-benda ini bisa ada di Lembata?
“Berdasarkan
kisah turun-temurun, leluhur dari suku-suku di Lewohala tidak datang dari
India, melainkan dari Seram, utara Maluku. Mereka meninggalkan Seram dan
berlayar mengikuti arus laut, hingga akhirnya terdampar di Teluk Jontona. Membawa
serta harta benda dan hasil barter dengan pedagang yang mereka temui. Mungkin
gading serta peti porselen ini adalah hasil tukar-menukar, karena adapula
Nekara serta kain-kain tenun kuno yang dimiliki kami. Konon, banyak orang
meninggalkan Seram waktu itu karena serangan makluk aneh, ” tutur pria tua itu
mengawang.
Saya
tercengang pada bagian akhir penjelasannya. Dijalari perasaan ganjil, lantaran
beberapa bulan sebelum ini saya pergi ke Seram. Disana saya mendengar legenda
tentang makluk buas serupa manusia berbulu lebat. Orang Boti, demikian penduduk
asli menyebutnya. Peminum darah yang menyebabkan banyak warga merengsek pergi
dari pulau tersebut. Bisa jadi, itulah penyebab migrasi. Jika dalil itu benar,
tak disangka, di Lembata ini, yang terpisahkan ribuan kilometer jauhnya dari
Seram, saya menjumpai benang merah antara legenda tua Seram dengan asal muasal
para progenitor Lewohala. Oh, menyelami perjalanan leluhur selalu bagaikan
diseret menembus alur novel misteri!
Pagi menjelang di Lewohala |
BILA PITARAH LEWOHALA diyakini datang dari Seram, beda
lagi di Lamalera. Orang-orang yang dikenal sebagai suku cerdik pandai itu mengakui
leluhur mereka adalah kaum pelaut ulung asal Luwuk, Sulawesi Selatan.
Lamalera
yang kerontang terletak di pesisir selatan Lembata. Tempat ini memiliki drama
tersendiri; antara mistisisme yang tersemai hingga ke sudut rumah dengan panorama terbit-tenggelamnya sang
Surya yang impulsif, antara cadasnya alam
dengan nama besar sebagai kampung para pemburu Paus.
Syahdan, ketika
Majapahit meluaskan kekuasaanya hingga ke belahan timur Nusantara, banyak
kerajaan dilebur untuk bersatu, termasuk Kerajaan Luwuk. Tentara-tentara
setempat memperbanyak jumlah kaki tangan untuk propaganda Majapahit, diutus menyebar ke berbagai penjuru. Salah satu
kelompok tentara bahari berlayar mengarungi perairan, hingga pamungkasnya
singgah ke Lamalera lalu menetap beranak pinak.
Syair
penutur perjalanan nenek moyang Lamalera, Lia
asausu, selalu dinyanyikan setiap
upacara kebesaran. Hingga kini termafhumi sebagai dokumen lisan tambo silsilah
mereka. Konon, Mahapati Gajah Mada bahkan pernah bertandang ke Lamalera,
meninggalkan sebilah keris pusaka, juga menasbihkan perburuan Paus dan mamalia
laut sebagai sumber penghidupan bagi abdi-abdi yang tinggal di tanah gersang
itu. Demikianlah Paus dipandang sebagai anugerah para leluhur yang dihadirkan demi
menyelamatkan warga dari kelaparan, sebab potongan dagingnya sanggup bertahan
sepanjang tahun dan lelehan minyaknya berkhasiat.
“Nenek
moyang kami telah meletakkan dasar juga kiat bertahan hidup. Cara menghargainya
adalah dengan menjaga apa yang telah diwariskan,” ujar Bapak Petrus
Blikololong, seorang Ata Mola, ahli
pembuat Peledang, sampan untuk
berburu Paus.
Di cekungan
pantai kecil Lamalera, berjejer pondok-pondok yang dibuat khusus sebagai garasi
Peledang. Di sekitar sinilah denyut hayat Bapak Petrus dan para lelaki Lamalera
bisa dijumpai. Saban hari mereka duduk di pantai, memperbaiki sampan atau
mengerjakan kriya penopang hidup lainnya, sembari mengawasi bocah-bocah bermain
air sekaligus berlatih menikam Paus dengan tongkat-tongkat kecil. Jika ada
kerusakan pada Peledang, segera pula diperbaiki.
Bapak Petrus Blikololong sedang bekerja memperbaiki bagian Peledang yang rusak |
Tidak sulit mengenali kepemilikan Peledang, lantaran tiap sampan mempunyai nama sebagai simbol suku. Kerabat Bapak Petrus dari suku Blikololong dan Bataona misalnya, merupakan empunya Paledang terbanyak. Jafa Tena, Sikka Tena, Horo Tena, Sinu Sapang, Demo Sapang, dan banyak lagi namanya. Itu barulah satu suku, belum yang lain. Mereka juga menambahkan tulisan yang dikutip dari Injil pada sampan, rata-rata berbahasa Latin, seperti Tempora Mea (Nasibku dalam tangan-Mu), Ora et Labora (Berdoa dan bekerja), atau In Verbo Tuo (dalam perintah-Mu). Lengkap dengan lukisan-lukisan menawan.
Di tengah-tengah
jejeran pondok bagi Peledang, berdiri sebuah Kapel berwarna biru cerah, pusat
kegiatan religius sebelum musim berburu Paus dimulai. Lokasi Kapel itu, dulunya
adalah altar sesajen para leluhur yang masih animis, tempat tumpukan tengkorak
manusia, namun diubah kekeramatnnya begitu agama Katolik diterima penduduk.
Aroma daging
Paus akan tercium manakalah kaki melangkah ke sisi timur Kapel karena disitu
memang daging-daging dijemur hingga mengeras. Tulang-tulang Paus yang telah
kering dijadikan hiasan, terpajang di gang-gang kecil dan halaman rumah. Demikian besar arti Koteklama (sebutan setempat untuk Paus) bagi orang Lamalera
sehingga gambar mamalia raksasa ini pun ditampilkan pada motif kain tenunan
mereka.
Bapak Petrus
menjelaskan bahwa sekalipun dipandang sebagai berkah, tidak berarti Paus datang
dengan mudahnya untuk ‘menyerahkan diri’. Taktik dan perjuangan menjadi bagian
tak terpisahkan. Nyawa adalah taruhan. Apalagi aktifitas perburuan hampir
sepenuhnya dilakukan secara konvensional. “Kami terikat peraturan adat. Tabu
memakai senjata lain selain apa yang sudah diwariskan turun temurun,” kata
lelaki ini arif.
Sisa tulang ekor Paus Biru |
Peledang sedang dipasang layarnya. |
Komponen
utama Peledang berbahan kayu serta bambu. Termasuk layarnya pun terbuat dari
anyaman daun Gebang. Besar kecilnya ukuran sampan disesuaikan dengan ukuran
mangsa. Peledang pemburu Hiu Paus jelas lebih besar dari Peledang untuk
menangkap mamalia kecil. Setiap bagian dari Peledang dibuat dengan fungsinya
masing-masing, dan sampai sekarang konstruksinya tak ada yang berubah.
Begitupun rentetan ritual yang musti dijalankan, dari awal hingga akhir
perburuan. Tugas masing-masing personel sampan, sampai syarat pembagian hasil
buruan.
Kenyataan
ini membuat saya takzim dan merenung jauh. Sejujurnya, kedatangan saya ke
Lamalera dibayangi polemik dalam hati. Terbiasa bersua makluk laut saat
bersnorkeling membuat saya kontra dengan praktik perburuan Paus. Tapi di
Lamalera, menghabiskan waktu beberapa hari disini akan mengubah pandangan kita,
mengubah prejudis tentang barbarisme atau ketamakan, mengubah harga menjadi
nilai. Tanpa diminta, tanpa dipaksa, kita akan meninggalkan Lamalera dengan
pemahaman baru. Dan berpikir untuk kembali lagi kesini, semenjana apapun rupa kampung
ini.
NAFAS SAYA TERSENGAL. Apa hendak dikata, saya harus
tetap bergerak cepat. Bila tidak maka saya kehilangan momen Matahari terbit di
kaldera Ile Ape.
Jarak tenda
inap dengan tepi kaldera kelihatannya tidak jauh, namun bila menanjak seperti
ini rasanya sulit dijangkau. Syukurlah, saya sampai juga, dan hanya sebentar
menarik nafas, bola merah di ufuk timur memecah fajar. Saya menengadah,
membiarkan seluruh kulit menyerap hangat Mentari. Kesegaran khas pegunungan
menjalari, berbalur aroma belereng yang merongrong dari lubang-lubang kawah.
Retakan-retakan pada dinding gunung Ile Ape mengeluarkan asap dan belerang kuning terang |
Ancala Ile
Ape adalah mahkota Lembata yang dapat ditengarai dari mana saja. Gagah berdiri
di jazirah dengan dua suak nan bestari: Teluk Lewoleba dan Nuhanera. Mendaki
kesini sebaiknya dilakukan siang hari, karena detik-detik terbenamnya Sang
Surya pun tak kalah menakjubkan. Gunung ini hanya dipisahkan sekian kilometer
dari Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara, nusa seberang utara. Jika datang ke
Lembata dengan kapal laut, kesannya seolah-olah masuk ke sebuah ceruk yang sedang diawasi oleh dua raksasa
sekaligus!
Orang-orang
yang berdiam di kaki gunung setinggi 1450 meter dpl ini lebih akrab menyebutnya
Ile Lewotolok. Mereka percaya, penduduk asli Lembata berasal darinya.
Menuruni lereng kaldera Ile Ape. Gunung ini juga disebut Ile Lewotolok |
“Dimana letak pemukiman leluhur kalian?” tanya saya sesampainya di tengah lapangan kaldera yang agak menyerupai Segara Wedi-nya Bromo. Yustan dan Vergi, dua remaja yang menemani saya mendaki saling menatap bingung. Sejurus kemudian keduanya tersenyum berbarengan. Paham.
“Bukan di
tengah kaldera ini, tapi di lereng, dekat jalur pendakian kita tadi pagi,”
jawab Yustan. Ia lantas menjelaskan bahwa lubang kecil tepat di balik kaldera
tak jauh dari lokasi kemah kami adalah tempat berdiamnya leluhur pemula. “Tanahnya
landai dan ditumbuhi rumput seperti permadani.”
Saya menyeritkan kening. Bukankah itu ideal untuk berkemah?
“Jangan,
Bang. Menginap disana tidak akan tenang malam-malam,” sambungnya pelan. Ia
membaca pikiran saya dengan jitu. Lalu seperti Vincent, Bapak Mikael, dan Bapak
Petrus Blikololong, kedua teruna ini pun mengisahkan cerita berplot okultis,
sejarah bahaduri leluhur mereka.
Angin
mendesis, iring-iringan mega mendekati puncak Ile Ape, isyarat kami harus
pulang. Saya menyukai Lembata, beserta segala yang ada di bawah duli
semestanya. Saya tidak peduli perkara benar atau tidak, nyata atau fiktif, bagi
saya kisah-kisah okultis sebuah daerah telah menjadi semacam benteng bagi
peradaban lokal menjaga alam, menghadapi ketamakan kapitalis atau arogansi
pikiran kaum mantik.
Saya ingin menggali
galur pitarah Lembata lebih dalam, meski tahu bahwa tidak akan sampai ke tujuan
semestinya, sebab seperti para pejalan lain, saya tidak pernah puas dan tidak bakalan
betul-betul paham tatkala menyibak masa lalu, bahkan di titik dimana orang
mungkin berpikir bahwa saya telah memahaminya.
Senja di Pantai Waijarang, Gunung Ile Boleng (Adonara) terlihat dari kejauhan |
Pondok tinggi di salah satu kebun warga, di belakang adalah bayangan Gunung Ile Ape |
SELUK BELUK
Pai
tite tai teti Lembata!
Dianugerahi
alam yang menawan, dari gunung hingga dasar laut, Lembata mulai membuka
tangannya untuk merangkul orang-orang yang datang hendak mengenal. Pulau di
barisan timur NTT ini sangat ideal bagi mereka yang mendambah petualangan
penuh. Mari, rasakanlah antusiasme dan keterbukaan warga.
AKSES MASUK
Melalui
jalur udara, dengan terlebih dahulu transit di Kupang. Maskapai yang setiap
hari beroperasi yakni Trans Nusa dan Susi Air. Sedangkan jalur laut dilayani
oleh sejumlah armada, seperti Pelni KM Bukit Siguntang (0383 41521/41031) rute
Makassar-Maumere-Lewoleba, Fery cepat Cantika Ekspres rute Kupang-Lewoleba
setiap Rabu. Bisa juga dari Larantuka (Flores Timur) setiap hari, pagi dan
siang, oleh KM Lewoleba Karya, KM Sinar Mutiara, Kapal cepat Fantasi Express,
dan Ina Maria Ekspress.
WAKTU BERKUNJUNG
Masalah
pelik di Lembata adalah infrastruktur jalan yang sebagian besar masih jelek.
“Jalanan baru dibuka tapi pengerjaan yang buruk membuatnya cepat rusak dalam
hitungan tahun,” keluh Sang Luge, pemuda lokal yang giat mempromosikan Lembata.
Mungkin sebagian pejalan malah menyukai kondisi ini karena memang akan ada
drama tersendiri saat melintasi jalan buruk namun kiri-kanan digoda oleh
panorama memukau. Bagi yang ingin nyaman, hindari berkunjung di musim hujan,
sebab jalanan akan berkubang dan licin berlumpur dimana-mana. Sekitar bulan Mei
hingga November adalah waktu yang pas.
Pecinta lansekap, paling baik datang bulan Juni disaat rerumputan dan
pohon dalam kondisi transisi warna. Ritual-ritual adat seperti Pesta Kacang
dilakukan di bulan Oktober.
BERBAGI & BERTEMU KOMUNITAS ORANG MUDA
Tak ada
salahnya membagi waktu untuk bertemu atau melakukan perjalanan bersama dengan
komunitas orang muda Lembata. Satu dua komunitas mulai tumbuh dan mendambah kontak
dengan pihak luar untuk berbagi ide dan pengalaman. Tebar semangat kreatif
mereka untuk bergiat di sejumlah bidang yang Anda geluti, misalnya fotografi,
film, pendidikan, atau kesehatan. Salah satu kelompok anak muda lokal, Pelangi Adventure adalah komunitas pecinta alam yang bersemangat mengenalkan alam,
pantai, dan budaya Lembata. Begitupun taman baca sekaligus warung kopi Taman Daun yang
bisa jadi oase untuk menimbah sejarah maupun cerita-cerita lokal.
WISATA BAWAH LAUT
Perairan
Lembata kaya akan biota bawah laut. Berada pada kaki Laut Banda menjadikannya
muara untuk ikan-ikan berbagai ukuran. Lembata juga berada pada jalur migrasi
mamalia laut seperti Paus, Hiu, dan Lumba-Lumba. Bukan pemandangan asing lagi
jika bersua hewan-hewan ini disana. Budaya penangkapan ikan yang masih alami
menjaga kelestarian koral di sepanjang garis pantai, bahkan langsung di pinggir
jalan raya! Temukan dan buktikan sendiri di sepanjang bibir Teluk Jontona, dari kaki Gunung Ile Ape
sebelah selatan hingga ke Liwo Lein.
Di seberangnya, lokasi yang sering direkomendasikan yakni Nuhanera. Dapat mengekslorasi
bawah laut sekitar Kuma Resort.
EKSPEDISI ERUPSI BATUTARA
Di nusa imut
bernama Pulau Komba, antara Lembata dan Solor, menyembul sebuah gunung
berapi, Batutara. Gunung ini sedang
aktif, dan keistimewaan yang dipertontonkannnya adalah semburan lava menuju
lautan. Terjadi setiap hari tanpa henti, tiap dua puluhan menit. Paling
menakjubkan bila menyaksikannya malam hari disaat bunyi gemuruh, disambut
letusan awan, kemudian diikuti pijar lahar tak ubahnya kembang api.
Dimuat di National Geographic Traveler –
edisi Maret 2016 (dengan perubahan seperluhnya dari editorial NatGeo)
12 komentar:
Wow... How Great Thy Lord.
Terima kasih untuk tulisan & foto - foto yang sangat indah ini.
Have a great journey.
God bless you Kak.
Aku suka cara om Valentinus bercerita, cerita yang menjadi sebuah gambar tersendiri di pikiranku. Semakin membaca semakin membuatku ingin mengikuti jejak sang 'No-Mad' menjelajah negeri.
Terima Kasih, Untuk tulisan yang sangat bagus.
tentang negeri kami,
tentang leluhur, dan tentang sejarah yang tak mesti terlupakan.
Ijin Share.
Tulisan saudara Valentino memiliki kekuatan tersendiri, setiap bagian-khususnya pararaf-paragraf akhir selalu memberi pesan atau nyawa, dan itu menyadarkan bahwa saudara ini jalan bukan hanya jalan untuk senang-senang tapi jalan untuk belajar dan mengenal (sungguh-sungguh) sebuah daerah.
Saya kagum dengan kemampuan saudara untuk masuk dalam lingkungan lokal, mendengarkan kisah-kisah setempat dari orang lokal langsung. Kemudian meramu dalam tulisan yang punya gaya sastra, punya tema (meskipun banyak destinasi yang dikunjungi tapi saudara bisa menemukan satu tema untuk menjadi penghubung antara destinasi. Itu hebat sekali!). Lalu disempurnakan lagi oleh foto-foto yang dasyat, yang membuat kami sebagai pembaca bisa diantar dan dibawa untuk merasakan apa yang saudara tulis. Pemilihan waktu foto dan sudut pandang yang juga menurut saya punya kekuatan sastra. Saya ingin menyebut bahwa foto-foto saudara adalah foto-foto yang ngeSastra, bukan hanya indah dilihat tapi memberikan imajinasi. Itu belum saya lihat pada kebanyakan travel fotografer sekaligus travel writer. Saudara menguasai dua bidang sekaligus. Salut dan bangga saya bisa mengenal karya-karya saudara. Teruslah menulis,membagikan cerita. Teruslah bertualang kemana hati menuntun saudara. Allah menyertai selalu.
Hi Valentino, met you last time in Sydney, was wonderful.
((i)I translated you article to understand (i)).
I like the way you write, the photos also give me goosebumps. Your personality and humble style show how you can reach many beautiful places and talk to locals. Many people out there (me too) call themselves as travelers but still have boundery to chat with locals and strangers.
Good luck for your journey, and tell, please, me if you want to come to Alberta.
Brendan
Rocky Mountain house
Canada
bang, saya pengagummu. Tulisan dan foto-fotomu sama-sama punya kekuatan, beda sama travel blogger lain, yang 'malas mikir.'
M.D.K
setelah saya membaca dan melihat foto-foto yang ada di sini, ternyata tidak hanya di bali ada tempat wisata yang indah, ternyata masih ada di tempat lainnya juga di luar sana.. mantap, makasi infonya ya sangat bermanfaat...
heee valentino mein freund :) wir haben schon lange nicht mehr geschrieben...
wie gehts dir? schreib mir eine email: niko.fischer@gmx.at
schöne Grüße,
Niko
whoaaaaa.. takjub!! pertama lihat gambar paling atas... lalu takjub!! lagi.. ketika membaca setiap alur cerita yang terangkai sangat apik dan membuai, menyihir pembaca untuk ikut terbawa suasana..
so far, tulisan-tulisan om Valentino adalah yang terbaik di ranah travelblogger.. saya pun dulu sering membaca tulisan2 om satu ini di pesawat saat penerbangan dari Kupang ke kabupaten2 lain di NTT..
Salam kenal om... saya dulu sempat tinggal di NTT 2 tahun dan beruntung sempat menikmati beberapa tempat indahnya..
Tulisannya gila!! Dalemmm.....
Bung penulis travel yang seakan-akan melibatkan segala indra saat bertualang.
Foto-fotonya juga amazing.
Duh, seandainya bisa nulis dan foto sedasyat ini,Bung
Merinding bacanya.
Tulisan ditutup dengan kalimat yang tidak pernah aku baca di tulisan travel writer manapun.
Foto-fotonya pun luar biasa. Terasa bahwa kakak sungguh-sungguh 'masuk' dalam kehidupan penduduk dan menyatu dengan Lembata.
Salut & hormat dari Bandung
Resti
Hai, Kak.
Terima kasih banyak sudah menuliskan catatan perjalananmu tentang kampung halamanku dengan begitu indah dan manis. Membacanya mata saya jadi berkaca-kaca. Rindu, haru, bangga, semua campur aduk. I love you, Lembata, and I love you too, Kak Valen.
Salam hangat dan semoga semoga semua perjalananmu diberkati.
Monika-Yogyakarta.
Posting Komentar